BAB 2

2216 Words
Aditya Putra Bagaskara atau biasa dikenal dengan nama panggilan Adit merupakan seorang Direktur muda di perusahaan properti Bagaskara. Salah satu perusahaan properti terbesar di Indonesia yang dimiliki oleh keluarga Bagaskara. Tak ada seorangpun yang meragukan kemampuan dan prestasi Adit dalam dunia bisnis. Di usianya yang masih cukup muda Adit telah berhasil mengembangkan bisnis keluarganya hingga ke Asia dan Eropa. Wajah Adit sering muncul di layar televisi dan majalah-majalah bisnis sebagai sosok pebisnis muda yang berprestasi dan menginspirasi banyak orang untuk mengikuti jejaknya. Namun kesuksesan Adit di dunia bisnis tak sejalan dengan kesuksesannya dalam kehidupan pribadi. Di usianya yang tahun ini mencapai umur 28 tahun, Adit masih betah sendiri dan belum tertarik untuk membina rumah tangga. Padahal banyak wanita yang suka kepadanya, mulai dari rekan bisnis wanitanya, anak kolega bisnisnya dan ayahnya, atau wanita-wanita yang ia temui dalam acara perusahaan maupun di luar perusahaan. Wajahnya yang sangat tampan ditunjang dengan tubuh atletis dan penampilannya yang selalu menawan membuat Adit digilai banyak wanita. Tak jarang para wanita itu mendekati Adit untuk menarik perhatiannya. Tapi semua hal yang dilakukan mereka tak membuat Adit tertarik pada salah satu wanita itu. Adit justru tak suka pada wanita yang terlalu tergila-gila dan mengejar-ngejar pria yang disukainya. Menurut Adit sikap mereka seperti w************n, semurah wanita-wanita penghibur yang berada di klub malam yang sering dikunjunginya. Adit bukanlah pria baik-baik yang tidak mengenal dunia malam. Sejak ia kuliah di luar negeri, klub malam sudah menjadi salah satu tempat favorit langganannya. Adit sering mengunjungi klub malam bersama sahabatnya, Rama, untuk melepas penat setelah seharian kuliah maupun sekedar bersenang-senang bersama teman-teman mereka yang lainnya. Kebiasaan itu tidak pernah hilang dalam hidupnya hingga kini ia kembali menetap di Jakarta. Adit masih sering datang ke klub malam setelah pulang kerja maupun pada saat weekend. Seperti malam ini, Adit kembali datang ke klub malam yang telah menjadi langganannya di Jakarta. Dia sudah janjian dengan Rama untuk bertemu dengannya di sana. Sahabatnya itu baru kembali setelah melakukan perjalanan bisnis ke Bali selama dua minggu. Adit memarkirkan mobilnya di depan klub malam bertuliskan ‘STAR NIGHT’. Dia sudah terlambat dari jam yang dijanjikannya pada Rama karena meeting yang dihadirinya baru berakhir tadi. Rama sudah menunggu dirinya di klub malam ini sejak satu jam lalu. Suara dentuman musik yang bercampur dengan teriakan pengunjung di dance floor menyambut Adit saat ia memasuki klub mlam ini. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang minim cahaya ini untuk mencari keberadaan sahabatnya. Adit berjalan kearah meja bar yang berada di sebelah kanan ruangan saat melihat Rama melambaikan tangan kearahnya. “Sorry gue telat, Ram,” kata Adit menepuk pundak Rama dan duduk di bangku sebelahnya. Dia kemudian melambaikan tangan kepada bartender dan memesan minuman untuk dirinya. “It’s oke. Gue tahu lo orang yang sangat sibuk,” kata Rama memaklumi. Sejak Adit menjabat sebagai Direktur muda di perusahaan keluarganya, dia menjadi orang yang sangat sibuk dan sulit untuk ditemui. Terlalu banyak pekerjaan dan acara yang dihadiri Adit membuat Rama kesulitan jika ingin bertemu dengannya. “Ya beginilah kerjaan gue sekarang. Kalau bukan tumpukan kertas yang menggunung di depan meja kerja gue untuk dipelajari dan ditandatangani, ya gue harus menemui klien-klien penting perusahaan untuk melakukan kerja sama bisnis,” sahut Adit sambil menyesap minuman pesanannya yang telah diantarkan oleh sang bartender. “Kepala gue rasanya mau pecah menghadapi rutinitas yang sama setiap harinya,” keluh Adit kemudian. Rama terkekeh mendengar keluhan yang dilontarkan sahabatnya itu. Aktivitas kerja Adit yang hanya seputar tumpukan berkas-berkas dan pertemuannya dengan klien-klien penting perusahaan memang sangat membosankan menurut dirinya. Beruntung profesinya sebagai arsitek membuat Rama lebih banyak bekerja di lapangan untuk mengawasi dan mengontrol perkembangan pembangunan proyek yang sedang dikerjakan perusahaannya. Hanya sesekali dia datang ke kantor untuk membuat desain permintaan klien. “Gimana urusan lo di Bali, Ram?” tanya Adit menatap sahabatnya ingin tahu. Dari cerita yang didengar Adit sebelum Rama berangkat ke Bali, terdapat masalah pada proyek pembangunan hotel yang berada di sana. Sahabatnya ini ditugaskan ke Bali untuk meninjau dan menyelesaikan masalah yang terjadi di sana agar pengerjaan proyek pembangunan hotel tersebut tidak terhambat dan bisa selesai tepat waktu. Sepertinya masalah yang dihadapi sahabatnya ini cukup serius mengingat Rama berada di Bali selama dua minggu lamanya, padahal biasanya dia hanya memerlukan waktu beberapa hari saja untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di proyek. “Masalahnya udah kelar sekarang. Ternyata mandor proyek di sana membawa kabur uang yang akan digunakan untuk membayar material. Beruntung perusahaan mengetahui masalah ini lebih awal hingga dapat bertindak lebih cepat dan tidak terjadi keterlambatan pengiriman material di lapangan. Gue lama di Bali karena harus mengusut kasus ini dan melaporkan mandor proyek itu ke pihak berwajib. Sekarang dia sudah mendekam dibalik jeruji besi dan tinggal menunggu proses hukum selanjutnya,” cerita Rama sambil sesekali menyesap minuman miliknya. “Kenapa mandor proyek itu membawa kabur uang pembayaran material?” tanya Adit, penasaran. Setahu Adit para mandor yang dipekerjakan di perusahaan Rama telah di gaji dengan nominal yang sesuai dengan kinerja mereka. Rasanya mustahil jika mereka sampai kekurangan uang hingga berbuat nekat dengan membawa kabur uang perusahaan. “Buat senang-senang sama istri mudanya. Gila nggak tuh? Padahal istri pertamanya lagi hamil gede. Anaknya udah tiga masih kecil-kecil semua.” Rama menggelengkan kepala tak percaya mengingat alasan sang mandor saat diinterogasi polisi. “Ya begitulah tingkah laku orang zaman sekarang. Mereka rela menghalalkan segala cara demi mendapatkan kesenangan mereka sendiri tanpa memedulikan kerugian yang diakibatkan olehnya,” kata Adit menimpali. “Iya, gue kasihan lihat istri pertamanya. Dia nggak tahu kalau suaminya punya istri lagi dan sekarang suaminya itu malah harus berurusan dengan pihak kepolisian untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah dia lakukan,” ujar Rama. Dia merasa miris dengan tingkah laku orang tak bermoral seperti itu. Bukan hanya menyakiti hati istri dan anak-anaknya saja tapi dia juga telah mempermalukan seluruh keluarga besarnya dengan perbuatan yang telah dilakukannya. “Selamat malam, Tuan-Tuan,” suara seorang pria menginterupsi pembicaraan Adit dan Rama. Mereka berdua menoleh dan melihat Ronald, pemilik klub malam ini, berdiri di belakang mereka dengan senyum lebarnya bersama kedua pengawal setianya. Adit mengangkat sebelah alisnya mempertanyakan kehadiran Ronald diantara mereka. “Apa Tuan-tuan tidak ingin ditemani seseorang? Saya mempunyai beberapa wanita yang bisa menemani kalian melewati malam di tempat ini,” kata Ronald berbasa-basi pada keduanya. Rama menggeleng menjawab pertanyaan Ronald. “Malam ini gue lagi nggak mood ditemani sama mereka,” ucapnya menatap malas wanita-wanita berpakaian seksi dan terbuka yang berada di sudut ruangan. Rama bisa melihat tatapan nakal para wanita itu yang ditujukan kepadanya dan Adit. “Elo, Dit, mau coba salah satu dari mereka?” tanya Rama mengalihkan pandangannya pada Adit yang asyik menyesap minumannya. “Gue nggak berminat dengan wanita bekas seperti mereka,” ucap Adit acuh tak acuh. Adit memang sering datang ke klub malam dan minum minuman keras, tapi tak pernah sekalipun dia bermain dengan wanita-wanita penghibur yang selalu ada di sini. Terkadang mereka dengan terang-terangan menghampiri dirinya dan menggodanya, tapi Adit selalu menolak mereka dengan tegas. Menurutnya mereka ibarat barang bekas yang tak layak dipakai lagi oleh dirinya. Kejam? Memang begitulah penilaian Adit tentang wanita-wanita penghibur yang suka menjajakan tubuhnya di tempat ini. Bukannya tergoda, Adit malah merasa muak melihat penampilan dan perilaku mereka yang tampak murahan dimatanya. Ronald menipiskan bibirnya mendengar penilaian Adit tentang wanita-wanita penghibur yang berada di klub malam miliknya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Adit tak pernah mau ditemani salah satu dari mereka. Dan malam ini Ronald bertekad untuk membuat Adit mau ditemani salah satu wanita penghibur miliknya. “Anda tak perlu khawatir, Tuan, saya memiliki satu orang wanita yang baru datang malam ini. Saya bisa pastikan dia masih gadis dan belum pernah disentuh oleh siapapun. Anda akan menjadi orang pertama yang menyentuhnya jika Anda mau, Tuan,” kata Ronald tak menyerah. “Wow... masih fresh, Dit,” komentar Rama tampak tertarik mendengar ucapan Ronald. “Gue nggak peduli,” sahut Adit acuh. Baginya mereka semua sama saja, entah masih fresh ataupun sudah kadaluarsa. “Bagaimana jika Anda melihatnya lebih dulu, Tuan? Saya yakin Anda tak akan kecewa,” kata Ronald masih berusaha membujuk Adit. Adit sudah akan menjawab pertanyaan Ronald tapi kalimatnya tertahan mendengar ucapan Rama. “Lihat orangnya dulu aja, Dit, kalau lo nggak tertarik biar dia buat gue. Gue ingin merasakan rasanya memerawani seorang gadis, biasanya gue selalu dapat yang udah bekas,” kata Rama yang sudah bisa menebak penolakan Adit terhadap tawaran Ronald. Adit mendelik menatap Rama. Sahabatnya ini dari dulu memang tak pernah berubah. Setiap datang ke klub malam Rama pasti akan mencari wanita untuk menemaninya minum, bahkan terkadang dia membawa mereka ke ranjang untuk menikmati malam panas bersama. Adit sudah mengingatkan Rama untuk berhenti melakukan hal itu, tapi dia masih sering mengulanginya lagi. Bukan apa-apa, Adit hanya takut Rama tertular penyakit dari salah satu wanita itu. Pasalnya mereka tak bisa memastikan para wanita itu bebas dari penyakit setelah disentuh oleh banyak pria di klub malam ini. “Santai, bro, sekali-kali lo perlu bersenang-senang dengan mereka supaya hidup lo nggak monoton,” kata Rama menepuk pundak Adit. “Selain minuman, wanita juga merupakan hiburan yang paling ampuh untuk menyegarkan otak kita kembali.” “Itu buat lo, kalau buat gue mereka hanya akan menambah pusing kepala gue aja,” timpal Adit tak setuju. Rama menaikkan sebelah alisnya. “Lo belum pernah mencobanya, kan? Lo nggak akan tahu rasanya sebelum lo mencobanya sendiri. Nggak semua wanita penghibur seburuk yang lo pikirkan, Dit.” “Lo pikir gue percaya dengan omongan lo setelah melihat tingkah laku lo saat bersama mereka di depan mata kepala gue sendiri?” ucap Adit menatap Rama sinis. Mereka berdua memang tak pernah sejalan jika berurusan soal wanita. Rama dengan gaya hidup bebasnya yang bergonta-ganti wanita untuk dibawa ke ranjang, sementara Adit yang selalu memegang prinsip untuk tidak menyentuh wanita manapun yang ia temui di klub malam. “Lo bisa buktikan perkataan gue malam ini juga. Lo nggak mau yang bekas, kan? Kebetulan Ronald punya wanita yang masih fresh dan belum terjamah oleh siapapun. Lo bisa menilai sendiri omongan gue benar atau nggak,” tantang Rama pada sahabatnya. Selama ini Adit selalu memegang teguh prinsipnya dan tak pernah tergoda dengan wanita-wanita yang mendekati dirinya, kali ini Rama ingin tahu apakah Adit masih bisa memegang prinsipnya itu saat berduaan dengan wanita yang masih lugu di dalam kamar. “Baiklah, bawa wanita itu ke kamar. Gue akan menemuinya disana,” kata Adit menerima tantangan dari Rama. Ronald yang sejak tadi hanya menyimak perdebatan kedua orang itu tersenyum lebar mendengar persetujuan Adit. Dengan sigap dia menjawab permintaan Adit. “Tentu saja, Tuan. Saya akan membawakan wanita itu khusus untuk Anda. Anda bisa menghabiskan minuman dan menyelesaikan obrolan Anda terlebih dahulu sebelum salah satu pengawal saya mengantarkan Anda ke kamar,” kata Ronald antusias. Tidak sia-sia dia menghampiri Rama dan Adit malam ini. Dia bisa membuat Adit menerima tawarannya untuk menghabiskan malam bersama salah satu wanita penghibur miliknya walau dengan campur tangan dari Rama.   oOo   Nisa menatap pantulan dirinya pada cermin besar di hadapannya. Kaos lengan panjang dan rok panjang yang dikenakannya telah berganti menjadi dress mini super ketat dengan belahan d**a rendah dan panjang dress yang hanya mencapai setengah pahanya saja. Sementara wajahnya telah dipoles make-up yang sangat tebal hingga ia tidak mengenali dirinya sendiri. Penampilannya kini sudah seperti w************n yang berada di klub malam ini. ‘Kenapa Paman tega melakukan hal ini pada Nisa?’ jerit Nisa dalam hati. Nisa menghapus air mata yang terus mengalir di pipinya dengan kasar. Hatinya hancur menangisi nasib buruk yang menimpanya. Dia tak habis pikir Paman Ahmad yang telah ia anggap sebagai ayahnya sendiri tega berbuat sejahat ini kepadanya. Nisa diharuskan melayani pria-p****************g yang berada di klub malam ini. Jika dia tak mau melakukannya maka Ronald dan anak buahnya akan menyiksanya. Dia juga tak bisa kabur dari tempat ini jika tak ingin keluarga Paman Ahmad celaka di tangan anak buah Ronald. Handphone, dompet dan semua barang-barang miliknya disita oleh mereka hingga Nisa tak bisa menelepon sahabat-sahabatnya untuk meminta bantuan. Walau Paman Ahmad telah berbuat jahat kepadanya, tapi Nisa tetap tak bisa membiarkan keluarga Pamannya itu dalam bahaya. Nisa sangat menyayangi mereka, terlepas dari perbuatan sang Paman yang telah menyakiti hatinya. Ceklek. Nisa mengalihkan pandangannya saat mendengar suara pintu yang dibuka. Dia menoleh dan melihat salah satu pengawal Ronald yang membawanya ke tempat ini berjalan kearahnya. “Bos Ronald memintaku untuk menjemputmu. Ayo!” perintah laki-laki itu saat tiba dihadapan Nisa. “Kemana?” tanya Nisa, menundukkan kepalanya. Dia sangat malu dengan penampilannya saat ini. Jika boleh Nisa ingin mengurung dirinya di ruangan ini semalaman agar tak ada laki-laki yang memandangnya dengan tatapan lapar seperti tatapan mata pria dihadapannya kini. “Kamu harus melayani tamu VIP kita malam ini. Dia memintamu menunggu di sebuah kamar.” DEG. Nisa terpaku mendengar ucapan pria bertubuh kekar di hadapannya ini. Apa secepat ini dia harus melakukan tugasnya? Nisa belum siap untuk kehilangan kehormatan dan harga dirinya sebagai wanita. “Ayo!” Laki-laki itu berjalan keluar ruangan terlebih dahulu mendahului Nisa. Dengan langkah berat Nisa berjalan mengikutinya. Pandangan matanya terus menunduk menatap setiap langkah kaki yang ditapakinya. Nisa merasa tak nyaman dengan penampilannya sekarang. Belum lagi pandangan mata orang-orang yang menatapnya dengan intens saat ia berjalan melewati mereka. Hati Nisa remuk redam memikirkan apa yang akan terjadi dengan dirinya setelah ini. Sekuat tenaga dia menahan air mata yang akan menetes dari kedua sudut matanya.   oOo
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD