"Maaf." Abria Valerie mengambil nampan hitam dan segera bergeser dari posisi sebelumnya. Diikuti tatapan pegawai lainnya karena tidak biasanya Komandan Rei berbincang dengan gadis lain selain dokter dan ilmuwan di sana dalam konteks membicarakan pekerjaan, bukan hal lain.
Tatapan tajam itu mengarah pada bekas cekikan di leher Abria Valerie yang berubah samar. Keningnya mengernyit dan seketika otak cerdasnya menangkap sesuatu yang salah.
"Pernikahan Caris Adonia diadakan besok. Sebagai sahabatnya, bukankah seharusnya kau datang? Aku hanya ingin memberitahumu tanggal penting itu."
Setelah itu, Komandan Rei pergi tanpa Valerie bisa menjawabnya. Dia menoleh, menatap punggung tegap berbalut seragam militer hitam yang mengerikan itu dan menghela napas panjang.
Komandan Rei berbelok hendak keluar dari Departemen Kesehatan saat dia bertemu Panglima Sai menuruni tangga dan melepas topi militernya. Langkah Komandan segera bergeser untuk menghadangnya, meninggalkan alis terangkat bagi Sang Panglima.
"Kau mencekik gadis berambut pirang itu?"
Panglima Sai tidak langsung menjawab. Dia menyipit guna menilai ekspresi kaku Sang Komandan sebelum akhirnya menghela napas pendek. "Tidak sengaja."
"Apa kesalahannya? Karena dia melihat mayat Ame, gadis yang b******a denganmu sebelumnya kau bunuh?"
Alis Sang Panglima terangkat tinggi-tinggi. "Wah, dugaanmu selalu tepat." Dia menyeringai keji. "Memang. Lalu, apa masalahmu?"
"Bukankah sudah kukatakan untuk berhati-hati, Panglima? Kau tidak pernah mencekik gadis dan membiarkan dia hidup sebagai bahan omongan orang lain. Dan sekarang? Kau meninggalkan bekas itu. Dia akan menderita."
"Kenapa kau mau peduli?" Panglima Sai memiringkan kepala, menatap ekspresi Komandan Ephraim yang mendadak pias. "Ini mengejutkan karena kau sendiri bahkan tidak pernah peduli pada Madava Fredella."
"Dia bisa melindungi dirinya sendiri."
"Lalu, gadis itu tidak?" Panglima Sai mendecih sinis. "Dia bisa melukaiku ketika dia terpojok. Wanita semenyeramkan itu, memang."
"Panglima."
Panglima Sai mengangkat tangan saat Komandan Rei memanggil namanya. "Tidak, Komandan. Pembicaraan tentang wanita tidak ada dalam kamus kita selain tawanan mana yang harus kau dan aku bunuh. Aku tidak peduli kalau gadis pirang itu mengusik jiwamu. Hanya saja, selama dia bisa membahayakanku, dia akan tetap menjadi seperti itu. Terluka di waktu yang lama."
Komandan Rei segera berjalan menjauh keluar dari Departemen Pangan saat Abria Valerie keluar dari ruang makan dengan catatan kecil di tangan yang harus dia hapalkan sebelum dia mempraktekkannya di depan Dokter Hana.
"Sedang sibuk?"
Kepala itu mendongak dan menemukan Panglima Sai tengah berdiri menjulang di hadapannya dengan ekspresi dingin. Seolah memang Panglima itu ditakdirkan menjadi malaikat kematian untuknya. Rasa benci yang mengakar itu menyala-nyala di mata Sang Panglima untuknya.
"Ya." Abria Valerie memeluk catatan itu di dadanya dan bergeser untuk pergi. Panglima Sai tidak menahannya untuk berlari menghindarinya sejauh mungkin.
Apa salahnya? Mengapa Panglima itu membencinya hanya karena dia melihat Ame tewas secara mengenaskan semalam?
"Panglima seksi ini ada di sini."
Alis Panglima Sai terangkat mendengar godaan dari gadis-gadis yang baru saja keluar setelah makan siang. Matanya menyorot dingin dan gadis itu bukannya berlari ketakutan, malah semakin beringas menggodanya.
Seketika tangan Panglima Sai terangkat, menyuruh mereka untuk tetap diam saat dia berbalik masuk ke dalam ruangan Dokter Hana dan meninggalkan kumpulan gadis yang mendesah kecewa karena mendapat penolakan tersirat.
***
Abria Valerie mengerjap menatap gaun pengantin yang Adonia kenakan pagi ini. Di saat gadis manis itu duduk di depan cermin besar, bertopang dagu dengan ekspresi sedih, hati kecil Abria Valerie menjerit pilu.
"Adonia, apa kau sedih karena Kakak Rin tidak bisa datang?"
Adonia menggeleng pelan. Dia melemparkan senyum bersalah pada sahabatnya dari balik cermin yang memantulkan sosok Caris Adonia yang lain dengan riasan dan gaun putih panjang yang cantik.
"Dia selalu ada untukmu. Percayalah." Abria Valerie meremas pundaknya dan menemukann tanda kecil bergambar kupu-kupu itu semakin membias pekat di bahunya.
Abria Valerie selalu mengagumi tanda yang tersemat di bahu Adonia. Kakak Rin menjelaskan bahwa tanda itu adalah tanda lahir. Dan Abria Valerie percaya begitu saja tentang keajaiban.
"Apa karena tanda ini, semua berubah?"
Alis Valerie terangkat ketika Adonia mengusap tanda kupu-kupu di bahunya dengan lirih.
Abria Valerie menunduk, mengerjap menemukan kedua mata sahabatnya berkaca-kaca. Kemana Adonia yang berambisi ingin melenyapkan Jenderal itu karena berperan penting dalam hidup Kakak Rin yang membuatnya cacat fisik seumur hidup?
"Adonia." Valerie meremas bahunya. Dia memeluk Adonia yang menangis di hari pernikahannya. "Jangan berpikir hal yang tidak-tidak. Kau melakukannya demi Kakak Rin dan dirinya, kan? Ingat saja itu."
"Mau sampai kapan ..."
Abria Valerie mengusap lengannya dan menggeleng pedih. Menikah adalah upacara sakral. Ketika Abria Valerie memutuskan untuk menikah, dia akan menikahi seseorang yang mencintainya. Dua puluh lima masihlah terhitung muda dalam urusan membangun rumah tangga yang berkomitmen sampai maut memisahkan. Abria Valerie belum mau berjalan sejauh itu. Bahkan Adonia pun sama.
Tepukan di bahu lembut Adonia menyadarkannya. Dia mengusap air matanya. Memikirkan kondisi dia akan bebas sebentar lagi tidak akan terjadi. Memberi pelajaran Jenderal itu nyatanya tidak akan membuahkan hasil. Adonia menarik napas, menguatkan dirinya sendiri.
Saat pernikahannya hanya dihadiri oleh petinggi militer hitam yang datang dengan seragam militer mereka dan bukan pakaian yang pantas dikenakan di saat upacara pernikahan.
Matanya menelusuri ekspresi Letnan Aristide yang dalam dan sinis. Begitu juga Panglima Sai yang memandangnya tak minat. Dan Komandan Rei yang hanya berekspresi datar tanpa berpikir apa-apa tentangnya.
Letnan Jaasir bertindak sebagai pembawa sumpah dalam pernikahan di Andara. Dia berdiri di tengah ruangan, saat Sang Jenderal akhirnya masuk melalui pintu lain. Memakai seragam militer yang sama dan tampak lebih rapi.
Panglima Reiki menghela napas saat dia berdiri di samping Letnan Jaasir. Ketika Letnan Jaasir menyuruh Adonia untuk membungkuk, menyematkan mahkota cantik berhiaskan emas dan berlian murni juga permata berkilauan sebagai lambang pemanis itu dalam mahkota yang hanya diperuntukkan untuk Ibu Andara.
"Hanya maut yang memisahkan ..."
Tiba saatnya Adonia mengucapkan sumpah itu. Dia meremas kedua tangannya sendiri ketika dia hendak mengucapkan, namun semua mata begitu menghakiminya terkecuali Abria Valerie yang memandangnya berkaca-kaca siap tumpah.
"Hanya maut yang memisahkan."
Adonia menunduk, menatap Sang Jenderal yang masih berdiri tegap dengan ekspresi dingin seperti salju yang turun di dalam Andara di akhir tahun.
Di sisi yang berbeda, di tempat yang jauh dari hiruk-pikuk Benteng Ankara yang ramai dan selalu diawasi ketat, di sinilah dia berada. Memandang langit di pagi hari yang sedikit berawan dan cahaya mentari tidak sampai masuk ke tengah hutan yang damai.
Alterio Edzard memejamkan mata. Mengepalkan tangan saat dia merasakan perasaan tak nyaman di dadanya. Dia menarik napas, membuangnya perlahan dengan perasaan yang belum juga membaik.
"Kapten Edzard."
Alterio Edzard menoleh. Dia menatap salah satu anak buahnya yang keluar dari persembunyian bawah tanah dengan senjata rakitan barunya. "Ini sudah kusempurnakan dengan baik. Dia bisa menembak jarak jauh dan ketepatan pengukurnya jauh lebih baik dari sebelumnya."
"Berapa kemungkinannya akan meleset?"
Laki-laki itu tersenyum tipis. "Hanya satu persen."
"Bagus, Darius. Minta laboratorium senjata untuk mengembangkan senjata ini menjadi massal dalam jumlah banyak. Semua pasukan kita harus mendapati salah satunya."
"Baik, Kapten!"
Alterio Edzard hanya tersenyum miring setelah laki-laki itu beranjak masuk ke dalam bunker persembunyian mereka dengan langkah ringan. Dia kembali menoleh, memandang pohon pinus yang tenang dalam tarikan napas panjang.