Pro gamer

1170 Words
"Tuan muda! Saya tidak percaya ternyata selama ini anda selalu membuang obat yang harus diminum setiap hari." Kali ini Ameera tidak disambut dengan suara mouse, game dan nyala komputer. Bahkan lampu redupnya pun mati. Kamar Aiden kali ini gelap total, anehnya AC yang selalu menyala maksimal itu sekarang dimatikan. "Tuan muda?" Ameera mengambil gadget dari saku celananya. Menyalakan senter. Ia menemukan remote di dekat komputer. Saat ditekan tombol on lampu redup di dalam ruangan pribadi tuan muda ini menyala. "Uhuk uhuk..." Sang pemilik kamar ternyata sedang terbaring lemah di atas tempat tidur. Dua lembar selimut tebal menutupi hampir seluruh tubuhnya. Ameera mendekat, menyentuh wajah yang memerah itu. "Panas sekali. Anda demam, Tuan Muda." lirih Ameera khawatir. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan, hampir siang. Tapi tidak ada satupun pelayan yang merawatnya. Mereka hanya mengantarkan sarapan, diletakkan di atas meja bundar tanpa mengecek kondisi Aiden. "Akan saya panggilkan nyonya Askara." Ameera hendak berdiri tapi sebuah tangan segera menahannya. "Jangan... Mama sibuk... Jangan diganggu." suara serak itu berseru pelan. Matanya yang berkaca kaca menatap lemah. Ini sisi lain Aiden yang baru Ameera tahu lagi. Aiden yang berfikir bahwa dia adalah anak yang merepotkan, anak yang mengganggu. "Anda belum sarapan? Belum minum obat?" Aiden hanya mengangguk. Beranjak duduk, Ameera membantunya. Kemudian mengambilkan air minum. Aiden menghabiskan satu gelas besar dalam sekali teguk. Sejak kapan dia sakit? Kenapa tidak ada satupun yang merawatnya. Demam itu berbahaya untuk anak anak. Ameera mengambil tisu, menghapus keringat dingin di pelipis dan leher Aiden. Remaja 17 tahun itu tidak menepisnya. Mungkin karena sakit ia jadi tidak banyak protes. Kruuk... Kruuk... "Itu bunyi perut anda Tuan Muda?" "Bukan! Itu bunyi perut tikus di bawah tempat tidurku!" Demi apapun, Aiden sangat lucu dan menggemaskan. "Jangan tertawa! Sudah kubilang itu bunyi tikus! Kalau kau tidak percaya lebih baik keluar sana!" Tawa Ameera meledak. Wajah Aiden semakin memerah. Ia membuang pandangan ke samping, tidak mau menatap Ameera. "Iya iya saya percaya, pasti tikusnya besar sekali." Ameera mengambil nampan di atas meja. Sarapan Aiden kali ini adalah roti isi daging dan semangkok puding coklat sebagai makanan penutup. "Ini Tuan Muda. Silahkan dinikmati." Untuk kali ini, Aiden terlihat seperti kelinci. Dia makan dengan lahap, giginya mengunyah cepat. Ia terlihat benar benar lapar. Pemandangan yang sangat aneh, bagaimana mungkin seorang tuan muda dari keluarga konglomerat diperlakukan seperti ini? "Jangan mengasihaniku." Aiden berseru pelan. Masih terus mengunyah. Wajahnya murung dan dingin seperti biasanya. "Tidak, tidak mungkin. Tenang saja Tuan Muda, saya lebih kasihan dengan diri saya sendiri." Ameera tersenyum manis. Gadis itu hanya merasa simpati. Dibandingkan dirinya, tentu saja Aiden masih jauh lebih beruntung. "Haruskah saya panggilkan dokter, Tuan Muda?" "Tidak perlu." "Kalau begitu akan saya ambilkan obat penurun demam." "Tidak usah." Tangan Ameera mengepal. Jawaban singkat dan dingin Aiden membuatnya kesal dan bingung. Lalu apa maunya Tuan Muda menyebalkan ini?! "Aku mau tidur. Kau keluarlah." "Anda mengusir saya?" "Kau tuli? Aku bilang aku mau tidur." Ketusnya. Ameera menarik napas panjang. Es kutub Utara ini sama sekali belum mencair. Masih suka mengatakan kata kata menusuk. "Kalau saya tidak mau pergi, bagaimana?" Mata Aiden yang memerah menatap jengkel. Ameera malah menyeringai, menantangnya. Jika sedang sehat pasti Aiden akan menyeret gadis itu keluar. Tapi sekarang, ia bahkan tidak punya tenaga untuk berteriak mengusir. "Terserah. Tapi jangan berisik." Aiden menarik selimutnya. Beranjak tidur lagi setelah perutnya terisi. "Baik Tuan Muda. Saya berjanji akan sangat tenang. Saya tidak akan mengganggu tidur Anda." Gadis itu tersenyum puas. Bagi Ameera, ini kemajuan yang besar. Aiden sudah mengizinkannya untuk berada di sisinya. Ameera mulai memindai kamar sebesar lapangan voli ini, ada kamar mandi dalam yang sangat bersih, beberapa piagam penghargaan dan piala yang terpajang rapi di etalase kaca. Yang paling menarik perhatian Ameera adalah rak buku. Di dinding yang berseberangan dengan tempat tidur, ada sebuah rak besar berisi banyak sekali buku. Ameera melihat lihat buku dalam rak itu, siapa tahu Aiden juga menulis catatan harian seperti dirinya. Tapi setelah lama menelusurinya ia tidak menemukan apapun. Di sini hanya ada buku berbahasa Inggris tentang program komputer, perbisnisan, dan matematika, fisika, kimia. Ameera mengambil acak sebuah buku di sana, membukanya. Ada banyak sekali coretan coretan di halaman soal. Ini pasti tugas Aiden. Saat memeriksanya, semua dijawab benar oleh sang pemilik buku. Tulisan tangan Aiden sangat rapi. Bahkan meskipun hanya coretan, tulisan acak ini bisa dipahami dengan mudah. Bukan hanya buku matematika, ternyata di buku fisika, kimia, dan program komputer pun punya banyak coretan. Sepertinya Aiden bukanlah anak yang pemalas yang hanya menghabiskan waktu untuk bermain game. Sisi lain Aiden lagi. Ameera jadi semakin bersemangat untuk mencari tahu karakter tuan mudanya. "Suhu tubuhnya belum turun juga." Ameera mengambil sapu tangan, ia basahi dengan air, dijadikan kompres untuk menurunkan demam. "Lekas sembuh Aiden." Ameera membelai rambut lembutnya. Lantas segera keluar setelah menerima email tugas dari universitas. "Aku pulang dulu, Aiden. Nanti sore aku akan menjengukmu lagi. Selamat tidur." ~~~ Pukul 3 sore Aiden bangun. Di meja sudah tersedia sepiring nasi lengkap dengan lauk pauk dan air minum, itu makan siangnya yang diantar oleh pelayan. Aiden tidak sadar waktu seseorang memasuki kamarnya. Aneh, ia tidak pernah tidur se nyenyak ini. Sebuah sapu tangan jatuh saat remaja 17 tahun itu duduk. Aiden mengambilnya, sapu tangan bersih, setengah basah, dan berwarna merah muda. Ini milik gadis yang sudah 3 hari berturut turut datang kesini. 'Apa besok dia akan datang lagi? Sapu tangannya harus dikembalikan.' pikir Aiden. Kepalanya sudah agak ringan. Aiden menyingkap lengan panjangnya. Ada sebuah memar bekas cengkraman tangan di sana. Tidak ada yang tahu, Aiden juga tidak membiarkan siapapun melihatnya. Ia rahasiakan dan tutup rapat rapat. Aiden menghela napas. Dengan langkah hati hati ia pergi ke kamar mandi. Selesai mandi Aiden menghabiskan makan siangnya lalu duduk di depan komputer. Memakai headset dan login ke dalam game online yang selalu ia mainkan. "Kami sudah menunggumu Applepie, kenapa kau lama sekali." Tik tik tik Aiden mengetik di keyboard. 'Maaf, aku ketiduran' "Apa kau belum juga beli mikrofon? Kami ingin berkomunikasi langsung denganmu." 'Aku akan segera membelinya' "Padahal kau dapat uang banyak sekali dari game ini. Pasti uangmu kau gunakan untuk berkencan ya, sampai sampai tidak ada sisa untuk membeli mikrofon." Aiden adalah gamer, sejak tiga tahun yang lalu ia melakukan streaming dan mendapatkan banyak sponsor karena keahliannya. Ia dibayar untuk memainkan game online tertentu. Aiden bergabung dengan sebuah organisasi gamer internasional, bermain dalam bentuk tim. 'Tidak, aku tidak melakukan yang seperti itu.' "Lalu kau gunakan untuk apa uangmu?" 'Top up' "Bohong! followersmu saja sudah jutaan. Kau juga sering mendapatkan give dari mereka. Untuk apa kau top up lagi?" Aiden tidak menjawab. Itu tidak penting. 'Ayo cepat dimulai' "Jangan sering sering offline Applepie, kau tahu kan kau itu magnet penonton. Kalau tidak ada kau pasti sepi." 'Iya' Aiden sendiri sangat menikmati dunia game. Dimana ia dikenal sebagai seorang proplayer yang jago dalam bermain, bukan sebagai Aiden yang tidak berguna ataupun Aiden yang berpenyakitan. 'Teman teman, aku sangat berterimakasih' "Haah? Apa kau tidak salah kirim Applepie? Harusnya kami yang berterima kasih padamu. Gara gara kau penghasilan kami meningkat sepuluh kali lipat. Kau ini benar benar angsa bertelur emas."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD