Pertemuan Kembali

1647 Words
Ratusan tahun telah berjalan semenjak tragedi itu terjadi. Darsih yang mengira dirinya telah mati tidak menyangka akan membuka matanya kembali dengan kondisi yang lebih baik dari sebelumnya. Entah apa alasannya. “Sebenarnya apa salahku, sampai-sampai Tuhan menghukumku seperti ini?” Begitu yang selalu Darsih pikirkan. Dengan berbagai pengalaman kelam yang dia alami selama hidupnya, Darsih semakin sulit untuk bersyukur. Hidupnya yang panjang tidak lagi terasa seperti anugerah, melainkan hukuman atas dosa yang tidak dia ketahui. Bukan berarti Darsih ingin menyalahkan Tuhan. Dia masih ingin meyakini bahwa ada alasan mengapa Yang Maha Kuasa membiarkannya hidup sepanjang ini. Ajal belum juga bersedia menjemput Darsih. Karena itu, lagi-lagi Darsih disibukkan dengan rasa bosannya yang tidak kunjung berakhir. “Apa Nyai yakin dengan keputusan Nyai?” tanya seorang pria berbaju militer coklat yang duduk di seberang Darsih. Pria itu, meskipun jauh lebih muda dibanding Darsih, dengan segala kenormalannya berpenampilan sesuai umurnya yang telah menginjak pertengahan kepala empat. Beberapa kerutan telah menghiasi wajah dan lehernya, namun bagi orang lain itulah yang membuatnya semakin berwibawa. Badannya yang masih tegak itu pula lah yang membuatnya dipercaya untuk memegang amanah yang diembannya saat ini. Sambil tersenyum, Darsih menjawab, “Nak Presiden, kau tahu sendiri aku itu makhluk seperti apa. Bagaimana kalau di masa depan ada yang curiga, mengapa foto pahlawan ini mirip dengan tetanggaku? Lagipula, permintaanku kemarin sepertinya sudah cukup untuk membayar semua jasaku pada negara ini.” Pria itu mendengus kasar, membuat Darsih sadar akan kekhawatiran yang tengah melanda pemimpin negara itu. Bisa Darsih maklumi. Karena, bagaimanapun negara ini baru saja terbentuk setelah sekian lamanya dijajah dan terpecah belah. Tidak ada yang tahu bagaimana nasib negara ini di masa depan. Dan baginya, Darsih adalah salah satu harapan besar yang akan membantunya di kemudian hari. Jadi, dia begitu berharap bahwa Darsih akan mau menerima tawarannya untuk menjadi pejabat. Sayangnya, Darsih tidak tertarik dengan itu. Mengatur diri sendiri saja malas, apalagi mengatur sebuah negara. Toh keterlibatannya dalam perang berawal dari sekedar untuk melampiaskan kebenciannya pada kaum penjajah. Selebihnya, yaa… dia kasihan pada manusia-manusia lemah yang kesulitan bertahan hidup seperti dia di zaman dulu. “Dari pada menjadi pejabat, aku lebih ingin melakukan hal yang ku inginkan. Aku ingin hidup dengan bebas dan ringan.” tambah Darsih. “Baiklah jika itu yang Nyai inginkan. Saya tidak bisa memaksa. Hanya saja… izinkan saya untuk mengungkapkan kekecewaan pada diri. Sepertinya saya terlalu dimanjakan dengan keberadaan Nyai dan kemampuan Nyai selama ini.” Mendengar itu, Darsih tersenyum. Dia bangga, karena pemimpin yang dia dan rekan-rekannya pilih tahu kapan saatnya merendah dan tidak selalu sombong. “Tenang saja. Bukankah aku masih membantu kalian di hal lain.” kata Darsih. Hal lain yang Darsih maksud bukan lain adalah tentang penelitian rahasia yang dilakukan secara kerja sama dengan beberapa negara. Untuk penelitian tersebut, Darsih mendonorkan beberapa sel terntentu di tubuhnya. Sebelumnya, seorang peneliti dari Australia berteori bahwa sel pada tubuh Darsih dapat dijadikan vaksin maupun obat untuk berbagai penyakit. Dan ternyata, setelah diteliti memang teori tersebut benar adanya. Berbagai negara telah berinvestasi untuk penelitian ini. Lalu, pada saat meminta persetujuannya, Darsih memberikan beberapa syarat. Di dalamnya antara lain, tentang biaya hidupnya yang akan ditanggung oleh negara dan negara sahabat, lalu tentang kerasahasiaan identitas aslinya selama masih hidup yang harus disembunyikan serapat mungkin, kemudian yang terakhir adalah tentang virus yang dideritanya hingga dapat berumur panjang dan mengalami kelainan. Dengan syarat-syarat tersebut, Darsih menganggap bahwa jasanya selama Perang Dunia II dan perang kemerdekaan telah terbayar, begitu pula jasanya di bidang kesehatan. Dan setelah ini, Darsih hanya tinggal menikmati hidup yang selama ini tidak bisa dia dapatkan. … Perang Dunia II telah berakhir. Walaupun masih ada perang di beberapa bagian dunia, negara ini beruntung tidak menjadi salah satunya. Orang-orang juga masih ada yang berselisih, namun itu tidak seberapa dibandingkan dengan penderitaan orang-orang pendahulunya. Setelah perang, negara ini belum bisa disebut negara maju. Tapi, dikatakan miskin juga tidak bisa. Walau begitu, sebagian besar manusianya telah mencoba hal terbaik yang bisa mereka lakukan untuk mencapai hidup yang lebih baik. Termasuk di dalamnya adalah Darsih. Kesehariannya belakangan ini tidak jauh dari gambaran masyarakat umum tentang vampir. Dia tidur di siang hari, lalu bangun pada malam hari. Bukan untuk mencari mangsa, tapi karena dia lebih senang seperti itu. Indera penglihatannya juga jauh lebih tajam saat malam hari. Jadi, menurutnya akan lebih efisien jika dia melakukan kepentingannya saat malam. Walaupun terkadang dia harus terpaksa bangun di siang hari untuk menemui orang-orang tertentu. Tetapi, mulai hari ini kebiasaannya itu akan berakhir. Darsih yang mulai bosan kini tengah memulai hidup barunya. “Dulu tuh ya May, aku biasa nyari ayam liar di sana. Sekarang sudah jadi gedung besar.” ucap Darsih dari dalam mobil sambil menunjuk ke luar kaca jendela. “Ooh, begitu.” Maya yang diajak berbicara hanya menanggapi seadanya. Sudah sekian kalinya Darsih bercerita tentang masa lampau. Jadi, Maya juga bosan dan tidak tahu lagi harus menjawab seperti apa. Lagipula, entah gedung mana yang Darsih maksud, karena begitu banyak gedung yang sudah mereka lewati. Maya merupakan orang yang ditugaskan oleh pemerintah untuk mendampingi Darsih sebagai asisten dan walinya. Ini adalah salah satu realisasi dari janji pendiri bangsa atas jasa Darsih yang telah membantu memerdekakan Indonesia dari penjajahan dulu. Tugas ini sudah Maya emban sejak 20 tahun yang lalu. Dia dilatih sejak kecil oleh Ayah dan Ibunya yang dulu juga memiliki profesi yang sama dengannya. Lalu setelah orangtuanya meninggal, dia pun menggantikan mereka. Karena itu, Maya sudah menganggap Darsih sebagai keluarganya sendiri. Awalnya dia merasa aneh dengan kondisi fisik Darsih yang tidak menua. Dulu dia pikir Darsih adalah kakaknya, kemudian berubah menjadi adiknya, dan sekarang malah menjadi anaknya. “Aku tuh dulu biar gak ada yang lihat, suka keluyuran cari makanan pas malam. Tapi, kalau sekarang kayaknya udah gak bisa diam-diam lagi. Sekarang negara ini tambah rame. Malam hari juga banyak yang masih bekerja.” Sambil melihat-lihat keadaan jalanan, Darsih terus melanjutkan ceritanya pada Maya. Ceritanya ada yang diulang-ulang, ada pula yang baru. Karena ini, Maya menyadari bahwa usia Darsih memang jauh lebih tua dari penampilannya, bahkan lebih tua darinya. “Kita sampai.” ujar Maya setelah menghentikan mobilnya di depan sebuah bangunan besar dengan halaman yang sangat luas. Di sekitar mereka, bangunan-bangunan serupa pun ikut mengelilingi. “Ok. Aku masuk dulu, ya.” sahut Darsih yang kemudian membuka pintu mobil dan keluar. Begitu keluar dari mobil, hal pertama yang Darsih lakukan adalah memeriksa kerapian dan kelengkapan seluruh atribut yang dia pakai. “Baju putih, rapi. Rok hitam selutut, rapi. Sepatu hitam, mantap. Papan nama, ada. Tas jinjing, ada. Pita tujuh warna di rambut, ada. Sip, lengkap!” ujarnya sendiri. Hari ini adalah hari pertamanya di kampus sebagai mahasiswa baru. Jadi, dia tidak boleh melakukan kesalahan, walau sebetulnya dia merasa konyol harus mengenakan atribut-atribut aneh demi menuruti keinginan para kakak kelasnya yang jauh lebih muda darinya. Seusai memeriksa kelengkapan diri, Darsih melangkahkan kakinya menuju halaman utama kampus dari sebuah salah satu universitas yang cukup ternama di Indonesia itu. Di sana, sudah banyak orang yang berpakaian serupa dengannya tengah berdiri. Beberapa di antaranya tengah mengobrol dengan rekan-rekannya yang lain. Ada pula yang baru berkenalan. Tetapi, seketika perhatian mereka tertuju pada Darsih. Fisiknya yang mencolok, membuat mereka melirikkan mata mereka padanya walau sejenak. “Dek, ke sini sebentar kamu!” tiba-tiba seorang senior perempuan menepuk pundak Darsih. “Hm… Darsih. Dari jurusan mana?” tanyanya setelah melihat tulisan yang tertera dari papan nama yang Darsih kenakan. “Jurusan PGSD, Kak.” jawab Darsih. “Oo… gitu.” Senior itu memperhatikan Darsih dari atas kepala sampai bawah dengan begitu cermat. “Ada apa, Kak?” tanya Darsih. “Gini loh, dek. Kindly reminder aja. Mahasiswa memang lebih bebas dari anak SMA. Tapi, berhubung kamu anak baru, ada baiknya kalau penampilan kamu tidak terlalu mencolok.” jelas senior itu. Dari caranya berbicara, Darsih tidak menangkap ada maksud buruk pada ucapannya. Pikirnya, senior itu hanya sedang mengingatkannya. Karena, penampilan yang berbeda dengan orang lain memang terkadang menimbulkan permasalahan seperti contohnya, diskriminasi. Darsih sudah mengalaminya sendiri selama ratusan tahun, jadi dia sangat paham akan hal tersebut. “Apa maksud Kakak adalah rambut saya?” Darsih menunjukkan rambut putih keperakannya. Senior itu mengangguk, kemudian berkata, “Kamu itu kan calon guru, sebaiknya kamu berpenampilan yang lebih sederhana dan alami. Bagaimana kalau murid kamu meniru nantinya?” “Tapi, ini alami kok, Kak.” Darsih menyanggah. Alis dari senior itu sedikit terangkat. Dia mulai berpikir bahwa dugaannya tentang Darsih salah. Pada dasarnya, di dunia ini memang benar-benar ada orang yang memiliki warna rambut yang lebih terang, bahkan putih secara alami. Contohnya antara lain, orang yang sudah tua, orang dari ras caucasia, dan orang albino. Dari tiga contoh itu, ada dua kemungkinan yang paling kuat menurut senior itu. “Kamu keturunan bule? Atau albino?” Darsih sudah menebak bahwa senior ini bukan orang jahat yang selalu berprasangka buruk. Karena, nyatanya senior itu cukup pengertian. Namun, Darsih terpaksa berbohong pada senior itu. “Albino, Kak.” Sorot prihatin terpancar dari mata sang senior. “Tapi, tenang aja! Saya sehat banget, kok. Cuma kurang pigmen aja!” Darsih meyakinkannya agar tidak terlalu khawatir. Senior itupun bernapas lega. “Ya, sudah. Kamu ke barisan saja langsung. Maaf ya, udah ganggu.” ujarnya kemudian. Setelah senior itu, beberapa mahasiswa baru yang lain pun menanyakan hal yang sama saat berkenalan dengannya. Ada yang percaya dan ada pula yang ragu. Itu tidak masalah bagi Darsih. Toh kalaupun dia mengatakan alasan yang sebenarnya, dia akan tetap mendapatkan reaksi yang sama. Jadi, dia diamkan saja. Beberapa saat kemudian, acara pengenalan kampus pun dimulai dengan sambutan dari orang-orang yang penting di kampus tersebut. Hingga kemudian, naiklah seorang pria muda ke atas panggung saat pengenalan ketua-ketua himpunan mahasiswa. Darsih tidak terlalu memperhatikan pria itu pada awalnya. Sampai saat microfon diberikan pada pria itu dan mulai berbicara. “Selamat siang semua,” sapanya. Darsih yakin sekali mengenal suara pria itu. Dia pun mengangkat kepalanya agar dapat melihat lebih jelas. “Nama saya Julian, ketua HIMA PGSD. Mohon kerja sama teman-teman sekalian.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD