"Ah, jadi Caris Adonia adalah sahabatmu?"
Abria Valerie hampir saja memecahkan tabung cairan di tangannya kalau tangan Ame tidak menyenggolnya dan membuatnya terkejut. Gadis itu mendesis dan Ame hanya membalas dengan senyuman sinis.
"Oh, aku tidak terkejut. Kalau calon istri Jenderal Andara serendah itu."
Abria Valerie mendesis. Dia mendorong bahu Ame dan hampir membuat gadis itu terjungkal. "Ups. Jaga bicaramu." Valerie mengerling tak peduli saat Dokter Hana keluar dari laboratorium dan meninggalkan keduanya.
"Kenapa harus Caris Adonia di saat banyak wanita lain yang menjadi pilihan untuk Jenderal? Banyak yang pantas duduk di posisi Nyonya Andara selain dia?"
"Itu yang orang lain katakan saat mereka tidak bisa mendapatkan posisi yang diharapkan." Abria Valerie tersenyum dingin. "Lebih mirip seperti pendengki, mungkin?"
"Sssh! Kau tak tahu apa-apa!"
Abria Valerie membanting tabung gelas di tangannya dengan kedua mata melotot marah. "Kau juga. Kenapa kau berbicara merendahkan seolah kau tahu siapa sahabatku?"
"Bukankah semua orang yang ada di Distrik Lily ialah orang-orang menyedihkan?"
Kedua mata Valerie melebar sempurna. Tangannya yang berbalut sarung tangan putih lantas terbang dan menampar pipi kanan Ame dengan keras. "Jaga bicaramu. Distrik Red juga tidak sebaik yang orang katakan."
"Kau berani menamparku!?"
Abria Valerie berkacak pinggang ketika dia memekik karena Ame hendak menjambak rambutnya dan pintu ruangan terbuka. Menampilkan Panglima Sai yang tengah membuka berkas di tangan terdiam, menatap keduanya dengan tatapan dingin.
"Wanita dengan kebrutalan mereka."
Panglima Sai maju untuk melerai keduanya. Dia mendorong Ame dan membuat gadis itu terjatuh, sedangkan Valerie hanya terhuyung mundur. Menepis tangan Panglima Sai di depannya yang sekeras batu dan dia gagal. Hingga dia akhirnya menggigit tangan berbalut seragam militer itu dengan keras.
Panglima Sai mendesis pelan. Tidak sama sekali merasa sakit ketika napas Valerie terengah-engah dan Panglima Sai menipiskan bibir sepeeti hendak memakannya hidup-hidup.
"Kau menggigitku?"
"Ya! Sebentar lagi kau akan menjadi mayat hidup!" Abria Valerie membentaknya dan alis Sang Panglima terangkat tinggi. Dia menegapkan tubuhnya, menggoyangkan lengan kanannya dengan senyum tipis.
"Cukup brutal untuk ukuran gadis rapuh sepertimu."
"Minggir. Aku akan menghajar gadis dari Distrik Red yang terkenal sopan dan ramah ini. Dia sama sekali tidak mencerminkan penduduk di sana!" Panglima Sai sekali lagi kembali menahannya dan Abria Valerie menggeram di depannya.
"Aku akan memberikan kalian senjataku kalau kalian ingin saling membunuh." Panglima Sai mengeluarkan dua pistol peledak kepala miliknya untuk mereka berdua. "Silakan."
Komandan Rei tak lama masuk ke dalam. Dia terkejut menemukan dua pistol milik Sang Panglima ada di telapak tangannya. Dia bergegas mendekat, menemukan isyarat mata itu dan dia terdiam. "Pergilah."
Komandan Rei memberi titah dan Abria Valerie keluar setelah memasang kembali maskernya bersama Ame yang pergi melewati pintu samping.
Panglima Sai mendesah pelan. Dia memasukkan kembali pistol-pistol miliknya ke dalam saku celana seragam militer hitamnya.
Tangannya yang lain menggulung seragam militer hitamnya dan menemukan bekas gigitan gadis pirang itu masih membekas. Meninggalkan tawa ringan dari Komandan Rei di depannya.
"Kau digigit perempuan? Biasanya, kau tidak membiarkan mereka menyentuhkan tangannya ke tubuhmu. Dan lihat, sekarang?"
"Diam." Panglima Sai mendesis dingin padanya setelah membanting berkas itu ke atas meja.
***
Adonia meringis saat dia melihat gadis berambut abu-abu itu terjatuh dan pedang yang dia gunakan terlempar ke arah lain. Kapten Davira begitu handal memegang senjata dan Adonia mendadak kehilangan kepercayaan diri.
Bisik-bisik kembali terdengar. Adonia melirik melewati bahunya ketika calon prajurit wanita militer hitam Ankara berbicara tentang dirinya yang menjadi kandidat kuat Nyonya Andara selanjutnya. Adonia memiringkan kepala, merasa tak nyaman saat dia memeluk dirinya sendiri dan namanya dengan lantang terpanggil oleh Kapten Davira.
"Ambil pedangmu."
Dan pedang sama sekali bukan keahlian Adonia selain busur dan anak panah.
Adonia menggenggam pedang itu. Ketika Kapten Davira mengayunkan pedangnya, Adonia melompat untuk menghindar. Hanya dasarnya saja sampai Kapten Davira berhasil memukulnya mundur dan Adonia terjatuh. Kembali menjadi bahan tertawaan searea lapangan.
Dia bukan satu-satunya yang gagal dan terjatuh di bawah kaki Kapten Davira.
Adonia kembali bangun. Dia mendongak ketika menemukan Jenderal ada untuk mengawasi jalannya pelatihan. Kedua mata Adonia memicing tajam dan bibirnya berkerut tipis. Dia kembali menantang Kapten Davira yang melempar pedangnya dan mengajaknya bertarung dengan tangan kosong.
Adonia tersenyum dingin ketika Kapten Davira melayangkan satu kepalan tangannya dan Adonia berhasil menepisnya, membuat Kapten Davira sempat kewalahan akibat gerakan gesitnya menghindari serangan dan membalasnya dengan satu pukulan keras yang membuat Kapten Davira terhuyung mundur.
"Wow." Kapten Davira menyeringai ke arahnya dan bisik-bisik itu kembali bergaung. Kali ini terkejut dengan kemampuan Adonia.
Adonia tersenyum di sela-sela rasa lelahnya saat Kapten Davira menepuk bahunya dan menyuruhnya kembali untuk beristirahat sebentar. Dia kembali memanggil gadis selanjutnya untuk bertarung.
Jenderal terus mengikuti sosoknya sampai dia berpaling, menatap Letnan Aristide yang bersedekap dengan ekspresi datar.
"Caris Adonia yang kau kenal belum berubah."
Jenderal menghela napas panjang. Menatap kumpulan para gadis yang sedang berlatih militer Angkatan Darat bersama Kapten Davira dengan raut datar. "Belasan tahun, bukan waktu sebentar. Dia jelas berubah."
"Dia bukan lagi sekedar teman tidurmu seperti dulu."
Sang Jenderal memejamkan mata. Sudut bibirnya tertarik dingin. "Tahu apa kau tentang teman tidur?"
Letnan Aristide mengangkat bahu tak peduli saat kedua mata pekat Sang Jenderal menusuk ke arahnya. "Setidaknya, aku percaya pada kabar burung yang beredar luas seperti itu di kalangan militer."
Kening Sang Jenderal mengernyit ketika dia mendengar suara Panglima Sai pada alat di telinganya dan Letnan Aristide melompat turun bergegas untuk mengamankan situasi ketika Kapten Davira segera mengasingkan seluruh pasukannya untuk berlindung sementara waktu.
Caris Adonia baru saja hendak berdiri untuk tahu sesuatu apa yang mengguncang lapangan Benteng Ankara saat Letnan Aristide merangsek pergi dan dia tertahan oleh tubuh tegap Sang Jenderal di hadapannya.
"Tetap di sini."
"Apa? Tapi, kenapa?"
"Tetap di sini." Jenderal menatap tajam langsung ke arah mata hijaunya. Adonia terdiam, tidak lagi bicara apa-apa saat dia bergerak mundur dan Jenderal menurunkan topi militernya dan berjalan pergi saat Panglima Sai sudah bersiaga di depan Benteng Ankara bersama Komandan Rei yang bersiap di atas landasan pacu untuk menerbangkan pesawat tempur.
Letnan Aristide menyuruh pasukan militer hitam Ankara untuk bersiap di sepanjang benteng saat Jenderal maju, memegang senapan jarak jauhnya dan berdiri paling depan untuk memimpin barisan.
Saat pesawat milik Komandan Rei terjun untuk menilai situasi dimana arah ledakan besar itu terjadi, dia segera menukik untuk mengecek adakah korban di sana dan ternyata satu misil mengarah ke arah pesawatnya dan Komandan Rei segera menerbangkan pesawat itu ke udara.
"Alterio Edzard."
Kedua mata Sang Jenderal menyipit tajam mendengar suara yang berasal dari Komandan Rei. Terlebih Panglima Sai dan Letnan Aristide yang terdiam, menipiskan bibir ketika mereka melirik Sang Jenderal yang memasang wajah keras menahan amarah.