Sang Jenderal menatap keduanya dengan bosan. Di antara keduanya yang bermental keras dan berkepala dingin, Letnan dan Panglima sama-sama keras kepala dan jarang mau mengalah. Berbeda dengan Komandan Rei yang lebih tenang dan matang. Tetapi, ketiganya benar-benar bisa diandalkan dalam banyak hal.
"Entahlah. Satu kakinya diamputasi karena sesuatu. Dia sepertinya melakukan kesalahan." Letnan Aristide bersuara dan Sang Jenderal sama sekali bungkam. Dia tidak berniat membeberkan rahasia mengapa Nohara Rin harus mengalami cacat fisik itu selamanya.
Sebelum, Jenderal sedikit membuka bibirnya untuk bersuara, dia melihat Komandan Rei masuk setelah mengetuk pintu. Kedua kepala Letnan dan Panglima menoleh dan Komandan Rei segera membuat keduanya bergeser untuk menghadap Sang Jenderal.
"Titik di mana aku menemukan lokasi persembunyian Alterio Edzard."
Sang Jenderal menipiskan bibir menemukan peta buta di sana dan Sang Komandan memberikan coretan berupa tinta merah bergambar silang di dalamnya. Jenderal membuka teknologi hologramnya dan dengan cepat memasukkan data dari peta buta itu ke bentuk digital. Dan seketika, semua akses terbaca dengan mudah walau terhalang pohon pinus yang rimbun sekali pun.
"Mereka menggunakan badan pesawat penumpang yang telah hancur untuk dijadikan area persembunyian? Aku pikir itu gudang." Panglima Sai bersuara dan Letnan Aristide mengangkat alis.
"Ini cukup dekat dari Distrik Lily."
Komandan Rei menunjuk hologram yang menampilkan beberapa pergerakan dari Distrik Lily yang damai. "Mereka tidak berbahaya untuk kaum distrik."
"Tapi, berbahaya untuk kita." Letnan Aristide berbicara dengan ekspresi muram. "Satelit kita tidak bisa menjangkau apa yang ada di dalam persembunyian itu."
Sang Jenderal menampilkan ekspresi dingin luar biasa ditambah kedua matanya yang tajam semakin tajam. "Kirimkan mata-mata kita ke sana."
Alis Panglima Sai mengernyit. "Aku rasa aku yang akan melakukannya."
Semua kepala menoleh. Komandan Rei yang membungkuk di depan meja Jenderal seketika berdiri tegak. "Kau gila?"
"Memang, kenapa?" Panglima Sai menyahut dengan ekspresi jengah. "Aku terbiasa melakukan tugas ini sejak aku muda."
"Alterio Edzard lawanmu. Dia jauh lebih hebat darimu." Komandan Rei jelas terang-terangan menentang keputusan sepihak Panglima Sai.
Sama saja melemparkannya ke kandang singa buas yang lapar.
"Ada masalah dengan jauh lebih hebat, Komandan?" Panglima Sai mendesis tanpa sadar. "Jika aku ketahuan, aku akan mati. Jika tidak, aku akan kembali. Kenapa berpikir terlalu jauh?" Panglima Sai menyeringai ke arah Jenderal. "Yang jelas, berkali-kali maut datang padaku, aku bisa menghindarinya dengan mudah."
Letnan Aristide memutar mata. Dia bersedekap dengan ekspresi keras. "Biarkan dia bertugas. Aku yang akan mengawasinya."
Sang Jenderal menghentikan perdebatan di antara mereka dengan napas tertahan. Dia berdiri, menggantung topi militernya pada pinggangnya dengan senyum sinis. "Persiapkan segala keperluanmu, Panglima. Kau boleh pergi besok."
***
Alterio Edzard duduk dalam diam. Mengamati bagaimana pasukan hebatnya bekerja tanpa kenal lelah demi memperjuangkan diri bersamanya. Tujuan mereka sama; mengkudeta kekuasaan Jenderal Zedyn hanya demi menaikkan tahta Alterio Edzard yang dicoret dalam daftar ahli waris mantan Jenderal Saveri.
Semua pasukannya bukan pasukan sembarangan. Beberapa bahkan ada yang dari militer hitam itu sendiri yang mengabdikan diri padanya dan bersedia mati untuknya. Agar lepas dari belenggu militer hitam Andara yang bengis dan tak kenal belas kasihan.
Alterio Edzard memang lebih longgar dalam urusan senjata mau pun tidak. Dia membebaskan anak buahnya untuk menguasai sesuatu apa yang dia bisa tanpa membebaninya harus menguasai segala bentuk pertahan diri mau pun menyerang.
Di dalam bekas pesawat penumpang inilah dia menyulap tempat berbau pengap dan kotor ini menjadi surga bagi pasukannya dan dirinya dalam bereksplorasi segala jenis penemuan dan senjata. Di samping penemuannya guna melawan penemuan terbaik di Andara, mereka juga mengembangkan senjata di mana kemampuan Jenderal dalam hal rakit senjata memang luar biasa mengerikan.
"Kapten, bagaimana dengan Caris Adonia yang dinikahi Jenderal?"
Salah satu anak buahnya bertanya. Menghadap ke arahnya dengan menampilkan siluet Caris Adonia dalam gaun pengantin dan mahkotanya.
"Kau pikir aku peduli?"
Anak laki-laki itu terkejut bukan main. Dia hanya membuka mulutnya, dan kemudian terkatup rapat.
"Biarkan saja. Bahkan jika dia mati di tangan Jenderal sekali pun. Jenderal akan tahu, bahwa dia menikahi gadis yang salah."
Laki-laki itu menolehkan kepalanya ketika seseorang memanggilnya. Dia lekas bangun, menatap Alterio Edzard yang memejamkan mata sejenak untuk menarik napas panjang lalu melenggang pergi.
"Kau yakin Jenderal akan membunuhnya?"
Alterio Edzard membuka mata. Menemukan sosok pria tinggi dengan senyum hangat terarah padanya saat dia sedang memakai jas ke tubuh kekarnya.
"Setelah dia tahu dia menikahi gadis yang salah." Alterio Edzard menyeringai dan sosok itu hanya tersenyum parau.
"Berani bertaruh?"
Alterio Edzard menepis uluran tangan itu dengan ekspresi gelap. "Percuma. Kau akan meenemukan kekalahan karena bertaruh dariku."
"Ah, kau masih saja sesumbar seperti dulu." Sosok itu terkekeh pelan. Dia mengancingkan jasnya dalam gerakan pelan. "Caris Adonia yang malang. Berapa kali dia harus mengalami nasib buruk di hidupnya?"
"Sampai kematian mengambil jiwanya."
Alis sosok itu terangkat tinggi. Kepalanya menggeleng pelan sebagai balasan. "Bicaramu terlalu menyakitkan. Dia pantas hidup untuk masa depan yang lebih baik."
"Dia seharusnya mati lima belas tahun yang lalu."
Sosok itu menghentikan tangannya. Dia menurunkannya di kedua sisi tubuhnya. "Keberuntungan selalu berpihak padanya. Aku hanya berharap kau tidak menemukan kesialanmu karena ingin melenyapkannya."
"Sebelum aku melakukannya, Jenderal Andara itu akan mengotori tangannya untukku."
"Dengan membunuh istrinya sendiri?"
Alterio Edzard menyeringai keji. "Siapa lagi?" Dan tawa itu meluncur bebas tanpa bisa dia tahan.
***
"Astaga."
Abria Valerie memutar tubuhnya saat dia menemukan sosok Panglima Sai ada di depan matanya tengah berbincang bersama Dokter Lei dari Departemen Kesehatan. Mereka membicarakan sesuatu yang serius tentang obat-obatan yang perlu disiapkan untuk keperluan Sang Panglima dalam bertugas.
Yananaka Valerie berlari. Hingga tubuhnya tanpa sadar menabrak seseorang berkas laporan di tangannya tercecer ke atas lantai.
"Maafkan aku." Dia menunduk sembari merapikan kertasnya dan sosok yang tengah memakai jas rumah sakit itu ikut membungkuk. Membantu Valerie merapikan barang-barangnya.
"Kenapa kau terburu-buru? Ada yang mengganggumu?"
Sosok itu bertanya sembari mengamati belakang punggung Valerie yang sepi. Sejenak, Valerie membeku. Menemukan dokter muda yang tampan di depan matanya. "Tidak ada siapa pun."
Abria Valerie mengerjap. Dia menarik napas dengan senyum bersalah. "Aku terburu-buru. Maaf."
"Ah, bukan masalah." Sosok itu menatapnya lekat seolah bertanya darimana Valerie berasal. "Kau pegawai baru atau sedang menjalani masa percobaan sebelum kembali diseleksi masuk?"
"Aku sedang mengikuti seleksi masuk. Tanggal ujianku besok." Abria Valerie membalas dengan senyum ramah.