New Romantics

3471 Words
"Hey, small p***s!" Deomy Dwayne memutar mata bosan. Sepertinya, dia perlu menunjukkan seberapa besar kejantanan yang ia miliki daripada pria yang mengaku pecinta wanita tapi bermulut kotor dan pedas. Merangsek untuk mendesak maju, Dwayne harus menahan diri untuk terus terbelakang karena tarikan kasar Rei Zico. "Lepas!" "Biarkan saja," sahut Zico masam. Rupanya melihat Dwayne yang siap mengamuk di bar malam bukan ide yang tepat. Zico tidak ingin menonton pertunjukkan membosankan yang berujung pada Dwayne mendekam di kantor polisi. Yah, meski berakhir kembali bebas. "IT'S NOT SAME AS YOURS." Dwayne masih bangun, mengacungkan jari tengahnya tinggi hanya untuk membuat harga diri pria itu merosot jatuh. Myoujin Laka berdecak. Mendengar Deomy Dwayne berteriak membuat telinganya sakit. Kenapa diantara mereka semua, harus Dwayne yang mudah tersinggung dengan celaan orang lain? "COMPARE MAN! COMPARE!" "Hey, my size—," "Aku benar-benar akan meminta pria berbadan besar itu untuk menyeretmu pergi kalau kau masih berisik, Akasuna!" "Kenapa kau banyak mengeluh seperti perempuan?" Kapten tim volly nasional itu mendengus. Nyaris saja dia melempar botol whiski di atas meja ke kepala pria itu. "Kau tidak punya kaca di rumah? Kau sejak tadi berteriak seperti anjing yang menggonggong karena melihat jantan baru." Laka terlihat berusaha keras untuk tidak tertawa. Melainkan melempar tatapannya pada Drew yang termenung, menatap datar ke arah teman-temannya tanpa ekspresi. "Kau tidak apa?" Drew menggeleng. Otaknya masih bekerja dengan baik untuk merespon panggilan dari sekitar. "Jam berapa acaranya?" "Delapan malam," Zico mendorong gelas raksasa birnya menjauh dari genggaman tangan. "Kau datang?" "Dia pasti datang. Pesta adalah salah satu tempat terbaik membidik mangsa berkelas," sahut Dwayne masam. Orlan mendesah. Menatap Drew yang tampak merenung dalam diam. "Kau mungkin butuh pelampiasan dari sekedar mengejar perempuan yang tidak pasti. Di dahi barista itu jelas sekali terlihat dia suka dengan pria tangguh." "Bukan. Mereka hanya ingin menginginkan pria yang memiliki hidup normal dan baik-baik saja. Jauh dari kata reputasi buruk. Cukup reputasi yang wajar untuk tidak menarik banyak perhatian," sela Laka dingin. Drew kembali larut. Menatap alkohol dalam gelasnya dan mendesis. "Apa aku terlihat sedepresi itu di mata kalian?" "Skala sepuluh sampai seratus, kau ada di tengah-tengah. Lima puluh." Dwayne menggeleng miris. "Kita tidak bisa benar-benar tertarik pada perempuan. Yang mencari sesuai kelas, dan memandang rendah perempuan yang bukan di kasta yang sama," telunjuk Dwayne mengarah pada Laka. "Kau bisa bertanya pada pria yang bertekuk lutut pada gadis aneh yang ternyata anak orang kaya. Pelayan di restauran laut dan terlihat seperti pekerja keras. Itu benar adanya." "Sialan," Laka balas mendengus. Orlan balas menggeleng. "Aku pernah berkencan dengan juniorku di klub. Membosankan. Aku tidak terkejut dengan para gadis ini. Dan hubungan kami bertahan hanya satu minggu. Itu rekor terlama yang aku miliki dalam sejarah percintaanku." "Pada intinya, kita tidak benar-benar bisa bertahan dalam hubungan yang lama. Setiap perempuan, punya daya tariknya sendiri untuk memikat lawan jenis. Dan kita tidak tahu, seberapa lama kita terpikat sampai merasa bosan." "Bagaimana kalau selamanya?" Dwayne bertanya. Zico mengangkat bahu. "Kalau selamanya, itu cinta bodoh. Kenapa denganmu hari ini? Tersinggung karena pria tadi meledekmu?" Semua tertawa, terkecuali Drew yang mematung di tempat duduknya. *** "Permisi." Kairo mengangkat alis dengan senyum menggoda. "Instead of excuse me, it is better a hi." Daisy mendengus. Menurunkan teko susunya dengan kepala meneleng ke kanan. "Jangan dengarkan dia, manis. Ingin pesan apa?" Gadis berusia belasan tahun itu terlihat gugup. Matanya berkeliling menatap pada papan menu yang menyala. Terlihat hidup dan berwarna. Tulisan pada layar besar itu turut menampilkan harga yang membuat pembeli bebas memilih dalam berbagai ukuran gelas. Kairo bergerak mundur. Membiarkan Daisy mengambil alih. Seringai nakal masih tercetak jelas. Meski dia tahu ini bagian dari pekerjaan, gadis itu rupanya bukan seperti perempuan lainnya yang mudah merona. Dia malah seratus persen terlihat takut dan canggung. "Oke, biang masalahnya sudah pergi. Ingin pesan apa?" Daisy berdiri di meja kasir. Membiarkan gadis dengan rambut cokelat sebahu itu memilih. "Aku tidak terlalu suka kopi, tapi bisakah aku mencoba Green Tea Iced dengan ukuran sedang dan ekstra es?" "Tentu. Kami memberikan pilihan untuk kalian yang tidak terbiasa mencicipi pahitnya kopi," balas Daisy ramah. Meminta gadis itu untuk membayar sesuai harga dan menunggu. "Aku baru pertama kali datang. Sekolahku dekat dari sini. Dan beberapa temanku bilang, kafe ini sering menjadi tongkrongan para pria tampan." Daisy menautkan alis. Membuatkan pesanan gadis itu dengan senyum memelas. "Benarkah? Kalau begitu, mereka benar. Kafe ini beberapa kali dikunjungi pria tampan. Yang sekadar duduk atau berbincang bersama teman dan kekasihnya. Kau seharusnya datang agak sore." "Ah, bukan masalah. Aku bisa datang lain hari." Daisy mendorong gelas minuman itu bersama sedotannya. "Senang melihat pembeli baru di sini. Nikmati minumanmu. Selamat siang." "Siang," balasnya dengan senyum kikuk. Kemudian, berlalu untuk membawa minumannya keluar dari kafe. "Berapa usianya?" "Entahlah, sepertinya remaja sekitar lima belas jalan enam belas. Dia terlihat canggung sekali. Terutama menghadapi buaya darat seperti Kairo," balas Daisy masam. Melihat Rose datang dari dapur dengan tampilan yang lebih sederhana. "Kairo hanya menggoda, tidak tidur dengan mereka. Kau lupa kalau seks terakhirnya adalah SMA kelas dua. Dia sendiri yang bilang. Bersumpah atas nama Tuhan di depan kita." Daisy memutar bola mata. Mencuci tangannya sendiri dan kembali duduk. Menatap pengunjung kafe yang tidak terlalu ramai karena siang hari. "Kau sakit? Apa semalam kau begadang dan kurang tidur?" Daisy menahan lengan sahabatnya untuk tidak terus berjalan memutari dapur dan meja barista. Rose menarik napas, mengambil tempat duduk dengan memijit kepalanya. "Tidak ada. Aku hanya belum membayar hutang bank. Aku lupa kalau jatuh temponya minggu depan." "Kita akan mendapat gaji minggu ini." Rose menghela napas berat. "Aku melupakan hal itu. Aku kurang tidur semalam. Aku menonton televisi sampai pagi. Lupa kalau harus bekerja," ujarnya masam. "Aku ingin tidur. Tapi, aku harus tetap profesional membantu kalian di sini." Kairo mengaduk cream baru di dalam wadah. Melirik kedua rekannya dan menggeleng pelan. "Kau sepertinya butuh tidur. Karena besok, kita punya pekerjaan penting." Alis Daisy bertaut. "Penting?" "Daisy, bonusnya besar. Untuk pertama kalinya kafe kita menawarkan diri menjadi tender penyedia minuman dalam satu pesta besar. Aku tidak tahu jenis pesta apa ini, tapi yang jelas ini luar biasa." Rose menahan napas. "Kau serius? Pesta? Kafe kita menjadi pemenang tender untuk bagian penyedia minuman?" Daisy menarik napas. "Apa kita akan tetap bekerja sampai pesta bubar?" Kairo mengerutkan kening. Kerutannya semakin dalam saat dia menaruh bekas wadah itu ke wastafel. "Aku belum bertanya. Mungkin, bos akan memberi kabar setelah dia kembali dari panti pijat." "Cih, pria tua bangka itu," gerutu Rose. Daisy berdecak menahan tawa kesal. "Dia punya dua anak seusia kita. Satu laki-laki dan satu perempuan. Tapi, kebiasaannya belum berubah? Aku pikir, berbagi dengan anak-anak pengidap kanker salah satu cara penebusan dosa." "Semudah itu?" Kairo mengerang tidak percaya. Sulit sekali percaya. Berdoa pada Tuhan agar saat dia tua nanti, tingkahnya tidak aneh-aneh dan tetap ada di jalan yang lurus. "By the way, atlit volly kebanggaan nasional kita masih suka menghubungimu?" Rose menautkan alis. Menatap Daisy dan Kairo bersamaan. Dengan tampang polos nan menyebalkan, menunjuk pada dirinya sendiri. "Kalian bertanya padaku? Atau pada gelas-gelas kosong ini?" "Bertanya pada Yang Maha Kuasa," balas Kairo jengkel. "Siapa lagi memang? Si bodoh Lively yang terjebak dalam trik murahan ala pemain bintang." "Brengsek." Daisy mendesah pendek. Menggeleng miris saat dia menuangkan air putih dalam gelas. "Aku rasa, kita sepakat. Kalau para bintang itu pembawa sial." Daisy belum sempat menghabiskan sisa minumannya saat pintu kafe terdorong ke dalam. Dan menemukan Rei Zico dalam tampilan kasual masuk, menatap datar pada sekumpulan gadis yang menahan napas menatap sosoknya. "Tidak dengan kamera, please?" Zico meminta salah satu dari mereka untuk menurunkan ponselnya. Tidak memakai fitur kamera untuk mengambil potret gambarnya diam-diam dan disebarkan ke sosial media. "Aku tidak mau membuat para pekerja ini kesulitan. Mereka sudah kerepotan karena kami, dan tidak ditambah dengan penggemar kami." Zico membungkuk sopan setelah mereka mengangguk. "Sekali lagi, terima kasih." Daisy mematung. Sesekali mencuri pandang ke arah para pengunjung yang dengan berlapang d**a menerima masukan Rei Zico. Tidak ada salahnya mengiyakan. Karena apa yang Zico katakan adalah kebenaran. Menghargai privasi di saat mereka sedang menikmati liburan itu penting. "Bisakah, aku memesan sesuatu? Aku sedang berada di dekat sini, dan mampir untuk membeli kopi." Untuk pertama kali, Daisy mendengar suara pria itu mengalun lancar. Membuat lambungnya terasa bergejolak. Terlepas dari tempatnya menghantam lantai. "Tentu," balasnya kaku. Zico mendengus menahan senyum. Menyimpan kacamata hitamnya yang terpasang di atas kepala dan berpikir. "Americano Coffee Ice. Untuk gelas, aku meminta ukuran sedang. Dan tolong, jangan terlalu banyak es." Daisy tanpa banyak kata menghitung. Meminta Zico untuk membayar dan menerima kembalian. Setelah itu berbalik, mengambil kopi dari tangan Kairo dan memberikannya pada pria itu. "Terima kasih." Daisy mengangguk canggung. "Sama-sama." Berpikir kalau dia sepenuhnya telah berubah. Berada dekat dengan jarak yang memungkinkan mereka bisa saling mencium satu sama lain, membuat Daisy mulas. Dia tidak mungkin berpikiran m***m saat sedang bekerja. Namun, ini Rei Zico. Pria yang ia gilai sejak duduk di bangku menengah atas. Rose memicing. Menahan napas tatkala menemukan Rei Zico belum beranjak pergi. Dan terkesan ingin berlama-lama menikmati pemandangan gadis pembangkang yang berubah menjadi gadis lugu di depannya. Kairo berdeham. Menarik bahu Daisy yang mati kutu untuk mundur. Saat Zico memberikan seringai kecilnya, mengangkat gelas kopi itu ke udara. "Aku sependapat dengan Laka. Aku datang bukan untuk menatap kalian berdua, barista yang terkenal. Tapi, untuk mencicipi kopinya. Ini enak." Kairo memutar mata. Meninggalkan senyum ramah Zico seperti dia baru saja memenangkan grand prix berhadiah besar. "Tentu saja, bertemu kalian adalah bonus." Zico melempar tatapan matanya pada Daisy sekilas. Sebelum berlalu, berjalan santai mendorong pintu kaca itu terbuka. Membiarkan Daisy meremas dadanya sendiri, meluruh jatuh terduduk di atas lantai dengan gelengan kepala miris dari Lively Rose. "Berusaha keras menolak pesona Alexander Drew, tetapi mencair saat bertemu Rei Zico? Dasar aneh." Daisy sebisa mungkin mengabaikan sindiran keras itu. *** Daisy tidak pintar-pintar amat dalam merias diri. Setidaknya, itu yang dia tekankan pada dirinya sendiri. Saat terpaksa menghadiri pesta salah satu pengusaha ternama. Yang perusahaannya membawahi beberapa iklan bersama para bintang muda. Daisy yakin, pemilik The Gold Coffee punya koneksi yang bagus. Bagaimana bisa dia dekat dengan pengusaha sukses ini kalau tidak punya orang dalam? Memilih untuk membuang napasnya kasar, Daisy benar-benar merasa perutnya seperti dililit. Dia harus mencari kamar mandi untuk tenggelam dan mengunci dirinya sendiri di sana. Dia datang bukan sebagai penjaga minuman, tapi tamu. Karena bos mereka melarang memakai atribut kafe dan meminta mereka berdandan sesuai kelas. Kelas yang mana? Daisy ingin berteriak. Memaki pada bos besarnya. Yang sayangnya, hanya berani mengeluarkan perintah dari balik ponsel. Daisy melirik Kairo yang mencoba mencuri satu atau dua bolu cokelat lagi dari meja makan. Selamat tinggal diet! Buang jauh-jauh kalimat neraka itu dari Kairo. Perutnya membuncit, kiamat sebentar lagi. "Ya Tuhan. Aku senang akhirnya gaunku terpakai. Tapi, melihat bagaimana para perempuan di sini merias diri mengalahkan badut anak-anak, aku benar-benar ingin pulang." Daisy mendengus menahan tawa. Mereka mencari tempat agar tidak mencolok di antara barisan. Sebenarnya, mereka tetap saja harus mengatur berapa gelas. Tetapi, karena aula ini menyewa pekerja yang jauh lebih ahli, mereka meminta Daisy bersama dua rekannya menikmati pesta, dan bukan mengurus dapur. Kairo berjalan mendekat. Mencomot satu bolu penuh ke dalam mulutnya dan meringis. Merasakan cokelat lembut itu lumer di dalam mulutnya. "Sial. Ini enak sekali. Sudah enak, sepuasnya, dan gratis." Daisy memutar mata. Dan Rose bergerak menyikut perut pria itu. "Kalau kau membuat malu kami, aku akan membunuhmu." Kairo mendesis. Tapi tak ayal, ancaman itu membuat nyalinya menciut. DeomyDwayne menurunkan gelas anggurnya dari tepi bibirnya. Manakala mata nakalnya menangkap dua gadis menarik yang baru saja memasuki aula. Senyumnya melebar pongah, begitu juga saat matanya menatap nakal pada gaun yang menjuntai indah itu. "Aku mengenal salah satunya. Tapi, ya Tuhan. Siapa gadis memakai biru langit itu?" Alis Drew terangkat. Menurunkan gelas minumnya kala mengikuti arah pandang Dwayne. "Kau tidak tahu?" Dwayne menggeleng dengan ringisan kesal. "Kalau aku tahu, aku tidak akan bertanya padamu." "Ardella dan temannya," balas Drew singkat. Kembali menegak minumannya dan menaruhnya pada nampan yang lewat di sampingnya. "Dia pemilik salah satu butik terkenal di Tokyo. Kalau tidak salah, baru saja membuka cabang kelima puluh di Osaka." "Kau serius?" Drew mengangguk kecil. "Ibuku menjadi pelanggan tetap. Pakaian rancangannya bagus." "Wah!" Dwayne mulai kegirangan. "Ini kesempatan bagus." "Apa?" Dwayne menyikut Drew bersama seringai bangganya. "Kesempatan bagus untuk mendekatinya. Berkencan selama satu atau dua bulan, bukan masalah." Drew benar-benar dibuat bingung. "Kau mau berkencan dengannya?" Dwayne mulai sinis. "Kenapa memangnya? Apa kau menyukainya? Karena dia pemilik butik langganan ibumu?" Drew balas mendengus. Menatap rekannya dengan pandangan geli bercampur dingin. "Sepertinya, ada yang salah dengan kepalamu. Kau ingin berkencan dengan transgender seperti dia?" "Sebentar." Dwayne mendengar suara tawa tertahan dari ketiga rekannya yang lain. Mereka saling melempar pandang. Sebelum amarah Dwayne memuncak. "Namanya Maria, teman Ardella. Itu nama sekarang, selepas dia merombak total dirinya." "Siapa dia sebenarnya?" "Mario, nama sebelumnya." Ledakan tawa berhembus kencang dari sekumpulan para bintang. Semua mata pecah, menatap mereka dengan intens dan serius. Termasuk, Orlan yang tidak bisa menahan dirinya untuk berhenti. Nyaris tersedak anggurnya sendiri. "b******k! Berhenti tertawa!" "Oke, oke. Mario Hart. Pria berdarah Belanda-Jepang. Aku mengenalnya. Mau jadi pria atau wanita, dia tetap mengesankan. Operasinya berjalan lancar. Kalau tidak, si bodoh ini tidak akan tertipu, kan?" Dwayne menggeram marah. Mencuri satu pukulan untuk Orlan yang masih tertawa. Tidak sama sekali merasa sakit karena pukulan keras pada dadanya. "Senang melihatmu datang, Drew." Drew mengangkat alis. Menatap sang ibu dengan balutan pakaian mahal. Berkelas sesuai namanya. Alexander Tari tersenyum, menepuk bahu Zico yang berdiri menjulang di sebelahnya. "Selamat malam, anak-anak. Menikmati pesta?" "Tentu saja," balas Laka ramah. "Bagaimana denganmu, Bibi?" "Yah, membosankan. Kalau saja aku tidak mengenal siapa yang punya pesta besar ini, aku akan menikmati spa malam ini di rumah." Zico menahan senyum. Kembali mengangguk saat Tari memilih untuk pergi. Bergabung dengan teman sosialitanya. Membicarakan proyek amal mereka, berkata dengan tenang dan elegan. "Aku masih merinding kalau berdekatan dengan ibu Drew." Laka mengiyakan ucapan Orlan dalam diam. *** Daisy pikir, hidupnya akan baik-baik saja. Nyatanya, berada di pesta ini sama saja dengan bunuh diri. Kenapa? Karena sekumpulan pria b******k itu sedang berdiri, memantau mangsa dengan tatapan lapar mereka. Daisy bukannya tidak tahu kalau sejak tadi DeomyDwayne melempar tatapan senonoh pada gadis dengan gaun biru langit yang mencolok. "Ya Tuhan, semoga ada badai besar dan aula ini tenggelam. Aku bosan sekali." Daisy meringis. Menatap Rose yang berulang kali mengipas dirinya. Udara sama sekali tidak terasa panas. Tapi, berada di sekeliling manusia berdompet tebal membuat setan bernama dengki di dalam diri mereka terbakar. Kairo menatap kaku. Tahu bagaimana kastanya di sini, pria itu memilih untuk diam. Meski beberapa kali Daisy menangkap, kalau ada sekumpulan para gadis mencoba merayu dengan isyarat mata. "Imanku diuji di sini. Aku harus kuat," bisik Kairo menyemangati dirinya sendiri. Daisy mendesah pendek. Meremas lengannya sendiri yang terbuka. Dia memakai gaun pendek tanpa lengan. Dengan tali spageti dan sepatu heels berukuran dua centi. Membiarkan rambut panjangnya tergerai, dan berpenampilan pantas untuk tidak membuat malu bos terhormat mereka. "Terkutulah klan mereka," sahut Rose kasar. Mengutuk bos mereka yang duduk-duduk santai bersama si pembuat pesta. "Excuse me, ladies. Tapi, pandangan para Billionaire's Boy Club mengarah pada kita." Tuhan. Daisy ingin tenggelam sekarang. Rose mengembuskan napas kasar. "Tetaplah tenang, banteng jantan. Aku sedang berusaha menahan diri untuk tidak berlari ke kamar mandi karena malu." "Kenapa harus malu? Kau berpakaian sama seperti para gadis di sini." Daisy memutar mata. Ingin sekali meminta pelayan meminjamkan gelas kosong mereka. Mengetuk gelas itu ke kepala Kairo. "Kita tidak melakukan kesalahan besar dengan kembali ke rumah diam-diam, kan?" Daisy berbisik dan Rose mengangguk samar. Mereka tersudut seperti kancil betina. Dengan para predator berkamuflase menjadi pangeran tampan. Semua yang datang adalah perwujudan dari dementor yang siap menyedot habis para perempuan lemah iman. Daisy mengangkat alis menemukan sosok yang sama. Yang ia temui kemarin siang di jalan besar. Tengah berdebat dengan Drew. Cukup sengit, sampai-sampai Daisy bingung apa yang mereka ributkan. Tapi apa pun itu, Daisy tidak peduli. Perempuan itu menjelma seperti bidadari yang turun dari langit. Mungkin, gaun putih s**u yang mencolok itu. Atau, kedua matanya yang bersinar tajam. Perpaduan perempuan kelas atas dan keangkuhan. Daisy menemukan harga diri tinggi yang dia bangun susah payah. Dengan dagu terangkat, sosok itu berhasil mencuri tatapan nakal para pria. Dengan melenggok santai, mendekat salah satu sekumpulan sosialita paruh baya yang tersenyum manis padanya. "Ya Tuhan, setelah sekian lama akhirnya kau kembali juga." Perempuan itu hanya tersenyum tipis. Membenahi rambutnya dengan hati-hati. "Aku merindukan kalian. Sudah lama sekali. Apa kabar?" "Kami baik, Tala." Ah, namanya Tala. "Kau melihat siapa?" Daisy menarik napas. Menggeleng berulang kali saat dia tanpa sengaja menoleh, menemukan sepasang manik pekat membuat kedua kakinya terasa terkubur di dasar lantai. Daisy meringis, membuang pandangannya untuk tidak kembali bersinggungan dengan galaksi tanpa ujung itu sekali lagi. "Bukan siapa-siapa." Rose bersidekap. Menampilkan raut sesinis mungkin sampai benar-benar perasaannya membaik. "Aku lebih baik menari di bar malam ketimbang berada di pesta penuh topeng ini." Kairo menghela napas panjang. "Kalau kau terus mengeluh, ada baiknya memang kita pulang." Lively Rose menarik turun ujung gaunnya. Mulai merasa tidak nyaman pada pemandangan sesak dalam aula yang membuatnya jengah setengah mati. Berjalan untuk pergi mencari alkohol, dia harus menahan pekikan karena seseorang telah menabraknya. Kedua mata Daisy yang terpejam membuka, menemukan Kairo memasang ancang-ancang untuk membela sahabatnya. "Kenapa kau berjalan tanpa melihat? Di mana matamu?" Alis Rose naik. "Kau bercanda? Kau baru saja menyalahkanku, sialan. Cari mati rupanya," Rose mendesis dingin. Daisy menurunkan sikap waspadanya. Berjalan tenang untuk menarik sahabatnya mundur. Tidak ada gunanya Rose memamerkan sikap kasarnya. Ini bukan kelas mereka. "Rose," Kairo mendekat dan Rose menahan pria itu dengan tangannya. "Dengar, yang seharusnya berlutut minta maaf itu adalah dirimu. Bukan aku!" Daisy bergegas mendekat. Saat perempuan bernama Tala itu hendak menampar karena Rose berani bersuara tinggi padanya, tetapi sang sahabat telah lebih dulu merampas kesempatan dengan mendorongnya kasar. Membuat Tala terjatuh dengan perasaan malu. Melempar tasnya untuk menambah rasa sakit Tala. "Persetan! Gayamu boleh tinggi, tapi sikapmu benar-benar buruk." Kairo tercekat. Bersamaan dengan suara musik yang mengalun mendadak senyap. Daisy mengutuk dirinya sendiri, menarik bahu Rose untuk mundur. "Ayo, kita pergi dari sini." "Lain kali, kalau kau berjalan gunakan matamu! Jangan gunakan bokongmu yang rata itu!" Kairo meringis. Tidak membiarkan Tala menyentuh sahabatnya. Saat ucapan kasar Rose membut beberapa orang menahan napas. Mungkin, mereka tahu siapa Tala. Tapi mereka tidak. Dan Daisy tidak mau mencari tahu. "Sialan! Kurang ajar sekali kau padaku!" Kairo memilih untuk tidak melanjutkan perkelahian. Dia menarik Rose mundur, saat Daisy maju untuk membentengi teman baiknya. "Aku rasa—," "Ini bukan tempat yang bagus untukmu berkelahi, Tala." Kairo dan Rose membeku bersamaan. Sama halnya dengan Daisy yang harus menahan napas karena jarak pandangnya dengan Tala harus terhalang. Dengan tubuh tegap, punggung kokoh itu membuat Daisy kesulitan mencari oksigennya sendiri. Pandangan Zico turun pada gadis yang membeku dibelakang Alexander Drew. Dengan dehaman pelan, bermaksud membubarkan tontonan gratis ini, dia mendekat. "Sayang sekali, Tala. Ini bukan tempat terhormat untukmu menunjukkan taring." Tala meringis pelan. Menatap Drew lekat, pandangan benci yang tidak bisa ia tahan-tahan lagi. Saat Drew dengan santai menghadang langkahnya untuk maju, memberi tembok besar untuk mendekati tiga manusia aneh itu. "Minum dulu, Tala. Ini air putih, bukan air kran kamar mandi." Dwayne mendorong gelas baru untuk Tala. Yang menepis tangan itu sampai gelas itu terlempar ke atas lantai, membuat Alexander Tari menahan napas. "Persetan dengan kalian semua." Laka mendengus menahan tawa. Saat Orlan berjalan mendekat, dan sikap waspada Rose membuatnya menarik langkah. Bersamaan Kairo yang seperti ingin memakannya bulat-bulat. "Lupakan saja dia," bisik Zico pada Daisy yang masih membeku. "Kalian tidak perlu mencari masalah. Kembalilah ke rumah." Dwayne berdeham. Bertepuk tangan agar musik kembali menyala, dan membiarkan para tamu kembali berisik dengan diri mereka sendiri. "Bukan kami yang mencari masalah," balas Daisy ketus. Tidak peduli siapa yang baru saja mengajaknya bicara. Pandangan matanya masih lekat pada Drew. "Perempuan gila itu meminta Rose berlutut untuk meminta maaf karena menghalangi jalannya." Zico menghela napas. Ketika dia melirik Drew, dan kembali mundur untuk menjauh. Daisy menggertakkan giginya. "Aku sama sekali tidak terkesan dengan apa yang kau lakukan. Kalian pasti punya hubungan di masa lalu, kan?" Drew menarik diri untuk berbalik. Bersikap sesantai mungkin saat melihat perempuan di depannya tampak meledak-ledak. "Apa aku perlu menjawab?" Kepala itu menggeleng. Drew menatap Kairo yang masih menunggu dengan cemas. Di saat gadis pirang itu telah lenyap, entah pergi kemana. Pandangan mata Drew kembali berpaku pada satu titik. Sepasang mata yang membakar terasa benar-benar membunuhnya. "Kau ingin kuantar pulang?" Daisy menipiskan bibir. Siap menyemburkan balasan sinisnya, namun Drew kembali menggeleng geli. "Hanya bercanda." Pria itu kembali tersenyum. Senyum yang membuat d**a Daisy meletup bagaikan kembang api di akhir tahun. Daisy mual, lambungnya terasa bergejolak. "Kau menggemaskan saat sedang marah." Kedua mata Daisy melebar. Mendapat rayuan maut yang membuat kedua lututnya lemas. Astaga. Dasar perempuan kurang belaian laki-laki! Memilih untuk bungkam sampai dadanya sesak, Daisy bergerak mundur. Tidak berhenti menatap mata itu. Sebelum mencari kemana kalung salib yang lebih menarik dari seringai nakal itu, dan berakhir sia-sia dengan sipu malu yang perlahan merayap pada kedua pipinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD