Hampir saja Julian kesiangan pagi ini. Padahal hari ini dia memiliki jadwal yang cukup padat. Mulai dari kegiatan kampus sampai pekerjaan sambilan harus dia hadapi.
Tujuannya yang pertama dan utama tentu saja adalah kampus. Dia harus menjadi panitia dan mengisi acara sebagai pembicara di depan para mahasiswa baru sebagai salah satu ketua himpunan mahasiswa.
Beruntung sepeda motornya tidak mogok seperti biasanya. Sepeda motor butut yang sudah menemaninya lebih dari 10 tahun itu memang sudah saatnya diganti. Tetapi, dia belum ingin melakukannya. Bukan karena dia tidak mampu, tetapi karena sayang jika harus berpisah dari sepeda motor pemberian almarhum pamannya itu.
Kini sepeda motornya sudah berada di depan pintu gerbang fakultasnya. Sebelum menuju parkiran, seseorang tanpa sengaja menghentikannya. Matanya langsung tertuju pada orang yang nampak agak berbeda dari umumnya.
Gadis itu tengah mengobrol dengan seorang rekannya. Julian menebak bahwa gadis yang terlihat unik itu tengah ditegur oleh rekannya, karena entah mungkin rambut atau riasannya yang serba putih pucat.
Sebagai salah satu universitas negeri yang cukup ternama, kedisiplinan selalu diutamakan. Apalagi ini adalah universitas yang akan menciptakan para pendidik di masa depan. Nyeleneh sedikit pasti akan menjadi perbincangan hangat.
Tidak lama kemudian, dua orang yang tengah Julian perhatikan pun berpisah. Saat ini matanya masih tertuju pada si gadis berambut putih. Tidak bisa dia pungkiri gadis itu memiliki paras yang begitu cantik hingga sulit untuk berpaling ke arah lainnya. Tetapi, ada satu hal lain yang membuatnya tertarik untuk terus melihat ke arah si gadis.
“Apa mungkin... ah, sudahlah!” batinnya.
Dia putuskan untuk melangkahkan kakinya lagi. Tidak baik terus-terusan memperhatikan orang yang tidak dikenal.
Sekarang, sudah saatnya Julian untuk memperkenalkan dirinya sebagai ketua HIMA PGSD. Dia hanya akan menyapa sebentar, kemudian turun. Baru pada hari kedua orientasi lah dia akan benar-benar memperkenalkan secara khusus jurusan PGSD pada mahasiswa baru jurusan yang cukup populer tersebut.
“Dia duduk paling depan.” batinnya saat melihat gadis berambut putih yang tengah berbisik-bisik dengan gadis lain yang duduk di sebelahnya.
Mikrofon kini sudah ada di tangan Julian. Dia pun mulai membuka mulutnya.
“Nama saya Julian, ketua HIMA PGSD. Mohon kerja sama teman-teman sekalian.” ujarnya.
Baru setelah itulah gadis itu menengokkan paras cantiknya ke arah Julian. Mata mereka pun bertemu.
Betapa riuhnya degup jantung Julian saat ini. Dia yakin bukan karena demam panggung. Dia sudah terbiasa berpidato untuk acara-acara kampus. Jadi, sudah pasti gadis itu lah penyebabnya. Bukan yang lain.
Begitu waktu istirahat tiba, Julian segera mencari keberadaan si gadis berambut putih keperakan yang telah merebut hatinya dalam waktu singkat. Saat dia menemukannya, ingin sekali dia langsung menyapa. Tetapi, rupanya ada beberapa orang lain yang telah lebih dulu menyapa gadis itu.
Julian tidak tahu nama tiga gadis itu. Dia hanya tahu bahwa mereka mahasiswi yang satu angkatan di bawahnya.
Dia tengokkan kepalanya untuk memeriksa lingkungan di sekitarnya. Tempat ini cukup sepi dan terpojok.
Jika melihat ini sekilas, mungkin akan ada orang yang mengira bahwa gadis berambut putih itu sedang mengalami perundungan. Julian pun hampir berpikir demikian. Hingga kemudian, gadis itu tersenyum riang dan membuat Julian semakin terpana.
“Gila… Kok bisa ada makhluk secakep itu.” pujinya dalam hati.
Dugaan awal Julian pun terbantahkan. Jika tadi memang terjadi perundungan, mana mungkin gadis berambut putih itu bisa tersenyum seriang tadi. Sekarang mereka berempat bahkan berjalan bersama entah ke mana.
…
Apa yang terlihat di depan sering kali berbeda dengan apa yang terjadi sesungguhnya. Darsih yang ingin mempunyai teman dengan cerobohnya mengikuti tiga kakak seniornya untuk berbelanja di sebuah mall yang ada di dekat kampus. Tetapi, bukannya ikut senang, dia malah dijadikan kacung untuk mengangkut belanjaan mereka semua.
“Perundungan jaman sekarang masih kayak gini? Dih, cemen!” gumamnya lirih.
“Hm? Kamu bilang apa tadi?” rupanya salah satu seniornya yang bernama Dwi sedikit mendengar gumamannya tadi.
“Saya cuma ingin ke toilet. Apa boleh, Kak?” dustanya.
Gadis bernama Tria yang merupakan salah satu anggota gank itu memperhatikan Darsih dengan seksama, menilik jika ada kebohongan di sana.
"Ya udah, deh. Sana pergi!"
Meski berkata begitu, Tria terus melotot ke arah Darsih, bahkan saat jarak mereka sudah cukup jauh. Di mata Tria, Darsih benar-benar sangat keterlaluan. Memang dia tidak melakukan apapun yang merugikannya. Namun, dari gayanya yang sudah berani di hari pertama kuliah, Tria yakin bahwa Darsih akan merepotkannya di kemudian hari.
Selain itu, ada satu hal lagi yang membuat Tria tidak menyukainya. Yaitu, karena Darsih dapat dengan mudah mendapatkan perhatian dari Julian, senior yang selama ini diam-diam dia sukai.
Memang tidak secara terang-terangan. Darsih dan Julian juga belum pernah terlihat mengobrol. Hanya saja, baru kali ini Tria melihat Julian terus-terusan memperhatikan seorang perempuan.
“Ke mana tuh orang? Kabur?” tanya Eka, salah satu teman Tria yang ikut menemani.
“Ke toilet.”
“Oo…”
Dwi kemudian mengambil barang belanjaan mereka yang Darsih tinggal.
“Jujur gue kok gak enak ya, ngelakuin ini ke dia. Maksud gue… lo liat aja deh, muka dia sepucet apa.” kata Dwi.
Dua temannya tidak dapat memungkiri. Wajah Darsih tadi memang nampak lebih pucat dari pada saat siang hari. Gadis itu juga terlihat lebih loyo tak bertenaga.
“Mungkin gak sih, kalau dia albino beneran? Katanya albino kan emang gampang lemes gitu.”
Ucapan Dwi itu mulai membuat dua temannya yang lain merasa bersalah. Sesungguhnya mereka tidak benar-benar membenci Darsih. Mereka hanya ingin memberi Darsih pelajaran agar tidak berlaku seenaknya. Tapi, sepertinya perbuatan mereka sudah keterlaluan.
…
Darsih yang tertatih-tatih akhirnya sampai juga di toilet. Badannya sudah cukup lemah, karena sedari pagi dia belum mendapatkan asupan darah.
Inilah kelemahannya selama ini. Tubuhnya selalu melemah setiap kali dia terlambat meminum darah. Setidaknya Darsih harus meminum darah apapun setiap 24 jam sekali. Jika tidak, sesuatu yang sangat tidak diharapkan akan terjadi.
“Kok lama sekali sih, May. Kapan kamu mau menjemputku?” tanya Darsih pada Maya melalui telfon genggamnya.
Dari ujung telfon, terdengar suara bising dari kendaraan dan klakson.
“Mohon maaf. Saya sedang dalam perjalanan. Sore ini jalanan macet sekali. Tapi, saya usahakan untuk sampai secepat mungkin.” jawab Maya yang terdengar gelisah.
Dia khawatir Darsih akan memarahinya seperti beberapa saat lalu. Padahal sudah sekitar dua jam yang lalu Darsih meminta tolong untuk dijemput. Namun, pekerjaan dan jalanan tempatnya berada sedang tidak memihaknya.
“Pokoknya kamu harus datang secepatnya. Kamu tentu nggak mau terjadi sesuatu yang tidak kamu inginkan bukan?” Darsih terdengar sedikit mengancam.
“Baik. Mohon bersabar sebentar lagi.” jawab Maya.
Sambungan telfon pun terputus dan kini layar ponsel Darsih menunjukkan wallpaper bergambar bunga dengan berbagai widget yang sengaja dia pasang untuk menghiasi ponselnya.
Diperhatikannya widget jam digital. Dari sana barulah dia tersadar bahwa dia sudah cukup lama di kamar kecil.
Darsih pun bangun dari closet, tapi kemudian dia kehilangan keseimbangannya. Beruntung di hadapannya terdapat pintu bilik yang dapat menahannya.
“Duh… mataku sudah mulai berkunang-kunang.” batinnya.
Anemia pada manusia biasa pada umumnya ditandai dengan kepala pusing dan badan yang melemas. Namun, bagi Darsih itu hanya awal mulanya saja dan terjadi dalam beberapa detik dengan disusul dengan gejala yang lain. Gejala lainnya antara lain, kerongkongan menjadi kering dan panca inderanya menjadi terganggu, terutama pada indera penciumannya. Darsih tidak akan dapat mencium bau apapun selain amisnya darah.
“Gawat. Kayaknya habis ada yang buang pembalut di sini.” gumamnya saat mulai mencium aroma itu.
Sebagai seorang ‘vampir’ yang bermoral, Darsih masih perlu pilih-pilih darah yang akan dia konsumsi. Dia hanya akan meminum darah segar yang belum tercemar dengan bakteri setelah keluar dari tubuh makhluk hidup. Jadi, darah datang bulan sangat pantang baginya.
Akan tetapi, bukan berarti dia juga akan meminum darah manusia seenak hati seperti vampir yang ada di televisi. Dia tidak memiliki sihir yang dapat membuat mereka kehilangan ingatan seperti itu. Jadi, kalau dia melakukannya, pasti akan menyebabkan kehebohan. Terlebih di zaman yang serba internet ini. Bisa-bisa dia menjadi berita viral di seantero jagad.
“Eww… sebaiknya aku segera keluar dari sini.”
Darsih buka pintu bilik dan menuju wastafel. Dia raupkan wajahnya dengan air mengalir agar aroma yang baru saja dia hirup itu sedikit menghilang. Baru setelahnya dia keluar dari kamar kecil.
Namun, mungkin ini adalah hari sialnya.
Begitu dia keluar dari sana, lagi-lagi dia mencium aroma darah. Kali ini adalah darah yang masih cukup segar. Tetapi, Darsih tahu betul bahwa ini bukan berasal dari kantung darah yang Maya bawa. Karena, wanita itu masih belum datang untuk menjemputnya. Dengan kata lain, bau darah ini berasal dari luka baru.
“Sorry banget. Harusnya aku lebih hati-hati, Jul.” ujar seorang pria pada rekannya.
Mereka sama-sama mengenakan kaus seragam warna merah berlogo restoran ayam goreng yang cukup populer. Menandakan bahwa mungkin mereka rekan kerja.
“Gak papa. Kamu balik dulu aja sana! Aku mau cari plaster luka dulu.” kata pria yang satunya.
Pria yang meminta maaf itu nampak begitu menyesal. Sementara yang satunya nampak memegangi lengan kirinya yang terluka dengan melapisinya dengan sapu tangan.
“Oke. Sekali lagi, minta maaf banget aku.”
“Iya… iya… santai. Udah sana balik!”
Darsih melihat adegan itu tak jauh dari sana. Betapa kagetnya dia saat kemudian pria yang dia perhatikan melihat balik ke arahnya dan mendekatinya.
“Darsih.” panggil pria berkaus merah itu.
Semakin pria itu mendekat, semakin kuat pula aroma darah yang terhirup. Jika lengah sedikit saja, Darsih mungkin akan segera meraih pria yang kini terlihat begitu menggoda perutnya itu. Untungnya Darsih masih memiliki sedikit kesadaran.
Darsih pun perlahan menjauh tanpa melihat ke belakang. Akibatnya dia pun menabrak pot tanaman hias yang terpajang di depan pintu toilet wanita.
“Hey! Awas!” seru pria itu seraya berlari menangkap Darsih.
Aroma darah segar semakin menguar di hidung Darsih. Tandanya bahaya akan segera datang. Bukan bagi Darsih, namun bagi pria malang itu.