Bab 1 Aku Dipecat!

1900 Words
Namaku Mu Feng. Usiaku sekarang hampir mencapai tiga puluh tahun. Aku baru saja dipecat dari tempat aku bekerja, bukan karena kesalahanku. Namun karena rekan kerjaku, Li Ning, menjebakku sehingga aku akhirnya dipecat. Aku segera pulang ke rumah ibu mertuaku dengan muram. Sebagai seorang menantu yang tinggal menumpang dengan mertua, tiap hari aku menjalani hidup yang tersiksa. Di mata ibu mertuaku, aku hanyalah pecundang miskin yang berbanding terbalik dari istriku. Aku memiliki seorang istri yang cantik bernama Mi Cai. Wanita itu termasuk dalam 500 pekerja profesional teratas di dunia. Kepribadiannya yang amat mengagumkan ditambah dengan penampilannya yang begitu anggun membuatnya memiliki banyak penggemar di mana-mana. Sebagai seorang suami dari wanita sehebat itu, aku tidak dapat berkata apa-apa karena diriku tidak hanya seorang menantu yang tinggal menumpang pada mertuanya, tetapi aku adalah seorang suami kontrak. Aku hanyalah sebuah tameng bagi wanita itu untuk melarikan diri dari pernikahan. Dengan surat kontrak yang kami setujui, aku menjadi suaminya demi membiayai pengobatan ayahku. Dalam dua tahun terakhir, penyakit ayahku menghabiskan biaya yang sangat banyak. Walaupun aku tidak pernah melihat Mi Cai mengeluh, aku dapat melihat perubahan wajah ibu mertuaku yang semakin tidak sedap dipandang mata dari hari ke hari. Kami hanya berpura-pura menjalani kehidupan sebagai sepasang suami-istri, tetapi aku tidak pernah menyentuh istri-ku selama dua tahun ini. Aku tahu pasti bahwa aku tidak layak untuk wanita sehebat Mi Cai. Dalam perjalanan pulang, aku menerima sebuah telepon dari rumah sakit, “Halo, Tuan Mu, ini Rumah Sakit Rakyat. Kondisi ayah Anda saat ini tidak terlalu baik. Beliau perlu melakukan tes lebih lanjut. Biaya tes telah dikirimkan ke ponsel Anda. Harap melakukan pembayaran tepat pada waktunya.” Saat itu, aku merasa langit nyaris runtuh. Perjalanan pulang terasa begitu lambat. Aku berjalan dengan terhuyung-huyung, tidak tahu bagaimana akan memberitahu Mi Cai dan ibu mertuaku kalau aku baru saja dipecat dan sekarang membutuhkan uang sejumlah 20.000 yuan. Saat aku sampai di depan pintu rumah, aku merasa bimbang tidak berani masuk ke dalam pintu. Aku hanya bisa memandangi langit yang sudah hampir gelap. Akhirnya, setelah sekian lama, aku memutuskan masuk ke dalam rumah dengan perasaan hancur. Aku segera mendorong pintu itu terbuka dan menemukan bahwa tak ada seorang pun di ruang tamu. Terlihat ada sedikit pergerakan di ruang kerja, mungkin Mi Cai sedang sibuk dengan pekerjaannya. Jadi, aku berjalan berjingkat-jingkat ke ruang kerja itu sembari bersiap-siap untuk mengejutkan istriku. Namun tanpa disangka, saat aku membuka pintu, terdengar suara ibu mertuaku. Wanita tua itu berteriak pada Mi Cai, “Katakan padaku, apa sih yang kamu cari? Sudah berapa tahun sejak ia datang ke rumah kita? Selain menumpang untuk tidur dan makan dari kita, apakah dia pernah melakukan sesuatu untuk keluarga kita? Awalnya, aku melihat penampilannya yang bermartabat dan menyambutnya masuk ke keluarga ini karena aku menganggapnya sebagai menantu yang dapat meningkatkan derajat keluarga kita. Hah! Nyatanya, b******n itu sekarang lebih parah! Ia bahkan tidak bisa memberi cucu laki-laki untukku! Benar-benar tidak berguna!” Suara ibu mertuaku begitu keras. Setiap kata yang wanita tua itu ucapkan bagaikan pisau yang menusuk hatiku. Ketika aku mendengarnya, aku merasa sedikit sesak napas. Sambil memejamkan mata, aku tidak bisa menahan diri dan harus menggertakkan gigi untuk membuat diriku merasa lebih tenang. Aku tidak mendengar apa yang Mi Cai katakan untuk menjawab ibunya karena aku merasa otakku sudah mati rasa. Wanita tua itu kembali melanjutkan pembicaraan, “Omong-omong, Zhang Jie baru saja kembali dari luar negeri kemarin lusa. Ia datang bertamu ke rumah kita segera setelah dia kembali. Pemuda itu sebenarnya calon menantu favoritku. Dia juga menyebut-nyebut dirimu dan bertanya bagaimana kabarmu akhir-akhir ini.” “Bu, aku sudah menikah, oke?” Mi Cai menyanggah ibunya. “Kalau begitu pisah saja. Bukankah sudah lumrah untuk bercerai zaman sekarang ini? Apakah kamu ingin menyia-nyiakan masa mudamu untuk orang tidak berguna itu? Separah-parahnya, kita hanya perlu memberinya sejumlah uang,” jawab ibu mertuaku. Mi Cai segera membalas, “Ini bukan masalah uang. Baiklah, mari kita bicarakan ini nanti lagi. Aku baru saja pulang, aku sangat capek, Bu. Nanti saja, oke?” Ibu mertuaku menggerutu, “Huh, dasar anak ini!” Aku mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekat, tetapi aku tak mampu lagi berjalan. Pintu ruang kerja terbuka, dan aku bertatapan langsung dengan Mi Cai. Wanita cantik itu tampaknya terkejut melihatku berada di depan pintu. Matanya mengerjap-ngerjap seolah ia baru saja tertangkap basah melakukan sesuatu. “Kamu sudah pulang, ayo cuci tanganmu dan makan,” ajak Mi Cai dengan acuh tak acuh. Aku menjawab sekadarnya, “Mmm,” Meskipun segala jenis perasaan memenuhi benakku, tetapi aku tidak bisa menunjukkannya. Aku merasa tidak berhak untuk menunjukkan kelemahanku. Aku tidak memiliki keberanian untuk itu. Pada kenyataannya, pernikahanku dengan Mi Cai dari awal memang sangat tidak seimbang. Wanita itu secara tidak sengaja bertemu denganku di bar karena ia ingin melarikan diri dari ikatan pernikahan. Dan aku memilih untuk bergabung dengan keluarganya karena aku ingin mengobati penyakit ayahku. Seperti yang aku bilang sebelumnya, aku tidak pernah menyentuhnya sekali pun selama dua tahun ini. Meskipun istriku adalah seorang wanita rupawan berusia 26 tahun yang memancarkan aura s*****l dari kepala sampai kaki, aku tak punya pilihan lain selain berbaring di lantai setiap malamnya dan menyelesaikan kebutuhan fisikku di kamar mandi. Kami berdua telah mendapatkan apa yang kami butuhkan, jadi kami tidak ingin saling mengganggu satu sama lain! Di meja makan, ibu mertuaku terus menerus membicarakan tentang Zhang Jie, si pria idaman wanita, pada Mi Cai ibarat Donal Bebek yang menopause dini. Pikiranku berkecamuk, memikirkan bagaimana cara memulai pembicaraan dan memberitahu mereka tentang aku dipecat dari tempat kerja dan tagihan rumah sakit ayahku. “Mi Cai, aku ingin memberitahumu sesuatu, aku-” Sebelum aku selesai berbicara, Mi Cai meletakkan sumpitnya, menggelengkan kepalanya, dan menghela napas, “Aku sedikit lelah, aku mau istirahat dulu, kalian lanjutkan saja makannya.” Mi Cai segera menghilang dari pandanganku, membuat hatiku yang cemas ini menjadi semakin tak berdaya. Seperti yang sudah diduga, tanpa keberadaan Mi Cai, ibu mertuaku semakin blak-blakan menatapku dengan pandangan yang dingin. Ibu mertuaku mendengus dingin, “Oke, bicaralah, apa yang ingin kau katakan pada Mi Cai?” “Bukan apa-apa,” jawabku sambil menundukkan kepala dalam diam. Ibu mertuaku langsung berbicara panjang, “Oke, kalau kau tidak mau mengatakannya, aku yang akan berbicara! Mu Feng, kau telah berada di rumah kami selama dua tahun! Kau tak pernah memberikan kami uang sepeser pun dan kau juga membawa ayahmu yang sekarat. Aku sudah berusaha untuk sabar denganmu selama dua tahun ini. Sekarang semuanya harus diakhiri!” Aku tercengang menatap wanita tua itu saat ia mengeluarkan perjanjian perceraian yang telah disiapkannya sejak lama. “Tandatangani ini, Mu Feng, jangan membebani anakku lagi! Hal terpenting dalam diri seorang manusia adalah mengetahui bagaimana cara menjaga dirimu sendiri saat berada dalam masalah, mengerti?” ketusnya. Harga diriku terinjak-injak seketika, aku sangat marah hingga wajahku berubah pucat. Akan tetapi, hal yang lebih parah dari itu adalah, tak ada tempat untuk menyangkal dan melampiaskan ketidakberdayaanku. Kata-kata ibu mertuaku membunuhku tanpa darah. Aku serasa sedang menunggu ajal menjemput, dikuliti hidup-hidup di tempat eksekusi dengan kata-katanya yang begitu tajam bak pisau. Aku langsung bangkit berdiri, meninggalkan ruangan itu tanpa menoleh ke belakang. Aku tidak lagi dapat merasakan kehangatan di rumah ini sedikit pun. Aku masih bisa mendengar suara ibu mertuaku yang menghinaku, “Cih, dasar orang munafik, ayo kita lihat berapa lama kau bisa bertahan! Mulai bulan depan, aku tidak akan lagi membiayai pengobatan ayahmu, kau tunggu saja dia mati! Baru tahu rasa!” Wanita tua sialan itu membanting pintunya sampai tertutup. Aku merasa dunia di sekelilingku berputar. Aku adalah seorang lelaki yang sangat tangguh. Tak peduli seberapa kejamnya kata-kata tersebut, aku masih bisa bersabar menerimanya. Namun, ketika ada orang yang menyumpahi ayahku akan meninggal, aku benar-benar naik darah. Aku benar-benar ingin sekali menampar wanita tua itu! Tak terasa, air mata mengalir dari mataku. Aku ini adalah seorang pria, tetapi saat ini, aku tidak menjalani hidup layaknya seorang “manusia”! Aku melangkahkan kakiku ke taman. Aku harus menyegarkan pikiranku untuk menemukan bagaimana caranya aku akan mengumpulkan uang untuk biaya pengobatan ayahku. Tidak peduli bagaimana caranya, aku harus bisa membayarnya. Tiba-tiba, terdengar suara notifikasi sebuah pesan teks di ponsel. Kupikir itu adalah sebuah pesan mendesak dari rumah sakit lagi. Namun saat aku membuka ponselku, aku sedikit tertegun. Pesan ini adalah sebuah pemberitahuan yang dikirim oleh ICBC (Industrial and Commercial Bank of China). Isi pesannya, [Halo, nasabah yang terhormat, rekening Anda yang diakhiri dengan nomor 749 telah menerima uang sebesar 50.000.000,00 yuan. Saldo yang tersedia saat ini adalah 50.040.000,15 yuan.] Begitu melihat isi pesannya, mataku terbelalak kaget. Napasku sedikit sesak dan lututku terasa lemas, aku belum pernah melihat uang sebanyak itu! Seketika itu juga, ponselku tiba-tiba berdering dan sebuah panggilan dari luar negeri masuk. Aku menjawab telepon tersebut dengan tubuh gemetar. “Halo, dengan siapa saya berbicara?” “Xiaofeng, apa Anda sudah menerima uangnya? Anda telah menderita selama bertahun-tahun.” Siapa orang ini? Mengapa orang ini tahu namaku? Aku dibesarkan oleh ayahku sejak aku kecil. Aku tidak memiliki saudara lain, apalagi saudara di luar negeri. “Halo, saya Mu Feng, ngomong-ngomong, apa Anda-” “Saya adalah kepala pelayan di rumah ibu Anda,” jawab orang di telepon. Saat mendengar orang ini menyebut “ibu”, hatiku bergetar. Kata itu sepertinya tidak pernah muncul dalam duniaku. Apakah aku masih menginginkan seorang ibu? Aku terdiam. Jelas aku tak dapat menyembunyikan kegembiraanku, aku hanya dapat mendengarkan orang di telepon itu berkata, “Xiaofeng, saya berada di luar negeri saat ini. Saya akan menemui Anda dalam dua hari ke depan untuk membahas hal ini secara terperinci. Semua uang itu milik ibu Anda yang berarti milik Anda. Anda dapat melakukan apa pun yang Anda inginkan. Selanjutnya, masih akan ada uang yang ditransfer pada Anda secara rutin, itu saja yang ingin saya informasikan untuk saat ini.” Aku langsung menyerbu si penelepon dengan berbagai pertanyaan, “Tunggu tunggu, di mana ibu saya? Di mana dia? Bagaimana dia bisa punya uang sebanyak itu?” Orang itu menjawab, “Saya hanya bisa memberitahu Anda bahwa ibu Anda adalah orang terkaya di Dubai.” Sebelum aku sempat bertanya lagi, teleponnya sudah ditutup. Saat itu, aku masih seperti orang linglung. Rasanya aku seperti sedang bermimpi. Orang itu bilang kalau ibuku adalah orang terkaya di Dubai? Bagaimanapun juga, menjadi kaya tiba-tiba sangatlah menggembirakan. Namun, aku tak punya waktu untuk bergembira. Jadi, aku bergegas pergi ke rumah sakit menggunakan taksi. Biaya perawatan ayah sudah lama tertunggak, aku berencana untuk memberikan perawatan yang terbaik pada ayahku terlebih dahulu. Aku langsung bergegas ke bangsal ayah dan melihatnya sedang terbaring dengan wajah kuning, kondisinya tampak sangat buruk. Ayahku tidak dapat mengatakan apa pun dengan jelas. Ia hanya bisa mengerang, “Uuuh, uuuuh, uuh!” Namun, terlihat jelas bahwa ayahku sangat gelisah. Tanpa sadar, aku menyibakkan selimut ayah, bau urin yang menusuk hidung membuatku sangat marah. Aku langsung berteriak memanggil perawat yang bertanggung jawab atas ayahku. Suaraku bergetar karena murka. Teriakanku bertambah keras tanpa kusadari. Tatapan jijik terlontar dari sejumlah tempat tidur pasien sekitar, tetapi aku sudah tidak peduli dengan apa pun lagi! “Perawat! Perawat!” teriakku sambil menaikkan volume suaraku. Suara perawat itu terdengar mengeluh, “Iya, saya datang! Ayolah, ini rumah sakit, untuk apa Anda teriak-teriak? Benar-benar tidak berpendidikan sama sekali!” Saat mengetahui bahwa suara ribut-ribut itu adalah teriakanku, si perawat wanita ini berjalan dengan santai. Semenjak ayahku dirawat dari dulu hingga saat ini, ayah selalu dipandang sebelah mata oleh wanita ini karena masalah biaya pengobatan. Kata-kata pedas dan kejam tergambar jelas di wajah perawat itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD