#Ameera POV
Aku rasa seseorang yang melukai Aiden adalah orang yang pintar. Dia menargetkan tempat tempat yang tidak terlihat dan bisa memanipulasi anak ini untuk terus menurutinya dengan menyembunyikan luka yang telah ia buat.
"Jangan katakan apapun pada Mama Papa." Aiden berseru pelan. Ia sudah tiduran di sofa setelah aku selesai mengobati pergelangan tangan dan lecet di lehernya. Ia terlihat sangat ketakutan dan lelah, pasti hal itu sangat traumatik untuknya.
"Di belakang telinga dan telapak kaki Anda seperti ada bekas luka bakar. Apa orang jahat itu menggunakan semacam..."
"Jangan dibahas lagi. Kepalaku sakit, biarkan aku tidur." Aiden memotong pertanyaanku.
Tuan muda dengan wajah indah itu sudah menutup matanya. Aku menghela napas, jika sedang tidur begini dia seperti malaikat. Bulu matanya yang panjang dan lentik terlihat cantik sekali.
"Baiklah, selamat istirahat Tuan Muda."
Rokok, seseorang melukai belakang telinga, bawah ketiak, dan telapak kaki Aiden dengan rokok. Itu terlihat jelas sekali, ada banyak luka bakar tak berbentuk, seperti dilakukan berulang kali. Itu sangat kejam, siapapun yang melakukannya dia benar benar psikopat gila. Nyali dan nyawanya sebanyak apa sampai dia berani melakukan hal buruk tersebut pada putra tunggal keluarga konglomerat Askara.
Tapi bukan itu yang aneh. Apa yang akan ia dapatkan dengan membuat Aiden seperti ini? Apa ini berhubungan dengan warisan atau malah pesaing perusahaan?
Haa... kepalaku sakit karena terus berfikir macam macam.
Aku mengambilkan selimut untuk Tuan Muda kecil ini. Kemudian duduk di bawah, dekat dengan Aiden yang sudah tertidur pulas.
Aiden tidak bodoh ataupun i***t seperti yang pelayan pelayannya katakan. Dia juga tidak temperamental yang selalu marah tanpa sebab. Mungkin Aiden sedikit kasar, tapi aku rasa itu wajar saja jika ada seseorang yang melukainya dan dia sampai tidak bisa meminta bantuan kepada siapapun. Hal itu pasti berdampak pada mentalnya.
Sial!
Sialan sekali!
Padahal aku hanyalah anak panti asuhan yang pernah hidup kekurangan, makan dengan air garam, dan tidak bisa bersekolah. Tapi tidak tahu diri sekali, sekarang aku malah merasa kasihan pada seorang Tuan Muda kaya raya yang tanpa bekerja pun bisa hidup berfoya foya hingga tujuh turunan.
Bukankah uang dan kekayaan adalah sumber kebahagiaan? Di dunia ini semua hal bisa dibeli dengan uang.
Tapi kenapa persepsi masuk akal itu tidak berlaku untuk Aiden? Kenapa terlahir di keluarga konglomerat malah membuat Aiden benar benar seperti dipenjara? Bukan hanya fisiknya tapi juga mental dan perasaannya.
"Kenapa kau menangis?"
"Ah maaf, apa saya terlalu berisik? Saya jadi membangunkan Anda"
Aiden menggeleng. Aku segera menghapus air mataku dengan ujung baju. Tuan Muda ku yang manis sedang menunggu jawaban.
"Saya tidak menangis. Saya hanya merasa kedinginan. Emm, jadi saat dingin mata jadi kering karena itu mata menghasilkan kelenjar air mata supaya kembali lembab." aku tersenyum. Mencoba untuk terlihat biasa saja. Ah tidak aku sangka aku benar benar mengarang bebas untuk menjelaskan situasi terdesak pada anak jenius berusia tujuh belas tahun.
Mungkin Aiden tidak percaya dan akan segera mengusirku. Anak ini tidak pernah seharipun tidak mengatakan 'Pergi! Keluar sana!'. Rasanya aku sudah hafal tabiatnya.
Aiden beranjak duduk. Dengan berpegangan meja, Aiden berjalan perlahan ke atas tempat tidur, berbaring di sana. Aku mengerjap tidak mengerti, aku tidak diusir. Atau haruskah aku keluar sendiri?
*puk puk
Aiden menepuk nepuk pinggir ranjang.
"Di sini, tidak dingin."
Aku masih diam di tempat. Mencerna maksudnya.
"Duduk di sini, jangan di lantai. Tentu saja kau kedinginan karena kau duduk di lantai."
Astaga, Aiden! Dia... Dia manis sekali!
"Saya sangat terkejut. Saya pikir Anda akan mengusir saya lagi." aku terkekeh, dengan senang hati melangkah menuju tempat yang Aiden perintahkan. Duduk di tepi ranjangnya, menemaninya tidur.
"Kalau kau sibuk kau bisa pergi sendiri."
"Tidak! Saya sama sekali tidak sibuk! Saya akan menemani anda sampai anda tertidur pulas dan mendapatkan mimpi indah."
Aiden menyembunyikan separuh wajahnya di bawah selimut. Meski ia tidak mau memperlihatkannya, aku tahu Aiden sedang tersenyum. Matanya yang menyipit itu tidak bisa berbohong.
"Kau sangat cerewet dan banyak bicara. Kalau aku tidur, apa kau akan pergi?"
"Saya belum tahu. Jika nyonya Askara memanggil tentu saja saya harus keluar"
"Begitu ya."
Apa sih? Kenapa dia jadi seperti bayi kelinci begini. Lucu sekali.
"Kenapa?" Tanyaku.
Aiden menggeleng kuat kuat. Bergerak membelakangiku. Menghadap ke tembok. Apa dia malu? Haa... Jadi ingin kugoda.
"Ehem... Apa Anda ingin saya tetap di sini bahkan setelah anda bangun dari tidur nanti?" aku menyeringai.
Ayo Aiden memohonlah! Karena selama ini kau selalu mengusirku dengan kejamnya, sekarang aku ingin kau bilang bahwa kau ingin aku tetap berada di sampingmu.
Lalu aku akan menolaknya dengan bilang 'Maaf Tuan Muda, tapi jadwal saya sangat padat'. Haha... pasti itu akan membuatmu kecewa, tapi aku untuk pertama kalinya akan mendapatkan kemenangan!
"Tidak. Tentu saja tidak. Aku akan berburu monster dengan teman temanku sore nanti. Kau pasti hanya akan mengganggu kalau ada di sini. Aku senang jika saat aku bangun kau sudah pergi."
What?! Jadi begitu ya... JADI BEGITU YA?!
Aiden sama sekali tidak berubah. Tuan muda angkuh ini ternyata memang tetap merasa tidak nyaman dengan kehadiranku. Rasanya tidak mungkin membuat Aiden bilang bahwa ia membutuhkan diriku. Haa... meski itu faktanya, tapi sangat menjengkelkan menyadarinya sendiri.
"Nama..." Aiden bergumam pelan.
"Ah ya? Nama apa?" Ulangku.
"Namamu siapa?"
What the h*ck! Demi bulan yang tidak bisa bercahaya tanpa bantuan matahari dan demi galaksi Andromeda yang katanya ditempati alien berkepala kotak. BAGAIMANA MUNGKIN AIDEN TIDAK TAHU NAMAKU PADAHAL AKU SUDAH MENEMANINYA SELAMA HAMPIR SATU MINGGU?!
"Ameera. Nama saya Ameera Delora, Tuan Muda Aiden Azmid Askara." aku menjawab dengan menekankan setiap kata.
Heh! Mengingat nama itu dasar untuk mendapatkan teman. Kau tidak akan disukai jika nama saja tidak bisa ingat. Itu membuktikan jika Aiden benar benar tidak peduli dengan hal selain dirinya dan game-nya.
"Ameera ya. Meera, akan kupanggil kau Meera. Namamu terlalu panjang."
Wow!
"Sungguh? Itu bagus sekali. Saya juga sering dipanggil dengan panggilan itu oleh adik adik saya di panti asuhan."
"Kau anak panti asuhan?"
Ah jadi Aiden memang tidak diberitahu soal diriku ya.
"Iya, kedua orang tua Tuan muda memberikan beasiswa kepada saya dan bantuan yang luar biasa banyak untuk anak anak yang tinggal bersama saya. Sebagai balasannya saya akan menjadi teman Tuan Muda." Aku berusaha menjelaskan dengan bahasa yang lembut dan mudah dipahami.
Aiden tidak menanggapi apapun.
"Aiden..." ia malah bergumam lagi.
"Ya, Tuan muda?"
"Panggil aku Aiden saja, saat kita hanya berdua di sini."
".... Juga bicaramu terlalu formal. Aku pikir seorang teman tidak bicara seperti itu."
Tuhan, terima kasih banyak. Apa ini buah dari kesabaranku?
Aiden membalik tubuhnya, mata hitam legamnya menatap mataku dengan ragu ragu menunggu jawaban.
Aku tertawa.
"Sesuai yang anda inginkan, Aiden."
Untuk pertama kalinya. Sungguh itu adalah yang pertama. Aku melihat dua mata yang bercahaya begitu indah. Berbinar senang menatap ke arahku. Mata milik Aiden, seorang anak tujuh belas tahun yang juga adalah seorang pro-gamer terkenal.
Kepuasan yang kurasakan sekarang bukanlah apa apa. Karena esok lusa mata itu akan lebih sering menatap indah ke arahku. Lalu, aku tidak tahu itu adalah anugerah atau sebuah bencana.