Pagi ini kami siap-siap untuk menemui orangtuaku. Kami akan meminta restu mereka terlebih dahulu. Jantungku mulai tak karuan. Rasanya sudah tidak pada tempatnya. Aku selalu berdoa dalam hati, semoga ayah dan ibuku tidak akan membunuhku.
Sudah sekitar tiga jam perjalanan, kami mampir di sebuah toko kue untuk membeli oleh-oleh. Kami rehat sebentar dan makan siang karena rumahku masih jauh. Orangtuaku tinggal di semarang, butuh waktu tujuh jam untuk sampai kesana. Kami kembali melanjutkan perjalanan. Selama perjalanan kami lebih banyak diam. Saling beradu dengan pikiran masing-masing. Entah apa yang di pikirkan Rei, aku tidak tau. Aku tidak mau mengganggunya saat menyetir, aku takut mengganggu konsentrasinya.
Kami telah sampai di rumahku. Orangtuaku menyambut kami hangat.
"Sayang, kok gak bilang-bilang mau pulang. Ibu kan bisa masakin makanan kesukaan kamu" itu ibuku, Clara. aku mencium punggung tanganya begitu juga dengan Rei. "Ayo masuk, ayah dan adikmu ada di dalam, mereka sangat merindukanmu. Ayo nak Rei masuk" ibu mengajak.
"Oh iya tante" Jawab Rei
"Ayah" aku mencium punggung tangannya dan langsung memeluknya. Kutahan air mataku yang hampir terjatuh. Biasanya kalau aku pulang, aku akan bergelut manja pada ayahku, tapi kali ini bahkan tersenyumpun aku memaksakan.
"Kamu pulang sayang, ayah merindukanmu, rindu bertengkar denganmu" goda Candra, ayah tercintakuku. Ayahku memang sering membuatku kesal, tapi hanya sekedar menggodaku. Yah, begitulah seorang ayah dengan putrinya. Rei juga mencium punggung tangan ayahku
"Bagaimana kabarnya om? Tanya Rei.
"Om baik, terimakasih sudah menjaga Dia dan mau menemaninya kemari. Sudah lama kita tidak bertemu" kata ayahku.
"Sudah tanggung jawab saya om menjaga Dia" jawab Rei tulus.
Aku memeluk adik kesayanganku Clarisa, kami sering memanggilnya Sasa. Meskipun dia sudah kuliah, bagiku dia masih bocah kecil. Kami berbicang-bincang dan sesekali bercanda. Tak terasa waktu berlalu, sudah jam tujuh malam. Aku membersihkan diri dulu. Setelah selesai, aku meminta Rei membersihkan diri karna sebentar lagi kami akan makan malam.
Makan malam telah usai, kami duduk di sofa melanjutkan perbincangan tadi. Aku mulai gugup. Tanganku bergetar. Aku tidak tau harus memulai dari mana untuk membicarakannya pada orangtuaku. Hingga akhirnya,
"Om, tante. Kami ingin membicarakan sesuatu" deg, jantungku serasa berhenti mendengar Rei bicara.
"Iya nak, bicaralah. Apa ada hal penting yang ingin kau bicarakan nak" tebak ayahku.
"Kami kesini mau minta restu om dan tante. Kami akan menikah" Rei memberanikan diri. Ibu dan ayahku saling tatatap, lalu kembali menatap kami berdua.
"Kalau memang itu sudah keputusan kalian, kami sebagai orangtua hanya bisa mendukung. Kapan rencana kalian akan menikah" tanya ayahku.
"Secepatnya om, setelah orangtuaku memberi restu" Rei langsung menjawab"
"Kenapa terburu-buru, masih banyak waktu nak, haha" ayahku masih sempat tertawa.
"Tidak ada waktu lagi om" Tawa ayahku terhenti mendengar ucapan Rei.
"Apa maksud kamu nak? Apa kalian ada masalah? Apa ada sesuatu yang kalian tutupi" itu ibuku. Aku dan Reu saling pandang. "Dia, jawab ibu, ini gak seperti yang ibu pikirkan kan?" ibuku mulai berkaca-kaca. Ayahku yang tau maksud ibuku langsung bertanya,
"Sudah berapa bulan?" tak bisa lagi kubendung air mataku, segera ku peluk kaki ayahku
"Maafin Dia ayah, maafin Dia, hiks... hikss... Dia sudah membuat ayah dan ibu malu, maafin Dia ayah hiks.. hiks.." ayahku membantuku berdiri. Lalu menuju Rei.
Plakkkk
Tangan ayahku mendarat di pipi Rei. Aku ingin membantu Rei, tapi ibu menahanku.
"Ini yang kamu bilang menjaga? Hahh? Kau bilang tanggung jawabmu menjaga putriku tapi kau merusaknya. Apa ini yang disebut menjaga?" tangis ayahku membuatku semakin lemas. Rei tak bergeming, dia masih tertunduk tak berani menatap ayahku. "Aku sudah gagal. Aku gagal menjadi ayah. Aku tak bisa menjaga putriku dengan baik" ayahku mengusap wajah dan membuang nafasnya kasar. "Kapan kalian akan menemui orangtuamu?" lanjut ayahku setelah sedikit tenang.
"Besok om" jawab Rei masih tertunduk tak berani menatap ayahku.
"Duduklah" ayahku mulai tenang. "Semua sudah terjadi. Tapi satu pesanku untukmu nak, jaga putriku sebagaimana aku menjaganya selama ini. Bahagiakan Dia semampumu" ayahku menahan tangisnya.
"Baik om, saya aka menjaga Dia kali ini. Saya benar-benar minta maaf sudah ngecewain om dan tante" ucap Rei tulus. Ayahku hanya menganggu. Lalu ibuku mengajakku ke kamar.
"Apa yang terjadi nak. Ibu tau kamu bukan wanita seperti itu nak. Cerita sama ibu" tangisku pecah " Tidak apa-apa, menangislah sampai kau tenang, baru bilang sama ibu" lanjut ibu sambil memelukku. Setelah smerasa tenang, aku menceritakan semua pada ibuku. "Begitu ceritanya bu, maafin Dia yang gak berpikir panjang"ibuku mengelus rambutku
"Tidak apa nak, ibu tau kamu anak baik. Yang penting sekarang Rei mau bertanggung jawab" kata ibuku tenang. Aku mengangguk. Aku tidak cerita kalau sebenarnya Rei sempat memintaku menggugurkan kandunganku. Aku tak mau menambah beban ibuku.
Paginya kami akan kembali ke Jakarta. Kami akan ke rumah Rei. Seteah selesai sarapan, kami berpamitan, kucium punggung tangan ayahku
"Dia pamit yah, maafin Dia yah" lagi-lagi air mataku menetes.
"Ayahku memeluk dan menciumku. Semoga bahagia nak" hanya itu yang ayahku katakan.
"Dia pamit bu, hiks.. Hiks.." kucium punggung tangan ibu sambil sesenggukan.
"Hati-hati nak, jaga dirimu baik-baik" ibu memelukku dan menciumku. Aku melihat air mata tertahan di dua bola mata indah itu.
"Kami pamit om, tante" Rei berpamitan sambil mencium punggung tangan orangtuaku.
"Hati-hati nak" hanya itu yang ayahku katakan sambil menepuk punggung Rei. ibuku hanya tersenyum. Kulihat adik kecilku yang suda sesenggukan entah sejak kapan. Aku memeluknya erat. Tangisku dan dia pecah.
"Baik-baik ya dek, jaga ibu sama ayah. Jangan mengikuti jejak kakak hiks..hiks.. Maaf kakak gak bisa jadi contoh buat kamu dek" kueratkan pelukanku.
"Kakak, hiks...hiks.. Aku pasti akan merindukanmu ka. Berjanjilah akan sering main kemari " ucap adikku.
"Iya dek, kakak janji" kataku.
Lalu aku dan Rei berangkat ke jakarta.
Sesampai di jakarta kami makan dulu. Aku sudah mulai deg-degan. Aku makan begitu lahap sampai Rei heran melihatku.
"Pelan-pelan sayang. Kamu kenapa" selidiknya, karena tak biasanya aku seperti itu.
"Aku lapar sekali. Kamu tau kan kalau aku makan untuk berdua?" aku berbohong. Dia hanya tersenyum.
Kami telah sampai di rumah Rei. Rasanya kakiku tak bisa kulangkahkan. Rei merangkulku menenangkan
"Kita hadapi sama-sama" bisiknya.
Aku melihat 2 wanita sedang asyik berbicara dan seorang laki-laki di kursi roda. Itu pasti Rosa adik perempuan Rei dan tante Renata mama Rei. Dan yang di kursi roda itu papa Rei.
"Mama" panggil Rei.
"Eh sayang, kamu udah pulang" mama rei tersenyum dan memeluk Rei, kemudian menatapku tajam
"Kakak" kata Rosa manja. "Siapa dia?" lanjutnya.
"Kita duduk dulu, baru kita bicara" Rei tidak menjawab pertanyaan Rosa.
Kami duduk di sofa, lalu Rei mengutarakan maksud kedatangan kami.
"Ma, pa. Ini Claudia pacarku. Kami akan menikah" mama dan adik Rei langsung syok mendengarnya. Beda dengan ayah Rei yang biasa saja dan tersenyum melihatku.
"Apa kamu sudah gila, kamu baru saja membawa wanita ini ke rumah ini. Bagaimana bisa sudah langsung mau menikah. Mama juga belum tau bibit bebet bobotnya. Mama tidak setuju kamu menikah" mama Rei menolak.
"Iya ma, aku juga tidak setuju" ketus Rosa sambil menatapku.
"Pokoknya kami harus menikah ma, Claudia mengandung anakku" sontak mama dan adiknya syok. Tapi papa Rei mencoba untuk tetap tenang.
"Aku harus bertanggung jawab atas perbuatanku ma, jadi tolong restui kami. Papa mau kan merestui kami" lanjut Rei menatap papanya.
"Iya nak, papa merestui kalian. Semoga kalian bahagia. Sebagai laki-laki, memang harus bertanggung jawab atas apa yang sudah di perbuat. Itu baru anak papah" Restu papanya.
"Tidak, mama tidak setuju. Bagaima bisa kamu menghamili perempuan ini Rei. Mama tau kamu, kamu bukan seperti itu" protes mama Rei.
"Gugurkan saja anak itu. Perkara selesai" perkataan itu begitu menusuk hatiku. Dimana hati nuraninya, beliau juga perempuan dan seorang ibu. Bagaimana bisa tega berkata seperti itu. Aku masih menahan amarahku.
"Mama, apa yang mama bicarakan. itu cucu kita ma, bagaimana bisa mama setega itu. Mama juga harus memikirkan perasaan calon menantu kita" Papa Rei membantah
"Papa tidak usah ikut campur, paa tidak bisa apa-apa. Tidak becus. Diam saja di kursi rodamu itu. Ini urusan mama sama Rei" nada mama Rei terdengar meninggi. Mereka akhirnya berdebat karena itu, aku sedikit merasa bersalah. Aku sakit mendengar mama Rei meremehkan papanya.
Setelah selesai berdebat, kami semua diam. Hening tidak ada yang berbicara. Bahkan jarum jatuhpun bisa terdengar. Aku semakin panik. Calon mama mertuaku ini menatapku tajam.