Wyvern, 01

3113 Words
Suasana di kota itu cukup ramai, semua orang terutama bagi mereka yang memiliki anak laki-laki berusia remaja tengah sibuk mempersiapkan diri. Mendandani putra mereka agar berpenampilan layaknya seorang ksatria dengan membawa pedang yang tersampir di pinggang masing-masing. Pemandangan seperti ini sebenarnya bukan hal yang aneh karena rutin setiap sepuluh tahun sekali kejadian seperti ini akan terjadi. Para bangsawan yang sibuk mempersiapkan putra mereka, saling berlomba dan berharap putra merekalah yang akan terpilih. Di dunia mereka, Planet Terrarun namanya. Dan tepatnya di sebuah kerajaan besar bernama Kerajaan Regnum, dikenal sosok makhluk pelindung kerajaan. Makhluk ini dianggap suci layaknya Dewa. Makhluk yang akan melindungi Kerajaan Regnum beserta seluruh rakyat dari serangan kerajaan musuh yaitu Kerajaan Centrum. Sosok makhluk yang memiliki kedua sayap besar yang membuatnya kerap kali terlihat beterbangan di atas langit Kerajaan Regnum. Mereka memilih penunggangnya sendiri dan pemilihan itu akan terjadi setiap sepuluh tahun sekali, lebih tepatnya hari inilah pemilihan itu akan berlangsung. Bagi mereka yang terpilih akan dianggap sebagai ksatria terhormat, itulah kenapa semua keluarga bangsawan begitu berharap putra mereka yang akan terpilih karena itu akan menjadi kebanggaan tersendiri. Setelah dirasa penampilan putra mereka telah siap, mereka akan berbondong-bondong pergi ke alun-alun pusat kota, dimana terdapat lapangan besar dan semua calon ksatria itu berbaris rapi di sana, menanti dengan tak sabar kedatangan makhluk pelindung yang akan memilih salah satu dari mereka untuk menjadi penunggangnya. Di saat semua remaja tengah berkumpul dan menanti dengan perasaan was-was kedatangan sang makhluk suci, seorang remaja berusia 18 tahun, Algren Cannet namanya, justru tengah bermalas-malasan di dalam kamar. Membaringkan tubuh di ranjang sembari bersandar pada kepala ranjang, Algren tengah senyum-senyum sendiri karena sedang membaca sebuah buku. Algren maupun keluarganya tak pernah bermimpi apalagi berharap akan terpilih menjadi ksatria penunggang makhluk suci tersebut karena biasanya yang terpilih adalah mereka yang berasal dari keturunan bangsawan. Selama ratusan tahun selalu seperti itu karenanya Algren yang hanya seorang anak dari keluarga petani tak perlu repot-repot ikut berkumpul di lapangan alun-alun. “Algren!”  Algren berdecak begitu mendengar seseorang memanggil namanya, itu suara sang ibu yang kini sedang berteriak-teriak di dalam rumah. Pemuda itu menebak sang ibu akan menyuruhnya melakukan sesuatu, karena tak mau keasyikannya yang sedang membaca buku terganggu, Algren berpura-pura tak mendengarnya. Dia tetap melanjutkan aktivitasnya tanpa mempedulikan suara sang ibu yang menggelegar di dalam rumah memanggil namanya. “Algren! Ibu memanggilmu sejak tadi, apa yang kau lakukan di sini? Sengaja mengabaikan panggilan ibu ya?” Algren berdecak untuk kedua kalinya, dia mengalihkan tatapan dari buku yang sedang dia baca, kini tertuju pada ibunya yang sedang bertolak pinggang di depan pintu dengan wajah memerah karena kesal bukan main pada putranya yang pemalas. “Kenapa, Bu?” Algren bertanya dengan raut wajah luar biasa malas, walau dia sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan ibunya setelah ini. “Bantu Ibu menjemur padi. Di luar sedang panas, cuacanya cerah jadi ini kesempatan untuk menjemur padi yang basah.” Dan tepat seperti yang dia duga, ibunya memang akan menyuruhnya melakukan sesuatu. “Iya, Bu. Aku akan keluar sebentar lagi.” “Sebentar lagi? Sekarang! Ibu minta kau keluar dan jemur padinya sekarang!” Algren mengangguk-anggukan kepala, mengiyakan tanpa suara. Namun begitu sang ibu melenggang pergi, Algren yang pemalas kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda yaitu membaca buku. Tak peduli meski setelah ini mungkin dia akan kembali dimarahi oleh ibunya, Algren tetap tak mau berhenti membaca karena menurutnya dia sedang membaca bagian yang seru dari cerita legenda Kerajaan Regnum yang sedang dia baca tersebut. Katakan Algren beruntung karena suara ibunya tak lagi terdengar, wanita paruh baya yang telah melahirkannya pun tak lagi mengganggunya dengan datang ke kamar dan menyuruhnya menjemur padi. Algren terhanyut dengan alur cerita yang sedang dia baca, hingga tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara gebrakan kencang dari arah langit-langit. “Wow, apa itu?” Algren memekik kaget dan langsung berdiri akibat suara gebrakan itu, seolah ada sesuatu yang baru saja mendarat di atap rumahnya, langit-langit kamar Algren yang hanya terbuat dari papan, debu dan serpihan papan berjatuhan ke bawah hingga mengenai dirinya. Sambil berdecak dia mencoba membersihkan pakaiannya dari serpihan debu dan papan yang menempel di sana. Ggggrrrr Namun, pemuda itu lagi-lagi tertegun karena meyakini baru saja mendengar suara aneh, terdengar seperti suara geraman makhluk buas di dalam hutan. Hei, jangan katakan ada harimau gunung yang tiba-tiba mendarat di atap rumahnya? Ya, walau rumahnya cukup dekat dengan gunung yang terkenal dihuni banyak harimau, tetap saja Algren berpikir mustahil ada harimau yang tiba-tiba mendarat di atap rumahnya. Namun, suara geraman itu sukses membuat Algren terheran-heran sekaligus merinding. “Ck, hanya halusinasiku saja mungkin.” Algren berniat kembali merebahkan diri di ranjang untuk melanjutkan aktivitas membaca bukunya yang terganggu untuk yang kesekian kalinya. “Aaaaakkhhh!” Tetapi suara teriakan itu sukses membuat Algren terperanjat, dia pun berlari keluar karena suara itu begitu familiar di telinganya, tidak salah lagi merupakan suara ibunya. “Ibu, ada apa?” Algren menemukan orangtuanya karena bukan hanya sang ibu yang berada di sana melainkan ayahnya juga, tengah menatap ke arah atap rumah dengan kedua mata terbelalak sempurna, mereka terlihat sedang ketakutan seolah baru saja melihat penampakan monster. Hei, jangan bilang benar-benar ada harimau gunung yang mendarat di atap rumahnya? Penasaran ingin mengetahui alasan orangtuanya berekspresi setakut itu, Algren pun mengikuti arah tatapan mereka. Dan saat itulah, Algren tak tahu apa yang harus dia lakukan selain mematung di tempat dengan tubuh gemetaran. Seekor monster memang tengah berada di atap rumahnya, bukan harimau gunung seperti yang dibayangkan Algren melainkan seekor makhluk raksasa menyerupai naga. Kedua kakinya yang besar dan memiliki cakar tajam itu tengah mencengkeram dinding yang menjadi cerobong asap rumah Algren. Kedua sayapnya terbentang lebar dengan kedua mata tajamnya yang kini sedang menghunus tajam ke arah Algren. Kulitnya yang bersisik menambah keseraman dari makhluk itu. Dan saat dia menyeringai, mempertontonkan taringnya yang dengan mudah bisa mengoyak tubuh apa pun, manusia begitu kecil di hadapannya bahkan mungkin akan langsung dilahap dengan sekali gigitan. Lehernya yang panjang kini berdiri tegak dan begitu dia membuka mulut seolah siap menyemburkan api yang menjadi senjata pamungkasnya, seketika suara geraman menggema, memekakan telinga siapa pun yang mendengarnya. Algren tidaklah bodoh, dia tahu persis makhluk apa yang sedang berdiri di atap rumahnya. Dialah sang pelindung kerajaan yang dianggap layaknya Dewa oleh rakyat Kerajaan Regnum, Wyvern. Dan tidak salah lagi Wyvern dengan kulit yang hitam pekat itu adalah dia … sang pemimpin para Wyvern, Eldron.  ***  Kota itu terkenal dengan penduduknya yang sebagian besar merupakan keturunan darah biru, tak ada yang berbeda dengan keadaan di kota ini karena sama halnya dengan kota-kota lainnya di Kerajaan Regnum, semua penduduk kota itu pun tengah sibuk mempersiapkan putra mereka yang mungkin saja akan terpilih sebagai ksatria penunggang Wyvern. Di sebuah mansion mewah, kesibukan sama tengah terjadi. Semua orang begitu sibuk berlalu-lalang hanya karena tuan muda di rumah itu akan segera mengikuti pemilihan. Dengan gagah sang pemuda telah selesai didandani, kini dia mengenakan pakaian layaknya seorang ksatria tak lupa dengan sebuah pedang tajam yang kini tersampir di pinggangnya. “Edden, Ayah yakin kau yang akan terpilih seperti kakek buyutmu. Tunjukan pada ksatria yang lain, kau merupakan ksatria terhebat. Jangan membuat malu keluarga. Kau mengerti, kan?” Pemuda bernama Edden itu hanya bisa mengangguk patuh, tak berani membantah ucapan ayahnya yang memang selalu terobsesi dengan kehormatan dan kekuasaan. Jika di depan sana, sosok Edden tengah tertekan, tidak demikian dengan seorang gadis yang kini sedang duduk sambil menikmati sentuhan tangan ibunya yang sedang telaten menyisir rambut panjangnya. Dia adalah Edrea Leteshia, gadis berusia 18 tahun yang tidak lain merupakan adik Edden. Gadis cantik yang tumbuh menjadi sosok yang manja karena begitu dimanjakan orangtuanya sedari kecil. Edrea tersenyum sinis melihat bagaimana Edden tengah dinasihati ayah mereka, “Aku jadi kasihan pada Kak Edden,” ucap Edrea. Meski ucapannya berkata demikian namun raut wajahnya yang sedang mengulas senyum terlihat berkata lain, justru terlihat seolah dia senang melihat penderitaan kakak laki-lakinya. “Ayah hanya sedang menasihatinya agar kelak dia menjadi ksatria penunggang Wyvern terhebat.” Mendengar jawaban sang ibu, Edrea mencibir seraya menipiskan bibir. “Aku ragu Kak Edden yang akan terpilih.” Gadis itu meringis saat sang ibu tiba-tiba menjambak sedikit rambutnya hanya sebagai bentuk teguran agar dia bisa lebih menjaga mulutnya agar tak berbicara sembarangan. Edrea mengusap-usap kepalanya yang terasa berdenyut karena ulah ibunya, “Sakit, Bu.” “Salah sendiri punya mulut tidak bisa dijaga. Jika ayah dan kakakmu mendengar, kau pasti dimarahi.” “Aku hanya mengatakan kebenaran. Banyak putra bangsawan seusia Kak Edden, mereka jauh lebih perkasa dan gagah dibandingkan Kak Edden. Aku jadi sangsi dia akan terpilih.” Meski sudah ditegur oleh ibunya, Edrea sama sekali tak peduli, dia terus mengoceh dan mengutarakan apa yang sedang dia pikirkan. Kakak laki-lakinya memiliki tubuh yang kurus, pemuda itu juga penakut karenanya Edrea sama sekali tak percaya jika Edden yang terpilih menjadi ksatria penunggang Wyvern. Namun saat melihat sang ayah kini melenggang santai menghampiri mereka, Edrea detik itu juga segera menutup mulut, tak berani berkomentar lagi atau seperti yang dikatakan ibunya, dia akan dimarahi habis-habisan. “Edden sudah siap. Ayo, kita pergi ke alun-alun kota.” Edrea dan ibunya menganggukan kepala secara serempak. Inilah saat yang mereka nanti-nantikan, mengantar Edden ke tempat dimana pemilihan itu akan berlangsung. Edrea merapikan gaun mewah yang dia kenakan saat berdiri dari duduknya, memastikan penampilannya sempurna karena dia harus tampil secantik mungkin di hadapan banyak orang. “Sudah cantik, Edrea. Putri ayah ini memang yang tercantik.” Edrea tersenyum sumringah, senang bukan main karena dipuji oleh ayahnya. Dia pun dengan manja merangkul lengan sang ayah, berjalan beriringan dengan pria paruh baya yang masih terlihat gagah di usianya yang tak lagi muda itu, Edrea memeletkan lidahnya saat berpapasan dengan sang kakak sebagai bentuk ejekan karena hubungannya dengan Edden memang cukup buruk. Mereka sering bertengkar dan nyaris tak pernah akur, jadi bagi Edrea jika Edden terpilih dan pergi maka tak akan ada lagi yang mengganggunya di dalam mansion. Setibanya di alun-alun pusat kota, suasana begitu ramai karena keluarga bangsawan lain sudah tiba di sana. Putra-putra mereka yang sudah didandani segagah mungkin telah berbaris rapi di tengah lapangan, sedangkan keluarga mereka tengah menanti dengan tak sabar di pinggir lapangan. “Ibu lihat itu, mereka sangat gagah. Dibandingkan Kak Edden yang kurus kering, aku yakin salah satu dari mereka yang lebih pantas terpilih sebagai ksatria penunggang Wyvern,” bisik Edrea tepat di dekat telinga ibunya. Gadis itu meringis kesakitan karena kini sang ibu mencubit pinggangnya. “Sakit, Bu.” “Berapa kali harus Ibu katakan, jangan bicara sembarangan. Kau ini seharusnya mendukung kakakmu, bukan mendukung orang lain.” Edrea mencibir, benar-benar enggan mendukung kakak laki-lakinya yang telah dia beri julukan sebagai musuh bebuyutannya tersebut. Cuaca siang itu cukup panas, sinar matahari begitu terik bersinar tepat di atas kepala. Semua orang yang sedang menunggu kedatangan Wyvern yang akan memilih penunggangnya itu mulai jenuh, tubuh mereka banjir oleh keringat, dan Edrea menjadi salah satu orang yang begitu tersiksa dengan cuara panas itu. Tak hentinya dia brdecak sebal sembari menyeka keringat yang tak hentinya bercucuran dari pelipis. “Bu, aku pulang saja ke mansion ya?” Namun begitu mendapat delikan tajam dari sang ibu, gadis itu tahu jawabannya meski wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu tak mengeluarkan suara barang sepatah kata pun. Edrea menghela napas panjang, dengan terpaksa harus tetap berdiri di tempat, bergabung dengan orang lain yang masih harap-harap cemas menantikan sang Wyvern yang tak kunjung datang. “Aku rasa Wyvern itu tidak akan datang, Bu. Atau jangan-jangan tahun ini tidak ada ksatria yang terpilih dari kota kita.” Edrea langsung membungkam mulutnya yang cerewet saat mendapati delikan tajam dari sang ibu untuk kedua kalinya, daripada dia kena pukul atau cubit lagi, gadis itu kini memilih diam. Dan tepat bersamaan dengan Edrea yang mengatupkan bibir, dia dan semua orang tersentak saat keadaan yang terang benderang itu seketika berubah menjadi gelap seolah sinar matahari terhalang oleh sesuatu. Begitu melihat siluet bayangan makhluk raksasa bersayap yang baru saja terbang di atas kepala mereka, dengan serempak mereka menatap ke atas. Sosok yang mereka nantikan sejak tadi akhirnya datang. Sang Wyvern bertubuh besar dan tampak cantik dengan warna kulitnya yang menyerupai warna langit itu kini baru saja mendarat dan berdiri dengan kedua kakinya di tanah. Tak ada suara yang keluar dari mulut semua orang, termasuk Edrea yang takjub sekaligus ketakutan melihat tubuh besar sang Wyvern. Raut gugup dan takut juga terlihat jelas di wajah semua pemuda yang sebentar lagi salah satu dari mereka akan dipilih oleh sang Wyvern untuk menjadi penunggangnya. Wyvern itu meliukkan lehernya yang panjang, mengembuskan udara dari hidungnya saat dia mendengus. Tatapan matanya menelisik satu demi satu pemuda yang harus dia pilih untuk menjadi penunggangnya. Suara geraman mengalun kencang dari mulutnya yang seketika membuat semua orang mati-matian menahan diri agar tak memekik ketakutan. Sang Wyvern kini tengah memerhatikan para pemuda yang berbaris rapi di lapangan alun-alun kota yang luas. Kepalanya mendekati satu demi satu pemuda yang terlihat jelas sedang menahan takut. Ayah Edrea dan Edden tengah bersemangat begitu sang Wyvern kini tengah mendekati putranya, berharap dalam hati agar putra kebanggaannya itu yang akan terpilih. Namun saat sang Wyvern melewati Edden begitu saja, Edrea bisa mendengar dengan jelas helaan napas panjang dari ayahnya yang begitu kecewa karena ternyata putranya tak terpilih. Wajah para orangtua yang putranya sedang mengikuti pemilihan itu memperlihatkan ekspresi wajah yang sama persis seperti ayah Edrea. Mereka begitu berharap putra mereka yang akan terpilih, dan saat bukan putra mereka yang terpilih, raut wajah kecewa itu seketika tersirat jelas di wajah mereka. Keanehan terjadi setelah itu karena tak ada satu pun pemuda yang dipilih oleh sang Wyvern. Semua orang tampak bingung dan terheran-heran karena hal seperti ini baru terjadi sekarang. Namun tak ada satu pun dari mereka yang berani bersuara karena takut akan membuat makhluk yang dianggap suci itu akan murka. Tatapan semua orang tak berpaling sedikit pun dari sang Wyvern yang tiba-tiba berjalan ke arah kerumunan penonton. Meski mereka ketakutan namun tak ada yang berani beranjak dari tempatnya berdiri. Ketika Wyvern bertubuh besar itu tiba-tiba berhenti berjalan lalu meliukkan ekornya dan melilit tubuh seseorang di antara para penonton, semua pandangan mata kini tertuju pada orang itu. Pada Edrea yang pinggangnya dililit oleh ekor sang Wyvern. Semua orang terperanjat kaget, ini sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya karena ksatria penunggang Wyvern selalu seorang pria. Lantas kenapa bisa seorang gadis yang terpilih? Namun inilah takdir gadis itu, takdir Edrea karena sang Wyvern dengan kulit berwarna biru itu telah memilih dirinya sebagai penunggangnya. ***  Bangunan mewah yang tak ubahnya bak Istana Kerajaan itu tidak lain merupakan sebuah kastil. Kastil besar nan luas yang diperuntukan bagi mereka yang telah terpilih sebagai ksatria penunggang Wyvern. Regnum Knight Academy atau RKA, biasa orang menyebut kastil tersebut. Karena seperti namanya, kastil itu sengaja didirikan untuk dijadikan sebuah Academy yang diperuntukkan bagi semua remaja yang baru saja terpilih menjadi ksatria penunggang Wyvern. Mereka akan menjadi siswa di Academy tersebut untuk mempelajari semua hal yang harus mereka kuasai sebagai ksatria penunggang Wyvern. Tugas mereka terbilang cukup berat karena kelak selama sepuluh tahun ke depan sampai pemilihan berikutnya berlangsung, para ksatria yang terpilih tahun inilah yang harus melindungi kerajaan bersama Wyvern masing-masing. Kekompakan dan kerja sama antara sang penunggang dan Wyvern-nya jelas sangat dibutuhkan. Para ksatria pun haruslah memiliki kemampuan fisik dan bela diri yang mumpuni untuk mengimbangi kekuatan Wyvern yang luar biasa. Mereka harus menguasai sihir yang kelak akan menjadi penghubung antara mereka dan Wyvern masing-masing, itulah kenapa Academy itu didirikan, tidak lain untuk mempersiapkan para remaja yang telah terpilih hingga benar-benar siap menjalankan tugasnya sebagai pelindung kerajaan bersama Wyvern mereka. Semua siswa tengah berkumpul di dalam satu ruangan, mengenakan seragam Academy yang sama, mereka tengah duduk di depan sebuah meja yang sudah tersaji makanan mewah untuk menu makan malam mereka. Karena setelah menyantap makanan, mereka harus segera pergi ke kamar masing-masing untuk beristirahat dan mempersiapkan diri untuk pelajaran selanjutnya yang akan mereka dapatkan esok hari. Algren menjadi salah satu siswa yang berada di ruangan itu. Dia tengah berjalan sambil memegang nampan berisi makanan yang baru saja dia ambil. Kepalanya menoleh ke kiri dan kanan, bola matanya bergulir ke sekeliling ruangan untuk mencari kursi yang masih kosong sehingga bisa dia tempati. Raut wajahnya yang datar berubah sedikit sumringah tatkala menemukan kursi yang dicarinya, kursi itu tampak kosong meski kursi-kursi di dekatnya sudah ditempati siswa yang lain. Meyakini kursi itu bisa dia duduki, Algren pun melangkah ke sana. Sedikit lagi dia tiba di kursi itu, namun … Praang! Nampan berisi makanan yang dia pegang jatuh seketika dan makanan berhamburan di lantai karena Algren yakin seseorang baru saja dengan sengaja menjulurkan kaki untuk menghalangi jalannya, membuat pemuda malang itu tersandung hingga akhirnya menjatuhkan makanannya. Atensi semua orang kini tertuju pada Algren yang mematung di tempat sambil menatap iba pada makanannya yang tak bisa lagi dia makan. “Kenapa tidak dipungut lagi makanannya? Kau ingin makan, kan? Sana makan saja langsung dari lantai. Lagi pula kau ini kan hanya rakyat jelata, makan langsung di lantai cocok untukmu,” ejek salah seorang siswa yang seketika disahuti dengan gelak tawa siswa yang lain, sehingga suasana ruangan itu pun menjadi riuh oleh suara tawa. “Rakyat rendahan sepertimu tidak pantas bergabung dengan bangsawan seperti kami. Pergi sana, tempat ini tidak layak untukmu.” Algren hanya bisa mengepalkan tangan, amarah menguasainya namun dia tak bisa meluapkan amarah itu atau dia akan terkena masalah. Tak dia pungkiri yang dikatakan mereka memang benar, dia hanyalah kerikil rapuh di tengah-tengah berlian yang berkilauan. Dia tak bisa disandingkan dengan para bangsawan yang memiliki derajat dan status lebih tinggi darinya. Algren tak bisa melakukan apa pun selain menerima fakta menyakitkan itu. Di sisi lain, Edrea berniat menempati kursi yang awalnya ingin ditempati Algren. Dia hendak mendudukan diri di kursi kosong tersebut. Namun … “Aaakkh!” Gadis itu memekik terkejut sekaligus meringis kesakitan karena dirinya didorong membuatnya tersungkur dan jatuh membentur kerasnya lantai yang dingin. “Heh, wanita! Jangan harap bisa bergabung dengan kami di sini. Wanita seharusnya diam di rumah. Belajar memasak di dapur dan mempelajari cara melayani suami. Dasar wanita tidak berguna, bisa-bisanya dipilih sebagai penunggang Wyvern.” “Tidak layak.” “Bukan tidak layak, tapi kesalahan besar wanita sepertinya bermimpi ingin menjadi ksatria penunggang Wyvern seperti kita.” Dan untuk kesekian kalinya suara gelak tawa mendominasi ruangan, semua orang menertawakan Edrea, satu-satunya wanita yang ada di Academy itu sekaligus wanita pertama yang terpilih menjadi penunggang Wyvern, kini dia tak dianggap layak oleh mereka … para pria sombong yang menganggap merekalah yang terhebat dan paling pantas mendapatkan kehormatan menjadi ksatria penunggang Wyvern. Edrea hendak bangkit berdiri, namun dirinya tertegun saat mendapati tangan seseorang yang terulur padanya, hendak membantunya berdiri. Edrea mendongak dan terpaku dengan tatapan pemuda itu. Tatapan iba dari Algren yang merasa mereka memiliki nasib serupa. Dan entah akan jadi seperti apa nasib dua remaja itu selanjutnya? Algren dan Edrea yang diperlakukan tidak adil hanya karena sebuah … perbedaan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD