Pagi yang masih ditutupi langit gelap, embun yang menutupi sawah. Suara ayam bergema dari kejauhan, menandakan hari telah berganti di desa yang permai. Ryan terbangun dari tidurnya, lalu menatap dirinya sejenak di cermin. Rambutnya yang berantakan, matanya terpejam sedikit sambil mengusapkan wajahnya agar ia tersadar.
Ryan membuka tirai jendela kamarnya, lalu menatap sebentar pemandangan di halaman rumahnya. Suasana yang masih gelap dan hening, namun begitu tenang. Ia menuju meja belajarnya, lalu membersihkan, merapikannya sambil mengambil foto keluarga Raini yang semalam ia temukan. Ia tersenyum samar saat melihatnya.
"Entah kenapa... aku melihat foto ini, merasakan ada sesuatu yang berbeda."
Ibunya menyajikan sarapan di meja ruang tamu untuk Ryan. Ia tidak mengeluh dengan sarapan yang telah disajikan ibunya. Wajah tua, kulit keriput, penampilan sederhana, namun ibunya masih gigih untuk bekerja. Ia adalah seorang penjahit rumahan sekaligus ibu rumah tangga dengan ketiga anaknya yang masih bersekolah. Ryan merupakan anak tertua dari keluarganya yang sederhana. Sedangkan anak kedua dan terakhir masih duduk di bangku sekolah dasar.
Ryan bergegas bersiap berangkat ke sekolah. Seragam putih abu-abu yang telah disetrika rapi oleh ibunya, yang kemudian ia kenakan. Rambutnya disisir sederhana, dan tas lusuh yang di pundaknya menjadi saksi perjuangannya selama ini.
Cahaya fajar telah terbit menjulang, ia bersiap untuk berangkat ke sekolah.
"Ibu, aku berangkat dulu ya," ucap Ryan berpamitan.
"Iya. Hati-hati di jalan ya, Nak," jawab ibunya sambil salaman pada Ryan.
Pada akhirnya, Ryan berjalan kaki menuju ke sekolahnya. Ia melewati jalan antardesa untuk sampai ke sekolahannya. Ia sambil menikmati pemandangan asri di sekelilingnya. Pepohonan yang rindang, cuacanya yang sejuk yang membuat dirinya tenang dan damai. Ia sambil melihat teman-temannya yang hendak berangkat sekolah menggunakan motor. Namun itu tidak membuat Ryan iri, melainkan ia tetap santai menjalankan aktivitasnya.
Ia tiba di sekolahnya. Ia melihat gerbang besar dengan papan namanya di atas:
"SMP Negeri 2 Kencana"
Tepat di samping sekolahnya sendiri:
"SMA Negeri 3 Kencana"
Ia melangkah masuk ke dalam sekolah. Sekolah yang begitu ramai, suara tawa, obrolan, kendaraan, dan langkah siswa-siswi yang menggema di beberapa kelas bahkan di luar kelas.
Ia tiba di kelas. Duduk di bangku bagian belakang pojok berdekatan dengan alat kebersihan kelas. Ia selalu duduk seperti itu semenjak ia masih duduk di bangku sekolah dasar, namun itu membuat dirinya tidak luput untuk memahami materi yang diberikan guru.
Bel telah berbunyi – menandakan jam pelajaran pertama akan segera dimulai. Ryan mengeluarkan buku yang akan dipelajari dari tasnya, dan mengeluarkan peralatan tulis sederhananya. Mata pelajaran yang akan di pelajari adalah matematika, sekaligus mata pelajaran favorit bagi Ryan. Ia selalu mendapatkan nilai terbaik di mata pelajaran favoritnya semenjak di bangku sekolah dasar.
15 menit berlalu, guru tiba di kelasnya sambil membawa tas dan buku di genggamannya. Pada saat mata pelajaran berlangsung, ia memperhatikan materi yang sedang dijelaskan oleh guru, lalu mengerjakan tugas yang telah diberikan setelahnya.
Bel istirahat berbunyi. Ryan hendak keluar kelas menuju keluar gerbang sekolah untuk jajan. Ia merogoh saku celananya, lalu mengeluarkan uang dari sakunya. Uang tersebut berjumlah Rp. 10.000 yang diberikan oleh ibunya. Ia menatap uang itu sekilas, lalu membelanjakan dengan harga yang terjangkau.
Pada saat itu, sesosok gadis seragam putih biru dengan kerudung putih berada di samping Ryan tempat jajan yang sama. Tatapannya masih terfokus pada jajanan yang ia beli, namun kemudian ia tak sengaja menyenggol gadis itu hendak mengambil jajanannya hingga jajanannya jatuh ke tanah
Ryan menoleh ke arah gadis itu, lalu memohon.
"Maaf... aku enggak sengaja menyenggol mu," ucap Ryan memohon.
Gadis itu menoleh ke arahnya, lalu terkejut.
"Kamu... orang yang pernah aku bertemu sebelumnya," ucap lirihnya seperti mengenal seseorang.
Ryan terdiam sejenak saat melihat gadis itu, lalu memandang gadis itu sambil mengingatnya.
"Kamu Raini kan?" tanya lirih Ryan.
Raini menatapnya, lalu tersenyum tipis.
"Iya... aku Raini," jawab pelan Raini, namun malu.
Ryan menatapnya dengan rasa takut – ia telah melakukan kesalahan padanya. Ia menggaruk kepala, seakan ia bingung untuk menebus kesalahannya.
"Maaf... aku sudah menjatuhkan jajananmu," ucapnya lirih. "Aku akan mengganti jajananmu."
Raini terdiam sebentar. Ia sekilas melihat jajanannya terjatuh di tanah.
Raini tersenyum tipis.
"Enggak apa-apa. Aku bisa membelinya lagi nanti," ucapnya pelan dan lembut.
Hati Ryan merasa tidak enak karena kesalahan yang tak sengaja dilakukan.
"Oh ya, kamu sekolah di sini juga?" tanya tiba-tiba Raini.
Ryan menoleh cepat ke arahnya.
"Iya... ini sekolahku," jawabnya sambil mengarahkan tangan ke sekolahnya.
"Berarti... sekolah kamu berdekatan dengan sekolahku," ujar lirih Raini.
Ryan terkejut saat mengetahui sekolahnya saling berdekatan dengan sekolah Raini. Ia hampir tak percaya kalau sekolah Raini berdekatan dengan sekolahnya.
"Jadi... kamu sekolah di sini juga?" tanya lirih Ryan.
"Iya..." jawab Raini. "Tadinya mamaku ingin memasuki aku di sekolahan internasional, tapi aku tidak mau masuk ke sana. Pada akhirnya, ayahku yang memasuki aku ke sekolahan ini. Supaya pulang ke rumahnya lebih dekat."
Ryan terdiam. Hatinya sedikit berdebar saat mendengarkan ucapan Raini. Ia juga merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Rasa yang sebelumnya tidak pernah ia rasakan.
Bel masuk berbunyi. Jam istirahat telah usai, para murid berlarian menuju ke dalam sekolah.
"Maaf... aku harus kembali ke kelas dulu. Nanti kita cerita lagi," ucap Raini hendak buru-buru ke dalam sekolah.
"Iya..." balas Ryan.
Ryan kembali ke kelasnya sambil menunggu jam pelajaran berikutnya. Ia termenung sejenak di pojokan, sambil memikirkan kalimat yang telah diucapkan oleh Raini.
Tadinya mamaku ingin memasuki aku di sekolahan internasional, tapi aku tidak mau masuk ke sana. Pada akhirnya, ayahku yang memasuki aku ke sekolahan ini. Supaya pulang ke rumahnya lebih dekat.
Pada saat materi dimulai, ia memperhatikannya tidak fokus karena kalimat Raini itu terngiang-ngiang di benaknya. Ia merasakan hati yang berbeda yang belum pernah ia rasakan – hati yang bergetar seperti ada panggilan jiwa untuknya.
Bel berbunyi 3 kali - jam pelajaran telah selesai, waktunya untuk pulang. Ryan melangkah menuju keluar gerbang sekolah. Pada saat melintasi sekolahnya Raini, ia berpapasan dengan Raini hendak keluar gerbang sekolah menggunakan sepedanya.
Raini melihatnya, lalu menyapanya.
"Ryan..." sahutan Raini sambil melambaikan tangan.
Ryan menoleh cepat ke arahnya.
"Raini..." jawab sahutannya pelan.
Pada saat itu, terik panasnya tengah hari, mereka tiba di sebuah warung kecil sederhana tepat di depan sekolahannya. Ryan memesan minuman dingin untuk Raini. Ia tahu sisa uang sakunya hanya cukup untuk membelikan minuman pada Raini, namun itu membuat Ryan tenang karena telah menebus kesalahannya.
"Beli es dugan satu gelas ya, Bu," ucap Ryan memesan dugan.
Ibu warung langsung membuatkannya. Tak lama kemudian, es dugan disajikan di meja mereka.
Raini melihat es dugan di hadapan, namun ia tidak melihat es dugan Ryan di mejanya.
Raini menoleh ke arah Ryan.
"Kamu tidak memesan minuman untukmu?" tanya lirihnya.
Ryan tertegun, lalu menoleh cepat ke arah Raini.
"Aku sudah minum tadi di kelas sebelum jam pulang," jawab lirih Ryan.
Raini menatapnya dengan tatapan iba. Ia merasakan ada sesuatu yang berbeda dari Ryan.
"Kalau kamu mau, kamu boleh minum punyaku," ucapnya pelan, namun iba.
Ryan terdiam. Hatinya terasa bergetar saat Raini mengucapkan itu. Ia menunduk sebentar, lalu menegakkan badannya kembali seakan ia merasakan ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
Ryan menatapnya lembut, lalu tersenyum tipis.
"Enggak usah... aku sudah banyak meminumnya tadi," balas Ryan pelan, namun gugup.
Raini terdiam. Ia melihat sikap Ryan yang berbeda dari biasanya saat ia bertemu sebelumnya. Ia sambil menyedot es dugan itu, sambil menatap Ryan yang terpaku.
"Kamu enggak apa-apa?" ujarnya pelan.
Ryan terkejut.
"Aku enggak apa-apa," ucapnya pelan.
Es dugan telah dihabiskan. Raini mengeluarkan dompet dari sakunya, lalu hendak membayar.
Ryan menoleh cepat ke arah Raini.
"Biar aku saja yang bayar," ucap tiba-tiba Ryan.
Raini tertegun sejenak.
"Enggak apa-apa... biar aku saja yang membayar," balas Raini pelan.
Ryan terkekeh, lalu mengeluarkan uang di sakunya.
"Enggak usah... biarkan aku saja yang membayar," ucap Ryan sambil memberikan uang ke ibu warung.
Raini terdiam. Ia menatap Ryan tatapan yang berbeda – tatapan tersanjung dengan segala perhatian yang diberikan olehnya.
Awan gelap menutupi langit cerah. Suasana yang berbeda dari biasanya yang kini terjadi – suasana hening, seakan ada sesuatu yang disembunyikan.
Raini menaiki sepedanya, lalu menatap ke arah Ryan.
"Aku harus pulang dulu, soalnya aku sudah di tungguin oleh mamaku," ucap pelan Raini. "Oh ya, kalau kamu mau cerita sama aku... temui saja aku ya."
Ryan terdiam sejenak. Hatinya masih berdetak kencang. Perasaan yang berbeda dari biasanya, kini ia rasakan – rasa bimbang, takut, malu dicampur menjadi satu.
Ryan mengangguk pelan, lalu menatapnya dan tersenyum tipis.
"Iya..." ucapnya singkat dan pelan.
Raini pergi dengan sepedanya, meninggalkan Ryan di warung itu.
Petang tiba, Ryan duduk di meja belajarnya. Ia mengambil sebuah foto keluarga Raini di bawah laci mejanya yang masih tersimpan olehnya. Ia menatap foto itu dengan perasaan yang berbeda yang tiba-tiba muncul darinya – rasa suka, takut, malu, yang tergabung dalam pikirannya.