"Benar-benar pernikahan di luar nalar. Ini sama sekali bukan pernikahan dongeng yang diharapkan anak-anak."
Panglima Sai berbisik rendah pada Letnan Aristide yang menipiskan bibir. Dalam hati diam-diam menyetujui ucapannya. Dia lebih serius menatap lurus ke depan dimana Sang Jenderal sama sekali tidak merubah ekspresi datarnya saat dia berdiri di depan altar untuk mengucap janji. Letnan Jaasir sudah turun dari pelataran bersama Panglima Reiki yang menemani. Dan Jenderal ikut turun setelahnya tanpa memedulikan Caris Adonia yang berdiri kaku di tengah dengan tangan terkepal.
Komandan Rei melemparkan tatapannya pada Madava Fredella yang duduk diam di samping Abria Valerie dan sang kakak, Kapten Davira. Mereka bertiga tampak khidmat menikmati jalannya upacara pernikahan yang terkesan datar. Sangat datar.
Abria Valerie membuang muka. Tidak sanggup menatap bagaimana wajah Caris Adonia sekarang terlihat berkali-kali lipat lebih menyedihkan dibanding dirinya yang ceria.
"Kita pergi."
Jenderal menghampiri ketiga petinggi dan tangan kanan terbaiknya untuk segera pamit dan meninggalkan aula dalam keadaan tenang. Diiringi tatapan sendu Letnan Jaasir dan raut datar Panglima Reiki saat Caris Adonia menolehkan kepala ke arah mereka dengan sorot dalam tak terbaca.
Dia melangkah turun. Perlahan mengangkat gaunnya tanpa menoleh lagi ke belakang ketika Madava Fredella berbisik pada Abria Valerie di sebelahnya. "Aku tidak pernah melihat seseorang begitu terluka dan hancur di hari pernikahannya sendiri." Abria Valerie lantas menoleh, menatap Kapten Fredella dengan pandangan hancur yang sama. "Dia butuh dihibur. Pergilah." Dan Valerie melesat pergi meninggalkan keduanya yang duduk termenung dalam diam.
Kapten Davira mendesah panjang. Dia menunduk, menatap seragam militer khas Angkatan Darat Ankara dengan pandangan bertanya. "Pernikahan yang dipaksakan memang tidak akan pernah berakhir baik, kan?"
Madava Fredella hanya tersenyum. Melupakan satu fakta bahwa Kapten Davira menangkap senyum getir itu di wajah cantiknya. "Ya. Selamanya akan tersiksa." Berusaha untuk terlihat santai dan biasa, nyatanya gagal di hadapan calon kakak iparnya sendiri.
Kapten Davira mendesah panjang. Seketika semuanya benar-benar terlihat rumit dan tak terbaca. Dia mendesis pelan, memejamkan mata seraya bersandar pada kursi yang dia duduki dengan tenang. "Fredella, aku tidak tahu harus mengatakannya darimana. Tetapi, jika kau merasa ini semua karena keterpaksaan, kau lebih baik mundur dan menjauh."
"Dan melukai banyak pihak?" Kapten Fredella menggeleng dengan senyum tipis. "Aku tidak mungkin mengecewakan banyak orang hanya karena kepentingan pribadiku. Semua bisa dikesampingkan kalau memang ini jalan yang terbaik."
Kapten Davira lantas membuka mata. Tatkala kedua mata kucingnya menatap tajam pada sosok Madava Fredella yang berdiri, membawa topi militernya dalam genggaman tangan dan meninggalkannya seorang diri di dalam aula bersama pikirannya.
***
Komandan Rei menghela napas panjang. Dia menatap sosok Adonia yang tengah duduk, masih dengan gaun dan mahkota di kepalanya dengan ekspresi tenang. Wajah gadis itu tidak terbaca.
"Ada dua kamar di rumah Jenderal. Salah satunya adalah milik Jenderal. Dan satu lagi—milikmu."
Adonia mengangkat kepala. Menemukan tatapan Komandan Rei yang dingin terpantul di kedua mata jernihnya. "Jenderal memintaku untuk tidur di ranjang terpisah dengannya?"
Komandan Rei tidak menjawab. Dan diamnya dia adalah jawaban untuk Adonia.
"Oke. Kau bisa pergi."
Komandan Rei mengangguk samar. Posisi gadis itu kini melesat lebih tinggi dari seharusnya. Dia otomatis harus menghormatinya dengan baik layaknya kedudukan yang sama dengan Sang Jenderal Andara.
Ini hari pertamanya masuk kediaman Jenderal besar. Dia menemukan militer hitam dengan seragam militer mereka yang khas berdiri di beberapa sudut ruangan layaknya patung selamat datang. Mereka hanya menatap Adonia datar, dan mengacuhkannya. Begitu pula Adonia yang akan berdiri tegak, menatap mereka seolah tidak ada.
Dia berjalan, mengangkat gaunnya ke lantai atas ketika dia membuka pintu kamar dan menemukan nuansa kayu citrus dan aroma pinus menyerbak di penjuru ruangan. Hidung Adonia berubah nyeri. Dia kembali duduk di tepi ranjang, tangannya bergerak untuk mengusap seprai halus berbahan dasar wol yang lembut. Semua corak di dalam kamar didominasi warna cokelat tua yang pekat.
Karena di dalam Andara, hanya ada tiga warna yang hidup. Hitam, cokelat tua dan abu-abu. Nyatanya, keinginan Adonia merubah d******i warna ini begitu kental.
Adonia melepas gaunnya. Dia melemparkan gaun itu ke sisi ranjang yang kosong dan mencari pakaian hangat untuk dikenakan. Lalu, dia bergerak turun ke bawah dan menatap dua militer hitam yang berjaga di bibir tangga dengan ekspresi murung.
"Kenapa pindah?" Dia bertanya dan dua sosok itu bergeming. "Kembali ke tempat kalian."
"Perintah Jenderal, Nyonya."
Adonia menghela napas panjang. "Oke."
Dia lantas berbalik dan berjalan santai menuju luar rumah. Mendapati semilir udara yang sejuk menerpa wajah dan rambutnya hingga berkibar.
Adonia berjalan, menyusuri jalan yang di d******i bebatuan dengan langkah ringan. Dia hendak pergi menuju Departemen Permukiman dan Perumahan yang ada di dekat Departemen Pangan di Ankara.
Sang Jenderal bertopang dagu, menatap Letnan Aristide yang sejak tadi mendengus kesal karena ucapannya diabaikan.
"Jadi, kau tidak terima karena aku menikahi seorang pemberontak seperti Caris Adonia?"
"Jangan konyol, Jenderal. Hanya karena kau percaya mitologi kupu-kupu yang sama dengan ibumu, kau langsung menikahinya?" Letnan Aristide mendengus dan Panglima Sai yang berdiri di sebelahnya hanya mengangkat alis.
"Itu jelas bukan kebetulan, Letnan," Jenderal menipiskan bibir menahan gejolak sesuatu. "Gambar kupu-kupu itu sama persis dengan milik ibuku."
Panglima Sai hanya mendesis. Dia menjadi pendengar yang baik sekarang dan itu sama sekali tidak membantu hatinya membaik.
"Letnan, dibanding kau yang mengurusi kehidupan pernikahan Jenderal, pikirkan saja dirimu sendiri."
Ucapannya menusuk tepat ke d**a Sang Letnan yang mengerling dingin pada Sang Panglima di sebelahnya. Panglima Sai hanya tersenyum sinis, merapikan topi militernya yang miring ke kanan dengan gerakan pelan.
Panglima Sai mengedarkan pandangannya pada jendela besar yang menghubungkan Benteng Ankara dengan dunia luar. Di dalam sini, Jenderal bisa melihat keseluruhan yang terjadi di dalam Benteng Ankara dan lebatnya hutan pohon pinus yang menutupi distrik-distrik di bawah kaki Andara. Jenderal terbiasa mengawasi mereka melalui para militer hitam yang berjumlah cukup banyak di setiap distrik untuk mematai-matai mereka kalau-kalau pergerakan kecil layak disebut pemberontakan bisa dilenyapkan secepat mungkin.
Jenderal menatap hologram yang menampilkan Distrik Lily. Bibirnya menipis kala siluet gambar sesosok gadis berumur yang tengah berjalan dengan tongkat kayu dan satu kaki yang hilang menjadi objek fokusnya. Salah satu militer pastilah ada di sana hingga objek gambarnya terlihat amat jelas. Gadis itu tengah membawa ember berisikan gandum dengan sedikit kesulitan.
"Nohara Rin." Begitu Jenderal menyebut namanya, alis Letnan dan Panglima bersamaan naik.
"Dia kakak tertua yang merawat Caris Adonia dan Abria Valerie." Letnan Aristide menimpali dan Panglima Sai hanya mengerutkan hidung. "Aku pernah melihatnya beberapa kali. Dan sebentar, wajahnya tidak asing?"
Jenderal mendengus tajam. Sorot matanya berubah lebih dingin. "Dia mantan dokter terbaik di Departemen Kesehatan era Jenderal Saveri."
"Sudah kuduga." Panglima Sai duduk di tepi meja dengan alis mengernyit. "Kenapa dengan kakinya? Dia korban dari keganasan pemberontak?"
"Kupikir, kau satu-satunya yang tidak tahu apa-apa di sini." Letnan Aristide mencela dengan tatapan tajam dan Panglima Sai memutar mata, ikut menampilkan ekspresi dingin. "Ini sama sekali bukan ruang lingkupku. Dan ya, jelas aku tidak peduli."