Faten berhenti tepat di depan sebuah bangunan dengan lampu neon ungu menyala terang bertuliskan "LUMINOIR", salah satu klub malam paling ramai di pusat kota. Papan namanya besar, dengan huruf-huruf metalik yang memantulkan cahaya hujan gerimis.
Dari luar saja, suara bass sudah terasa bergetar di d**a. Aroma parfum mahal bercampur asap rokok elektronik mengambang di udara.
Ketika Faten keluar dari mobil, antrean pengunjung memanjang sampai trotoar. Wanita dengan gaun berkilau, pria dengan jas kasual, beberapa sudah setengah mabuk dan tertawa keras.
Ia langsung berlari menerobos antrean.
"Security! Tolong! Mana security?!" teriak Faten.
Seorang petugas berbadan tegap dengan name tag "RUDI" menoleh dan menghampirinya.
"Ada apa, Pak?" tanya Rudi.
Faten napas memburu. "Istri saya! Namanya Taran! Dia ke sini! Mana dia?!"
Rudi menghela napas panjang, langsung mengerti kasus yang dimaksud.
"Hmm... yang ribut sama tamu VIP, ya Pak?"
Faten menutup wajahnya dengan tangan. "Ya Tuhan..."
"Iya. Tolong bawa saya ke dia," pinta Faten.
"Baik, Pak. Ikuti saya," kata Rudi.
Lampu LED merah biru memotong gelapnya lorong masuk. Udara pekat dengan parfum, alkohol, dan kabut mesin asap.
Faten mengikuti Rudi menembus kerumunan. DJ memekakkan telinga, lantai dansa penuh tubuh bergoyang, dan lampu sorot menyapu ruangan seperti badai cahaya.
Sambil berjalan cepat, Rudi menjelaskan, "Istri Bapak awalnya cuma duduk di bar. Kelihatan gelisah. Lalu ada cowok mabuk yang ganggu dia dan dibalas dengan lemparan gelas dan tamparan."
"Dia memecahkan gelas...?" tanya Faten.
"Iya melempar gelas, Pak. Tepatnya. Lalu menampar juga. Lumayan keras," jelas Rudi.
Mereka melewati pintu bertuliskan "STAFF ONLY" dan masuk ke ruangan kecil berlampu putih redup.
Di dalam, pria berkumis dengan lengan besar menyilangkan tangan, name tag-nya bertuliskan "ANTON ~ HEAD SECURITY".
"Pak Faten? Istri Bapak ada di dalam," kata Anton.
Faten masuk dan membeku. Di sofa hitam, Taran berbaring pura-pura tidur. Tubuh mungilnya terbungkus gaun merah sangat pendek dengan belahan tinggi di paha dan d**a. Gaun itu berkilau di bawah lampu ruangan.
Faten terpaku melihat belahan gaun, bahu terbuka, kaki pucat tersingkap. Ia tak pernah melihat istrinya seperti itu dalam lima tahun pernikahan mereka, bahkan sekalipun tak pernah.
Anton menepuk bahu Faten. "Gelas bar pecah. Tidak fatal. Kami tidak laporkan. Hanya perlu tanda tangan dan ganti rugi 300 ribu."
"Iya... iya, tentu... terima kasih," jawab Faten.
Selama menulis formulir, Faten terus mencuri pandang ke arah Taran. Dadanya sesak. Ada rasa ingin memeluk istrinya malam ini.
Taran menggeliat kecil di sofa, berusaha mempertahankan pura-pura tidurnya.
Faten mendekat, berlutut, lalu melepas jaketnya dan menyelimuti tubuh istrinya dengan lembut.
"Aku nggak tau kamu senakal ini," bisik Faten sambil menepuk lembut paha Taran. "Sepertinya harus ada hukuman untukmu."
"Bawa pulang saja, Pak. Dia kelihatan bukan orang yang biasa datang ke sini," saran Anton.
"Ya... terima kasih," jawab Faten.
Pelan, Faten mengangkat tubuh Taran ke gendongannya dan keluar dari kantor. Dengan jarak sedekat ini, dia bisa mencium aroma parfum yang baru pertama kali ia cium.
Di parkiran LUMINOIR, Faten menurunkan Taran ke kursi penumpang dengan perlahan. Taran masih pura-pura tidur, napasnya dibuat-buat stabil, kedua tangan terlipat kaku seperti boneka yang salah posisi.
Faten menutup pintu, masuk ke kursi pengemudi, lalu menghembuskan napas pelan.
"Jadi... kamu pikir aku bakal percaya kamu tidur terus dari kantor security sampai mobil?" Nada suaranya lembut namun ada senyum geli yang tidak bisa ia sembunyikan.
Faten memiringkan kepala, tatapannya turun ke gaun merah istrinya yang kini tertutup jaket dokter.
"Tuan putri yang barusan menampar cowok mabuk itu pasti masih punya tenaga untuk jawab, kan?"
Taran tetap diam.
Faten mencondongkan tubuh, suaranya diturunkan dua tingkat, lembut sekaligus menggoda.
"Hei... kalau benar-benar tidur, kenapa telingamu merah begitu?"
Taran refleks menutup telinganya dengan bahu, lalu sadar dan kembali membeku.
Ia menyenggol bahu Taran pelan dengan jarinya.
"Istriku berusia 30 tahun... tapi pura-pura tidur seperti anak kecil yang takut ditanya guru kelas."
Pipi Taran memerah makin jelas. Faten makin menikmati reaksinya.
"Baiklah. Kalau kamu benar-benar tidur..."
Ia mendekat,wajahnya hanya beberapa sentimeter dari pipi Taran.
"...berarti aku boleh cium kamu tanpa kamu protes,kan?"
Faten menahan tawa. Taran buru-buru menutup wajah. Suasana di dalam mobil begitu hening sampai detak jantung terasa lebih keras daripada suara apa pun. Faten meraih tangan Taran terlebih dulu, menahannya lembut.
"Sayang..." panggilnya pelan.
Taran tidak menoleh. Napasnya masih panjang dan berat, bahunya naik turun menahan emosi yang tak sempat ia keluarkan. Faten mempererat genggaman itu, ibu jarinya mengusap punggung tangan istrinya.
"Lihat aku," ucap Faten lagi, lebih lembut.
Kali ini Taran menoleh dalam satu gerakan pelan. Taran menarik tangannya sedikit, refleks ingin menjauh, namun Faten menahan.
Ia mendekat. Tanpa memberi tanda, Taran mengangkat tangan bebasnya, menyentuh kerah Faten, lalu menariknya mendekat sampai wajah mereka hampir bersentuhan.
"Jangan bicara..." bisik Faten, suara rendah dan tertahan.
Faten sempat terdiam, matanya melebar sedikit, namun ia tidak menolak. Ia hanya mengikuti tarikan istrinya, membiarkan jarak di antara mereka menghilang.
Dengan gerakan perlahan namun penuh keyakinan, Faten menundukkan wajahnya ke leher Taran. Bibirnya menyentuh kulit Taran yang hangat.
Faten menahan napas. Tangannya yang menggenggam tangan Taran berubah menjadi pegangan yang lebih kuat, mencoba menstabilkan diri ketika sensasi itu menjalar turun ke dadanya.
Faten menekan ciumannya sedikit lebih dalam, cukup untuk meninggalkan warna kemerahan yang perlahan berubah keunguan di kulit leher Taran. Ketika ia akhirnya menjauh, bekas itu sudah jelas.
Taran menarik napas pelan, matanya mencari mata Faten.
"Sayangku..." suaranya pecah tipis, tak tahu harus marah, tersentuh, atau menyerah pada momen itu.
Faten hanya menunduk sedikit, keningnya menyentuh bahu Taran, membiarkan suaminya tetap memegang tangannya.
Taran hampir belum sempat memahami apa yang baru saja terjadi ketika Faten tiba-tiba menegakkan tubuhnya. Dengan tinggi 190 sentimeter, ia memenuhi ruang sempit itu. Bayangannya besar, hangat, dan mendominasi. Taran yang hanya 150 sentimeter tampak semakin kecil di bawah tatapannya, seperti terselip di antara bahunya yang lebar dan lengan-lengan panjang yang mengurungnya.
Faten menatap bekas kemerahan yang baru saja ia tinggalkan di leher istrinya. Otot rahangnya mengencang. "Maaf..." suaranya rendah, kasar karena emosi yang belum tersalurkan sepenuhnya. "Itu... belum cukup."
Taran mengerjap, pipinya memerah. Tubuh mungilnya sedikit meringkuk, menutupi belahan gaun merah yang membuatnya merasa sangat disorot. Belahan tinggi di paha dan potongan d**a yang terbuka.
Faten sudah menarik Taran mendekat lagi. "Aku melihat semua pria itu menatapmu," bisik Faten, napasnya hangat di dekat telinga Taran. Nada suaranya gelap, terseret antara cemburu dan takut kehilangan. "Aku tidak suka."
Taran memerah lebih dalam. "Aku tidak..."
"Untukmu mungkin tidak," balas Faten pelan namun tajam. "Tapi untukku?" Ia mencondongkan tubuh. "Kamu memakai gaun ini... seluruh ruangan melihatmu..."
Kata-katanya membuat Taran menunduk makin dalam, kedua tangannya tanpa sadar menggenggam ujung gaun.
Saat Taran mulai gelisah, Faten merendahkan tubuh besarnya, hampir seperti menyelimuti istrinya yang mungil. Ia menempelkan bibirnya ke sisi lain leher Taran, ciumannya dalam.
Ciuman itu membuat Taran menegang. Tubuh mungilnya tersudut di antara jok dan d**a Faten, napasnya bergetar. "F-Faten... pelan... gue... malu..."
Ciuman berikutnya jatuh lebih rendah, meninggalkan warna merah gelap di kulit pucat istrinya. Tangan Taran meraih bahu Faten, agar ia tidak kehilangan keseimbangan di bawah bobot emosi pria itu.
Faten akhirnya berhenti. Dahi besarnya bersandar di pundak kecil istrinya. Dadanya naik turun, napasnya kasar, hampir seperti ia baru saja berlari.
"Maaf," ulangnya, kali ini lebih jujur. "Aku hanya... tidak tahan melihat orang lain menatapmu seperti itu. Aku butuh memastikan kamu tetap milikku."
Faten mengangkat wajahnya perlahan. Tatapannya tidak lagi hanya dipenuhi cemburu, melainkan keyakinan penuh bahwa perempuan mungil yang ada di depannya adalah miliknya. Ia menurunkan tangannya, menyentuh paha Taran yang tersingkap oleh belahan gaun merah itu.
Taran memerah sampai ke telinga, tubuhnya gemetar kecil karena malu, tetapi ia tidak menggeser tangan Faten. Ia hanya menunduk.
Faten mencondongkan tubuh, tinggi tubuhnya membuat Taran seakan tenggelam dalam bayangannya yang luas dan hangat. Ia mengusap paha istrinya sedikit lebih tinggi, cukup untuk membuat Taran terpaku dan mendongak perlahan.
"Dengar aku, Taran." Suaranya tenang, dalam, dan begitu yakin sampai Taran tidak bisa berpaling. "Kamu istriku."
Ia menatap gaun merah itu seolah benda itu sendiri telah menantangnya sejak awal.
"Gaun ini terlalu indah. Terlalu berani. Terlalu memamerkan kulitmu."
Tangan Faten meremas lembut pahanya, memastikan Taran mendengarkan setiap kata.
"Mulai sekarang, gaun seperti ini hanya boleh kamu pakai di depanku. Hanya aku yang boleh melihatmu seperti ini. Bukan pria lain. Bukan siapa pun."
Taran menarik napas gemetar, wajahnya semakin memerah dan matanya bergetar karena malu.
"Ka-kalau begitu... gue nggak boleh pakai lagi di luar?"
Faten menatapnya.
"Tidak."
Ia menyentuh sisi wajah Taran dengan tangan satunya.
"Kecuali aku di sisimu. Kecuali aku yang memegangmu. Kecuali aku yang melihatmu."
Tangan di pahanya mengencang sedikit.
"Gaun ini... tubuhmu... semua yang membuatmu begitu cantik... adalah milikku."
Taran menunduk, pipinya sudah seperti bara, lalu mengangguk kecil dengan suara nyaris tidak terdengar.
"Gue mengerti... Faten."
Faten akhirnya tersenyum tipis.
"Bagus. Karena aku tidak akan melepaskanmu."
Jari Faten terangkat, menyentuh bibir Taran dengan sangat pelan pada awalnya, seperti seseorang yang sedang memeriksa. Ujung jarinya menekan ringan bagian tengah bibir itu, membuat Taran membeku seketika. Sentuhan itu lambat, sengaja, seolah Faten ingin memastikan bibir mungil itu mengingat siapa yang menyentuhnya.
Kemudian jari itu naik sedikit, menyusuri sisi wajah, sempat berhenti di bawah tulang pipi, lalu meluncur turun mengikuti garis rahang kecil Taran, akhirnya mencapai pangkal rahang, lalu perlahan turun ke lehernya. Faten menelusuri garis lembut kulit di sana dengan tekanan yang lebih pasti, cukup membuat Taran tersentak.
"Di sini," gumam Faten pelan, jarinya masih menyusuri leher itu. "Bagian ini pun milikku."