Bab 3

2051 Words
Sinar matahari yang merembes masuk melalui celah-celah gorden membuat manik obsidian Andre perlahan terbuka. Mengerjap beberapa kali sebelum terbuka dengan sempurna. Tangan kanannya terangkat mengusap wajah, sedikit lebih lama di bagian bawah wajah menutupi mulutnya yang menguap. Andre membuang kepala ke samping kanan, melirik jam digital yang berada di nakas di bagian kanan tempat tidur. Mengerang saat melihat angka sepuluh tertera di sana. Sudah sangat siang bagi orang-orang yang terbiasa bangun pagi, masih pagi untuknya yang terbiasa bangun siang. Dengan malas Andre bangun. Dalam hati bertanya kenapa Andra tidak membangunkannya. Biasanya adik kembarnya itu selalu membangunkannya apabila sampai jam sembilan pagi ia belum keluar kamar. Andre menyibak selimut tebal yang menutupi dari pinggang sampai kaki, menurunkan kaki, dan melangkah ke kamar mandi. Ia tak hanya mencuci muka, tapi membersihkan tubuh sekalian. Tak seperti tadi malam yang menghabiskan waktu nyaris setengah jam, kali ini tak sampai sepuluh menit ia sudah keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan selembar handuk untuk menutupi bagian intimnya. Rambut hitam yang masih menitikkan air, d*da bidang, bahu lebar dengan sebuah tato sepasang sayap kecil di punggung kanan, berpadu dengan paras rupawan dan badan proporsional. Perempuan mana pun pasti akan bersedia membayar mahal untuk bisa menghabiskan satu malam bersamanya. Andre melangkah ke arah lemari, mengambil kaus lengan pendek dan celana selutut untuk dikenakan. Ia memang biasa mengenakan itu ketika berada di rumah, berpenampilan santai, tapi tetap tak tersentuh. Andre mengenakan kausnya, menutupi tato kecil di punggung kanan. Untuk tato, mungkin nanti ia akan menambahnya lagi, tapi entah kapan ia sendiri belum tahu pasti. Beberapa minggu belakangan ini ia sangat sibuk, jadwalnya sedikit lebih padat dari biasanya. Kemarin sore saja ia baru kembali dari puncak setelah satu minggu menghabiskan di villa mewah milik Tante Vera. Si pemilik villa yang membayar jasanya. Andre berdecak, kesal pada dirinya yang tak pernah bisa mencari pekerjaan lain yang lebih layak. Ia bahkan meninggalkan bangku kuliah hanya agar bisa berkonsentrasi pada pekerjaan sialannya ini –selain karena faktor tidak ada biaya. Ia memilih untuk berhenti dan terjun secara profesional pada pekerjaan yang digelutinya saat ini. Membiarkan Andra terus mengecap pendidikan. Cukup salah satu saja di antara mereka berdua yang tercemar, jangan keduanya. Itu yang diinginkannya dulu. Seandainya Andra juga tidak ikut-ikutan terjun ke dunia hitam sana sepertinya. Andre menggeleng pelan, ia gagal menjaga saudara kembarnya. Kepala yang tertunduk kembali terangkat setelah beberapa detik. Andre melihat pantulan dirinya di cermin. Ia begitu sempurna, tampan, dan menggiurkan. Mata hitam yang tajam terlihat serasi dengan alis tebal dan bibirnya yang berwarna merah muda alami. Ia bukan seorang perokok. Meskipun bergelut di dunia penuh kemaksiatan, ia tetap menjaga kesehatan. Semua yang ada di tubuhnya adalah aset yang sangat penting. Aset yang harus dijaga kebersihan dan kesehatannya. Dengan kesempurnaan yang melekat padanya, tidak heran kalau ia menjadi primadona di kalangan para wanita haus kasih sayang. Para wanita yang menggunakan jasanya biasanya akan kembali menghubungi sebulan atau enam minggu kemudian. Tentu saja dengan bayaran dan bonus yang lebih besar. Andre mendengkus menyadari betapa tak berharganya dirinya. Setiap wanita, asalkan mereka memiliki uang yang banyak, mereka bisa membelinya. Betapa rendah dirinya yang menjadi b***k nafsu wanita-wanita itu. Andre sadar kalau dirinya sangat kotor, tapi ia selalu berusaha mengabaikan. Ia selalu menghibur dirinya dengan mengatakan pada dirinya sendiri kalau ia bisa membeli apa pun yang ia mau dengan uang hasil dari pekerjaannya itu. Ia juga berusaha meyakini kalau nasib setiap manusia sudah diatur oleh penciptanya. Bunyi ponselnya memaksa Andre meninggalkan lemari dan menghampiri nakas untuk memeriksa benda tipis persegi panjang itu. Satu pesan dari Andra menghiasi layar ponselnya. Lu udah bangun belum, Bang? Gue udah masak enak Cepat turun kita sarapan bareng. Gue nggak mau sarapan kita berubah jadi makan siang Tak ada senyum di wajah Andre membaca pesan itu. Berniat membalas pun ia tidak, hanya membaca sekilas kemudian memasukkan ponsel ke saku celana. Ia akan turun untuk sarapan mereka yang sudah sangat terlambat. Andra memang memiliki satu kebiasaan buruk. Tidak akan mau makan tanpa dirinya, meskipun kelaparan Andra akan tetap menunggunya. Tidak ada alasan apa-apa yang khusus, Andra hanya mengatakan kalau makan sendiri itu sangat tidak enak. Kalau di dalam kandungan Mama mereka bersama dalam melakukan segala hal, kenapa sekarang dia harus makan sendiri? Alasan yang menggelikan memang, tapi sejak kecil Andra tidak berubah. Kecuali saat dirinya sedang ada pekerjaan. Saat sendirian di rumah mau tak mau Andra juga nakan seorang diri, atau mungkin dia makan bersama kekasihnya yang seorang penjual bunga itu. "Akhirnya lu nongol juga." Kata-kata itu dipadu dengan senyum riang Andra menyambutnya di meja makan. Andre tidak menghiraukan, ia langsung duduk di kursinya, menarik sepiring berisi nasi goreng untuk dirinya. Aroma yang mengepul dari nasi goreng yang masih panas membuat cacing-cacing di perutnya menjerit meminta jatah. Tanpa bicara, Andre mengambil segelas air dingin yang ia yakin memang untuknya –ia terbiasa minum air putih sebelum makan– kemudian melahap sarapan buatan Andra. Diakuinya kalau Andra memang jago memasak, masakannya enak. Ia sebenarnya juga bisa memasak, tapi sejak sibuk dengan pekerjaan yang sangat menguras tenaga ia jadi melupakan kebiasaan itu. Andra yang lebih sering membuat makanan untuk mereka. Mungkin Andra tahu kalau dirinya kelelahan setelah bekerja. "Lu ngambil libur nggak, Bang?" Andra kembali mencoba mengajak saudara kembar berbicara. Entah kenapa sangat sulit bagi Andre untuk mengeluarkan suara. Semakin lelah Andre semakin tidak mau berbicara. Namun, meskipun seperti itu ia dapat memahami semuanya. Mungkin karena mereka selalu bersama sejak di dalam kandungan sehingga ia dapat memahaminya. "Atau pergi kerja lagi besok kayak kemaren." Kemaren yang dimaksud Andra di sini adalah satu minggu yang lalu. Baru satu hari berada di rumah Andre sudah pergi lagi, katanya ada klien lagi yang membutuhkan jasanya. Rasanya sangat menyebalkan, waktu kebersamaan mereka semakin berkurang. Apalagi setelah tahu Andre menerima permintaan klien itu hanya agar dirinya tidak bekerja. Andra sadar fisiknya lebih lah dari Andre, tapi ia tak ingin selalu dilindungi. Andre tidak perlu memaksakan diri hanya untuknya. "Nggak." Hanya satu kata dan itu cukup bagi Andra untuk mengembuskan napas lega. Berarti Andre akan lebih banyak di rumah minggu ini. "Berapa lama?" tanyanya setelah menelan sesendok nasi goreng yang tadi memenuhi mulutnya. Tak ada jawaban, Andre hanya mengedikkan bahu. Ia paling tidak suka saat makan berbicara, sementara Andra sebaliknya. Bukan hanya saat makan saja, Andra memang selalu berisik di mana pun ia berada. "Nggak cuman beberapa hari, 'kan, Bang?" Andre mengabaikan pertanyaan itu. Biasanya ia tidak akan menanggapi sampai Andra merengek meminta jawaban. Namun, kali ini Andre terpaksa memberi tanggapan. Ia menghentikan kunyahannya dan langsung menelan mendengar ucapan Andra. "Karena gue ada pekerjaan." Bukan hanya berhenti mengunyah, Andre juga meletakkan sendok dan garpu ke atas piring. "Seharusnya dari kemaren, tapi karena lu belum pulang jadi gue tolak. Tadi pagi dia ngubungin gue lagi, minta gue buat nemenin dia di villa." Andra terus berbicara tanpa memedulikan perubahan wajah saudara kembarnya. Ia sadar Andre marah, dari tatapannya yang seperti ingin menguliti hidup-hidup itu tergambar jelas. Namun, ia tidak mau selalu mengandalkan Andre, ia tak ingin terus-terusan menjadi benalu sementara Andre terus mencari nafkah untuk mereka berdua. Ia juga ingin berguna. Selama ini, meskipun ia juga sudah terjun ke dunia yang digeluti Andre, tapi kakak kembarnya itu masih membatasi. Dalam sebulan maksimal ia hanya boleh bekerja dua kali, atau sekali kalau klien lama mengontrak, seminggu misalnya. Sungguh, baginya itu tidak adil, baik bagi Andre maupun bagi dirinya. Ia ingin mereka bekerja bersama, bergandengan tangan mencari biaya untuk hidup mereka, bukan hanya berada di belakang Andre. Ia memang tidak sekuat Andre. Pernah ia sakit sepulang dari bekerja, demam karena kelelahan setelah Tante Desi mengurungnya selama sepuluh hari di apartemen mewah perempuan kaya itu. Sejak saat itu Andre selalu membatasinya, tak pernah membiarkan ia mengambil pekerjaan lebih dari dua kali dalam sebulan. "Berapa lama?" Andra menggigil tanpa sadar mendengar pertanyaan dengan nada yang sangat dingin itu. ia nyaris tersedak kalau terlambat menelan sedetik saja. Cepat Andra mengambil gelas berisi air putih di depannya, meminum isinya langsung setengah gelas. Tatapan tajam dan suara dingin Andre membuatnya harus menahan napas. "Katanya dua minggu...." "Fvck!" Bukan pertama kali Andre menyumpah, bukan pertana kali juga dia marah. Namun, Andra tidak pernah merasa setakut ini pada saudara kembarnya itu. Wajah memerah dan rahang yang mengetat jelas bukan pertanda kalau Andre tengah kesal biasa, tapi Andre sedang dalam keadaan benar-benar marah. "Ta-tapi kita nggak terus-terusan di ranjang, kok, Bang." Andra menatap pemuda yang memiliki wajah sama persis dirinya dengan takut-takut. Mereka kembar identik, memiliki bentuk tubuh dan tinggi badan yang sama. Tidak ada perbedaan di antara mereka kecuali wajah Andre yang selalu dingin dan tak pernah tersenyum. Senyum mengejek sekalipun tidak pernah. "Gue tau!" bentak Andre yang membuat Andra berpikir dua kali untuk bersuara lagi. "Kalo dua minggu terus di ranjang, pulang-pulang lu langsung lumpuh!" Andre mendengkus kuat. Mengepal merasakan hawa panas yang keluar dari hidungnya saat ia membuang napas. Tak pernah rasanya ia semarah ini. Bisa-bisanya Andra mengambil pekerjaan selama itu. Dua minggu bukan waktu yang sebentar. Selama itu di villa bersama Tante Desi, apa yang akan terjadi pada Andra setelah pulang nanti? Tante Desi itu seorang pengidap hypersex, ia pernah beberapa kali melayaninya. Hanya seorang yang memiliki stamina kuat yang mampu mengimbangi kegilaan wanita itu di atas ranjang. Andra menundukkan kepalanya. Ia tak menyangka kalau wajah yang sama persis dengannya bisa terlihat semengerikan itu saat sedang marah. Selama ini ia tidak pernah marah, pada siapa pun. Ia selalu memandang positif semua hal. Kalau Andre sangat sering, biasanya hanya kesal, dan itu pun sudah membuat wajahnya yang dingin jadi semakin membeku. Sekarang, Andre marah –dalam artian yang sebenarnya– wajah tampan serupa wajahnya itu terlihat seperti malaikat pencabut nyawa. "Tante Desi itu mengidap hiperseks, Ndra. Emang lu bisa ngimbangin dia?" tanya Andre. Suaranya sudah tidak setinggi tadi. Wajahnya juga sudah sedikit mengendur, ketegangan berkurang. Urat-urat lehernya yang tadi menonjol sudah tidak kelihatan lagi. Andra mengangkat kepala, tatapannya bertemu dengan tatapan Andre yang masih sana, dingin. Hiperseks? Benarkah itu? Kenapa ia baru tahu? Tapi, tak masalah, ia yakin pasti bisa mengimbangi dan memuaskan salah satu klien tetap Andre itu. Ia seorang yang profesional sama seperti saudara kembarnya. Omong-omong soal klien tetap, Andre tidak marah karena hal itu bukan? Tak ingin penasaran, Andra menanyakan pada kakak kembarnya, tapi sebelumnya ia mengangguk menjawab pertanyaan Andre. "Bang, lu marah bukan karena Tante Desi klien tetap lu, 'kan?" tanya Andra takut-takut. Sungguh, untuk bertanya seperti ini, ia mengumpulkan seluruh keberanian yang dimiliki. Andre menatap lurus tepat di mata yang serupa matanya. Menggeram tertahan menahan amarah yang kembali siap untuk meledak. Bagaimana mungkin Andra bisa memiliki pikiran seperti itu? Ia tidak peduli mengenai pelanggan tetap ini, baginya semua sama asalkan mereka memberinya uang yang banyak. Tidak ada masalah klien tetap atau apa pun. Lagipula ia akan tetap melayani mereka sebaik mungkin. Semakin tinggi mereka membayar, semakin ia berusaha memberikan pelayanan terbaik. "Lu nggak senang dia milih gue?" Seolah tidak melihat kemurkaan di wajah Andre, Andra terus bertanya. Andre mengepalkan tangannya kuat. Sungguh, Andra masih terlalu polos untuk terlibat dengan dunia yang digelutinya. "Jujur, gue lebih suka Tante Desi milih orang lain," sahut Andre dengan suara yang tidak berubah. Masih dapat membuat Andra menggigil tanpa sadar. "Gue nggak peduli sama yang namanya klien tetap atau apa, bagi gue yang penting dia ngebayar gue maka gue akan layani dia. Yang gue peduliin itu kesehatan lu, Ndra." Hari Andra mencelos mendengarnya. Namun, perlahan dadanya menghangat. Tak seharusnya ia meragukan saudara kembarnya. Andre adalah tipe orang yang akan berkorban apa saja untuk orang lain, terutama dirinya. Bukan hanya dadanya saja yang terasa hangat, tapi Andra juga merasakan hal yang sana di kedua matanya. Ia berkaca-kaca. "Gue nggak apa-apa, Bang," ucap Andra serak. "Gue yakin bisa ngimbangin Tante Desi." Ia tersenyum, mengusap air matanya menggunakan punggung tangan. Andre berdecak. Selalu seperti ini. Andra selalu menangis setiap kali mereka menyinggung masalah kesehatannya yang sedikit lebih rentan darinya. Andra terlalu perasa menurutnya. "Gue udah gede, Bang, bukan anak kecil lagi yang dulu sakit-sakitan." Andra tertawa disela tangisnya. "Gue udah sembuh, dan itu semua karena lu. Sekarang gue udah bisa bantu lu. Lu istirahat aja, dua minggu ini biar gue yang kerja." Andre mengembuskan napas kuat melalui mulut. Kalau sudah seperti ini, ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Andra akan tetap melakukan keinginannya meskipun dihalangi. Mereka sama keras kepalanya. "Boleh gue minta satu hal sana lu, Bang?" tanya Andra serak. Andre tak menyahut. Ia hanya memberikan tatapan bertanya pada Andra. "Tolong lu jagain Cinta, cewek gue, selama gue kerja."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD