Menghitung dalam hati, Daisy menebak-nebak apa yang akan pria itu lakukan selanjutnya. Karena tatapan tajam itu tidak pernah lari dari bibirnya. Meremas tabung kecil yang Daisy anggap sebagai penyebab besar angka kematian kaum milenial.
Sesuai posisi Drew di klub, penyerang. Dan serangan itu membuat Daisy membeku. Memandang kaku pada satu titik di saat dia tidak lagi bisa melihat kalung salib milik Drew yang tersembunyi di balik kerah kemeja.
Ciumannya kasar. Daisy tidak tahu setan mana yang merasuki diri pria ini sampai harus mencium gadis asing yang sama sekali tidak punya korelasi dengannya.
Ini rumah sakit. Daisy mencoba merapal mantra yang berhembus kencang dalam hati saat merasakan lumatan itu berubah lembut, namun penuh desakan.
Kakinya lemas. Lututnya gemetar. Punggungnya semakin mendesak ke dinding. Pikirannya kosong seketika. Mendapat ciuman asing, dari predator nakal yang berkamuflase menjadi malaikat pencabut nyawa.
Daisy meremang. Mendengar suara patah yang samar menyapa telinganya. Drew mengepalkan tangan, mengulurkan kepalan tangan itu ke sisi wajahnya. Di saat Daisy sama sekali tidak bisa berkonsentrasi dengan ciuman dan rasa malu.
Ciumannya dingin. Daisy merasakan panas berasal dari dirinya sendiri. Semacam, reaksi spontan yang membuatnya tidak sanggup berdiri lama. Kala dia menarik napas, mencoba mendorong d**a bidang itu menjauh.
"Berhenti," bisiknya parau.
Seakan dunia kiamat kalau Drew tidak menciumnya sekarang. Napas mereka berdua beradu. Satu mendamba, satu membenci.
Daisy menarik napas. Menahan tekanan dadanya untuk tidak meledak. Entah, rasa mana yang menggumpal sesak di dadanya.
"Aku tidak bisa berhenti."
Daisy menjerit kecil. Menahan pria itu agar tidak mendekatinya lebih jauh. Saat Daisy mendorong kasar, merasa lebih cukup agar pesepak bola tidak tahu diri itu berhenti bertindak semaunya.
Melayangkan satu tangannya ke udara, suara keras itu tidak terelakkan lagi. Daisy meringis, merasakan telapak tangannya panas karena bersinggungan dengan kulit dingin pria itu. Drew termenung, begitu pula dirinya yang dilanda kecewa dan marah.
Kecewa pada dirinya sendiri.
Dan marah karena pria itu bertindak tanpa otak.
"Aku bukan mainanmu!"
Daisy membentak sekali lagi. Kemarahan telah berkumpul menjadi satu di kepalanya. Sebelum dia kembali mengoyak tubuh kokoh itu dan berakhir di atas ranjang, Daisy harus pergi.
Dengan terburu-buru, dia melarikan diri. Tidak peduli Drew yang mematung. Membiarkan rasa panas itu menjalar pipi kirinya. Sampai ke ulu hatinya. Penolakan itu terang dinyalakan bagai api unggun di malam hari.
"Bajingan."
Daisy berlari. Menghindari kekacauan itu dengan berulang kali mengusap bibirnya sendiri. Mencoba bersembunyi dari area parkir agar tidak terlihat.
Tenggelamkan saja dia!
AlexanderDrew menarik napas. Melirik datar pada vape yang baru saja ia patahkan, dan mendengus kecil. Seakan tamparan gadis itu tidak berarti apa-apa untuknya. Ancaman Daisy, hanya angin lalu. Bukan hal yang harus dianggap serius.
Kembali berjalan masuk, Drew terkejut menemukan MyoujinLaka baru saja memberikan tanda tangannya pada dua perawat yang dengan manis melempar kedipan manja. Laka dengan sabar meladeni mereka, sampai benar-benar seleOrlan dan Drew baru mendekat.
"Kenapa kau tidak berlari menghindar?"
"Fan service," ujarnya masam. "Kau darimana?"
Drew tidak menjawab. Manakala andai saja tatapan Laka tidak turun, dia terkejut menemukan vape kesayangan Drew telah terbelah menjadi dua. "Kau mematahkan rokokmu sendiri?"
Drew memilih untuk diam. Memilih meremasnya asal dan membuang vape itu ke tempat sampah sambil lalu. Membiarkan kepala Laka menerka-nerka. Mencari titik terang alasan mengapa Drew membuang vape miliknya.
***
"Kau baik-baik saja?"
Daisy menarik napas. Melipat tangannya di atas meja dengan kepala terangguk. "Ya. Aku baik. Kenapa?"
Kairo mengangkat alis. Terpaku sejenak menatap sahabatnya dan menggeleng. "Kau butuh mandi kembang tujuh rupa. Aku bisa membantu mencarikannya untukmu."
Rose yang sedang membakar daging dan bawang putih mengernyit. "Kenapa? Kenapa harus mandi bunga?"
Daisy mendesah. Mencomot satu daging yan baru saja matang dari atas pembakaran.
"Lupakan saja. Kairo melantur."
Kairo mendengus masam. Meminum bir dari gelas dengan gelengan kepala. "Heh, Daisy. Kau pikir, aku bodoh? Aku tahu apa yang terjadi. Jangan remehkan aku."
Daisy terbatuk kecil. Karena minyak daging yang berasal dari mentega masuk ke tenggorokannya. Dengan dehaman pelan, Daisy mendelik pada Kairo. Meminta pria itu untuk diam.
"Apa?"
Rose membanting sumpit di atas piring. Menatap tajam ke arah dua sahabatnya. "Kalau kalian tidak bicara, aku bersumpah akan pergi melarikan diri dan membiarkan kalian kembali dengan taksi atau bis umum."
Daisy mendesah pendek. Menatap mata biru yang berkilat tajam itu dan menunduk. "Drew menciumku."
Satu menit, dua menit, masih tidak ada reaksi. Daisy meremas lengannya sendiri. Memaku menatap sekeliling ruangan yang sepi. Restauran daging ini sepi karena di luar hujan deras. Dan kedatangan mereka bertiga adalah untuk makan malam sekaligus berteduh sampai hujan reda.
"Kau bercanda?"
Daisy menggeleng miris. "Tidak. Aku bersumpah."
"Rose, tahan dulu amarahmu. Daisy korban. Ini salahnya karena terlahir terlalu cantik. Sampai pemain bola itu jatuh bangun menghadapi pesonanya, kan?"
Kairo benar-benar sumbu kompor yang baik.
LivelyRose memangku dagunya. Mengecilkan api dalam bakaran dan mendengus. "Kau membiarkan Drew menciummu?"
Kepala Daisy menggeleng.
"Aku tidak menikmatinya sama sekali. Rasanya aneh," Daisy bergidik memikirkan kejadian tadi siang. "Aku tidak suka padanya. Jelas saja aku tidak menikmati apa pun."
"Good. Bagus." Rose menghela napas lega.
Kairo menipiskan bibir. Setelah menghabiskan dua potong daging bumbu dan udang, dia baru bicara. "Aku rasa, AlexanderDrew hanya penasaran. Karena apa? Karena Daisy ramah pada pelanggan lain, tapi tidak pada mereka. Pada anggota geng yang masa depannya terlalu cerah sampai-sampai mataku buta melihat sinarnya."
Rose mencibir. "Berlebihan."
Kairo balas mendengus. "Aku serius. Di saat kita terjungkal, berdarah-darah dan harus mengubur diri di tanah demi membeli apartemen dan barang bagus, atau menabung untuk masa depan, mereka hanya memikirkan bagaimana caranya membuang uang."
"Seandainya salah satu rumah mereka terbakar, aku rasa mereka baik-baik saja," ucap Daisy yang dibalas anggukan kepala Kairo.
"Bisnis mereka banyak. Mereka pintar mengelola uang. Semua tidak melulu tentang hidup hedonisme," gerutu Rose masam.
Daisy mengembuskan napas. Membenarkan kata Rose. Kalau saja mereka gemar berfoya-foya, penghasilan mereka akan tetap. Tapi, mereka pintar menghasilkan uang dalam jumlah banyak. Untuk tidak terpaku pada satu pekerjaan saja. Melainkan banyak hal. Dan itu alasan yang membuat mereka sangat kaya. Terlepas dari penghasilan tetap yang menjanjikan
"Kalau Daisy menikahi salah satunya, kau bisa membeli kedai kopi lain untuk melebarkan sayap bisnismu. Kau tidak perlu menjadi barista. Cukup duduk manis di rumah dan memantau."
Daisy berdecak mendengar suara Kairo. Menggeleng pelan karena dirasa mustahil.
"Aku sama sekali tidak berpikir untuk menikahi salah satunya," balasnya gusar. Menatap Rose sekilas. "Hidup tidak akan berjalan mudah kalau kau menikahi orang kaya dan terkenal."
"Daisy benar."
Kairo mendesah pendek. Mencibir masam dan melarikan diri pergi ke dapur.
***
Rei Zico mendengus. Menaruh tatapan mata tajamnya pada vape yang telah terbelah menjadi dua. "Kau serius mematahkan ini? Wah."
Deomy Dwayne terlihat menahan tawa. Sedangkan, Bloom Orlan tampak merengut di ujung kursi. Tahu kalau sebentar lagi dia akan kehilangan Mustang berharga. Yang menjadi kesayangannya akan jatuh ke tangan orang lain. s**t. Dia tidak ingin memaki, tapi sudah terlanjur.
"Watch it out, Orlan."
"You better to keep your mouth," Orlan menggerakkan tangannya seakan-akan meminta Dwayne untuk mengunci rapat bibirnya agar tidak terus meledek.
"Tidak diperkenankan juga atlit merokok. Dan Drew jelas menabrak larangan itu untuk dirinya sendiri dan nama baik klub. Pria itu benar-benar keras kepala."
"Tidak ada yang tahu," sahutnya masam.
Laka memutar mata. "Kalau dia memutuskan untuk berhenti, itu bagus. Kenapa kalian terlihat aneh?"
Dwayne mendengus. "Ibunya berlutut pun, Drew tidak akan membiarkan dirinya mengiyakan. Lantas, hanya karena barista itu dia mematahkan vape ini? Wah, Laka. Kau naif sekali."
Zico meringis dengan ekspresi datar tanpa arti.
"Drew hanya akan menghisap rokok elektrik ini kalau dia tertekan. Dan kupikir, beberapa masalah yang hadir membuatmu harus kembali merokok? Oh, tentu. Kau punya masalah serius."
Drew meliriknya dingin. "Bukan urusanmu."
"Siapa yang kembali mengacau? Mantan kekasih? Teman tidur?"
Drew mendengus.
"Seandainya, AlexanderMikail tidak pergi karena kecelakaan helikopter, Drew dan ibunya akan baik-baik saja."
Drew mendesis. Menendang kaki meja tanpa sadar dan Laka memilih untuk diam. "Ini bukan saat yang baik bicara tentangku, bukan?"
Laka menghela napas. "Oke. Maafkan kami."
Drew menunduk. Membiarkan meja itu senyap selama beberapa saat. Ketika DeomyDwayne meraih korek miliknya, mencabut salah satu batang rokok dari tempat dan mulai menghisap nikotin itu dalam diam.
"Kalau kau ingin bermain-main, kau hanya perlu memilih. Di sana, banyak mangsa yang bisa kau tarik masuk ke kamarmu."
Orlan mencibir dengan ekspresi jengah. "Kau pikir, selera Drew serendah itu?"
"Apa bedanya dengan barista di kafe itu?"
"Mereka bekerja, bukan menjual diri," sela Dwayne tajam. Pada Laka yang memutar mata. "Semua kelebihan yang ada di fisik mereka, hanya bonus. Lagipula, apa mereka pernah berjalan-jalan di sekitar kafe tanpa busana? Hanya memakai celemek dan sepatu?"
Zico tertawa. "Bodoh sekali."
Orlan menegak bir dalam gelas. "Kau tidak seharusnya bicara seperti itu. Mantan tunanganmu juga pelayan di restauran laut. Bicara pada tembok sana."
Laka mencibir masam.
Saat Drew menghela napas. Merasakan musik yang berdentam menggetarkan lantai tempat duduk mereka. Tenggelam di antara ruang dansa dan ruang tertutup untuk kalangan premium, mereka lebih senang untuk memisahkan diri hanya untuk menunjukkan pada dunia bahwa kasta mereka berbeda.
"Kapan kau kembali?"
"Musim depan. Balapan pertama di Shanghai. Kembali menjadi tuan rumah. Selepas penutup, sekarang pembuka."
"Banyak orang bertaruh untukmu," kata Orlan.
Zico mengangkat bahu. "Mereka banyak meremehkan kemampuanku."
"Kau lebih cocok terlihat sebagai pembalap offroad, bukan pembalap lintasan."
Laka tertawa. "Mobil jeepnya akan terguling bahkan sebelum sampai di garis finish."
Zico melempar kentang gorengnya pada Laka yang masih terkekeh. "Diam."
Drew menarik napas. Berbalik menatap Zico dalam satu tatapan tajam. "Kau masih berkencan dengan anak pejabat itu?"
Kepala Zico menggeleng. "Kami sudah berakhir. Sejujurnya, permainan Matsuri membosankan. Aku rasa, tunangannya sekarang juga akan membenarkan perkataanku."
"Sial."
"b******k," Dwayne menahan tawa. Menyesap rokoknya dan mendengus. "Kau terkadang terlihat sebagai dominan, tapi ternyata kau suka berbagi agar si perempuan mau memimpin permainan."
Zico berdecak dengan seringai. "That's me."
Drew memutar mata.
"Siapa incaranmu kali ini?"
"Kenapa?" Zico memiringkan kepala. "Apa itu menjadi urusanmu?"
"Beberapa kali kau mengambil kesempatan Drew, Zico. Tanpa membiarkan pria menyedihkan ini mencicipi."
Zico mencibir. "Sayang sekali, aku ikut prihatin. Tapi, mereka lebih dulu jatuh padaku. Aku tidak akan membuang ikan begitu saja."
Drew balas mendengus dingin.
Lalu, membuang tatapannya ke lantai dansa yang bising. Samar-samar mendengar suara jeritan dari para gadis yang tengah mabuk.
"Kali ini, tidak kubiarkan kau menang."
Alis Dwayne terangkat. Dan Laka yang memicing, lalu menggeleng pelan sembari menyesap vodka pada gelas.
***
Daisy berkacak pinggang. Setelah menyeret es batu ke dalam tempat penyimpaan di bawah mesin kopi, dia menemukan DeomyDwayne datang bersama MyoujinLaka malam ini.
Melirik jam dinding datar, Daisy membiarkan Rose yang mengambil alih. Membuatkan minuman untuk pria yang mulai sekarang akan bercokol menjadi pelanggan tetap.
"Tidak bagus terus-menerus menyesap kafein. Kau ini pembalap, apa kau ketergantungan dengan kopi?"
Dwayne balas mendengus. Memangku dagunya sembari menunggu Rose membuatkan minuman untuknya. "Tidak baik pula untukmu cemberut terus-menerus. Tidak ada yang membuatmu ceria, manis?"
Daisy mencibir. Berdecak keras saat berlalu masuk ke dapur. Dan membiarkan Kairo sedang menyantap daging bebek berbumbu.
"Kenapa?"
"Aku tidak tahu, tapi sepertinya kafe kita akan dilanda mimpi buruk. Kenapa pula Billionaire's Boy Club harus datang?"
"Pendapatan kita bertambah. Semenjak mereka datang, kafe selalu ramai. Tidak peduli Dwayne, Laka atau siapa pun. Mereka pasti membawa keuntungan," ujar Kairo sembari memakan daging bebeknya.
"Hah! Terserah!"
Daisy mencomot salah satunya. Menghentakkan kakinya kesal saat dia berbelok ke arah kamar mandi. Dan Rose mengangkat alis karena mendengar keributan dari dua sahabatnya.
"Daisy masih sensitif dengan ciuman kemarin," gerutu Kairo asal. Memicu guratan samar pada dahi Rose. "Aku rasa, dia sendiri tidak bisa melupakan ciuman itu. Terlebih, dia sudah lama tidak berkencan."
"Bodoh."
Rose menggeleng pasrah. Dan memilih untuk pergi ke luar. Meminta Kairo untuk cepat untuk membantunya karena kafe cukup ramai di sore hari.
Daisy kembali setelah mencuci tangannya sampai bersih. Memperbaiki ikatan rambutnya kala menemukan bangku yang berisi dua manusia tampan dari geng kenamaan, kembali menjadi pusat perhatian. Mereka sama sekali tidak mencari perhatian dengan berkedip, atau menebar pesona. Melainkan hanya duduk, dan mengobrol santai.
Tidak ada dari pelanggan perempuan yang menjerit histeris. Mereka bukan kalangan anak-anak yang refleks berteriak bertemu idola. Menahan rapat-rapat bibir mereka untuk tetap diam. Sesekali, melempar pandang dan berharap mata mereka tertangkap manis oleh sang idola.
Daisy sedang duduk. Mengunyah kacang di dalam mulutnya saat MyoujinLaka bangun, dan berpergian ke luar kafe dengan dorongan tangan cukup keras. Membuat pelanggan perempuan menahan napas kerena memperhatikan bisep itu tampak menggoda.
DeomyDwayne berkebalikan. Dia kembali mendekati meja barista. Melempar satu kedipan mata ke arah meja pembeli dan kembali pada Rose yang sedang berdiri diam memperhatikan uang di dalam mesin kasir.
"Kalian punya acara di akhir pekan?"
Kairo mengangkat alis. Baru saja beranjak dari dapur, menemukan predator darat tengah menebar bisanya.
Daisy mendengus. Berpura-pura tuli dengan bibir mengerucut kesal.
"Tidak. Kenapa?"
Seringai Dwayne melebar. "Mau minum bersama kami? Kalian terbiasa mabuk?"
Daisy berbalik. Dan Kairo siap memukul junior DeomyDwayne dengan gagang sapu.
Rose mencibir dengan ekspresi ketus setengah mati. Berkacak pinggang dengan kepala miring ke kanan. "Kau cari mati? Untuk apa kami mabuk bersama kalian? Cari saja sana p*****r yang bisa kalian tiduri. Kau pikir kami siapa?"
Seringai Daisy melebar angkuh.
"Di dahimu tertulis jelas, kalau kau butuh tidur bersama salah satu dari kami. Entah, siapa yang paling mabuk. Membiarkan kami terkoyak di atas ranjang suite mahal. Merasa hina sampai mati. b******k. Mati saja kau sana!"
LivelyRose membentak galak. Suaranya menggelegar sampai membuat satu kafe senyap. Bersama DeomyDwayne yang tidak lagi terlihat ramah. Pembalap motor dengan nomor enam itu tampak kaku. Terlihat dingin dan siap membantai siapa saja.
"Kau tahu dimana pintu keluarnya? Perlu kuantar?"
Kairo menahan tawa. Saat Daisy maju, memilih untuk memundurkan sang sahabat sebelum kembali memuntahkan lahar panasnya.
"Aku tidak mengerti," bisik Dwayne dingin. "Ada gadis dengan harga tinggi sepertimu. Kau ini jual mahal, yang ujung-ujungnya akan luluh dengan uang dan barang mahal."
Rose mendengus. Bersidekap dengan gelengan kepala miris. "Kalau kau memukul rata kami sama dengan pelacurmu, lebih baik kau menjatuhkan dirimu dari Tokyo Tower. Kau banyak omong."
Daisy menggeleng. Menatap keteguhan Dwayne yang tidak gentar dipermalukan. Meski, seratus persen perempuan di sini akan mendukung si tampan ini, hanya mereka berdua yang berdiri di sisi seberang. Bersama Kairo yang sepenuhnya mendukung.
"Jangan sampai aku melemparkan vas bunga ini. Kalau perlu, kau dan temanmu tidak perlu datang."
Kedua mata Dwayne memicing. Menilai keduanya dengan pandangan meledek. "Drew harus tahu ini."
"Dunia akan terus berjalan meski dia tahu sekali pun," geram Daisy. Sebelum dia melempar vas bunga itu pada kepala Dwayne, pria itu telah berlari pergi. Membiarkan semua mata menatap pada dua barista yang berani membetak pembalap seksi itu.
Rose menarik napas. Mendudukan diri di atas kursi dan Kairo dengan sigap mendekat bersama segelas air dingin. "Aku membutuhkan bubuk cabaiku. Sialan. Pria itu benar-benar membuatku naik darah."
"Para pria terkesan akan mencari muka kalau dia tertarik pada lawan jenis. Seperti Dwayne, misalnya. Membuat kalian kesal termasuk kesukaannya. Menurut mereka, menggemaskan."
"Aku makin jijik mendengarnya."
Daisy berbalik setelah mencibir Kairo yang menjulurkan lidah ke arahnya. Membiarkan Rose kembali menarik napas, mengipas rambut pirangnya dengan gerutuan jengkel.
***
Kairo bersikap waspada. Menemukan predator darat pemangsa gadis cantik tengah berdiri di depan mobilnya. Bukan mobil mahal itu yang menjadi objek penglihatan Kairo, tapi pada AlexanderDrew yang sedang menunggu seseorang.
Drew menoleh. Menurunkan ponsel mahalnya ketika matanya bertemu pandang dengan mata cokelat Kairo. "Temanmu sudah kembali?"
"Siapa?"
Drew tidak menjawab manakala orang yang ia tunggu baru saja menuruni teras. Terpaku menatap dirinya dan pada Kairo yang mengambil ancang-ancang untuk menghajar.
"Pulanglah, Kairo. Aku baik-baik saja."
"Aku mencium bau kekerasan seksual nanti," bisik Kairo tajam. Sengaja untuk sedikit mengeraskan suaranya saat bicara pada Daisy.
Drew merespon dengan memutar bola matanya bosan.
Kairo menghela napas. Mengerti arti tatapan Daisy, dia melambai pada gadis itu. Menatap Drew sekali lagi, lalu menunduk untuk menatap celananya. "Awas kalau sampai jantung pisang itu bangun, kupotong nanti!"
Daisy menggeleng menahan tawa. Saat Kairo menghilang untuk berbelok ke arah halte dan Daisy berjalan, berdiri dengan jarak yang cukup lebar di depan pria itu. "Kau mau apa?"
Drew memilih untuk diam. Menatap lekat gadis yang sama sekali tidak memasang raut ramah atau hangat sedikit pun padanya. "Kau seperti punya dendam padaku?"
"Oh, bagus. Akhirnya, kau sadar."
Daisy mendengus. "Aku tidak suka dicium pria asing. Terutama, manusia yang merasa bisa membeli segalanya. Egomu terlalu tinggi. Dan aku tidak suka dengan pria semodel dirimu. Kau dan geng tidak jelasmu itu."
"Kami digilai perempuan."
"So, aku harus peduli? Apa perlu aku kayang sekarang? Salto di depanmu?"
Drew mencibir. Memalingkan mukanya ke arah lain. Menurunkan topi berlabel Balenciaga yang mencolok. "Dengar, aku datang bukan untuk bertengkar denganmu."
"Kau datang untuk minta maaf? Atau berlutut karena mencium gadis asing sembarangan?"
Drew mengangkat alis. "Kau masih gadis?"
Daisy terkesiap. Berdeham singkat dan menghela napas panjang.
"Lebih baik, kau tidak perlu datang lagi kemari. Kafe kami baik-baik saja sebelum ada kalian. Dan aku harap, seterusnya akan sama."
"Tanpa sadar, aku bersama teman-temanku menambah pendapatan kalian. Bonus kalian di akhir bulan pasti besar, bukan?"
Daisy berdecak. "Gajiku bukan urusanmu," keluhnya dingin.
"Dengar, kau tidak ingin berdebat tapi aku ingin sekali bertengkar denganmu. Kau dan DeomyDwayne sama. Di dahi kalian tertulis kalau kalian bukan tipikal pria senang ditolak, bukan tipikal yang senang mengejar perempuan sampai titik darah penghabisan. Mementingkan gengsi dan harga diri hanya untuk membuat hati para gadis terluka. Iblis berbalut malaikat. Aku rasa, julukan itu pantas untuk kalian."
Kedua mata Daisy menyipit tajam.
"Satu hal lagi yang aku sangat yakin, selera kita berbeda. Kau mungkin suka dengan perempuan berbadan gitar spanyol."
Daisy tidak membiarkan pria itu bicara sedikit pun.
"Aku juga berani bertaruh kalau selera musik kita berbeda. Aku lebih santai mendengar Taylor Swift dan mungkin kau penggemar My Chemical Romance atau Asking Alexandria. Jadi, kita berseberangan."
"Kalau begitu, kau tipe perempuan melankolis."
Daisy mengernyit dalam. "Tidak. Aku pemuja satanis. Tahun kemarin aku baru saja menonton konser duet Evanescence dan Within Temptation."
"Oke. Itu tidak penting," Daisy menarik napas kasar. "Lebih baik, tarik dirimu bersama temanmu untuk tidak menebar racun di dalam kafe kami. Aku kasihan pada Kairo kalau harus pergi mencari pendeta yang bisa mengusir roh halus dari kafe kami."
Tatapan Daisy turun pada kalung salib pria itu. Menarik napas panjang, dan bergerak mundur. Drew bersama kalungnya bukan kombinasi yang baik.
"Kenapa kau terlihat sangat membenciku?"
"Pria dengan reputasi buruk yang membuntuti jelas bukan seleraku," balas Daisy dingin. Memberanikan diri menatap mata pria itu. "Kau adalah salah satunya. Selamanya, akan hidup dalam reputasi yang media bangun untukmu."
Daisy siap menyembur laharnya kalau saja AlexanderDrew membalasnya. Dia cukup banyak bicara, dan memberikan kesempatan pria itu menjelaskan. Sayangnya, bermenit-menit berlalu yang Daisy dapati hanya kekosongan.
"Kalau saja ada vas bunga dekat sini, kau pasti akan melemparku dengan vas bunga seperti yang ingin kau lakukan pada Dwayne."
Daisy menipiskan bibir.
Daisy mendengus masam. Siap menyemprot pria itu dengan ratusan kalimat makian saat yang ia temukan malah berbanding terbalik. Bukan tatapan tajam, atau seringai nakal yang membuat perut Daisy mual.
Melainkan, satu senyuman tipis yang membuat jantung Daisy berdetak tidak normal. Layaknya pasien yang punya keluhan aneh dengan debaran tidak nyaman.
Kejutan lain bagaikan kembang api yang meletup aneh di dalam dadanya. Daisy meringis, mengerang pada dirinya sendiri dan mengutuk jiwa normalnya yang salah tempat.
"Aku pikir, kau suka kejutan. Kau akan lebih merasa terkesan setelah kau mendengarnya nanti."
"Mati saja kau," sela Daisy serak.
Menatap datar pria itu dan berjalan pergi. Merangkul tas selempangnya untuk mengambil ancang-ancamg melarikan diri menuju halte. Sebelum dia tertinggal bis terakhir hanya karena terjebak konyol bersama Alexander Drew. Yang malah menatapnya dengan pandangan lain. Seolah-olah Daisy adalah objek yang lucu dan pantas untuk dilumat hidup-hidup.