Dari lampu meja menyinari ruangan, menciptakan bayangan-bayangan lembut di dinding. Suasana hangat dan intim, Faten sudah berada di atas, tubuhnya menghimpit Taran dengan posisi pahanya menahan paha istrinya.
Taran tergeletak di bawahnya, wajahnya yang polos mencerminkan kebingungan dan sedikit kepanikan. Matanya yang jernih terbuka lebar, tangan nya mendorong lembut bahu Faten.
"Om... gue takut."
Faten suara rendah dan terasa aneh.
"Diam ya, Sayang. Aku mau periksa tubuh kamu dari ujung kepala sampai ujung kaki."
Jarinya yang halus mulai menelusuri rahang Taran.
"Sudah jadi kewajiban ku untuk memastikan kamu dalam keadaan sehat dan... ."
Senyumnya semakin mengembang.
"Lah, Om ini lagi-lagi pake mode dokter, ya? Gak usah! Gue fine-fine aja, sumpah! Pemeriksaan apaan sih tengah malam begini?"
Faten mengabaikan protesnya, jarinya kini beralih ke leher Taran, berpura-pura memeriksa denyut nadi. Dia menunduk, mendekatkan dahinya ke dahi Taran. Nafasnya hangat menyentuh kulit Taran.
Taran mencoba menggeser tubuhnya.
"Demi apalah, gue gak demam! Itu cuma karena Om yang bikin gerah aja! Aduh, Ooomm... jangan main periksa-periksa gini dong. Tadi cuma bercanda doang!"
"Demi... demi otak gue yang sudah mumet ini, Fen, berhenti dong! Lo tuh kerjaan gangguin gue aja!"
Wajahnya memerah, matanya melirik ke samping mencoba menghindari tatapan Faten.
"Ini mah bukan periksa, ini jelas-jelas modus!"
Faten tersenyum lebar, matanya berbinar nakal.
"Sst, jangan dramatis. Ini prosedur standar. Dokter harus memastikan tidak ada ketegangan otot yang berlebihan di area d**a. Coba kamu rileks."
Dia berpura-pura mendengarkan jantung Taran dengan menempelkan telinganya di dadaa itu.
"Wah, detaknya tidak teratur nih. Harus diperiksa lebih lanjut."
"Ya ampun! Itu karena lo yang nindes-nindes gini! Bukan karena sakit! Aduh, Om... tolong dong, Om Faten, stop!"
Mendengar panggilan "Om", alih-alih berhenti, Faten malah tersenyum. Ekspresinya semakin senang.
Dia mengangkat kepala, menatap langsung mata Taran yang terpejam dengan pipi memerah dan bibir mengatup.
Faten berbisik dengan suara yang sengaja dibuat berat dan berwibawa.
"Iya, sayang? Ada apa? 'Om' lagi sibuk memeriksa."
Tangannya tidak berhenti, sekarang berpindah ke perut Taran menggelitik dengan ringan.
Taran langsung menggeliat hebat, tertawa terpingkal-pingkal.
Setelah beberapa saat menggoda istrinya akhirnya Faten mengendurkan pelukan dan tidur di atas perut Taran.
Dia masih tersenyum melihat istrinya dengan nafas terengah-engah dan pipi yang masih memerah.
Faten mengelus punggung istrinya. Matanya yang teduh memandangi wajah Taran yang masih memerah.
Faten terasa begitu menenangkan dengan lembut merapikan rambut Taran yang berantakan.
"Maafkan aku, Sayang. Main-mainku tadi keterlaluan, ya? Aku terlalu asyik sendiri."
Tangan Faten terasa begitu besar dan hangat menyentuh wajah Taran.
"Kadang tanpa sadar, aku meniru sikap Mama dan adikku yang sering bersikap kasar atau menganggap remeh kamu. Itu salah aku. Aku seharusnya lebih peka."
Ucapan itu terdengar sangat tulus.
"Tapi ya udah lah, gue lapangin dadaa. Emang dasarnya keluarga Om emang kayak nggak suka sama gue."
Kalimat itu terlontar dengan nada kesal lalu Taran mengangkat bahu.
"Lagipula, gue sih bodo amat. Gue aja nggak ingat apa-apa soal keluarga Om sendiri atau kenangan apa pun. Jadi ya, gue juga nggak bisa bandingin atau ngambek lama-lama. Udah lupa aja!"
Taran mengatakan itu seperti bukan masalah besar, tapi bagi Faten pernyataan polos itu seperti pisau tajam yang menyayat hati.
Faten terdiam, senyum lembutnya pudar digantikan oleh kesedihan yang mendalam.
Dia memandangi Taran yang kini asik memainkan game di ponsel.
"Nggak ingat apa-apa..."
Faten segala kedewasaan dan ingatannya yang utuh, bisa belajar dari kesalahan, bisa menyesali sikap keluarganya kepada Taran.
Dia memeluk Taran dengan sangat erat lalu mencium pipi, hidung dan dua pelupuk mata istrinya.
Pelukan Faten yang tiba-tiba erat dan penuh perasaan itu justru membuat Taran merasa tidak nyaman.
Baginya, perubahan suasana yang mendadak dari bercanda menjadi haru ini terasa aneh dan membingungkan.
Taran mulai gelisah dalam pelukan, suaranya terdengar teredam di bahu Faten.
"Om... om, longgarin dikit. Gue sesek nih. Ini kok jadi gini sih?"
Mendengar permintaan itu, Faten segera melonggarkan pelukannya.
Dia menarik diri cukup untuk bisa memandangi wajah Taran, meski tangannya masih memeluk di pinggang sang istri.
Dengan gerakan yang sangat lembut dan pasti, Faten membuka selimut dan mengajak Taran untuk berbaring berhadapan.
Sebelum Taran sempat protes lagi, Faten menariknya kembali ke dalam pelukan.
Kali ini, posisinya lebih nyaman, tapi pelukannya justru semakin erat, ingin memastikan Taran benar-benar ada di sini.
Taran mendesah kesal, mencoba mendorong dengan lemah.
"Dih, ooommm... ini lagi-lagi mau apa? Gue udah bilang sesek dari tadi! Om gue sesak nafas, tahu!"
Faten tidak menjawab. Dia hanya memeluk lebih erat, menyimpan wajahnya di leher Taran.
Dia mendengar detak jantung Taran, merasakan kehangatan tubuhnya.
Dalam pelukan itu Taran sudah mulai kehabisan napas, suaranya terdengar lemah.
"Aduh... beneran... gue susah napas, Om... Pak dokter... tolong... lepasin..."
Taran masih terkurung dalam pelukan Faten erat.
Ini pelukan yang nggak kasih opsi kabur.
Taran sudah berusaha macam-macam cara dengan gerak dikit, goyang bahu, tendang selimut, sampai pura-pura batuk.
Tetap aja, Faten nggak mau lepas.
Sekarang malah… tidur.
Dengan napas berat dan satu tangan masih di pinggang, Taran mengeluh.
“Gila… sumpah, ini om-om minum apa sih tadi…”
Mencoba bergerak tapi hasilnya nihil.
“Kemarin normal, hari ini kelakuannya kayak security mall yang baru nemu pencuri.”
Faten bergumam.
"Hm… diam sayang.”
Taran langsung nge-freeze.
“…HAH??”
Ia mencoba buka tangan Faten, tapi pelukannya makin kenceng.
“ELU TUH NGGAK NORMAL!”
Taran memukul tangan Faten sambil setengah teriak.
“Gue cuma bilang mau ambil minum, bukannya mau kabur ke luar negeri!”
Faten akhirnya membuka mata pelan, masih setengah sadar.
Ia menatap Taran.
“Kamu tidak boleh. Aku tidak mau.”
Suasana masih terasa hangat hingga suara ringtone pelan bergetar di saku Faten.
Dengan cepat ia mengambilnya dan membaca pesan lalu ia langsung bangun.
“Eh... eh, elu mau kemana?!”
Faten memasukkan kaki ke sandal rumah, sedikit terburu-buru.
“Aku dapat panggilan darurat. Ada pasien trauma. Harus operasi sekarang.”
“Jam segini, om-om… serius nih?”
Faten sempat tersenyum kecil, lalu menepuk pelan kepala Taran.
"Iya sayangku."
Sebelum pergi ke lemari ambil pakaian.
“Aku harus pergi. Ini kasus perdarahan dalam. Kalau terlalu lama, pasien bisa meninggal.”
“…yaudah. Tapi om nanti pulang, kan?”
“Aku akan pulang.”
Nada Faten tegas meyakinkan.
Saat Faten mengambil kunci mobil, ponselnya kembali berbunyi.
Ia mengangkat.
Faten “Halo, saya Faten.”
Suara di seberang cepat dan tegang.
Perawat Rani “Dok, ini dari IGD. Pasien laki-laki, 28 tahun, kecelakaan lalu lintas. FAST positif. Tekanan darah 80/50, nadi 132, kemungkinan ruptur limpa. Dokter bedah sudah minta laparotomi segera.”
Nada Faten berubah, lebih fokus dan profesional.
Faten “Baik. Sudah ada jalur besar terpasang?”
Perawat Rani “Satu 18G sudah dok, kami sedang pasang 16G.”
Faten “Oke. Mulai resusitasi kristaloid. Siapkan dua kantong PRC, dan hubungi bank darah untuk standby MTP. Kirim pasien ke ruang operasi segera. Saya dalam perjalanan.”
Perawat Rani “Siap, dok.”
Telepon ditutup.
Faten sudah berpakaian lengkap, siap untuk pergi.
Taran istrinya duduk di atas ranjang dengan tatapan polos memainkan ponsel.
"Aku akan berangkat sekarang?"
Faten memandangi Taran yang tidak menjawab, lalu Faten memutuskan menarik rambut istrinya hingga wajah itu terangkat.
Tangannya yang kasar mengangkat dagu Taran dengan gerakan yang lembut penuh paksaan.
"Jaga dirimu,"
Sebelum Taran sempat mengangguk, Faten sudah menutup jarak di antara mereka.
Ciuman.
Tangannya meremas bahu Taran, menancapkannya di tempat.
Taran menyerah, membiarkan dirinya dibawa.
Lalu, datanglah rasa sakit yang tajam dan mendadak.
Faten menggigit bibir bawah Taran yang membuat Taran menjerit kecil.
"Aaa..ggg,"
Rasa logam yang hangat dan asin segera membanjiri mulut mereka, darah menetes dari bibir Taran.
Faten menarik tubuhnya dengan nafas yang mulai tidak beraturan disertai matanya yang menyimpan barang memandangi bibir istrinya yang terlihat sempurna.
Dengan ibu jari ia mengusap darah itu lalu menjilatt
"Jangan berani untuk kabur lagi atau keluar rumah tanpa izin."
Taran tidak bisa berkata-kata.