Ready For It?

3553 Words
"Lemparkan kaleng soda itu padaku." Suara keras Laka memecah lamunan Orlan yang duduk dekat penyimpanan soda dingin dalam ember. Melempar satu kaleng soda itu padanya, iris kelam pria itu beralih pada Drew yang tengah mendribble bola basket dari ujung lapangan. "Aku dengar dari Dwayne, kau bertemu barista kafe itu di supermarket. Benar?" Drew berdecak. Melempar bola basket itu pada ring dan meleset. Tembakannya melesat jauh sampai bola terlempar ke arah air mancur. "Siapa?" "Si biang gosip Dwayne," Orlan bergumam malas. "Kebetulan biasa atau kau sengaja membuntuti?" "Stalker, maksudmu?" Drew membeo tak percaya. Kepala Orlan terangguk. Saat Laka melempar kaleng sodanya ke tempat sampah dan tembakannya gagal. "Drew baru kembali dari Oricon. Dia menontonku bermain. Kalau saja tidak ada pria b******n itu di sana, aku sudah membunuh lawanku." "Kau mengerikan." Laka melepas mata birunya dari bola basket yang Dwayne lemparkan kembali pada Drew. "Aku sedang kesal. Semalam, dua orang mencoba memanipulasi kemenangan. Kalau saja tidak ada Drew di sana, aku sudah menghajar mereka sampai mati." "Kau agak mabuk saat itu." Dwayne mendekat. Mencuri satu kaleng soda dingin dari wadah. "Kau bisa dipenjara seandainya benar-benar membunuh." "Tidak peduli," sela Laka masam. "Kau lupa? Pria ini kebal hukum," gerutu Zico. Memainkan ponsel di atas pangkuan. Saat dia sendiri duduk di atas kursi, menyilangkan kaki. "Kalau saja Tuan Gyde tidak punya koneksi bagus dan mendirikan firma hukum terbaik di negeri ini, Laka sudah mati membusuk di penjara." Pria berkulit tan itu terkekeh. Menanggapi sarkasme rekannya dengan tawa. "Kau sepertinya punya dendam padaku." "Diam." Bidikan bola Drew berhasil masuk. Mendapat tiga poin dalam satu kali tembakan, dan pria itu mengusap lehernya yang basah dalam sekali usapan. "Kau bergosip apa pada Orlan tentangku?" Dwayne terkejut. Matanya melirik Orlan yang membuang muka dan menegak sodanya. "Serangga ini benar-benar," maki Dwayne. "Kita tidak mengenal asas menyembunyikan perempuan menarik kalau kau tidak lupa, Drew." Orlan membela diri. "Ah, jadi kau berpikir barista berambut gulali itu menarik?" Kepala kuning Laka menggeleng. "Dia tidak buruk. Skala satu sampai sepuluh, aku bisa memberikan nilai sembilan." Dwayne mendengus masam. "Oke. Aku semula tidak percaya dengan barista di The Gold Coffee menarik. Temanku memang berlebihan. Dan saat masuk, mereka benar. Aku pikir, si pemilik kafe hanya sedang beruntung." Zico menggeleng miris. "Kalian bisa menemukan barista cantik di tempat lain. Kenapa harus terpaku pada satu tempat?" "Well," Drew memegang bola basketnya dan berjalan ke arah Zico. "Kau sudah menemukan salah satunya?" Zico menipiskan bibir. "Belum," menangkap bola basket itu yang lepas bagai kilat mengarah padanya. "Dan aku tidak akan bertaruh." "Karena kau sendiri tidak yakin," sahut Dwayne bosan. Laka menggeleng. Menatap keempat rekannya dengan pandangan selidik. "Apa kalian berniat mengencani salah satunya?" Zico bangun dari kursi. Berdeham singkat ketika memainkan bola basket di tangan dan mengukur tembakan jarak jauh. "Membawa salah satunya ke ranjang, aku berpikir sampai sana." "Oke. Kita lihat sejauh mana kalian bisa menebar pesona." Zico mendesis. Mendapati tembakannya meleset jauh dan bola basket malang itu harus berenang di dalam air kolam. Membuatnya berlari untuk mengambil, dan Drew memutar mata. *** Daisy menghela napas. Melirik jam dinding yang bergerak ke arah dua belas. Melepas penat dengan memijit bahunya, lalu mengerang pelan. "Ya Tuhan. Aku ingin sekali makan ramen. Dan lupa kalau makanan itu tidak terlalu sehat." "Aku bisa membuatkan salad buah kalau kalian mau," Kairo menawarkan diri. Bangun dari kursi dan bersiap pergi ke dapur saat Rose menarik lengannya untuk kembali duduk. "Aku lupa. Kau tidak suka anggur dan apel." Kepala Rose menggeleng. "Aku ingin salad sayur. Bukan salad buah." Kairo bangun dari kursinya. Tidak sampai membutuhkan waktu sepuluh menit, dia telah kembali bersama dua mangkuk salad sayur. "Ambil ini untukmu, Daisy. Kau pucat. Itu berarti kau kurang sayur dan buah." Kairo dengan dugaan sok tahunya. Daisy memutar mata. Menerima mangkuk berisi penuh salad sayur itu dengan dengusan bosan. "Kau dan ibuku tidak jauh berbeda. Selalu berkata kalimat yang sama. Sayur itu penting, buah itu penting. Tapi bagiku, kopi dan cokelat lebih penting." "Mau ke Oricon nanti malam? Kita bisa pulang lebih awal. Oricon baru akan tutup jam tiga pagi. Kita bisa kesana untuk menonton pertandingan babak pertama." Kairo melebarkan mata cokelatnya. "Tidak, Rose. Kau sinting. Bagaimana bisa kau membawa kami ke sana? Dunia gelap itu? Banyak mafia bertaruh di sana. Membayangkannya saja membuatku mual." "Kau ingin melihat Laka?" Kepala pirang Rose menggeleng. "Tidak sama sekali. Aku hanya ingin duduk dan menonton. Tidak peduli siapa yang bertanding." Daisy tampak berpikir. "Oke. Aku ikut." "Biar aku yang membayar tiket masuknya," balas Rose dengan kedipan mata. Kairo bergidik. Menatap dua rekannya dengan pandangan geli. "Kalian aneh! Bagaimana kalau ada pria seperti Damian membuntuti kalian sampai rumah?" Daisy tersenyum lebar. "Kau lupa? Rose punya bubuk cabai di dalam tasnya. Dia dan aku membawa pisau lipat. Kalau macam-macam, melukai pelaku bukan tindak kriminal." Kairo memutar mata. "Terserah!" Daisy mendengus geli. Menghampiri Kairo yang masih merajuk dengan menekuk wajahnya. Menyuapkan satu sendok penuh berisi salad ke dalam mulut pria itu. "Kau tidak punya alasan untuk marah dan melarang kami, Kairo." Rose tertawa. *** Pemandangan yang Daisy dapati di tengah malam adalah, ternyata Oricon seramai ini. Tidak hanya itu, sesak yang membuat Daisy kesulitan bernapas ternyata benar-benar membuatnya limbung. Peringatan Kairo siang tadi ada benarnya. Dengan Lively Rose yang hanya memakai kaos oblong biasa dan celana jins hitam. Bersama Daisy yang membawa hoodie dari loker kafe untuk menutupi rambut dan kaos ketatnya. Mereka mendapat tempat duduk yang dekat dengan pintu keluar. Daisy tidak bisa menunggu sampai kapan ia bertahan karena adegan berdarah sebentar lagi terjadi. Ini MMA. Apa pun bisa terjadi. Bahkan, kematian sekali pun. Rose mengikat rambutnya tinggi. Daisy bergidik menatap beberapa p****************g yang melihat ke arah mereka dengan tatapan lapar sekaligus melecehkan. Memilih untuk berpura-pura tidak melihat, Daisy melindungi dirinya sendiri dengan memeluk lengannya. Berpura-pura seperti gadis bodoh yang asing dengan dunia bawah tanah. Babak kedua dimulai. Mereka melihat lawan baru itu lebih tangguh dari sebelumnya. Daisy meringis, menemukan pukulan demi pukulan melayang bebas nyaris mematahkan hidung dan rahang si lawan. Kebrutalan para pemain membuat bangku penonton panas. Sorak ramai menggema di sepanjang ruangan pengap yang sayangnya cukup lebar. Sampai mampu menampung lebih dari seratus orang dalam satu tempat. Laka menjadi penantang terakhir. Saat pria itu berjalan untuk siap menaiki ring, mata birunya memicing menemukan dua gadis mencolok dengan dandanan aneh duduk di barisan belakang. Tangannya menyikut Orlan yang ikut untuk menonton. Tapi, karena koneksi dekat keduanya, Orlan diperbolehkan masuk bahkan membantu Laka dari belakang. Atlit volly itu mengerang. Mencibir tingkah si kuning yang menyebalkan. "Apa?" "Lihat, siapa di sana." Kedua manik pekat itu melebar. "Dua barista itu?" Laka mengangguk. "Mau apa mereka kemari? Apa ini jam pulang? Seharusnya, mereka kembali ke rumah dan bukannya menonton drama kacangan ini, kan?" Orlan mendengus masam. "Bagi mereka ini neraka. Bagimu, ini drama. Ironis." Laka mengangkat bahu santai. Masih menatap keduanya dalam diam saat merasakan Orlan mengeluarkan sesuatu dari sakunya, ponsel mahal itu kini ada di genggaman tangan. "Kau mau apa?" Orlan menempelkan layar itu ke telinganya. "Aku akan menghubungi Drew. Kalau dia tidak ada di bar, dia di rumah." Laka mengangkat alis. "Untuk apa?" Orlan mendesis. "Aku bertaruh dengan Dwayne. Dia bilang, Drew tertarik dengan salah satunya." "Kau percaya pada mulut berbisanya?" Orlan merengut kesal. "Kau lebih baik diam. Aku bertaruh untuk Mustang dan Dwayne mempertaruhkan Aventador miliknya." "Drew tidak akan datang." Orlan menurunkan ponselnya. Memilih untuk tidak menyerah. Dia mengirimkan dua pesan pada sahabatnya. Menjelaskan dengan tambahan kalimat provokatif hanya untuk memancing kebenaran. "Mudah saja," Orlan meremas ponselnya. "Kita hanya perlu duduk dan melihat. Kalau Drew datang, Dwayne benar. Dan kalau Drew tidak datang, aku benar." Laka menggeleng sinis. "Drew bukan tipe pria pengejar perempuan. Dia lebih senang dikejar seperti anjing mengejar tulang. Kau percaya kalau dia akan lakukan hal bodoh demi seorang gadis?" "Aku bertaruh karena aku tidak percaya." Orlan bergerak mundur. Saat salah satu dari lawan sekarat. Dan Laka bersiap sebagai penantang terakhir untuk mengakhiri pertandingan final malam ini. Membuat para mafia bersorak girang karena memenangkan taruhan. *** Daisy meremas dalam saku hoodie miliknya. Saat MyoujinLaka dengan brutal memelintir tangan lawannya, lalu membantingnya keras ke atas ring. Dan wasit segera menghitung sampai lawan tidak lagi mampu bergerak. Lonceng berbunyi keras. Lagi-lagi juara bertahan Laka menang. Rose mendesah panjang. Menurunkan gelas bir dari tepi bibirnya. "Aku sudah menduga. Kalau kalian cupu, kenapa harus menantang juara bertahan? Bodoh!" Daisy meringis. Memainkan botol air minumnya dengan gelengan kepala. Menyaksikan dua lawan sekarat dengan pukulan keras Laka, membuatnya membeku. Terlebih, lantai ring itu basah dengan darah mereka. Rose menghela napas. Melihat penonton mulai membubarkan diri dan mereka masih terpaku di kursi. Saat Daisy mengambil ancang-ancang untuk menendang kelamin siapa saja yang berani menyentuhkan tangannya pada area tubuhnya. Dia tidak memakai pakaian mencolok. Selain hoodie merah tua yang membungkus tubuhnya. Daisy tidak akan menunjukkan dirinya berpakaian seksi di tempat pengap seperti ini. Sebelum Daisy bangun, dia dikejutkan dengan siulan dari arah pintu lain. Orlan keluar, melambai ke arah mereka dengan seringai. "Hai! Kenapa kalian di sini?" Daisy menatapnya datar. Sedangkan, Rose hanya mengangkat alis sinis. "Mau apa kau?" "Aku di sini untuk menonton Laka, sahabatku. Dia bisa saja membunuh lawannya. Tugasku malam ini adalah menahannya. Kemarin, Drew. Sekarang aku." Daisy menggeleng bosan. Informasi penting apa sampai pria ini menjelaskan sedetail itu? "Oh." Rose cukup menjelaskan kalimat Daisy. Dengan satu kata reaksi, dan berlalu begitu saja membiarkan atlit volly itu sendiri. Yang benar saja! Daisy berbalik. Berjalan bersama sampai di pintu keluar. Termangu menemukan pemandangan jalan yang sepi. Tiba-tiba kulitnya meremang. Merasakan udara dingin berhembus cukup kencang. Karena malam ini cuaca cerah, Daisy tidak perlu cemas akan terjebak hujan di tengah malam. Rose menarik napas panjang. "Bagaimana kalau kita mencari taksi?" "Oke." Memilih untuk bergeser ke tempat yang lebih terang, Daisy mengangkat alis menemukan Ferrari hitam terparkir tidak jauh dari pintu masuk bawah tanah Oricon. Daisy menarik napas. Membuang pandangannya ke arah lain. Berpura-pura tidak melihat dan mencoba menebak-nebak siapa pemilik mobil seksi itu dalam hati. "Ya Tuhan." Daisy memejamkan mata. Sembari merapalkan doa dalam hati. Mendengar Rose berdecak, itu berarti dia tahu siapa pemilik mobil itu. Ah, mungkin Orlan. "Daisy," Rose memanggilnya. Menarik lengan sahabatnya yang masih acuh. "Daisy, Alexander Drew di sini." Daisy mengerang jengkel. Kembali membuka matanya dengan gerutu. Sebelum dia mendengar suara Orlan dari belakang menyapa. "Drew!" Tampilan Drew malam ini benar-benar membuat Daisy mengutuk dirinya sendiri. Dengan kaos putih longgar. Bersama celana jins hitam dan sepatu. Pria itu juga memakai topi hitam mencolok, menutupi separuh wajah kerasnya. "Kau terlambat. Karena Laka sudah menang. Beruntung, dia tidak membunuh siapa pun malam ini." Orlan berbalik, menangkap keduanya dengan tatapan mata. "Oh, kalian masih di sini?" "Kami menunggu taksi," Rose membalas datar. "Tidak ada taksi lewat jalan ini." Daisy mengutuk suara berat itu yang membalas kalimat Rose. Membuat gadis pirang itu memekik, terkejut dengan dengusan kesal. "Baik. Kalau begitu, kami akan berjalan sampai jalan utama." "Sebentar." Daisy mendesis. Saat Rose memutar badan, menemukan Orlan melemparkan jaket untuknya dari dalam Mustang yang terparkir di depan Ferrari hitam milik Drew. "Mobilku bisa berkamuflase bersama gelap, bukan? Kalian tidak menyadarinya." Daisy menghela napas. Starter pack pria pembunuh hati wanita; pengoleksi mobil mewah. Rose menangkap jaket itu. Merasakan aroma yang khas saat hidungnya tanpa sengaja mencium parfum yang menyengat. "Kenapa kalian harus menunggu taksi? Aku dan Drew bisa memberi tumpangan." Daisy melepas rangkulan tangannya. Memutar tubuhnya untuk menatap kedua pria aneh yang tidak berhenti mengusik hidupnya beberapa hari belakangan ini. "Terima kasih banyak. Kalian baik sekali," ujar Daisy sinis. "Sayangnya, aku tidak tertarik." Dengusan spontan berasal dari pemiilik Ferrari hitam. Menatap Daisy dari balik topi hitamnya. Daisy tidak bisa melihat jelas bagaimana ekspresi AlexanderDrew sekarang. Selain hidung tingginya dan bibir seksi itu menipis ketat. "Sayang sekali," Orlan menggeleng prihatin. "Aku dan Drew berbaik hati mau menawarkan kalian pulang. Dan kalian menolak? Kapan lagi?" Kapan lagi? Daisy ingin menyembur pria itu dengan kata kasar, saat Rose lebih dulu melempar jaket kebanggaan atlit nasional kembali pada pemiliknya. "Ambil saja untukmu sendiri. Aku tidak perlu kebaikanmu." Alis Orlan bertaut satu sama lain. "Ayo, Daisy." Mereka berjalan menembus gelapnya malam. Bersama sepinya trotoar. Berpegangan tangan satu sama lain. Berpikir bahaya tidak akan bisa melukai mereka jika bersama. "Dasar gadis aneh." Drew memiringkan kepala. Menatap dua sosok yang mulai berjalan jauh, nyaris tidak lagi tertangkap matanya. Saat dia menarik topinya, menatap Orlan dingin. "Di mana Laka?" "Di dalam," balas Orlan asal. Drew membuka pintu mobilnya. Melempar tas hitam pada Orlan dan pria itu menangkapnya dalam satu kali lemparan. "Apa ini?" "Coba kau lihat," sahut Drew dengan seringai aneh. Saat dia masuk, menyalakan mobilnya dan memundurkan mobil mewah itu sampai ke jalan besar. Saat Orlan membuka isinya, dan menatap apa yang Drew bawa untuk Laka, kedua mata Orlan melebar ironis. "b******n!" Menemukan ratusan kondom tersembunyi bersama tumpukan pakaian ganti milik Laka. *** "Kita akan mengunjungi rumah sakit kanker untuk memberikan bingkisan lucu ini?" Daisy membeo tak percaya. "Kau serius? Ini ide bos kita?" Kairo mengangguk. Sama bingungnya dengan Daisy. Karena semalam, pemilik kafe mengetuk pintu rumahnya. Meminta Kairo untuk datang lebih awal demi menata barang di dalam kafe. "Hari ini kafe tutup?" Kairo mengangguk pada Rose. "Kita bisa kembali setelah memberikan hadiah ini. Kalau aku tidak salah, hari ini adalah hari kanker sedunia. Aku rasa, pemilik kafe ingin mendekatkan diri pada Tuhan. Sadar kalau dia banyak berdosa." Daisy meringis menahan geli. "Kau benar." Rose melepas celemek yang sempat ia pasang. Menaruhnya ke dalam loker saat dia bersiap. "Kalau begitu, ayo. Kita bisa pergi ke rumah sakit sekarang. Kalian beruntung, karena aku membawa sedan tuaku." Daisy mendesis mengingat kejadian semalam. Dan Rose meminta agar dia merahasiakan ini dari Kairo. Atau pria itu akan lebih histeris dari mereka. Daisy ikut melepas celemeknya. Menaruhnya ke dalam loker. Menggantung tas selempangnya untuk memasukkan ponsel dan dompet. Lalu, membantu Kairo memindahkan tiga kardus besar ke dalam bagasi mobil. Rose menatap sekeliling kafe sekali lagi. Menyalakan lampu dan mundur untuk mengunci pintu. Saat dia memasukkan kunci ke dalam tas, melompat duduk di kursi kemudi. Kairo duduk tenang di belakang. Bersama Daisy yang duduk di sebelah kursi kemudi. Memasang sabuk pengaman. Dan menyetel musik dari radio tua, bersama-sama menyanyi. Bergoyang kesana-kemari. Ini seperti liburan mendadak yang mereka dapatkan. "Bagaimana setelah ini, kita pergi ke pantai? Ide bagus?" "Ah, sial," Rose menggerutu. "Aku tidak membawa sunblock." Kairo mendengus. "Kau bisa membeli di pinggir jalan." "Tidak. Aku tidak bisa," Rose melirik dari spion saat menjalankan mobil di tengah jalan. "Aku sudah punya empat sunblock berbeda di rumah. Aku tidak akan membelinya lagi. Cukup." Daisy tertawa. "Berani hitam itu baik. Lagipula, kita sudah lama tidak berjemur. Sudahlah." Kairo mengangguk. Bersama Daisy melakukan high-five. "Oke!" *** Daisy membantu menurunkan tiga kardus itu dari bagasi mobil. Saat Rose bersiap-siap untuk membawa salah satunya. Dan Kairo lebih dulu masuk, membawa nama baik kafe mereka saat para perawat dengan suka cita menyambut mereka. Dua perawat ramah itu membawa mereka ke salah satu tempat kosong. Menempatkan mereka di sana, memperkenalkan diri sebagai perawat kelas anak bernama Gaia. Karena hari ini hari kanker sedunia, banyak orang akan berdonasi. Rumah sakit penuh sejak pagi dengan mereka para donatur yang berbaik hati memberikan bantuan dalam bentuk uang mau pun barang. Dan rumah sakit menyambut mereka dengan tangan terbuka lebar. Daisy berdiri. Selepas kepergian Gaia, dia bangun untuk mengintip ke arah lorong yang ramai. Melihat anak-anak berbaris di ruangan lain. Tampak riang bernyanyi dan menari. Membuat senyum Daisy melebar tanpa sadar. "Gaia sudah menjelaskan. Kita akan membagi hadiah ini untuk anak-anak," Kairo membongkar satu kardus bersama Rose. Daisy berbalik. Memperbaiki kemeja flanelnya dan berjongkok untuk menyusun hadiah itu dalam satu tempat. "Kita bisa menyeleOrlankan ini dalam waktu lima belas menit. Kalau sudah seleOrlan, kita bisa berpamitan pada Gaia dan berkumpul di parkiran. Mengerti?" "Oke!" Serempak mereka menjawab. Daisy bangun, membuka pintu dan menemukan Gaia menunggu mereka dengan senyum. Daisy masuk, dan disambut tepuk tangan polos dari anak-anak sekitar usia lima sampai delapan tahun. Ekspresinya berubah. Manakala melihat ceria mereka terpancar tulus. Tidak peduli kanker menggerogoti mereka dari dalam dengan ganas. Dan rambut mereka tidak lagi tumbuh. Gaia menekan suara anak-anak agar tidak ribut. Meminta mereka untuk tetap tenang dan duduk sesuai barisan. Daisy bergerak mundur, melepas ikatan rambutnya untuk membiarkan rambut panjangnya tergerai. Saat Daisy berjalan untuk membagikan hadiah bersama Gaia. Anak-anak tampak riang. Menunggu dengan antusias. Mengobrol bersama teman sebelah untuk bertanya dan menebak-nebak hadiah apa yang akan mereka dapatkan. "Ini untukmu." "Terima kasih," balasnya ramah. Daisy tersenyum. "Sama-sama." Gadis kecil itu mengulurkan tangan. Daisy menunduk untuk membalas uluran tangan kecil itu dengan senyum. "Aku berdoa untukmu. Jangan menyerah. Oke?" "Oke." Daisy kembali bangun. Membagikan hadiahnya saat dia menatap satu-persatu barisan dan semua anak telah mendapatkan bingkisan mereka. "Bingkisannya sudah merata," Gaia mendekati dengan anggukan kepala. "Terima kasih banyak. Anak-anak terlihat senang." "Sama-sama. Aku tidak tahu kalau rasanya sebebas ini melihat mereka tersenyum." Gaia mengangguk. Dan Daisy terlonjak ketika mendengar suara pintu ruangan terbuka, kemudian dua troli masuk dan terkesiap menemukan siapa yang datang. Suara jeritan itu seperti ombak pantai. Yang tenang, lalu berubah naik dengan gemuruh. Saat Daisy mendengar suara anak-anak histeris melihat DeomyDwayne masuk ke ruangan mereka bersama troli penuh berisi makanan ringan dan hadiah mahal. Dan troli kedua diisi oleh AlexanderDrew. Ya Tuhan! Kesialan apa yang sedang menimpa dirinya? Gaia ikut memekik senang. Saat Dwayne melancarkan senyum mautnya. Memberikan anak-anak sapaan pembuka. Yang membuat Daisy ingin segera melarikan diri dari sini. "Kakak di sana memberikan kalian hadiah?" "Iya!" Dwayne mendengus menahan senyum. "Yang pasti, kalian lebih menyukai hadiah ini. Hadiah di dalam troli ini." Kali ini, Drew yang berbicara. Daisy membuang muka masam. Saat salah satu gadis kecil yang berjabat tangan dengan Daisy bangun, menggeleng kecil tanda tak terima. "Kenapa, manis?" "Hadiah dari kakak itu bagus. Lihat, aku suka!" Seringai Dwayne melebar. Saat matanya melirik ke arah Daisy, bersamaan dengan sepasang manik gelap yang ikut menatapnya. Saat Daisy tidak peduli pada keduanya, dan memberi kedipan mata gemas pada gadis kecil yang terkekeh, mencoba menirukan kedipan mata menggodanya. Daisy memecah lamunan. Berdiri di tengah ruangan ketika dia berpamitan. Membungkuk ke arah mereka dan melambai. Meninggalkan jeritan berbaur kecewa karena dia pergi. Gaia mengantar sampai pintu. Berterima kasih saat Daisy memeluknya. Berpamitan untuk kembali, dan berjalan pergi menuju parkiran sesuai kesepakatan bersama. Daisy menghela napas. Menyadari kalau dia orang pertama yang tiba di parkiran, bibirnya menekuk murung. Daisy berjongkok di depan mobil. Tahu bahwa dia terlihat terburu-buru karena tidak ingin ada di ruangan yang sama dengan dua predator mengerikan. Daisy kembali bangun. Memperbaiki kemeja flanel barunya. Menatap sneakers putih yang ia kenakan, dan menghela napas panjang. Merasakan teriknya matahari sampai di parkiran, Daisy bergeser ke tempat yang lebih tenang. Dari sini ia bisa memantau siapa yang datang ke parkiran mobil. "Siapa yang kau hindari? Aku atau Dwayne?" Daisy terlonjak. Nyaris bokongnya mencium rumput taman saat tahu siapa yang bersandar tidak jauh dari tempatnya berdiri. "Kau?" Daisy membeo tidak percaya. Mendadak kesal dengan dirinya sendiri. Kenapa harus? Kenapa harus bertemu Alexander Drew lagi? Drew menggigit ujung vape miliknya dengan raut datar. "Kau belum menjawab pertanyaanku." "Bukan keharusanku untuk menjawab," balas Daisy malas. Alisnya naik satu melihat pria itu tampak bosan dengan vape di sudut bibir. "Kau merokok?" Kepala Drew menggeleng. "Apa atlit diperbolehkan menghisap nikotin?" "Itu?" Daisy menunjuk tabung kecil itu dengan tatapan bingung. "Vape dan rokok apa bedanya?" Drew menurunkan tabung itu dari bibirnya. "Kalau sedang tertekan, aku akan menghisapnya. Aku bukan pecandu." Daisy mendengus. "Oh, ya. Terserah." "Kenapa kau di sini? Kau tidak membantu temanmu membagikan hadiah?" Kepala Drew menggeleng. "Aku tidak terlalu suka berdekatan dengan anak-anak," akunya jujur. Daisy mengernyit. "Aneh." "Terlihat aneh? Tidak hanya aku yang punya ketakutan sama," balas Drew sinis. "Kasusnya dua banding satu juta," kata Daisy dingin. "Kau termasuk dua orang itu." Drew tidak menjawab. Memilih untuk tetap diam. Melempar tatapannya pada deretan mobil mewah miliknya dan milik temannya. Kedua mata Daisy melebar menemukan Kairo keluar setelahnya. Senyumnya terpatri tipis. Daisy siap berjalan pergi saat seseorang menariknya ke tepi tembok lain. "Apa-apaan kau!?" Bentaknya marah. Drew menurunkan tatapannya dari sepasang mata yang membakar. Seakan sanggup membunuh hanya dalam sekali tatap, pada bibir yang menipis ketat. Siap mengeluarkan kalimat umpatan. "Lepas!" Daisy mulai panik. Dirinya tidak bisa bergerak. Dorongan tubuh besar di depannya jelas membuatnya kalah telak. Kairo duduk pada kap mobil, menunggu. Drew mengangkat salah satu tangannya yang bebas untuk menunjukkan tabung vape di hadapan Daisy. "Aku akan bertaruh pada diriku sendiri." Daisy menautkan alis bingung. Memilih untuk mengunci rapat bibirnya. Sebelum suara jeritannya mampu membuat geger satu rumah sakit. Lagu Lightning milik Little Mix yang terlintas di dalam kepalanya terngiang. Kairo menggoyangkan kepalanya sembari bernyanyi. Saat dirinya tersentak. Menemukan Daisy tersudut bersama AlexanderDrew ikut membuat lutut Kairo lemas. Dia terburu-buru melarikan diri untuk bersembunyi, memantau dari kejauhan. Siap menembak dengan teriakan kalau sampai Drew menyakiti sahabat sekaligus partner kerjanya. Tubuh Kairo membeku. Tatkala menemukan AlexanderDrew mematahkan tabung kecil yang sekiranya dugaan sementara adalah vape. Salah satu dari sekian banyak alasan mengapa orang-orang terkena kanker paru-paru. Kairo merasakan kulitnya merinding bukan main. Saat dia berlutut, meminta ampun pada penunggu pohon karena menginjak sembarangan akar itu di atas tanah hanya demi memata-matai sahabatnya. Dan benar-benar membeku saat menatap adegan itu perlahan membakar. Seakan tidak ada yang ingin menyudahi di antara mereka berdua, dan Kairo tidak tahu harus lakukan apa. Kalau sampai LivelyRose tahu, Kairo tidak tahu nasib Drew junior dibalik celana jins itu. Atau Kairo menebak-nebak ada yang berdiri tegak, tapi bukan keadilan. Dan adegan selanjutnya berhasil membuat seringai Kairo melebar penuh. Memuji Daisy dan jiwa barbarnya yang kembali membara dalam hati. Cukup bersorak mendukung Daisy dari kejauhan. "Rasakan itu. Dasar buaya darat!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD