Daylight

3321 Words
Daisy menggerung jengkel. Menyuarakan amarah dan rasa kesalnya dengan membanting ember ke atas lantai. Membuat Kairo yang baru saja ingin mengambil sarung tangan, terlonjak kaget. "Heh, anak dajjal. Kau ini kenapa?" Daisy mengurut pelipisnya yang berdenyut. Memilih untuk duduk dibanding dia harus membanting semua perabotan dapur, bersama Kairo yang menarik langkahnya untuk berdiri di depan Daisy. "Kau ingat semalam? Seharusnya, Alexander Drew tidak perlu mencari muka seperti itu! Apa-apaan dia? Melindungiku dari perempuan iblis itu?" Alis Kairo tertaut dalam. "Kau menyebutnya iblis?" "Ini tidak hanya sekali aku melihatnya, Kairo." Daisy mendesah panjang. "Sebelumnya, aku pernah melihatnya ada di depan sana. Depan toko perabotan. Berdebat bersama Drew. Mereka sepertinya terlibat cinta di masa lalu. Karena perempuan itu seperti membenci Drew, dan Drew terlihat marah padanya." Kairo mengangkat alis. Dia mulai tertarik. Mengambil tempat di sebelah Daisy, pria itu mulai mendengarkan dengan lebih serius. "Lalu? Ada adegan baku hantam?" Daisy menarik napas kasar. "Tidak ada. Drew sepertinya bukan pria pecinta kekerasan," kata Daisy ragu. "Atau, tidak di tempat umum. Reputasinya bisa lebih buruk lagi." Kairo menghela napas panjang. "Semalam Rose bermasalah. Aku pikir, kita bertiga akan kena skors. Sayang sekali, si tua bangka itu lebih sayang pada kafe. Dia membiarkan kejadian semalam. Tapi, yang kudengar dia minta maaf." "Kalau begitu, mereka semua akan mencibir kita. Siapa kita dan apa pekerjaan kita. Aku harus siap memasang telingaku dengan celaan hina dari mereka semua." Kairo menggeleng seraya membatin. Betapa malang hidupnya. Bekerja sebagai barista atau pelayan bukan hina. Dia bekerja dengan baik. Melayani sepenuh hati. Kedua sahabatnya pun sama. Terkecuali melayani para Billionaire's Boy Club. Kairo akui, ada kesenjangan sosial. Dan dia tidak menyalahkan kedua sahabatnya. Tidak semua orang menerima pekerjaan orang lain. Sekiranya, mereka menganggap pekerjaan remeh ini adalah sia-sia. Yang membuat Kairo mudah tersinggung. Dia benar-benar murni mencari uang, bukan mencari keributan. Daisy mendesis. Meremas rambutnya sendiri yang terikat asal. Gadis itu sama sekali tidak memperhatikan tatanan rambutnya sendiri. Meski harus Kairo akui, kalau Daisy tetap mengesankan. Walau hanya dengan piyama kuno seperti pelayan abad delapan belas. Sahabatnya tetap cantik dan bersinar. "Ah, sudahlah." Daisy berjalan bangun. Membantu Rose di meja barista. Membereskan beberapa barang sebelum lima belas menit lagi kafe akan buka. *** "Tala mengacau semalam, Drew. Bagaimana dengan ibumu? Apa dia mengendus sesuatu dari medusa itu?" Drew mendengus. Tidak menyangka kalau Bloom Orlan akan menceplos medusa untuk perumpamaan lain bagi Tala. "Tala sudah menebar racunnya sampai Alexander Tari tidak berkutik. Sialan! Aku yang terhitung pria sejati, tidak mau mendekatinya." Dwayne memancing perkara. Zico dengan keras menendang tulang kering pria itu, menyuruh Dwayne untuk menutup rapat bibirnya. Dia benar-benar bosan dengan sikap terbuka rekannya. "Setiap manusia pasti pernah berbuat salah. Benar 'kan, Drew?" Laka menggeleng miris. Menatap Orlan yang tengah menegak air putih bersama buah anggur segar di atas meja. Berkumpul di mansion megah milik Laka jelas waktu yang tepat. Andari sedang berlibur menikmati kapal pesiar mewah. Memutari benua Amerika dan akan kembali pekan depan. Lalu, Gyde ada di kantor. Seperti biasa, berkutat dengan kasus berat sampai rambut kuningnya mulai memutih. "Aku rasa, Tala memang gemar mencari masalah. Buktinya, dua barista itu diam saja. Mereka tidak akan mencakar kalau tidak disentuh," bisik Dwayne. Mencomot roti isi dari atas meja. "Tala dan harga dirinya." Drew mendengus masam. "Kenapa, Drew? Pembicaraan tentang Tala membuatmu muak? Tidak hanya kau, kami berempat membencinya. Kau lupa, kalau si playing victim itu nyaris menghancurkan karir Orlan?" "Aku ini pemaaf. Jadi, aku tidak mempersalahkannya. Lagipula, banyak yang percaya padaku daripada dengan medusa itu." "Dasar kambing!" Dwayne dengan gerutu melempar Orlan dengan kacang goreng di atas meja. "Aku tidak ingin mendengar lalat buah sepertimu bicara. Kau saja masih remedial membedakan mana perempuan tulen dan tidak. Jadi, berhenti melancarkan protes!" Sebelum Dwayne merangsek, Laka mendorong dadanya untuk mundur. Menyumpal Deomy Dwayne dengan roti isi di dalam mulutnya. "Kalau kalian berkelahi, kakekku di surga akan mengutuk kalian berdua. Diamlah!" Zico mendengus. Memainkan ponsel di atas pangkuan dan melirik skeptis pada Drew yang mematung. "Kau sepertinya tidak membuat gadis itu terkesan sama sekali, Drew." Alis Drew terangkat naik. "Yang aku lakukan, memang tidak untuk membuatnya terkesan." Zico mencibir dengan ledekan. "Berhentilah bicara omong kosong." Drew mendesis dalam diam. Dan Zico memilih untuk diam sampai beberapa lama. "Baik, poin kedua karena kau memang tidak ingin Tala melukai orang lain." "Tapi, aku serius," Laka mengeluarkan pendapatnya. "Tala harus segera dihentikan. Maksudku, mau berapa banyak orang lagi yang terlibat dengannya? Dia punya koneksi mengerikan. Mudah menghancurkan karir orang lain dengan jentikkan jari. Ini pelanggaran. Dia tidak seharusnya berkeliaran." Drew menghela napas. "Drew sendiri tidak berdaya karena Tala didukung Alexander Tari, ibunya. Lantas, mau bagaimana? Kita tidak bisa mendorong Tala ke jurang dan membuatnya mati." "Aku ingin mengutuk HAM sekarang," gumam Dwayne bosan. "Tala akan berteriak tentang hak asasi manusia kalau kita menyakitinya." Zico mendesis. "Aku rasa, kesalahan terbesar yang pernah Drew punya adalah jatuh cinta." Drew menatap rekannya datar. Bersamaan sinar sarkasme yang Zico lemparkan padanya. "Mencintai Tala sampai dia tidak berdaya." Dan membuat semua orang terdiam. *** "Kurasa, kau butuh berlibur." Daisy melirik datar setelah melayani dua pesanan kopi pada pengunjung yang datang. Memberikan mereka kesempatan untuk mencari tempat duduk, sebelum matanya bercibaku dengan iris gelap Bloom Orlan. Seperti biasa, respon Rose masihlah dingin. Gadis itu memutar mata, menyodorkan sedotan bersama tisu dengan gumaman sinis. "Nikmati kopinya. Selamat siang. Semoga harimu menyenangkan," menguar dengan nada jengah menahan kantuk. Sedangkan, atlit volly itu sama sekali tidak tersinggung. Dia malah melebarkan senyumnya. Membuat Rose termenung selama beberapa detik. "Aku heran denganmu dan teman-temanmu," Rose mendesis seraya memiringkan kepala. "Di dekat apartemen atau rumah kalian, tidak ada yang menjual kopi instan? Kenapa harus datang kemari? Baiklah, kau membayar. Tapi, bukankah jarak dari rumah dan kafe ini cukup jauh?" Rose memberondong dengan banyak pertanyaan. Saat Daisy melepas lap bersih dan mencuci tangannya, dia bergerak mendekat. Dan Orlan masih diam, mencerna pertanyaan itu untuk memilah mana yang harus jawab. "Tentu saja ada," balasnya masih dengan senyum. Menusuk tutup gelas dengan sedotan. "Sayangnya, semua membosankan. Sebelum bertemu kafe ini, andalanku adalah Starbucks. Tapi, semua berbeda. Barista di Starbucks tidak buruk. Tetapi, di sini jauh lebih menyenangkan." Rose menyipit tak nyaman. "Apa lagi, kau dan temanmu sangat ramah. Aku benar-benar menyukai pelayanan murah hati kalian yang tidak terbatas." Ini adalah kalimat sindiran. Rose memainkan jemarinya di atas meja kasir. Menuding Bloom Orlan dengan tatapan tajam. "Aku tersanjung dengan pujianmu. Terima kasih." "Sama-sama." Daisy menggeleng bosan. Bergerak pergi ke dapur saat Rose mendongak, melepas tatapannya dari memo kecil di atas meja. "Kenapa kau masih di sini?" Orlan berusaha menulikan pendengarannya saat dia membungkuk. "Kau tidak apa? Apa kau kena skorsing karena bertengkar semalam?" Alis Rose bertaut. "Tidak. Tidak apa-apa," alisnya mengernyit dalam. "Tidak usah terlalu peduli. Aku baik-baik saja. Bertengkar adalah hobiku. Mulutku gatal kalau tidak mengumpat orang lain. Terutama gadis aneh semalam." Orlan mendengus geli. "As expected," Orlan kembali menegakkan punggung. Rose meringis menemukan pria itu menjulang nyaris menutupi cahaya mentari masuk ke dalam matanya. "Kau seperti yang kubayangkan. Bahkan, lebih." "Jangan berpikir macam-macam, sialan," geramnya. Orlan terkekeh seraya menggeleng. Menyesap kopi dinginnya dan melempar pandangan ke penjuru kafe yang senggang. "Aku tidak berpikir aneh-aneh. Kau saja yang m***m," balasnya tidak terima. "Tapi, serius. Kami mengenal Tala. Melihatmu berdebat dengannya dan nyaris ada baku hantam, aku cemas." Rose mengetatkan rahang. Memilih untuk menggeleng dan kembali menulis dalam memo. "Satu lagi." Rose mengangkat alis tanpa menoleh. "Kenapa kau memblokir semua nomorku?" Daisy kembali membuka tirai. Terkejut kalau Bloom Orlan masih kekeh berada di depan meja barista. Membuat Rose mulai tidak nyaman. "Oh, itu nomormu? Tapi, maaf. Aku tidak terbiasa membalas pesan dari pria asing. Terutama, pria yang tidak aku kenal. Jadi, pergilah. Sebelum aku berteriak dan membuatmu terluka." Rose mendesis. Dan Orlan merasa kalah. Untuk pertama kalinya, rayuan apa pun tidak berimbas padanya. Dia pernah gagal dalam berkencan karena membosankan, tapi kali ini mungkin tidak.  Kepala pirang itu menggeleng. Rose mencabut memo itu dan menancapkan pada mading dengan paku payung. "Pria itu benar-benar membuatku kesal!" Lalu, masuk ke dalam dapur. Mencuci wajahnya yang kusut dan Daisy berganti untuk melayani pelanggan yang datang. *** Tari menyesap secangkir teh melati dalam diam. Bersama hidangan lain, macaroons cantik berwarna-warni menggugah selera juga ada di atas meja. Memetakan pemandangan indah di sore hari. Saat dia menikmati waktu santai sembari menatap matahari bersinar redup. Hembusan angin membawa sejuk dan menunggu sampai senja tiba. Majalah di tangannya turun. Tatkala menemukan sang anak berjalan masuk, dengan jaket dan pakaian kasual lain. Menandakan bahwa dia siap pergi. "Drew, mau kemana?" "Biasa," balasnya pelan. Membuang napas perlahan, Tari menggeleng kecil. Meminta putranya untuk mendekat. Duduk dalam sofa melingkar bersamanya. "Ada yang ingin Mama tanyakan." Drew mengangkat alis. Memasukkan ponsel dan dompetnya ke dalam saku jaket, dan memilih tempat paling ujung. "Kenapa dengan malam itu, Drew?" Alis Drew tertaut dalam. "Maksud Mama, semalam. Kau sepertinya tidak menyukai Tala. Drew, ingat dia—," "Aku tahu," sergah Drew cepat. Bosan mendapat penjelasan yang sama beribu kali dari bibir ibunya. "Kalau kau tahu, kau tidak seharusnya bersikap kasar. Tala itu lemah. Dia rapuh. Kau tidak boleh berlagak seenaknya pada perempuan." Drew mencibir dalam hati. Seratus persen tidak membenarkan semua kalimat ibunya. Seakan Tala adalah perempuan boneka yang serapuh kapas. Dia malaikat. Dan Drew bersama dunia luar adalah iblis yang ingin merenggut kesuciannya. "Kapan kau kembali ke klub?" Drew melirik jam di pergelangan tangan. "Bulan depan untuk latihan. Dua bulan, bertanding. Aku masih banyak waktu di sini." Alexander Tari tampak tidak senang dengan kalimat ketus putranya. Alexander Drew belum banyak berubah setelah kematian Mikail karena kecelakaan helikopter tunggal. Membuat sang anak menjadi pribadi menyedihkan. Yang membuatnya memutar otak dengan keras, berusaha menarik Drew dari lingkaran kesepian dan rasa takut. "Sayang, kalau kau butuh sesuatu, kau hanya perlu bicara. Kalau kau butuh teman bercerita, kau hanya tinggal menemui Mama." Drew dulu beranggapan, itu ajakan paling menarik sepanjang hidupnya. Tapi sekarang, dia menelan semua dalam bentuk omong kosong. Bualan. Dia tidak membenci ibunya, hanya merasa marah. Marah yang berlarut-larut sampai Drew tidak lagi mengenal dirinya sendiri. "Bagaimana denganmu, Ma? Kau rutin memeriksa kesehatanmu? Apa Mama baik-baik saja selama aku pergi?" Senyum Tari terulas manis. "Aku baik," balasnya lirih. Menyusuri permukaan keras wajah sang anak dengan hangat. "Terima kasih karena mencemaskanku. Semarah apa pun kau padaku, kau tidak akan bisa membenciku." Drew membuang napasnya perlahan. "Lagipula, Drew. Tidak ada lagi yang kau punya selain ibumu, selain aku. Kita berdua saling bahu-membahu mengobati luka masing-masing. Kau tahu itu, kan?" Drew kembali diam. Memilih untuk mengedarkan pandangannya pada taman belakang mansion Alexander yang megah. Tanpa perlu bantuan darinya, uang keluarganya sudah cukup banyak. Drew si sendok emas. Begitu julukannya semasa SMA. "Mama tidak minta banyak padamu. Hanya menjaga Tala, itu sudah segalanya," bisik Tari rendah. "Tala adalah bagian dari keluarga. Bagian dari kakakmu. Tidak ada perempuan yang lebih hancur karena kehilangan cintanya selain ibu. Tala. Kau seharusnya tidak terlalu keras padanya." Drew berdecak samar. Menahan semua kalimat makian di ujung lidah. Kedua matanya melebar sesak. Menatap sang ibu dengan sinar dingin. "Aku tidak tahu, Mama yang berpura-pura menutup mata atau memang membiarkan diri Mama terluka sekali lagi. Tala bukan perempuan baik." Alexander Tari menggeleng dengan napas gusar. "Drew, aku pikir kau sudah merelakan masa lalumu demi Mikail. Sayangnya, kau masih saja menyedihkan." Drew tidak tersinggung sama sekali. Kalimat ibunya memang sepedas itu. Dia tidak segan-segan membunuh hati para lawan mau pun teman sosialitanya jika terusik. Kalimat berbisa itu akan meluncur bebas kalau posisinya terancam. Dan Drew pun sama, hancur karena kalimat ibunya sendiri. Memilih untuk bangun, Drew mengepalkan tangannya di saku jaket. Menatap dingin pada sang ibu yang tampak tenang. Melihat majalah mahal tanpa ekspresi. "Untuk sekedar informasi, aku tidak lagi mencintai Tala. Tidak sama sekali. Drew bodoh belasan tahun lalu telah mati." Alexander Tari masih bergeming. "Aku tidak seharusnya berterima kasih pada Tala. Atau pada Mama karena membuat reputasiku buruk selama ini." Kerutan pada dahi Tari terlihat dalam. "Satu hal lagi. Aku sama sekali tidak menyesali pekerjaanku. Persetan dengan duduk di kursi dan memerintah sesuka hati, aku lebih senang berlari di lapangan. Berbaur bersama rekan setim yang membuat perasaanku lebih baik." Drew mendapati bahu ibunya menegang. Lalu, mencibir pelan dan berjalan pergi. Dia tidak akan pulang malam ini. Menemui Alexander Tari malam nanti akan membuat suasana hatinya bertambah buruk. *** "Ya Tuhan, aku butuh berendam air hangat." Daisy meminjit belakang bahu dan sekitar tulang tengkuknya. Merasakan rasa nyeri saat dia menyentuhkan telapak tangannya ke sana. Lalu, menarik kursi besi yang sama sekali tidak nyaman untuk duduk. Melempar tasnya ke atas meja dan menaruh dua botol soda dingin dan camilan kering. Berada di Seven Eleven yang buka nyaris dua puluh empat jam, Daisy memilih untuk duduk sebelum pergi ke apartemennya sendiri. Apartemen murah untuk kelas menengah. Entahlah. Apartemennya tidak buruk. Karena uangnya belum cukup membayar pajak bangunan yang besar kalau dia membeli rumah. Memilih untuk menunduk dan menegak botol soda dan menghabiskannya separuh, Daisy mendorong tasnya menjauh. Menenggelamkan kepalanya ke dalam lipatan tangan di atas meja. Rasa-rasanya, Daisy hampir mendengkur kala dia mendengar derit kursi lain tertarik di depannya. Daisy mendengus masam, memaki pelan pada Kairo atau Rose yang suka berbuat iseng. "Ranjangmu tidak lagi nyaman sampai kau harus menaruh kepalamu di alas keras ini?" Daisy mengerutkan kening. Mendengar suara bariton dalam yang pernah membuat kedua lututnya lemas, dia segera mendongak. Menahan napas dengan rasa terkejut luar biasa. Kenapa bisa pemain sepak bola ini di sini? Manik hijaunya berkeliling menatap sekitar. Dia bahkan tidak melihat mobil mahal Drew terparkir dekat Seven Eleven. Lantas? "Kau mengikutiku?" Tudingnya percaya diri. Alis Drew bertaut. Memainkan jemarinya di atas meja dan mencibir pelan. "Tidak sama sekali. Untuk apa aku menjadi stalker?" Daisy meringis. "Penguntit jelas bukan julukan bagus untukmu, dasar." Drew balas mendengus. Menatap dua botol soda dingin, dan satu camilan berukuran sedang yang belum tersentuh. "Kau hanya makan itu untuk mengganjal perut? Mereka menyediakan ramen instan, kan?" Daisy menautkan alisnya. "Aku tidak lapar. Hanya ingin makan ini," tunjuknya pada bungkus camilan. "Kalau kau mau, beli saja sendiri." Daisy kembali mengabaikan eksistensi pria itu. Memandang pada sekitar mereka yang sepi. Tidak terlalu sepi karena ini jalan umum. Hanya saja untuk ukuran malam yang larut, Tokyo punya waktunya sendiri untuk tidur. "Kau terbiasa memakai kendaraan umum untuk berpergian?" Daisy mengangkat alis. Mengangguk tanpa menoleh. "Aku bisa menyetir. Tapi, sudah lama sekali. Tanganku masih gemetar memegang kemudi." Alis Drew tertaut tertarik. "Kenapa?" "Kecelakaan," Daisy mengangkat kepalanya dari alas tangannya. Memasukkan kedua tangannya ke dalam saku mantelnya dan menatap datar pria itu. "Saat usiaku delapan belas. Kecelakaan mobil. Tidak ada korban tewas, tapi aku terluka berat." "Kau punya bekas luka?" Daisy mengangguk tak nyaman. "Mengerikan." Drew mengangguk singkat. Bersidekap sembari menatap raut lelah tanpa riasan itu penuh arti. Daisy terlihat pucat, tetapi baik-baik saja. Pucat itu bukan karena dia sakit, disebabkan karena dia lelah. Dengan rambut merah mudanya tersanggul asal, Daisy benar-benar dalam tampilan santainya yang menarik. "Mau sampai kapan kau menatapku seperti itu?" Alis Drew terangkat naik. Pria itu mendengus dengan gumaman geli. "Kenapa? Kau terganggu?" "Sangat," acuhnya datar. Drew mendekatkan dadanya pada permukaan tepi meja yang dingin. Tidak tahu berapa derajat udara yang melanda Tokyo malam in. Tapi, udara terasa lebih sejuk. "Apartemenku ada di sana," Drew mengendik pada bangunan lima puluh lantai yang terletak di seberang jalan Seven Eleven. "Aku datang kemari untuk membeli daging beku." "Mereka tidak menjual daging," balas Daisy lirih. "Sosis tidak masalah. Aku ingin mencari udara segar. Walau pelayanan apartemen mahal itu sangat baik." Daisy terdiam kaku. Mencerna ucapan pria itu tanpa melihat matanya. Memilih untuk memaku pada lampu jalan. "Aku bisa saja pergi setelah membeli sosis. Tapi melihatmu ada di sini, aku ingin duduk dan berlama-lama. Apa ini yang dinamakan tertarik?" Daisy menoleh dengan pandangan bingung. "Apa?" Drew memiringkan kepala. Memasang tampang polos. "Hm?" "Apa maksudmu?" "Bagian mana?" Drew balas bertanya. "Apartemenku dekat dari sini, atau aku yang tertarik padamu?" Daisy mendengus kecil. Menyunggingkan senyum tipis tanpa arti. "Dasar aneh. Kenapa denganmu? Apa alkohol membuat otakmu mati rasa?" "Kau tidak berdebar saat aku mengatakannya?" Alis Daisy bertaut. "Kenapa harus berdebar?" Mencoba berdusta tentang kedua lututnya yang sempat lemas karena pria itu. Pandangan mata Drew turun. Tidak lagi terpaku pada sepasang mata yang membuatnya tersesat dan hilang arah. Sebentar lagi, Drew yakin dirinya juga akan hilang akal. Daisy mengembuskan napas. Memaku pada kalung salib yang melingkari leher dan menetap pada kaos hitam seksinya. Sejak kapan pemain sepak bola tidak terlihat panas? "Kalau kau mengatakan omong kosong itu hanya untuk meniduriku, lebih baik lupakan saja." Drew mengernyit. "Aku tahu benar bagaimana tipikal pria macam dirimu," Daisy menatap dengan sinar dingin. Menunjuk dahi Drew dengan tangannya. "Di sana, tertulis jelas kalau kau sedang bertaruh bersama teman-temanmu untuk membuat kami lemah di atas ranjang." Drew mendengus. Mencibir pelan dengan ekpsresi masam yang kental. "Tidak bisakah sekali saja kau berpikir baik tentang aku?" "Mau bagaimana lagi?" Daisy mengangkat bahu. Memandang Drew skeptis. "Kau terlihat sepanas itu. Semua perempuan di sini akan berpikir kau begitu jantan jika meniduri mereka. Katakan saja aku tidak normal, tapi berpikiran erotis bersamamu tidak ada dalam kepalaku." Drew ternganga tak percaya. Daisy mengatakannya dengan gamblang. Jujur dan apa adanya. Seakan memang tidak ada yang perlu ditutupi darinya. Daisy menyuarakan isi hatinya secara terbuka. Membiarkan Drew pergi dalam arti mengusirnya secara halus. Dia bahkan sudah mendapat penolakan meski belum berusaha berjuang. "Aku pasti sudah gila." Daisy cemberut dengan ekspresi masam. "Bukan hanya kau, tapi aku. Aku ikut gila karenamu, karena teman-temanmu." Daisy menggeleng kecil. Pasti di kepala itu terlontar banyak makian. Gadis sinting! Daisy yakin, Drew mengumpat itu padanya. "Kau sepertinya butuh minum. Aku tiba-tiba kasihan karena kepalamu mengeluarkan asap." Daisy mendorong botol soda dinginnya pada Drew yang masih mematung. Pria itu menatapnya dingin. Daisy mencoba mengurai arti tatapannya. Ingin membunuh? Kesal? Atau ingin melumatnya? Sial. Yang terakhir kembali membuat kedua lututnya lemas. Drew menggeleng singkat. Mendorong kursi itu mundur saat dia berjalan masuk ke dalam Seven Eleven. Meninggalkan Daisy dengan raut kecut. Kembali membungkuk untuk meraih botol sodanya. "Yasudah kalau tidak mau," ucapnya dingin. Ponselnya berdenting. Daisy mencari ponsel mungil itu di saku mantelnya. Tersenyum ketika menemukan Iphone 6 keluaran tahun lama menyala dengan notifikasi baru masuk. Rose: Kau di mana? Sudah sampai rumah? Satu pesan masuk dari Lively Rose. Sahabat galak yang sayangnya super perhatian. Daisy membayangkan jika Rose punya kekasih. Mereka akan panas dingin setiap waktu. Daisy meringis. Mengetikkan balasan saat kepalanya menoleh, dan menemukan Drew sedang membayar belanjaannya. Dengan gerutuan, dia membalas pesan sahabatnya dalam gerak cepat. Daisy: Kau tahu, mimpi burukku belum seleOrlan sampai di sini. Ya Tuhan, Rose. Aku benar-benar membenci diriku sendiri bersama takdir kali ini. Rose: Kau kenapa? Daisy: Aku ada di Seven Eleven. Alexander b******n Drew juga ada di sini. Aku ingin sekali memaki, tapi tidak bisa. Sialan. Daisy menurunkan ponselnya dengan gemetaran. Dia membeku, menemukan ada tangan kokoh melingkari bahu dan sepanjang tulang selangkanya. Bergerak untuk berbisik dengan mengembuskan napas di sepanjang telinganya yang berdengung. "Alexander Drew bukan b******n, Daisy. Dia hanya sedang terpikat pada gadis manis yang lebih suka memandang kalungnya, daripada kedua matanya." Semua bulu Daisy meremang hebat. Merasakan kejut kecil yang meledak dalam dadanya. Tidak sampai di sana, mendengar pria itu berbisik memanggil namanya nyaris membuat kedua kaki Daisy lumpuh. Mengutuk semua sikap responsif tubuhnya yang berkebalikan dengan logikanya. Daisy merasakan napasnya memberat kala pria itu bersandar pada bahunya. Menatap matanya dengan pandangan dalam. "Alexander Drew bukan pria b******k. Dia sedang bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Mencari tahu apa dia sedang jatuh cinta, atau sedang tertarik pada gadis ketus yang tidak pernah mau tersenyum padanya." Daisy menoleh kaku. Menemukan sepasang manik gelap itu ikut menatapnya penuh arti. Sinar matanya banyak menggambarkan banyak hal. Dan Daisy tidak tahu, arti mana yang harus ia percaya. Drew menunduk, mengulas satu senyuman tipis saat dia mencuri botol soda baru itu dari meja. Kemudian, mengusap pipi pucat itu dengan usapan lembut. Berjalan pergi untuk membiarkan Daisy terlena dalam mimpi karena kalimat rayuannya. Daisy terengah-engah. Bingung pada dirinya sendiri. Ketika matanya terus membuntuti kemana pria itu berjalan, Daisy mengutuk dirinya sendiri. Mendorong jatuh kursi besinya, dan berjongkok di atas aspal. Menggerutu hebat sambil menarik rambutnya sendiri dengan kasar. "Ya Tuhan!" Kenapa Alexander Drew membuat hidupnya semakin complicated?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD