BAB 3

2242 Words
Adit memasuki sebuah kamar yang telah disiapkan Ronald untuknya. Tubuhnya sedikit limbung karena terlalu banyak minum minuman keras bersama Rama di bar tadi. Dia melihat seorang wanita berpakaian mini dengan belahan d**a rendah telah duduk di pinggir ranjang dengan kepala menunduk. Adit berdecak kesal. Hanya melihat penampilannya saja sudah membuat ia muak.  Adit berjalan menghampiri wanita itu dengan sempoyongan. “Siapa nama lo?” tanya Adit setelah berdiri di hadapannya. “Ni-nisa, Tuan,” jawab wanita itu dengan suara bergetar. Dia mendongakkan kepalanya dan bertemu pandang dengan tatapan tajam Adit. DEG. Adit terpaku. Pandangannya mungkin sedikit kabur karena pengaruh alkohol yang terlalu banyak dikonsumsinya, tapi dia masih bisa melihat kecantikan dan kepolosan yang terpancar dari raut wajah wanita di hadapannya. Untuk sesaat Adit merasa terpesona melihatnya. Sementara Nisa masih terpaku menatap Adit. Dia tak menyangka tamu VIP yang dimaksud anak buah Ronald masih cukup muda dan memiliki wajah yang sangat tampan. Awalnya dia mengira orang yang akan ditemuinya adalah seorang pria paruh baya dengan kepala botak dan berwajah m***m. Tapi, ternyata semua itu tidak sesuai bayangannya. Pria yang berdiri di hadapannya kini memiliki tubuh yang proporsional dengan garis wajah yang tegas. Tatapan matanya sangat tajam hingga mampu menghujam hati Nisa yang terus berdetak kencang sejak kedua mata mereka bersitatap. Pakaian yang dikenakan Adit tampak kusut dan berantakan dengan dua kancing teratas yang sudah terlepas dari lubangnya dan lengan kemeja yang digulung hingga ke siku. Namun semua itu tak mengurangi kadar ketampanan dalam dirinya. Jantung Nisa berdetak kencang saat melihat Adit mendekatkan wajah kearahnya. Dia bisa mencium aroma alkohol yang sangat menyengat dari mulutnya. “A-apa yang akan Anda lakukan, Tu-tuan?” tanya Nisa dengan suara terbata. Seumur hidupnya baru kali ini ia berdekatan dengan seorang laki-laki dengan jarak yang sangat dekat hingga dapat merasakan hembusan nafasnya di wajahnya. “Menurut lo apa yang biasanya dilakukan laki-laki dan perempuan yang berduaan di dalam kamar seperti ini?” tanya Adit dengan suara pelan namun terdengar jelas di telinga Nisa. “Sa-saya tidak ta-tahu, Tuan,” jawab Nisa gugup. “Benarkah?” Adit memicingkan mata tak percaya. Dia yakin wanita di hadapannya ini tidaklah sepolos yang ditampakkannya. Nisa merupakan seorang wanita penghibur di klub malam ini, dia pasti tahu apa yang akan dilakukan mereka di kamar ini tanpa perlu bertanya. Nisa hanya mengangguk menjawab pertanyaan Adit. Kepalanya kembali menunduk saat melihat pandangan mata Adit mengamati tubuhnya dari atas kepala hingga ujung kaki. Nisa sangat malu ditatap sedemikian instens oleh Adit. Adit tiba-tiba mendorong tubuh Nisa hingga berbaring di ranjang. Kedua tangannya menahan tangan Nisa di kanan-kiri kepalanya. Sementara tubuh Adit merangkak naik keatas tubuh Nisa untuk mengunci pergerakannya. Nisa yang mendapat serangan mendadak dari Adit hanya bisa diam dengan jantung yang berdetak sangat kencang. Nafasnya semakin tak beraturan saat wajahnya hanya berjarak dua senti dari wajah Adit. “Ternyata kalau dilihat dari dekat seperti ini wajah lo cantik juga,” komentar Adit, menatap intens wajah Nisa. Nisa masih belum bereaksi, tapi pandangan matanya tampak waspada mengamati setiap pergerakan Adit. Posisinya saat ini sangatlah tidak menguntungkan. Dia tak bisa menggerakkan tangan dan tubuhnya karena dihimpit badan Adit yang cukup besar di atas tubuhnya yang mungil. Adit masih menatap intens wajah Nisa. Dia penasaran dengan perkataan Rama yang mengatakan bahwa seorang wanita bisa membuatnya menyegarkan kembali otak yang sedang penat. Tangan Adit kemudian terulur menelusuri wajah Nisa dengan jarinya, mulai dari kening, mata, hidung, pipi dan terakhir bibir Nisa. Bibir yang berpoles lipstik berwarna merah menyala itu seakan menantangnya untuk dicium. “Tuan...” Nisa mulai bersuara saat tatapan mata Adit tak lepas dari bibirnya. “Adit... Nama gue Adit,” ucap Adit menyebutkan namanya sendiri. Dia semakin mengikis jarak diantara wajahnya dan wajah Nisa hingga bibir mereka bersentuhan. Nisa membelalakkan matanya saat merasakan bibir Adit bergerak di atas bibirnya. Dia membuka mulutnya untuk berbicara, tapi suaranya malah terbungkam oleh ciuman Adit yang semakin dalam dan menuntut. Awalnya Adit hanya ingin menyentuh bibir Nisa saja, tapi ternyata dia malah tergoda untuk melumatnya. Kelembutan dan rasa manis yang dirasakan Adit dari bibir Nisa membuatnya tak ingin menghentikan lumatannya. Dia bahkan memasukkan lidahnya ke dalam mulut Nisa yang terbuka, membungkam segala kata yang akan diucapkan oleh Nisa. Nisa mulai memberontak. Dia berusaha mendorong Adit dari atas tubuhnya. Tangannya yang terbebas dari cengkraman Adit memukul lengan dan bagian tubuh Adit yang bisa dijangkauannya agar ciuman mereka terlepas. Adit melepaskan ciuman mereka saat merasakan oksigen mulai menipis dalam paru-parunya. Dia menatap Nisa yang juga tampak kehabisan nafas. Bibir merah yang tadi diciumnya kini tampak membengkak dengan lipstik yang belepotan dan air liur yang membasahinya. Ini bukanlah ciuman pertama bagi Adit, tapi dia merasakan sensasi yang berbeda saat mencium bibir Nisa. Jantungnya berdetak sangat kencang dan bibirnya seakan tak mau berhenti mencium dan melumatnya. Entahlah... Pengaruh alkohol sepertinya telah membuat otaknya tidak waras sekarang. Adit merasa belum puas hanya dengan mencium bibir Nisa. Dia ingin merasakan setiap jengkal tubuh Nisa dengan bibirnya. “Tuan...” suara Nisa bergetar merasakan hembusan nafas Adit dalam ceruk lehernya. Dia masih berusaha mendorong tubuh Adit yang tak bergeser sedikitpun dari atas tubuhnya. Nisa tidak ingin Adit melakukan hal yang lebih jauh lagi pada dirinya. Tapi Adit sepertinya tak peduli dengan penolakan Nisa. Dia menelusuri leher Nisa dengan bibirnya, sesekali dia menghisap dan menggigit leher Nisa hingga meninggalkan bekas merah di kulitnya. “Aah...” Nisa tak bisa menahan desahannya saat merasakan pagutan bibir Adit di sekitar leher dan dadanya. Dia juga merasakan tangan Adit bergerak menyentuh bagian tubuhnya yang lain. “Tu-tuan, ja-ngan,” dengan suara terbata Nisa menahan tangan Adit yang akan melepaskan pakaiannya. Air mata kini mengalir membasahi wajahnya. Adit tak bisa mengontrol dirinya lagi. Kabut gairah tampak berpendar dalam matanya. Sesuatu di dalam tubuhnya terasa bergejolak. Dia ingin segera menuntaskan hasratnya. “Jangan, Tuan. Saya mohon,” ucap Nisa semakin terisak. Adit berhasil melepaskan pakaian yang membalut tubuh Nisa. Matanya menatap tubuh polos di hadapannya dengan penuh gairah. Nisa tak bisa melawan. Kekuatannya tak sebanding dengan kekuatan yang dimiliki Adit. Hanya air mata yang mewakili betapa hancur hatinya saat ini. Kesucian yang selama ini dijaga dengan baik oleh Nisa harus direnggut paksa oleh seorang pria yang tidak di kenalnya. Bahkan dia melakukannya dalam keadaan mabuk.   oOo   Tidur Adit terusik oleh suara tangisan seseorang di sampingnya. Dia mengerang pelan memegang kepalanya yang berdenyut sakit. Semalam dia minum terlalu banyak hingga membuat dirinya mabuk dan— Adit membuka matanya saat kilasan kejadian semalam berkelebat dibenaknya. Dia menoleh dan melihat seorang wanita duduk meringkuk di sebelahnya dengan tubuh yang terbungkus selimut. Suara tangisnya terasa mendominasi kesunyian pagi di kamar ini. “Gue akan menunggu lo di sini, Dit. Jika dalam waktu satu jam lo nggak kembali lagi ke sini, gue anggap lo sedang menikmati kebersamaan lo dengan wanita itu,” perkataan Rama sebelum ia menemui Nisa di kamar ini kembali terngiang di kepalanya. Adit mengusap wajahnya gusar. Tak dapat dipungkiri jika semalam dia sangat menikmati tubuh Nisa. Baru kali ini Adit tak bisa menahan hawa nafsunya hingga membuatnya lepas kendali. Adit bahkan melanggar prinsip yang telah dibuatnya untuk tidak menyentuh wanita manapun yang ia temui di klub malam, terutama wanita penghibur yang selalu menggodanya. Tapi Adit ingat semalam Nisa tidak menggodanya, justru dia yang merasa tergoda hanya dengan sekali mencium bibir Nisa. “Kenapa Tuan melakukannya?” tanya Nisa disela isak tangisnya. Dia menyadari Adit sudah bangun dari tidurnya. Nisa terbangun dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Apalagi di bagian kewanitaannya yang semalam telah dikoyak oleh Adit. Nisa merasa hidupnya sudah hancur saat ini. Tak ada lagi yang bisa ia banggakan dalam dirinya setelah kehormatan dan harga dirinya sebagai seorang wanita telah direnggut paksa oleh Adit. Adit tidak menjawab pertanyaan Nisa. Dia akan menganggap kejadian semalam sebagai suatu kekhilafan karena terlalu banyak minum minuman alkohol. Adit segera bangkit dari tempat tidur dan mulai memakai pakaiannya. Dia harus segera pergi dari tempat ini jika tak ingin terlambat datang ke kantor. Nisa yang tidak mendapat jawaban dari Adit mulai menatapnya. Dia memperhatikan Adit yang telah berpakaian lengkap dan sedang mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan dari dalam dompetnya. Adit kemudian menaruh uang itu diatas tempat tidur di sebelah Nisa. Nisa yang menyadari Adit akan pergi dari tempat ini segera menahan lengannya. “Tolong jangan tinggalkan saya, Tuan,” pinta Nisa dengan tatapan memohon. Adit memandang lengannya yang dipegang oleh Nisa. Dia memicingkan mata menatap Nisa. “Apa bayaran lo masih kurang hingga lo nggak membiarkan gue pergi dari sini?” tanyanya sinis. Nisa menggelengkan kepala dengan tangis yang masih tersisa. Ada rasa sakit di hatinya saat mendengar perkataan Adit barusan, tapi dia sadar itu merupakan bagian dari tugasnya sebagai wanita penghibur di klub malam ini. “Tolong keluarkan saya dari tempat ini, Tuan. Saya berjanji akan melakukan semua perintah Tuan jika Anda mau mengeluarkan saya dari sini,” kata Nisa memohon. Ini satu-satunya kesempatan bagi Nisa agar bisa keluar dari tempat ini. Walaupun dia harus menyerahkan hidupnya pada Adit, tapi menurutnya itu lebih baik daripada dia harus menghabiskan sisa hidupnya dengan menjadi wanita penghibur di klub malam ini. Air mata terus mengalir membasahi wajah Nisa. Dia berharap Adit mau mengabulkan permintaannya. Walau mereka baru bertemu semalam dan belum saling mengenal, tapi Nisa memiliki keyakinan bahwa Adit bukanlah orang jahat seperti Ronald dan anak buahnya. Adit tercengang mendengar permintaan Nisa. Dia segera menghempaskan tangan Nisa dari lengannya dengan kasar. “Lepas! Apa lo selalu bersikap seperti ini pada semua laki-laki yang meniduri lo, hah?” bentak Adit marah. Nisa menggeleng. “Tidak, Tuan. Tuan laki-laki pertama yang menyentuh saya,” jawab Nisa dalam isaknya. Wajahnya menunduk tanpa berani menatap Adit. Adit terdiam. Dia bisa melihat bercak darah di sprei tempat tidur mereka yang membuktikan bahwa Nisa benar-benar masih perawan sebelum Adit menyentuhnya. Dia juga ingat semalam Ronald mengatakan bahwa Nisa baru datang ke klub malam ini. “Tolong bawa saya pergi dari tempat ini, Tuan. Saya nggak mau terus berada di sini dan dipaksa melayani nafsu laki-laki yang berbeda setiap malamnya,” ucap Nisa penuh permohonan. Nisa tak bisa membayangkan kelanjutan hidupnya jika terus berada di tempat ini. Bila Adit tidak mau membantunya keluar dari sini, mungkin dia lebih memilih bunuh diri daripada harus melayani nafsu laki-laki hidung belang yang berada di klub malam ini setiap malamnya. Adit masih terdiam ditempatnya berdiri. Batinnya tengah berperang saat ini. Jika menuruti logika, Adit tidak mau mengabulkan permintaan Nisa yang sangat tidak masuk akal baginya. Bukankah sudah menjadi tugasnya sebagai wanita penghibur untuk melayani laki-laki yang berada di tempat ini? Mengapa dia memilih bekerja di sini jika tidak mau melakukan semua itu? Apakah dia hanya ingin memanfaatkan dirinya saja? Tapi sebagian kecil hatinya merasa tidak rela jika Nisa disentuh oleh laki-laki lain selain dirinya. Dia juga merasa iba mendengar tangisan Nisa yang sejak tadi belum berhenti. Adit menatap Nisa yang masih terisak diatas tempat tidur dengan tubuh bergetar di balik selimut yang membungkusnya. “Gue nggak bisa bawa lo pergi dari sini,” ucap Adit setelah lama terdiam. Dia tak mau mengambil resiko yang akan merugikan dirinya sendiri jika ia membawa Nisa keluar dari tempat ini. DEG. Hati Nisa seakan dihantam palu saat mendengar jawaban Adit yang tidak sesuai dengan harapannya. Kesempatannya untuk bisa keluar dari tempat ini telah musnah seiring dengan langkah kaki Adit yang berjalan meninggalkan kamar ini tanpa menoleh lagi kepadanya. Nisa menangis tersedu-sedu. Tangannya meremas selimut yang menutupi tubuh polosnya untuk mengurangi rasa sesak yang menghantam dadanya. Sekali lagi Nisa harus meratapi nasib buruk yang menimpanya. Tak ada seorangpun yang bisa ia mintai tolong untuk membawanya pergi dari tempat ini.   oOo   Adit melajukan mobilnya meninggalkan klub malam ‘STAR NIGHT’ menuju apartement yang sudah ditempatinya selama dua tahun terakhir ini. Dia harus membersihkan diri dan mengganti pakaiannya terlebih dahulu sebelum berangkat ke kantor. Adit sudah memberitahu sekretarisnya bahwa dia akan datang terlambat hari ini. Beruntung pagi ini tidak ada jadwal meeting yang harus dihadirinya. Berkali-kali Adit menghela nafas panjang. Hatinya merasa tak nyaman semenjak keluar dari kamar dan meninggalkan Nisa sendirian di sana. Bayangan wajah Nisa yang menangis tersedu-sedu masih terngiang di kepalanya. Dia mulai ragu apakah keputusan yang telah diambilnya tadi sudah benar atau belum. Adit mengalihkan pikirannya saat mendengar suara nada dering ponselnya. Dia mengambil handphone dari saku celananya dan melihat nama Rama tertera di layar smartphone itu. “Hai, bro, udah bangun lo?” sapa Rama saat Adit mengangkat panggilan telepon darinya. “Hhmm... Nggak usah basa-basi. Ngapain lo telepon gue pagi-pagi, Ram?” tanya Adit to the point. Adit bisa mendengar suara tawa Rama di ujung sana sebelum dia berkata, “gue hanya penasaran apa yang lo lakukan semalaman dengan wanita itu. Apa lo berhasil menjebol gawangnya?” “Bukan urusan lo,” sahut Adit ketus. Perkataan Rama barusan membuatnya kembali mengingat malam panas yang telah dilakukannya bersama Nisa semalam. Dan hal itu membuat Adit kembali memikirkan Nisa yang masih menangis saat ia meninggalkannya sendirian di kamar itu. “Ayolah, Dit, gue benar-benar penasaran ingin dengar cerita dari elo. Semalaman gue nggak bisa tidur membayangkan apa yang lo lakukan dengan wanita itu di dalam kamar. Gue yakin wanita itu berhasil menggoda lo, mengingat lo yang nggak kembali lagi dalam waktu satu jam yang telah kita sepakati.” Rama mengungkapkan isi kepalanya panjang lebar. Adit menghela nafas panjang. Saat ini suasana hatinya sedang buruk dan tak ingin diganggu oleh ocehan sahabatnya. “Gue nggak ada waktu buat cerita ke elo, Ram. Sekarang gue udah terlambat datang ke kantor. Bye.” Adit langsung mematikan sambungan teleponnya dengan Rama tanpa menunggu jawaban darinya. Dia yakin di seberang sana Rama sedang menyumpahinya karena menutup telepon secara sepihak.   oOo
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD