Setelah keputusan sebelah pihak itu dia menarik tanganku dan sedikit menyeretku. Aku memukul tangannya dan berusaha melepaskan diri. Dia tidak bisa begitu saja semaunya terhadapku. "Hei! Sinting!"
"Sayang." Dia memamerkan wajah sumringah, "Panggil begitu."
"Lepasin aku!"
"Tambahkan tag di belakangnya. Sa-yang."
"Lepasin!"
"Belum kedengeran."
Tidak bisa terus begini. Aku duduk di pasir, menambah beban agar dia kesulitan menyeretku, tapi malah tubuhku yang kemudian di gendongnya.
"Kamu gak berat."
Aku melompat turun segera. "Kamu gila ya?!"
"Aku rasanya ingin menjadikanmu istri dan jatuh cinta padamu. Kamu pasti tak akan mengecewakanku seperti dia."
Aku rasanya akan gila kalau lama-lama di dekatnya. Aku mundur menjauh secara perlahan agar tidak dicurigai. "Jangan mendekat!" kataku pelan, penuh peringatan sambil menodongkan tangan diantara kami.
Dia malah maju dengan mata memancarkan senyum geli yang anehnya begitu memesona. Tuhan, tolong aku. Sepertinya kewarasanku sendiri perlu dipertanyakan. Keinginan untuk mati itu hilang, sekarang yang aku lakukan hanya berlari darinya. Sayangnya, dia berhasil menangkapku dan sekali lagi memaksakan ciuman kepadaku. Bodoh. Sungguh bodoh. Ciuman keduaku dicuri orang gila dan pemaksa. Yang sama saja tak menyenangkan seperti kehilangan yang pertama.
"Kamu tau, satu-satunya perempuan yang pernah membuatku merasakan sebergairah sekarang, hanya kamu. Ayo, antar aku temui orang tuamu."
Tuhan, jangan kejam padaku. Aku minta dikirimkan penolong, bukan orang gila.
Dia menautkan jemari pada tanganku, menenangkan dengan cara yang sama sekali tak bisa kumengerti. "Tadi kamu berencana bunuh diri? Sekarang, hiduplah untukku. Anggap saja dirimu yang sebelumnya sudah mati."
Kalimat itu seperti mantra sihir. Tatapannya, senyuman dan genggaman hangat tangannya. Semuanya mencerahkan udara seperti pelangi yang tiba setelah hujan reda.
"Apa matraku berhasil? Kamu tiba-tiba diam."
Tapi mustahil kuturuti kemauannya. Aku masih waras. Aku yakin sekali tak ada yang salah dari kinerja otakku. Kami tak saling kenal. Bahkan, kalimat-kalimat yang diucapkannya serupa orang dengan gangguan jiwa. Tak jelas. Tak bermakna dan tak ada artinya. Aku menamparnya atas penculikan, ciumanku yang berharga, atau kelancangannya yang begitu banyak.
"Yah, ini kenyataan. Rasanya sakit," katanya mengusap pipi sendiri.
Sedetik aku merasa perasaan bersalah. Sungguh janggal. Setelah apa yang terlewati beberapa saat terakhir. "Kamu kenapa sih?! Kita baru ketemu beberapa menit yang lalu."
"Ya, kan? Aku juga gak ngerti kenapa bisa jadi gini. Pokoknya, nikahin aku. Kamu harus tanggung jawab karena buat aku jadi gini." Dia melipat tangan di d**a. "Ke mana sikap keren, berwibawa dan memesona yang aku punya setelah bicara denganmu? Jangan-jangan kamu ini yang penyihir?!"
"Kayaknya kamu ini pasien sakit jiwa deh. Ya, kan? Ngaku!"
"Hanya sakit hati, jiwaku lebih kuat daripada hatiku. Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Masa gitu aja gak tau?"
Sudahlah. Aku lelah. Dia memang mungkin bukan manusia asli planet Bumi. Siapa pun dia, pastinya lebih baik daripada menjadi tajuk utama koran dengan kisah miris memalukan. "Kalau menikah denganmu, hanya demi menjaga nama baik keluarga. Bisa?"
"Bisa."
Aku mengamatinya dari ujung kaki hingga kepala sekali lagi, sekilas. "Bisa kamu terlihat lebih normal?"
"Aku normal, Nona! Tolong buka matamu dan lihat bagian mana aku yang tidak normal?!" tantangnya dengan tangan terbuka. "Memalukan sekali."
Aku tertawa. Bayangan mencampakkan El dengan alasan laki-laki ini pasti sangat bisa dimaklumi. Setidaknya secara fisik dia lebih daripada El. Dan, keluargaku beranggapan aku tergila-gila pada El karena fisiknya semata. Jadi...
"Aku serius. Entah kenapa, aku gak marah kamu bilang hal-hal yang merusak harga diriku. Kenapa aku jadi begini?!" serunya mirip frustrasi menengadah ke langit mendung di atas.
"Orang tuaku pasti menolakmu kalau begini caramu bicara untuk melamarku," sahutku kembali merasakan situasi yang harusnya kuhadapi lebih serius.
"Mari kita coba dulu."
"Sebaiknya kamu sungguh-sungguh ketika melamarku. Anggap saja seperti kalau kamu melamar dia yang selingkuh itu."
Dia mengangguk. "Kamu kerja?"
"Rencananya akan resign." Benar. Aku memang berniat resign waktu Mbak Hira mengabarkan kalau Mak Bapak tak merestui kami, kemudian hal itu terjadi, yang membuatku harus kembali berharap keseriusannya menikahiku.
"Kalau kita nikah, aku gak mau nafkahin kamu. Lahir, apalagi batin."
"Aku juga gak minta!" balasku sengit. Rasanya sangat rendah diri kalau sampai meminta dinafkahi olehnya. Dia orang asing. "Gak akan pernah aku minta kamu nafkahin aku!" tambahku menegaskan dengan jelas.
Al mengangguk, "Apa begini kamu berkata padanya agar dia tidak menyentuhmu?"
Aku terperangkap. Menjawab sama saja dengan mengakui kebodohan diri sendiri. Aku perempuan yang sehari-hari mengenakan gamis dan jilbab dengan sempurna menutup d**a, tapi kesucianku malah tak terjaga, bahkan aku sedang mengandung tanpa status seorang laki-laki yang bisa kupanggil suami. Aku malu. Rasanya tepat seperti ditelanjangi.
Al membuang tatapan dari wajahku, dia juga berbalik membelakangiku. "Hanya dua kesimpulan. Dia memaksamu atau kamu terbujuk rayuannya."
Al, laki-laki asing, tapi dia satu-satu-satunya yang mengetahui rahasiaku. Rahasia kehamilan. Rahasia El yang lari dari tanggung-jawab. Rahasiaku yang akan menemui makalikat maut hari ini. Dia satu-satunya yang ada di sini. Aku cukup terharu karena dia bersedia menahan kalimat pengolokan atas kebodohan yang sudah kulakukan.
"Kalau dia memaksamu, pasti kamu membenci semua pengalaman itu. Sayang sekali, aku turut berduka untukmu. Namun, sisi lainnya, itu baik untuk melanjutkan pernikahan tanpa nafkah batin diantara kita."
Pertanyaanku adalah, apakah Al juga punya trauma berkenaan dengan hubungan intim laki-laki dan perempuan?