Wyvern, 02

2557 Words
Edrea menepis kasar tangan Algren yang terulur padanya dengan diiringi kedua mata yang memicing tajam. Algren mengernyitkan dahi, padahal niatnya baik karena ingin menolong gadis itu tapi rupanya kebaikannya sama sekali tidak dihargai. Jadi pria itu hanya mendengus dan kembali menarik tangannya. “Hei, kasihan sekali dia baru saja ditolak.” Seseorang mengatakan itu yang seketika membuat ruangan menjadi ramai oleh suara tawa yang saling bersahut-sahutan. “Nona, jangan sok jual mahal. Padahal terima saja dia, toh kalian berdua ini serasi. Iya, serasi karena sama-sama tidak layak menjadi penunggang Wyvern dan berada di academy ini.” Baik Algren maupun Edrea sama-sama mengepalkan tangan masing-masing karena semua hinaan dan suara tawa yang jelas-jelas ditujukkan pada mereka berdua. Edrea kembali bangkit berdiri, tak tahan dengan keramaian orang yang menghina dirinya, dia pun melenggang pergi. Melayangkan tatapan tajam pada Algren saat bahu mereka nyaris bersentuhan. Bagi Edrea, semua ini salah Algren yang sok perhatian padanya sehingga mereka kini jadi bahan cemoohan semua orang di ruangan tersebut. Algren sendiri hanya mengembuskan napas pelan, niat awal hanya ingin membantu karena dia kasihan pada gadis itu, justru berakhir seperti ini. Selain kebaikannya tak dihargai, dia juga jadi bahan hinaan semua orang karena penolakan sang gadis. Algren ikut melenggang pergi setelah sebelumnya melirik ke arah makanannya yang berserakan di lantai dan tak mungkin lagi bisa dia makan. Tujuannya sekarang adalah pintu keluar karena sudah tak tahan berlama-lama berada di ruangan yang sama dengan para bangsawan yang sombong itu. Sedikit lagi maka Algren akan tiba di depan pintu keluar, tapi langkahnya terhenti karena seseorang yang sedang duduk di kursi dekat pintu, tiba-tiba mencekal tangannya. Algren tertegun, dia menatap sang pemilik tangan yang entah memiliki maksud apa sehingga menahannya agar tidak pergi. “Hei, kau mau makan, kan?” tanya orang itu, yang ternyata seorang pria seumuran dengan Algren jika dilihat dari perawakannya. Algren menggelengkan kepala, “Tidak. Makananku sudah tidak ada. Jadi, aku akan pergi.” “Siapa bilang makananmu sudah tidak ada? Ini …” katanya seraya menunjuk piringnya sendiri yang masih penuh dengan makanan yang belum tersentuh sedikit pun. “… kita bisa makan berdua. Bagiku ini terlalu banyak untuk dimakan sendiri.” Pria baik hati yang sepertinya seorang keturunan bangsawan jika dilihat dari penampilannya, menggeser tubuh untuk memberikan akses untuk Algren duduk di kursi panjang tersebut. “Ayo, cepat duduk.” Algren hanya tertegun karena masih tak menyangka ada seorang bangsawan yang baik hati seperti pria itu. Mau berbagi makanan dengannya padahal mereka belum saling mengenal dan ini pertama kalinya mereka bertemu. Karena Algren yang diam membisu, pria itu menarik tangan Algren yang masih dia genggam, memaksanya untuk duduk. Merasa tak memiliki pilihan, Algren akhirnya mendudukkan diri di kursi kosong setelah pria itu bergeser. Algren masih tak mengatakan apa pun meskipun kini dia duduk bergabung dengan siswa lain yang menatapnya luar biasa tajam. Di meja itu, ada sekitar sepuluh orang yang sedang menyantap makanan, tak ada satu pun yang memperlihatkan raut ramah pada Algren, terkecuali pria yang memaksanya untuk ikut bergabung di meja itu. Algren tertegun ketika si pria mendorong piring miliknya sehingga berada di tengah-tengah mereka berdua. “Ayo, dimakan. Kau pasti lapar, kan?” Ada rasa ragu yang menggelayut di hati Algren, dia merasa tak enak hati jika ikut memakan jatah makanan orang lain. “Jangan ragu, dimakan saja.” Pria itu kembali mendesak. “Tapi ini makananmu. Mungkin tidak akan cukup dan kau tidak akan kenyang jika berbagi makanan denganku.” Si pria mendengus, “Jangan bicara begitu. Sudah kukatakan makanan ini terlalu banyak untukku. Aku biasanya makan sedikit. Lagi pula, apa salahnya berbagi dengan orang yang sedang membutuhkan pertolongan? Aku senang jika bisa membantu.” Pria itu kembali memaksa karena kini dia mengambil salah satu roti dan dengan paksa meletakannya di telapak tangan Algren yang sengaja dia buat menengadah. “Selamat makan. Roti itu rasanya lumayan enak,” katanya seraya tersenyum ramah. Untuk pertama kalinya ada bangsawan yang memperlakukannya sebaik itu, Algren benar-benar terkejut. Dia menatap sepotong roti yang kini berada dalam genggaman tangannya. Karena dia tak memungkiri perutnya sejak tadi meraung-raung minta diisi, akhirnya dia memakan roti tersebut. “Bagaimana? Lezat kan rotinya?” Algren nyaris tersedak karena pria itu kembali mengajaknya bicara, dia terbatuk dan melihat itu dengan sigap si pria mengulurkan gelas yang sudah terisi air. Algren bergegas menerimanya dan menghabiskan air dalam sekali teguk. “Maaf, aku membuatmu tersedak,” kata pria itu, terlihat tulus merasa bersalah. “Aku hanya penasaran ingin mendengar pendapatmu tentang roti itu. Tapi memang benar ya, jika sedang makan itu lebih baik tidak perlu bicara.” “Rasanya memang lezat. Aku sependapat denganmu,” sahut Algren cepat. “Aku pikir makanan di tempat ini tidak akan sesuai dengan seleraku. Tapi setelah mengetahui makanannya lezat begini sepertinya aku akan betah tinggal di sini. Ngomong-ngomong namaku Drew Evander.” Pria itu mengulurkan tangan kanan pada Algren. Namun, tak langsung disambut oleh Algren karena mendengar nama belakang pria itu benar-benar membuatnya terkejut. Evander … itu sebuah nama keluarga bangsawan yang begitu tersohor di wilayah kerajaan mereka. Salah satu keluarga bangsawan yang masih memiliki garis keturunan dengan King Reegan, yang tidak lain merupakan raja pendiri Regnum Kingdom. Pria yang duduk di sampingnya itu ternyata bukan pria sembarangan. Dia seorang bangsawan terhormat dan seketika Algren merasa tak pantas seorang r'akyat j'elata sepertinya duduk di samping pria yang baru dia ketahui bernama Drew. “Kenapa tidak mau menyebutkan nama dan berjabatan tangan denganku?” Ditanya seperti itu oleh Drew, Algren menundukan kepala, tak tahu harus menjawab apa. “Mungkin dia menyadari statusmu yang terlalu tinggi, tidak sepadan dengannya. Dia hanya seorang putra petani dari rakyat rendahan. Tidak bisa dibandingkan denganmu yang berasal dari keluarga Evander yang terhormat.” Salah seorang yang bergabung di meja itu baru saja berkata demikian, membuat Algren semakin menundukan kepala karena merasa yang dikatakan pria itu memang benar adanya. Statusnya dengan Drew terlalu berbeda. Bagai langit dan bumi. Entah apa yang dipikirkan Drew setelah mendengar perkataan pria itu karena dia tiba-tiba bangkit berdiri dari posisi duduk. Sebuah tindakan yang membuat dirinya kini menjadi pusat perhatian semua orang di ruangan tersebut. “Memangnya kenapa jika status keluarga kami berbeda? Setelah berada di academy ini bukankah status kita semua sama yaitu sebagai siswa academy sekaligus penunggang Wyvern?!” Dengan suara lantang dan keras, Drew berkata demikian. Namun, rupanya karena statusnya yang tinggi, tak ada satu orang pun yang berani menyela, menyahuti apalagi membantah ucapannya. “Apalagi dia ini aku dengar bisa berada di sini karena bukan Wyvern sembarangan yang memilihnya.” Algren yang sejak tadi menunduk itu pun kini mengangkat kepala, menatap pada Drew yang masih terus bicara keras dalam posisi berdiri tegak. “Eldron yang memilih dia untuk menjadi penunggangnya. Apa kalian mengerti apa artinya ini?” Semua orang tak ada yang bersuara seolah-olah mereka baru menyadari yang dikatakan Drew memang suatu kebenaran yang mau tak mau harus mereka terima. “Artinya dia bukan orang sembarangan. Dia pasti istimewa karena itu Eldorn … sang pemimpin para Wyvern sampai memilih dia menjadi penunggangnya.” Algren merasakan Drew menatapnya dengan sorot mata serius yang sulit untuk diartikan. Tapi yang jelas dia merasakan pria itu tak main-main, dia memang tulus peduli padanya dan secara terang-terangan menunjukan kepeduliannya dengan cara membelanya seperti ini di depan umum. “Jadi, aku harap mulai sekarang kalian tahu diri. Jangan merendahkan apalagi menghinanya lagi hanya karena dia seorang anak petani,” tambah Drew, yang lagi-lagi tak ada seorang pun yang berani membantahnya. “Sekarang kau sudah mengerti kan bahwa kau sama sekali tidak berbeda dengan kami? Karena itu jangan merasa sungkan.” Drew kembali mengulurkan tangan kanannya pada Algren. “Boleh aku tahu namamu?” Awalnya, tatapan Algren tertuju pada telapak tangan Drew yang terulur padanya, dalam diam. Namun sedetik kemudian, akhirnya dia ikut mengangkat tangan kanan dan membalas uluran tangan tersebut sehingga kini mereka saling berjabatan. “Algren Cannet. Itu namaku.” “Senang bertemu denganmu, Algren. Aku harap kita bisa menjadi teman mulai sekarang.” Algren kembali dibuat tercengang karena selain begitu baik sampai mau membelanya, Drew juga menawarkan sebuah pertemanan. Sekali lagi dia merasa baru ini kali pertama dia diperlakukan baik oleh seorang bangsawan yang biasa selalu merendahkan r'akyat j'elata sepertinya. “Oh, iya. Aku juga sudah tidak sabar ingin melihat kemampuanmu, Algren. Kau pasti sangat hebat sampai Eldron memilihmu.” Setelah berkata demikian, Drem kembali duduk di kursinya seraya melanjutkan makannya yang tertunda. Sedangkan Algren hanya mematung di tempatnya duduk karena tak tahu harus merespons apa. Dia sendiri tak mengerti alasan Eldron memilihnya. Memang apa istimewa dirinya sampai sang pemimpin paraWyvern itu memilihnya? Pertanyaan itu selalu muncul di benak Algren sejak dia melihat sosok Eldron yang tiba-tiba berdiri di atap rumahnya, siang tadi. *** Algren berjalan kaki seorang diri di lorong menuju kamarnya seraya mengusap-usap perutnya yang terasa kenyang. Pada akhirnya dia benar-benar makan bersama dengan Drew karena pria itu serius membagi makanannya. Katakan Algren beruntung karena bertemu dengan bangsawan sebaik Drew. “Ternyata masih ada orang baik di dunia ini,” gumamnya seraya mengulas senyum. Algren berjalan di lorong itu karena dia memutuskan untuk tidur setelah perutnya kenyang seperti ini. Dia harus bersiap-siap agar besok pagi tidak bangun kesiangan seperti saat dirinya masih tinggal di rumah. Di rumah ada ibunya yang akan setia membangunkannya jika dia kesiangan. Tapi sekarang tak ada siapa pun yang akan membangunkannya jadi dia harus bisa bangun tepat waktu jika tak ingin terlambat mengikuti kelas yang akan dimulai besok. Atau bisakah dia meminta bantuan pada teman sekamarnya untuk membangunkannya jika bangun kesiangan? Algren mendengus, dia bahkan tak tahu siapa yang akan menjadi teman sekamarnya karena mereka belum bertemu. Orang itu belum tiba di kamar saat Algren diberitahu letak kamarnya oleh orang yang menyambutnya begitu tiba di kastil ini. Tentu saja Algren tahu persis dirinya akan sekamar dengan seorang bangsawan dan hanya bisa berharap teman sekamarnya orang sebaik Drew. Langkah Algren sempat terhenti karena di depan sana dia melihat gadis yang menolak dia tolong tadi, tengah berdiri sambil bersandar pada dinding. Kedua tangannya terlipat di depan da’da. Sedang apa gadis itu di sana sendirian? Pikirnya. Algren mencoba mengabaikan karena jika mengingat niat baiknya yang ditolak mentah-mentah gadis itu, dia bertekad tak akan berurusan dengan gadis itu lagi. Dia cukup sakit hati karena niat baiknya disia-siakan. Algren pun melanjutkan langkah dan terus berjalan tanpa menoleh sedikit pun ke arah gadis itu. “Hei, berhenti kau.” Algren mendengarnya. Ya, telinganya mendengar dengan jelas gadis itu baru saja mengatakan sesuatu tapi karena dia bertekad tak akan mempedulikannya, Algren pun tetap berjalan tanpa sedikitpun menghentikan langkah. “Aku bilang berhenti, apa kau tuli?” Algren pun kini berhenti, dia berbalik badan menghadap gadis itu. “Jadi, kau bicara padaku?” “Tentu saja. Memangnya di sini ada orang lain lagi selain kau?” “Oh, aku pikir gadis bangsawan sepertimu tidak sudi bicara dengan r'akyat j'elata sepertiku.” Gadis itu … Edrea mendengus keras mendengar ucapan Algren. Dia lalu berjalan menghampiri pria yang berdiri beberapa meter darinya. Baru berhenti melangkah setelah kini mereka saling berhadap-hadapan. “Kau mau tahu kenapa aku menunggumu di sini?” Algren mengernyitkan dahi, “Oh, jadi kau berdiri di sini karena sedang menungguku? Wah, aku terharu. Seorang gadis bangsawan yang terhormat menunggu rakyat rendahan sepertiku.” Edrea menggeram kesal mendengar ucapan Algren yang jelas-jelas menyindirnya. “Diam kau. Aku menunggumu di sini karena ada yang ingin aku katakan padamu.” Dengan santai Algren mengangkat kedua bahu, “Penting tidak? Jika tidak penting lebih baik tidak perlu dikatakan karena hanya akan membuang-buang waktuku saja.” Edrea melebarkan mata, terkejut karena Algren yang saat di ruangan tadi sok baik dan perhatian padanya kini menunjukan sifat aslinya yang ternyata sangat menyebalkan menurutnya. Edrea pun mendecih, “Aku hanya ingin memperingatkanmu. Mulai sekarang jangan ikut campur lagi urusanku. Jangan pernah kau pura-pura peduli lagi padaku di depan orang lain. Kau mau tahu kenapa?” Algren lagi-lagi merespons teramat santai dengan menipiskan bibir seraya mengendikkan bahu. “Karena ditolong olehmu hanya akan mempermalukan diriku sendiri. Kau dengar kan tadi, mereka mengejek kita? Mengatakan kita ini pasangan yang serasi karena sama-sama tidak layak berada di academy ini. Cih, padahal siapa yang mau berada di sini. Aku juga sebenarnya tidak sudi berada di sini jika bukan karena Wyvern itu yang memilihku menjadi penunggangnya.” “T-Tunggu, tunggu. Jadi kau menungguku di sini karena ingin berbagi kekecewaan? Kau butuh teman untuk berbagi keluh kesah, begitu?” Edrea memelotot, dia yang sedang kesal bertambah kesal karena rekasi Algren tersebut. “Sudah kukatakan aku sedang memperingatkanmu.” Edrea melangkah semakin mengikis jarak di antara mereka. “Jangan pernah ikut campur dengan sok peduli padaku lagi karena aku tidak butuh bantuanmu. Mengerti?” Algren mengangguk-anggukan kepala, “Mengerti, mengerti. Aku juga tidak sudi lagi tuh menolongmu. Tadi saja aku menyesal sudah berniat menolongmu. Bisa tidak ya waktu diputar ulang? Andai saja bisa, aku pasti tidak akan melakukan tindakan bodoh seperti tadi. Biar saja kau jadi bulan-bulanan semua pria di ruangan tadi. Tidak terbayang apa yang akan mereka lakukan pada gadis lemah sepertimu jika tadi aku tidak menolongmu.” Wajah Edrea memerah bagai kepiting rebus, bukan malu tapi karena dia sedang marah. “Jaga bicaramu. Pertama, aku ini bukan gadis lemah karena tidak mungkin Wyvern itu akan memilihku jika aku tidak memiliki keistimewaan. Kedua, aku ini seorang bangsawan. Mana berani mereka bersikap kurangajar padaku.” “Lalu tadi, apa itu namanya kalau bukan bersikap kurangajar padamu?” Edrea menggeram, semakin tersulut emosi karena Algren yang terus saja membalikkan kata-katanya. “Bisa tidak kau diam saja dan dengarkan saja apa yang aku katakan?” “Kau tahu tidak alasan kita memiliki mulut?” tanya Algren, tak mau kalah. “Pertama, untuk makan. Kedua, untuk bicara. Karena aku punya mulut jadi wajar jika aku terus bicara, kan?” Habis sudah kesabaran Edrea menghadapi pria macam Algren yang tak mau mengalah pada seorang wanita. Gadis itu pun mengangkat wajah dengan angkuh seraya bertolak pinggang. “Mulai sekarang, aku harap kau tidak pernah menunjukan batang hidungmu lagi di depanku.” “Seandainya bisa, aku juga tidak mau melihat wajah galakmu lagi. Tapi sepertinya itu mustahil. Kita pasti akan bertemu setiap hari karena kita tinggal di kastil yang sama, terlebih besok kita harus mulai mengikuti kelas, kurasa mau tak mau kita pasti akan bertemu lagi. Maaf ya, semoga kau tahan melihat batang hidungku lagi,” balas Algren seraya mengusap hidungnya sendiri. “Aku benar-benar sial karena ada di kastil ini. Bertemu denganmu merupakan kesialan terbesarku. Semoga saja, aku tidak akan pernah berurusan lagi denganmu karena pria sepertimu membuatku jijik. Awas kalau kau berani ikut campur lagi urusanku.” Edrea mengangkat kepalan tangannya sebagai bentuk ancaman. Setelah itu dia pun melenggang pergi karena tak ingin mendengar Algren yang mungkin akan kembali membalas ucapannya seperti tadi. “Apa-apaan gadis itu? Ditolong bukannya merasa senang dan berterima kasih, justru marah-marah seperti itu.” Algren bergidik seolah membayangkan ada wanita seperti Edrea membuatnya merinding. “Aku juga berharap semoga tidak pernah berurusan lagi dengannya.” Algren mendengarnya dengan jelas saat Edrea mengatakan keberadaannya di kastil ini merupakan kesialan. Tanpa gadis itu ketahui, bagi Algren pun demikian. Karena dia tak pernah berharap terpilih menjadi penunggng Wyvern maka baginya … dirinya yang terpilih merupakan kesialan terbesar dalam hidupnya. “Eldron … kenapa dia memilihku? Ck, menyebalkan,” gerutuan itu kembali mengalun dari mulut Algren untuk kesekian kalinya. Pria itu lantas memilih melanjutkan langkah menuju kamar. Hanya bisa berharap semoga teman sekamarnya nanti bukan orang yang menyebalkan seperti Edrea. Ya, semoga saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD