bc

AL, bukan EL

book_age18+
77
FOLLOW
1.3K
READ
HE
curse
stepfather
sweet
cheating
like
intro-logo
Blurb

Jatuh cinta kepada El membuat Qiya yang polos melawan orang tua. Namun, setelah Qiya hamil, El mengkhianatinya dan Qiya berakhir menjadi istri Alfarisi.

Al tampan dengan dua lesung pipinya. Dia perfeksionis, tapi kehidupannya tak lagi sempurna semenjak bertemu El, hingga yang tersisa darinya hanya dendam dan keinginan untuk menghancurkam kehidupan El, termasuk merebut Qiya, calon istri El.

Di belakang Qiya ada rahasia, dendam, dan cinta di antara Al dan El. Apa yang akan Qiya lakukan setelah mengetahui bahwa segalanya hanyalah manupulasi mereka?

Cover by Canva _ Miyak Seya

chap-preview
Free preview
Tanpa Restu
“Ada kata-kata terakhir?" "Tidak." "Kamu bahkan tak meninggalkan pesan terakhir." "Aku tau. Aku mau begitu. Pergi, tanpa jejak." "Ya, begitu lebih baik." "Ayo!" "Ayo!" "Apa rasanya akan sakit?" "Kamu hanya akan mati, tak akan merasa sakit," monolog Qiya sebelum mengakhiri hidupnya. "Benar begitukah?" tanya terdengar. Aku berbalik cepat. Seorang laki-laki berdiri tepat di depanku. Hembusan angin kencang meniup gamisku seolah mendorongku ke jurang di belakang. Dia, secara tak diminta menarik tanganku agar berdiri lebih mantap. "Jadi, saat kita memutuskan untuk mati, seseorang seperti muncul dalam diri kita sendiri sebagai teman terakhir? Kudengar kamu berbicara seorang diri, bercakap dengan dua nada seolah teman lain berbicara. Kematian sendiri memang sedikit sepi." "Setiap kematian pasti sendiri, sekalipun sedang terjadi bencana kepada lebih dari satu nyawa," jawabku meluncur begitu saja. Senyumnya tercetak, menampilkan lesung pipi di kedua sisi wajahnya. "Masih sangat bijak untuk orang yang setengah menit lalu berencana melompat dari sini." Dia berjalan hingga ujung sepatunya berada di udara, tepat di atas jurang jembatan yang sedang di tutup. "Kurasa benar. Jatuh dari sini hanya akan membuatmu mati tanpa rasa sakit. Kamu berencana mati di sini?" "Ya." "Begitupun aku." Dia mengangguk sesaat lalu menatap dasar jurang tanpa terlihat takut. "Apa masalahmu?" tanya kami tak terencana meluncur bersama-sama. "Wah! Sepertinya kita perlu bicara." Lelaki dengan lesung pipi itu tersenyum lagi, kemudian menarik tanganku menjauh dari bibir jurang. "Daripada kamu mati, lebih baik selamatkan hidupku. Hidup kita berdua." *** Dua bulan sebelumnya. [Mudah-mudahan Allah mudahkan.] Qiya membalas pesan singkat itu dengan tanda hati. Semua harapan mereka baik. Sepanjang jalan menuju rumah Mbak Hira, Qiya dipenuhi perasaan berdebar. Saudarinya seperti biasa, selalu menantikan Qiya pulang akhir pekan untuk menikmati keindahan dan suguhan banyaknya variasi makanan di Kota Pangkal pinang. Meski jauh perjalanan yang ditempuh, Qiya hampir terbiasa dengan semua jadwal akhir pekannya yang menyenangkan. Bekerja jauh dari pusat Kota dan harus menetap Senin sampai Sabtu untuk rutinitas kerja di perkebunan sawit yang jauh dari pemukiman warga. Qiya harus berkubang dalam kehidupan kompleks, dengan ibu-ibu rumah tangga yang kurang kerjaan dan pergaulan. Harapan Qiya adalah restu. Semudah restu yang dulu diberikan ketika Mbak Hira akan menikah. “Coba kamu renungkan, apa pengorbanan yang dilakukan dia untukmu?” Jeda sesaat. Qiya hanya bisa mendengarkan sambil menimbang jawaban untuk masalah pelik ini. “Gak ada, Qi!” Mbak Hira melanjutkan, menatap ke luar pintu dapur yang terbuka. “Mak sama Bapak bukan ngelarang kamu nikah, Cuma ingin kamu bahagia dengan pilihan yang baik. Itu aja.” Qiya mendengar semua kalimat saudari satu-satunya. Telinganya jadi panas dan hatinya serasa diremas. Baru sekali ini sepanjang hidup dua puluh enam tahun Qiya merasakan jatuh cinta dan berbalas perasaan. Hanya karena kekasihnya bukan berasal dari Pulau yang sama, Mak Bapak tak mau merestui hubungan mereka. “Kalo gak ngerestui ... ya dari awal ditolak, Mbak. Jangan anak orang udah berjuang malah dikecewakan gini.” Mbak Hira dengan cepat menoleh dan menghujam mata penuh kekecewaan kepada Qiya, “Siapa yang nolak?! Sebelumnya Mak Bapak udah terima dia kok. Tapi dia-nya malah ngilang gitu aja.” Qiya cukup terpojok, air mata hampir melesak keluar. “Ya gimana mau jelasin, kalo solusinya gak ada, Mbak.” “Seenggaknya dia datang, Qi.” Mbak Hira merendahkan suaranya, melembut dengan nada yang berisi perihatin. “Minta maaf sama Mak Bapak kalo belum bisa lanjutin rencananya itu. Ini, kayak gini ... gimana Mak Bapak harus jawab kalo saudara-saudara yang udah tahu kabar kalian mau nikah nanya. Katanya habis lebaran, sekarang setelah lebaran gak ada lagi datang ke rumah.” Qiya diam. El, kekasih yang dimaksud memang tak berani menampakkan wajah karena malu. Dirinya memang pemalu, ditambah dengan semua rencananya yang berantakan, pastilah dia serasa tak mau lagi hidup di dunia. Qiya pun merasa begitu. Merasa sendirian di dunia tanpa satu orang pun yang bisa memahami perasaan dan keinginannya. “Kan bukan keinginan dia juga, Mbak. Ibunya masuk rumah sakit dan perlu biaya.” Raut jengkel tergambar jelas di wajah Mbak Hira. Padahal beliau biasanya ramah dan baik hati dalam setiap keadaan, kecuali saat ini. “Entahlah. Mbak gak tau dia bohong atau memang benar itu yang terjadi. Yang jelas Mak sama Bapak minta Mbak untuk nyampain kalo mereka gak bisa kasih restu kalian buat nikah.” “Kalo pendapat Mbak pribadi, gimana?” Mbak Hira membuang napas, “Mbak bukan mau bela Mak Bapak. Tapi kalo nikah tanpa restu itu bakalan sulit, Qi. Kita perempuan bukan laki-laki. Perempuan kalo sekali menikah statusnya janda, apalagi ada anak dan tugas mengurus setelahnya. Jangan sampe kamu disia-siain cuma karena cinta yang gak bertanggungjawab.” Qiya diam lagi dari pada memancing lebih banyak pembicaraan. Ia tak mau mendengar ceramah kakaknya lebih lama. Mbak Hira tak akan paham perasaan Qiya yang sekarang. Terpojok dan tak bisa memilih jalan lain. Qiya sudah sangat mencintainya. Elgar. Dia memang sejak awal tak disukai Bapak karena berasal dari luar Pulau. Sedangkan Mak, hanya ingin menikahkan Qiya dengan anak temannya. Banyak alasan mereka untuk menolak calon pilihan itu. Karena Qiya sarjana, Qiya harus menikah dengan laki-laki yang punya pendidikan juga dan kalau bisa langsung kaya setelah menikah. Siapa juga yang mau hidup susah, tapi bagaimana kalau beginilah nasib yang ditentukan Tuhan untuk Qiya. Qiya berpura-pura melihat jam dan terkejut, “Qiya pulang dulu, Mbak. Udah lewat asar ini.” “Iya. Hati-hati di jalan, Qi. Mbak bukan mau ngedikte kamu. Kami semua mau yang terbaik buat masa depan kamu.” Qiya membatin, Qiya juga ingin hal itu. Itulah yang tengah Qiya kejar. Itu yang Qiya rasa akan dimilikinya bersama El. “Coba kamu tanyai teman-teman kamu yang udah nikah. Gimana kalo mereka nikah tanpa restu orang tua. Dicoba aja ambil pendapat objektifnya. Semoga Allah mudahkan, Qi.” Qiya melemparkan senyum sebisanya. “Aamiin. Makasih, Mbak.” Qiya pulang dengan gerimis menyertai. Dan tetap saja dilajukan kendaraan sekalian hujan bisa menyamarkan air mata yang mengalir tak hentinya. Qiya dipenuhi kekecewaan. Semua orang seolah menganggapnya dibutakan cinta dan rupa saja. Mereka tak tahu bertapa indah dan manisnya perasaan yang hadir saat bersama El. Mereka tak akan paham nikmatnya diperjuangkan sekuat tenaga oleh yang tercinta. Selama ini Qiya berusaha sendiri, pedih, sakit dan semua derita Qiya nikmati sendiri, kini saat ia ingin bahagia dengan pilihannya, mereka seolah tameng penghalang antara Qiya dan kebahagiaan. Padahal mereka adalah keluarga dan orang-orang yang sangat Qiya sayangi. *** Seperti biasa, Senin hari kerja. Qiya duduk di kursi dengan komputer menyala. Sesaat kemudian pesan masuk di ponselnya. [Apa kabar gembira yang kamu bawa kemarin?”] Qiya tak membalasnya. Sengaja. Karena bukan hal yang menggembirakan yang kemarin didengar Qiya. Mbak Hira sebagai juru bicara Mak Bapak secara jelas menginginkan calon suami baru untuk Qiya. Entah benar itu keinginan Mak Bapak atau karena Mbak Hira itu sendiri tak suka dengan El. Mbak Hira sejak awal saja sudah tak suka El meskipun belum bertemu langsung dengan orangnya. Mbak Hira memang tak suka laki-laki perokok dan lalai salat. Maklum, dia punya suami paling sempurna di seluruh jagat raya. Bahkan, Mak Bapak sering kali membanggakan keberhasilannya mendapatkan Mas Hamka sebagai suami. [Sibuk ya? Maaf. Aku kangen banget sama kamu.] Qiya kesal dengan El. Qiya kesal dengan keluarganya dan Qiya juga kesal dengan dirinya sendiri. Coba seandainya El mau sukarela datang minta maaf kepada Mak Bapak atas lamarannya yang belum bisa dilanjutkan. Coba seandainya orang tua Qiya itu berpendidikan dan terbuka dengan manusia lainnya dari selain Pulau Bangka sebagai jodoh putrinya. Coba seandainya, sejak awal aku tak pernah mencoba-coba memberinya kesempatan untuk mendekat. Di mana salahnya menikah dengan orang yang tak berasal dari Pulau ini?! “Bu Qiya? Halo!” Qiya terlonjak karena seseorang yang tersenyum horor di depannya. “Saya udah dari tadi nungguin Ibu sadar.” “Ada perlu apa, Pak?” tanya Qiya tajam. “Enggak. Saya cuma mau liat Ibu aja. Kayaknya saya kangen deh sama Ibu.” Rasanya ingin muntah mendapat gombalan dari laki-laki paling aneh, horor dan tak disukai satu perusahaan. “Lagi apa, Pak?” tanya Pak Deli yang baru masuk, atasan Qiya kepada tamu aneh ruangan mereka hari ini. “Lagi rindu, Pak,” jawabnya santai. Suara tawa sambil menggeleng Pak Deli memecahkan keheningan. Padahal beliau biasanya cukup serius. Dia menepuk pundak lawan bicaranya, “Apa boleh buat. Rindu tak bisa diselesaikan selain bertemu.” “Terima kasih banyak pengertiannya, Pak.” Sudah mual, tapi tak bisa muntah. Padahal kalau saja Qiya bisa memuntahkan sisa-sisa sarapan mie instan pagi tadi, pasti itu akan mengusirnya jauh pergi. “Salam sayang dari saya untuk Ibu Qiya. Sampai berjumpa lagi, Cinta.” Pulpen yang sedang Qiya pegang hampir saja mendarat pada bola matanya. Tuhan, tunjukkanlah jalan yang lurus untuknya. Buat dia sadar akan keadaannya yang memprihatinkan, batin Qiya meratap. “Pak El gak cemburu ya, Bu?” “Apa yang mau dicemburuin dari orang aneh semacam Pak Dodo itu, Pak?!” Pak Deli mengerucutkan mulutnya. “Siapa tau Ibu bisa ngerubah Pak Dodo jadi Pak Dodi.” Kepalaku memutar ingatan tentang Pak Dodi. Yang sama saja anehnya dengan Dodo. Bedanya Pak Dodi sudah berhasil menikah dan jadi kebanggaan istrinya kepada ibu-ibu kompleks. “Yang istrinya baru melahirkan itu?” “Iyap! Seaneh-anehnya laki-laki, yang paling dibutuhkan itu tanggung-jawab bukan hal serupa fisik atau rayuan.” Dari yang bisa Qiya ingat, El, kekasihnya, dia bertanggung jawab. Absennya tak pernah datang terlambat dan jarang ada masalah kalau dia yang sedang bertugas. Qiya kembali melanjutkan pekerjaan daripada ingat sakit hati yang terasa karena sulitnya mendapat restu orang tua. *** Baru saja merebahkan tubuh di atas kasur ketukan pintu terdengar. Jarak rumah ini ke rumah inventaris lainnya berdempetan. Qiya kadang kesulitan membedakan tamu yang mengetuk pintu rumahnya atau rumah sebelahnya. Sampai suaranya jelas memanggil nama Qiya, barulah ia bangkit dari pembaringannya. ”Qi, ini aku.” Qiya segera mengenakan jilbab. Syukurlah tadi ia belum sempat melepas pakaian kerjanya. “Ada apa?” Dia seperti tersenyum. “Ke mana aja sih? Aku hubungi kok gak dibalas, Qi?” Dia, El. Laki-laki tinggi yang teramat sangat Qiya cintai. Sesaat Qiya luluh lagi. Meskipun ia salah karena mengabaikan El tetap berkata lembut dan menampilkan senyuman. “Qi?” tanya El lagi. “Sementara aku gak mau kita bertemu dan saling kontak.” El tampak terkejut dengan kalimat Qiya. “Kenapa? Ada apa sebenarnya?” “Aku hanya ingin menemukan jodoh lain selain kamu, El.” “Qi?” Matanya mencari jawaban Qiya. “Kenapa? Orang tua kamu gak setuju ya?” tanyanya pelan. Qiya mengangguk. Entah benar atau salah, mereka hanya tak mau punya menantu yang bukan berdarah Bangka atau yang keluarganya tak menetap di Bangka atau yang bukan pekerjaannya sejenis pegawai negeri yang akan bermukim di Bangka dalam waktu lama. Mereka hanya ingin Qiya terikat di Bangka bersama mereka. “Oh, gitu.” El berbalik. “Ya udah. Aku balik, ya.” Rasanya tak nyaman. Qiya seperti manusia paling tak punya hati di dunia. El tak menoleh lagi, Qiya pun tak memanggilnya kembali atau mencegahnya pergi. Qiya hanya ingin sendiri dulu. [Qi, maafin aku, ya. Bukan aku gak cinta. Bukan aku gak perjuangin kamu. Maafin aku, Qi.] Qiya melepas ponsel setelah membaca pesan El. Qiya pikir kepalanya akan meledak, tetapi tangisnya yang malah melesak.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

My Secret Little Wife

read
98.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook