b

1005 Words
Adonia melunturkan sikapnya. Dia memutar mata, menarik napas panjang. Berada di satu ruangan yang sama dengan Jenderal besar nyatanya benar-benar tak nyaman. "Kenapa kau tiba-tiba ingin menikah?" Sang Jenderal terdiam. Dia menatap Adonia dengan menopang dagu datar. "Suatu keharusan." "Karena demi keturunan?" "Salah satunya." Jenderal lantas berdiri. Dia mendekat ke arah Adonia yang langsung bersikap defensif dengan melindungi dirinya dari serangan mendadak Jenderal manakala dia ingin melecehkan Adonia di tempat pribadinya? Hati seseorang mana ada yang tahu. "Apa yang kau—" Ucapan Adonia tercekat ketika Jenderal menarik tali bahunya dan menatap tajam pada lambang kupu-kupu cantik berwarna hitam di bahu kanannya. Adonia tersentak, dia menjauhkan diri ketika Jenderal melepas tangannya dan dia terjatuh di atas lantai. "Sejak kapan kau memilikinya?" Adonia mendesis. "Apa?" "Tanda itu." Mata hijau itu melirik bahu kanannya dengan kening berkerut. "Sejak aku kecil. Aku tidak tahu pastinya." Sang Jenderal menghela napas. Dia kembali menegapkan tubuhnya dan memandang Adonia datar. "Bangun. Kau bisa kembali ke rumahmu." "Apa itu artinya—" "Kita tetap menikah. Tidak ada penolakan. Aku tidak akan melakukan cara kasar untuk memaksamu. Dan kau, diperbolehkan untuk mengikuti pelatihan militer hitam selama kau dibawah pengawasanku." Adonia menggeram dalam suaranya. Dia membawa busur dan anak panahnya ke dalam ikatan punggungnya. Menekan d**a Sang Jenderal dengan pukulan agak keras saat kedua matanya melotot marah. "Kenapa Jenderal satu ini gemar sekali memotong pembicaraan seseorang, hah? Aku bahkan belum selesai bicara dan kau selalu memotong ucapanku." Sang Jenderal tertegun sejenak. Saat Adonia berjalan ke luar pintu dan meninggalkan pintu itu dalam keadaan terbuka. Satu militer hitam yang berjaga di depan pintu lekas masuk, membungkuk maaf pada Sang Jenderal dan menutup pintunya diiringi helaan napas berat dari Sang Jenderal. *** "Adonia, astaga. Ada apa?" Nohara Rin mendekat dengan cemas saat dia menjatuhkan tongkat kayunya dan memegang pundak Adonia yang menegang. Gadis manis itu membuang busur dan anak panahnya, lalu bergelung di atas ranjang dengan isakan tertahan. "Bagaimana bisa, kakak? Aku ini apa?" Adonia mendesis frustrasi dan Rin semakin tidak mengerti kemana arah pembicaraan gadis itu. "Apa maksudnya?" "Jenderal akan menikahiku!" "Apa?" Rin terperangah. Terlalu terkejut hingga mulutnya terbuka lebar. "Jenderal Andara?" "Hanya ada satu Jenderal di sini." Adonia kembali berguling layaknya anak kecil di atas kasur tua di dalam rumah mereka di Distrik Lily. "Apa Abria Valerie tahu?" Adonia duduk dengan tegak. Menatap Rin dengan sorot lelah yang amat sangat. Seketika hati Rin merasa diremas sesuatu tak kasat mata menemui adik kecilnya terluka di beberapa bagian cukup dalam. "Tidak. Dia tidak tahu." Adonia tiba-tiba melompat. Meremas tangan Rin yang pucat. "Kakak, aku akan pergi ke distrik lain dimana Jenderal itu tidak akan menemuiku." Alis Rin terangkat tinggi. Mendadak konyol dengan ucapan Adonia. "Distrik lain? Maksudmu?" "Aku akan menghindari Jenderal itu sampai dia menyesali keputusannya menikahiku. Mendadak sekali! Aku bahkan tidak tahu apa alasannya menikahiku." Bibir Rin berkerut tipis. Di bawah sinar lampu temaram ruang tengah mereka, ditemani deru napas Adonia yang memburu tak sabar, Rin akhirnya membuka suara. "Tidak ada satu distrik pun yang terlewat dari mata Sang Jenderal, Adonia. Jika pun ada—" Rin terdiam. "Bagaimana dengan Distrik Red?" Kedua mata Rin melebar. "Distrik Red?" Dia tertegun. "Adonia, distrik itu dulu dibawah pengawasan Letnan Jaasir yang sekarang tidak lagi menjabat. Kau mau kesana?" "Tidak. Pasti berbahaya." Adonia tersenyum tipis. Menyadari begitu cemas raut wajah kakak tertua yang lemah. Adonia lantas bangun dari ranjang usang itu. Dia bersiap pergi untuk membersihkan diri saat Rin bersigap mengambil kotak obat untuk mengobatinya. "Kakak, Letnan Jaasir ... bukankah dia—" "Sudah. Mandilah. Aku akan menunggumu di sini." Adonia hanya mengangguk singkat sebagai balasan dan tidak lagi bertanya. Dan Rin hanya menunduk, menatap kedua telapak tangannya dengan kernyitan di dahi sebagai respon kegundahan hatinya. Apakah ini berkaitan dengan tanda kupi-kupu di bahu Adonia? Pagi harinya, saat Adonia memakai jubah untuk menyamar sebagai rakyat biasa dan berbaur dengan pakaian cokelat hangat layaknya rakyat pada umumnya, dia menelusup masuk ke dalam Benteng Ankara untuk menemui Abria Valerie yang sangat dia yakini diterima masuk di dalam asrama Departemen Kesehatan sampai dia tidak kembali ke rumah untuk memberi kabar. Adonia masuk ke dalam Departemen Kesehatan. Beberapa militer yang menangkapnya lalu melepaskannya tanpa mau peduli. Adonia mendengus acuh, merasakan dirinya benar-benar dianggap angin lalu sekarang. "Adonia!" Abria Valerie berlari berhambur ke pelukannya. Mereka bertemu di luar Benteng Ankara yang dijaga ketat karena Adonia belum mau kembali ke dalam benteng itu sebagai sosok lain dan bukan calon prajurit militer hitam. "Hei, kau tidak apa?" Adonia meringis merasakan lutut Valerie tanpa sengaja menyentuh bekas luka di lututnya. Gadis pirang itu menggeleng haru. Kedua matanya berkaca-kaca. "Aku baik. Apa kau tidak diterima masuk ke dalam militer hitam?" Dan Adonia menceritakan segalanya tanpa sedikit pun terlewatkan. Membuat kedua iris biru laut itu melebar sempurna. "Gila. Jenderal itu sudah gila." Kepala pirang itu berulang kali menggeleng tak percaya. "Dia mengajakmu menikah? Aku tidak percaya ini." "Aku kembali ke rumah untuk mengasingkan diri. Aku diterima masuk ke dalam militer hitam. Hanya saja, Jenderal itu membebaskanku memilih mana yang aku mau." Abria Valerie menggeleng sekali lagi. "Tawaran yang menarik. Dia tepat tahu apa yang kau inginkan." Satu letusan pistol menggema hingga kembang api di siang hari terlihat memudar di tengah birunya langit di atas kepala. "Mereka sedang berlatih." Adonia bergumam pelan dan kepala Valerie menoleh untuk menatapnya. "Aku tidak tahu harus bicara apa. Tapi, pernikahan di Andara hanya mampu dipisahkan oleh kematian. Ambisimu memang memberi pelajaran pada Jenderal karena dia membuatmu menderita. Hanya saja, bukankah ini kesempatan?" "Lalu, setelah dia mati, aku akan dihukum. Begitu? Valerie, jika aku menjadi istrinya. Semua akan semakin sulit." Abria Valerie menggeleng bingung. Bahunya merosot putus asa. "Aku pun sama kalutnya denganmu. Aku dimudahkan masuk tanpa aku tahu alasannya. Apakah ini konspirasi?" "Kau yakin?" Kepala pirang itu mengangguk tanpa ragu. "Tidak mungkin. Kau pintar dan berbakat. Itu hanya perasaanmu saja." Adonia menepuk pipi sahabatnya dan Valerie hanya bergumam samar sebagai reaksi. "Aku harus pergi." Adonia memakai tudung jubahnya dan melesat masuk ke dalam hutan pohon pinus melalui jalan setapak yang biasa dilalui para penduduk biasa jika ingin pergi untuk keperluan menuju Benteng Ankara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD