Satu jam Aiden bermain, ia sudah mengundang lebih dari sepuluh ribu penonton. Livestreaming mereka telah banjir dollar, menjadi rank teratas di dalam kategori game. Aiden selalu melakukan yang terbaik, ia menjadi pemandu, pemimpin, dan mvp yang membuat timnya tidak bisa dikalahkan.
Ameera masuk ke kamarnya sejak 30 menit yang lalu. Gadis itu tidak mengganggu kesenangan Aiden. Hanya duduk di tempat tidurnya sembari menonton Aiden yang antusias menembaki musuh.
"Ah!"
"Aduh!"
"Meleset"
Sesekali Ameera terkekeh mendengar celetukan Aiden saat pelurunya berhasil dihindari lawan, juga ekspresi kesal Aiden menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ameera juga dapat mendengar suara teman teman Aiden yang berisik, beberapa berbicara kepada penonton, beberapa hanya berekspresi, dan ada juga yang memberikan tips tips menembak.
"Salah... Bukan begitu caranya." Aiden bergumam. Tapi ia tidak memiliki mikrofon sehingga suaranya tidak bisa terdengar. Aiden segera mengetik di kolom komentar, memberikan tips yang benar.
Kegaduhan di kolom komentar seketika meledak. Teman Aiden yang memberikan tips salah hanya tertawa terbahak bahak menanggapi revisi Aiden.
"Aku bukannya membohongi kalian hei penonton yang Budiman. Aku hanya ingin memancing masternya game ini untuk ikut berkomunikasi. Jadi apa kalian setuju jika Applepie membeli mikrofon dan memberikan kita tips tips jitu menaklukkan game ini?" suara laki laki di seberang telepon keras terdengar. Ditujukan pada remaja 17 tahun yang sekarang hanya melongo menyadari jika ia sudah memakan umpan teman se tim nya.
'Hei bukankah itu bagus?'
'Wah kalau begitu aku akan langsung menjadi top provinsi jika punya panutan sepertinya'
'Setuju sekali pastinya! Aku akan memberikan banyak donasi!'
'Kalau tidak mampu beli biar kami belikan satu lusin untukmu, Applepie'
'Hahaha... Sombong sekali kau... Applepie bahkan jauh lebih kaya dibanding kita'
Ameera mendekat melihat Aiden terkekeh membaca chat chat kolom komentar. Gadis itu merasa lega, ternyata penonton streaming Aiden adalah orang orang yang baik.
'Eh dia bisa bicara? aku pikir dia bisu?' (Mute)
Ameera mengernyitkan dahi. Ternyata penonton yang lancang dan tidak punya etika juga masih ada, meskipun langsung di mute oleh sistem di aplikasi streaming tersebut. Gadis itu melirik Aiden, tidak sesuai dugaannya, ternyata Aiden terlihat tenang.
tik tik tik, Aiden mengetik melalui keyboardnya. Tak lupa menekan caps lock terlebih dahulu.
'AKU TIDAK BISU!' Enter.
Kolom chat komentar meledak lagi. Mereka ramai me reply pesan dari Aiden dan menertawakan orang yang berkomentar buruk tentang gamer misterius itu.
"Mereka sangat lucu." Gumam Aiden sembari tersenyum simpul. Ameera tertegun, itu adalah senyum yang paling manis yang pernah ia lihat selama ini. Wajah Aiden yang bersih dan tampan bak seorang pangeran yang sangat terjaga benar benar indah saat terlihat bahagia. Matanya yang biasanya redup itu terlihat bercahaya, pipinya yang pucat jadi sedikit memiliki rona merah muda. Terlihat begitu mempesona. Gadis itu yakin, jika Aiden masuk ke sekolah biasa seperti anak normal, Aiden pasti bisa mendapatkan sepuluh gadis sebagai pacarnya.
Setelah memenangkan tiga ronde lagi, Aiden menutup PC-nya. Remaja tujuh belas tahun itu duduk bersandar kursi menutup matanya yang lelah.
"Haa..."
Aiden membuka mulutnya mengeluarkan hawa panas di tubuhnya yang masih demam. Ameera menyeringai, menggunakan kesempatan itu untuk memasukkan permen vitamin C ke dalam mulut Aiden.
"Hukk... Uhuk uhuk!"
Aiden langsung terbatuk. Pil kecil itu langsung meluncur masuk, tersangkut di kerongkongannya. Ameera bergegas memberikan air mineral. Aiden meneguknya hingga tandas. Remaja tujuh belas tahun itu melotot sembari memasang dua kepalan tangannya di depan. Ia benar benar kesal sekarang. Bagaimana bisa seorang gadis pelayan begitu lancang melakukan hal itu padanya?! Dan sejak kapan dia masuk?!
"Maafkan saya Tuan Muda. Saya terpaksa melakukannya karena anda tidak pernah mau minum obat."
"KAU GILA! APA KAU BERENCANA MEMBUNUHKU?!"
Ameera menggeleng kuat kuat.
"Tentu saja tidak! Bagaimana mungkin sebuah vitamin bisa membunuh anda?"
"Kenapa kau langsung memasukkan itu ke dalam mulutku?" Aiden menyentuh lehernya yang terasa tidak nyaman. Tanpa sengaja kerah bajunya tersingkap membuat Ameera dapat melihat warna merah di sana.
Ameera bergegas mendekat. Menyingkap kerah Aiden, benar sekali itu adalah guratan merah yang nyata, seperti bekas cekikan yang cukup kuat hingga di bagian ujung kulit leher Aiden mengelupas, sepertinya terkena kuku. Dengan hati hati Ameera menyentuhnya perlahan, tapi Aiden langsung menepis melindungi lehernya dengan kedua tangannya yang besar.
"Ini apa?" tanya Ameera tidak mau kalah langsung menarik tangan Aiden agar tidak memegangi lehernya yang memerah.
"Aduh! Jangan menyentuhku!" Aiden meringis saat pergelangan tangannya di cengkeram. Lengan panjang Aiden turun kebawah saat Ameera mengangkat tangannya, ada memar di pergelangan tangan anak itu. Ameera mendelik tidak percaya. Bukan hanya di tangan kanan, tapi pergelangan tangan kirinya juga demikian.
Gadis jurusan kedokteran itu semakin curiga. Ameera menyalakan lampu, sedangkan Aiden langsung berlari ke pojok ruangan dekat kamar mandi.
Ameera tahu kenapa Aiden berlari kesana.
"Anda menghindari cctv dan penyadap suara?" tanya Ameera dengan nada datar namun sangat dingin menusuk. Gadis itu marah tapi entah apa yang membuatnya marah.
Aiden menatap waspada, duduk menekuk lutut melindungi tangan dan lehernya agar tak terlihat. Remaja tujuh belas tahun itu terlihat amat ketakutan, menggigit bibirnya. Sudah hilang perasaan senangnya saat bermain game sepuluh menit yang lalu.
Ameera menatap sendu. Mendekat dengan pelan lantas duduk timpuh di depan Aiden dengan jarak setengah meter.
"Kalau anda tidak suka, saya tidak akan menceritakan apapun pada tuan dan nyonya Askara. Anda tidak perlu khawatir." suara Ameera melembut. Gadis itu menarik napas panjang.
Aiden menggeleng kuat kuat, masih tetap pada posisi bertahan.
"Siapa yang melakukan itu pada anda, Tuan Muda? Apa anda sakit karena itu?" tanya Ameera, dengan nada suara yang melemah.
Mata Aiden melebar. Remaja itu mengalihkan pandangannya ke lantai, tidak berani menatap mata Ameera yang sudah berkaca kaca.
"Saya mohon bicaralah. Saya akan membantu Anda. Saya berjanji."
Aiden kekeh menggeleng.
"Tuan muda... Orang jahat itu... Apa dia pelayan di sini? Pegawai? Atau siapa, Tuan muda?"
Aiden tidak menjawab. Menggigit bibirnya kuat kuat.
"Aiden!" Ameera meninggikan suaranya. Gadis itu kehilangan kesabaran.
Aiden terlonjak terkejut, mendongak menatap penuh ketakutan Ameera yang terlihat marah. Bibirnya sudah berdarah karena terus digigit.
Mata Aiden tertutup rapat rapat saat gadis itu mendekat. Aiden sudah siap untuk menerima segala sesuatu yang Ameera akan lakukan. Tak apa, ia sudah terbiasa. Pukulan, tendangan, tamparan, Aiden bisa menahan semuanya.
"Kau sangat menyebalkan!"
Aiden sudah bersiap jika akan bertambah satu orang lagi yang menjadikannya pelampiasan kemarahan.
Tapi ternyata Ameera tidak melakukannya.
Ameera sama sekali tidak menyakitinya.
Ameera malah melakukan sesuatu yang sangat asing dan tidak pernah Aiden rasakan sebelumnya.
"Anda, jangan menahan semuanya sendiri. Jangan menjadi orang menyedihkan seperti ini."
Sesuatu yang hangat.
Sesuatu yang menenangkan.
"Padahal Anda sangat sombong. Anda juga sangat berani di dalam game. Kenapa sekarang anda jadi pengecut begini? Meringkuk tak berdaya." Ameera menepuk nepuk punggung Aiden yang bergetar. Bahunya sudah basah oleh air mata.
Badan jangkung namun terasa begitu kecil dan rapuh. Yang bahkan belum sembuh dari sakitnya. Akhirnya ia tahu sedikit hal mengejutkan lagi tentang Tuan Muda kecil ini.
Seluruh kepribadian Aiden tidak pernah terbentuk secara tiba tiba. Saat ia mengamuk, tantrum, membanting barang barang, itu semua memiliki sebab. Seseorang sedang mengendalikannya dengan tujuan yang jahat.
Ameera tidak tahu siapa penjahat tersebut. Tapi yang jelas, ia akan melindungi Tuan Muda-nya ini.
"Apa ada luka lain selain di leher dan pergelangan Anda?"
Aiden menggeleng.
Ameera menghela napas lega.
"Kalau begitu akan saya ambilkan obat dulu. Tunggu sebentar ya Tuan Muda." Ameera tersenyum manis.
Remaja tujuh belas tahun itu mengangguk. Duduk memeluk lutut di pojok ruangan dekat kamar mandi. Sembari menunggu Ameera, ia meremat bagian dadanya yang terasa aneh. Perasaan lega, perasaan dilindungi, perasaan aman.
Ini pertama kalinya bagi seorang Aiden merasa begitu nyaman dengan keberadaan manusia lain di sekitarnya.