Hari Kedua

1242 Words
"Selamat pagi, Tuan Muda!" Ameera masuk ke kamar Aiden sembari membawa nampan berisi roti panggang selai coklat dan satu pil obat. Lagi lagi hari ini Aiden sibuk dengan game di komputernya. Keadaannya terlihat kurang baik, kantung matanya menghitam dan bola matanya memerah. Sepertinya tuan muda ini begadang sejak kemarin untuk menyelesaikan gamenya. Suasana di kamar ini juga tetap sama. Gelap dan dingin. Kali ini Aiden tidak mengatakan apapun meski mendengarnya membuka pintu. "Ayo sarapan dulu, Tuan Muda." Ameera meletakkan nampan di atas meja bundar. Melirik pada Aiden yang sama sekali tidak peduli. Klik Klik Klik Bam! Bam! Bam! Kali ini dia tidak memainkan game yang kemarin. Bukan lagi game tembak menembak. Hei apa sebenarnya tuan muda ini hanya kecanduan bermain video game? Ameera mendekati jendela. Tanpa perlu meminta izin, gadis itu langsung saja menyingkap gorden hitam yang selalu tertutup. Membuat cahaya pagi masuk. "APA YANG KAU LAKUKAN?!" tanpa di duga Aiden bereaksi terhadap apa yang Ameera lakukan. Remaja 17 tahun itu berteriak marah sembari menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Mata Ameera memincing. Reaksi Aiden sangat berlebihan, sepertinya ini bukan penyakit anti sosial biasa. "TUTUP GORDENNYA!" Bukannya menurut, Ameera malah semakin penasaran sehingga membuatnya berani melakukan yang lebih jauh lagi. Sekarang tangan Ameera berusaha membuka pintu kaca yang menjadi pembatas dengan balkon. Cukup sulit, sepertinya sudah bertahun tahun tidak dibuka. Udara pagi masuk ke dalam kamar yang sudah seperti goa kelelawar itu. Membuat terang dan segar. "KAU..." Mata Aiden melotot marah. Tapi Ameera tidak mempedulikannya. Gadis itu sedang terpesona dengan pemandangan dari balkon kamar lantai empat ini. Ada taman bunga dan pepohonan yang rindang dibentuk sedemikian rupa sehingga mampu memanjakan mata siapapun yang melihatnya. Balkon kamar Aiden menghadap ke barat, benar benar tempat paling nyaman diantara seluruh ruangan. Karena menghadap ke barat meskipun siang tidak akan terasa panas dan saat sore pasti bisa melihat matahari terbenam. "Tuan muda, sesekali anda harus duduk di sini sambil menikmati teh hangat. Wah saya sangat iri, di sini terasa damai sekali." Ameera menarik napas panjang, mengisi paru parunya dengan oksigen yang melimpah. "Eh apa kita sarapan di sini saja ya?" Gadis itu mendekati meja kecil dan dua kursi. Sedikit berdebu, ia bersihkan dengan sapu tangan yang tak pernah lupa ia bawa. "Ayo sarapan di sini Tuan muda!" Ameera antusias. Hendak memindahkan nampan. "Eh... Tuan muda?" Kemudian Ameera tersadar, sejak tadi tidak ada jawaban ataupun teriakan lagi. Ameera menoleh, mendapati Aiden yang bersembunyi di balik selimut tebalnya, meringkuk di atas tempat tidur. Bergegas gadis itu menghampiri. Menarik selimut tuan muda konglomerat ini. "Anda ini kenapa, sih?" tanya Ameera mulai kesal. Baginya, yang dilakukan Aiden benar benar aneh dan di luar manusia normal. "HENTIKAN GADIS SIALAN! JANGAN TARIK SELIMUTKU, TUTUP PINTU BALKON NYA DAN SEGERA PERGI SEKARANG JUGA!" Gadis sialan katanya? Ternyata tuan mudanya ini bisa mengatakan hal tak pantas seperti itu. "Saya bukan gadis sialan dan saya tidak akan pergi. Anda lah yang harus keluar dan melihat matahari." Ameera menarik selimutnya dengan kencang tapi Aiden bersikukuh mengamankannya. Tak kalah kuat dalam bertahan. "Kenapa anda keras kepala sekali, Tuan Muda! Selimutnya bisa robek!" "AKU TIDAK MAU! JANGAN MEMAKSAKU! *BUGH! Dari balik selimut kaki Aiden menendang. Tepat mengenai perut Ameera hingga membuat gadis itu jatuh terduduk di lantai. "Ugh... Sakit." Ameera meringis. Memegangi bagian perutnya yang nyeri. Tendangan Aiden lumayan keras meskipun tubuhnya kecil dan kurus. Terdengar deru napas di balik selimut tebal. Karena sudah ada jarak di antara mereka, Ameera jadi tahu bahwa tubuh di balik selimut itu sedang gemetaran. Ternyata Aiden memang 'sakit'. Entah apapun alasannya, dia benar benar tidak suka saat cahaya memasuki kamarnya. "Hei, tendangan anda sakit sekali loh. Anda tidak mau meminta maaf?" suara Ameera memelan. Gadis itu bangkit, menutup pintu kaca balkon dan kembali merapatkan gorden hitamnya. " Itu gara gara kau yang memaksaku..." lirih Aiden, anak itu sedikit merasa bersalah. Ameera mendekat. Membelai kepala di balik selimut tebal. Berusaha menenangkannya. "Iya, saya minta maaf karena berlebihan. Sudah saya tutup, anda bisa keluar sekarang." Perlahan Aiden mengangkat selimutnya, mengeluarkan kepalanya. Tatapannya mulai melunak. Mata merah Aiden tidak lagi melotot marah, kali ini malah berkaca kaca seperti sedang menahan tangis. Bagi Ameera sekarang, wajah yang terlihat sedih dan takut itu sangatlah menggemaskan. Sungguh! Aiden seperti anak 5 tahun yang butuh perlindungan. Lihatlah, matanya yang murung, bibirnya yang cerah dan sedikit pucat, serta rambutnya yang halus. Rambut? Selain halus rambutnya juga sangat wangi. Ameera membelainya. Hei ia suka! "Cup cup cup, tidak apa apa kok... Jangan khawatir. Cahaya matahari itu tidak akan melukai Anda. Anda ini seperti vampir saja, Tuan Muda." hibur Ameera sambil tersenyum manis. Ia sangat menikmati rambut Aiden, seperti sedang mengelus bulu kucing. Plak! Oke ternyata macan bukan kucing. "Jangan memperlakukanku seperti anak kecil!" ketus Aiden menatap dengan mata tajamnya bak raja hutan sedang memperingatkan. Ameera tertawa kecil. Tidak seram sama sekali. "Iya iya, maaf ya tuan muda. Apa anda tidak apa apa?" Perlahan Aiden mengangguk. Lantas matanya melirik ke bawah, ke arah perut rata Ameera. "Ma..." "Ma?" Ameera mengulang, karena Aiden menghentikan kalimatnya. Anak 17 tahun itu membuka mulutnya. Tapi tidak ada suara yang keluar. Kemudian menutupnya lagi, tiba tiba menarik napas panjang. "Keluarlah!" Bentaknya. Hah? "Pergi! Aku mau sendiri!" Aiden kembali menarik selimutnya. Menyembunyikan tubuhnya di balik kain tebal itu lagi. Benar benar anak yang anti sosial. Jika Aiden itu adiknya di panti asuhan, Ameera pasti sudah menarik kakinya dan menyeretnya keluar ruangan. Gadis itu menghela napas pendek. "Baiklah, mungkin hari ini sudah cukup. Jangan lupa sarapan dan minum obatnya, Tuan Muda. Saya akan datang lagi besok." Dengan berat hati Ameera keluar dari ruang pribadi Aiden, pintu otomatis terbuka kemudian tertutup sendiri, langsung terkunci. Sesampainya di luar Ameera menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada orang. "Menyebalkan sekali! Anak yang nakal! Tahunya hanya mengusir saja! Dasar pangeran vampir! Haahh... Bisa bisa aku darah tinggi." "Hahahaaa... Kau baik baik saja Ameera?" Eh... Ameera menoleh ke kanan, suara tawa seorang laki laki membuatnya terkejut. Gadis itu mengerjap, tidak tahu siapa laki laki ber jas coklat yang baru saja menyebut namanya. "Benar kan Ameera?" laki laki itu bertanya lagi, memastikan. Ameera mengangguk. "Aku Steven, gurunya Aiden." "Guru?" Ameera mengulang. Ia tahu kalau Aiden itu homeschooling, tapi ia tidak menyangka kalau gurunya adalah laki laki yang sangat muda. Seperti seusia dengannya. Wajahnya tampan, jika diperhatikan mata tajam dan hidung mancungnya sedikit mirip dengan Aiden. "Sebenarnya tidak bisa disebut guru juga. Aiden tidak pernah berbicara sepatah katapun padaku. Aku hanya bertugas mengawasi ujiannya." Steven mengangkat map berisi kertas ujian. Ameera mengangguk angguk. "Kalau begitu, sampai jumpa Ameera, aku harap kita bisa bertemu lagi." tanpa menunggu jawaban, laki laki itu sudah menscan barcode. Kemudian membuka pintu kamar Aiden. Ameera sempat mendengar teriakan mengusir Aiden sebelum pintu kembali tertutup. Sepertinya Aiden mengira kalau yang masuk tadi adalah Ameera. Gadis itu terkikik lalu angkat bahu, tidak peduli apa yang selanjutnya terjadi. Tugasnya untuk hari ini sudah selesai. Ameera pulang dengan langkah ringan. Malamnya ia kembali menulis di buku catatannya. Tentang Aiden yang galak seperti macan dan Aiden yang rapuh seperti kaca. Kenapa Aiden sepertinya takut dengan cahaya matahari? Hal itu masih menjadi potongan puzzle yang membingungkan. Tapi Ameera cukup puas dengan progres yang terjadi. Aiden masih mau berbicara dengannya, Aiden ternyata punya power yang cukup besar. Tendangannya membuat memar di perut Ameera. Dan sepertinya meskipun terlihat tidak peduli pada apapun, Aiden rajin mandi. Gadis itu senang karena bisa mengelus rambut lembut Aiden. "Besok, aku harus melakukan apa lagi ya..." Ameera bergumam. Kemudian dalam beberapa menit ke depan ia sudah terlelap, tenggelam dalam mimpinya di alam tidur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD