Steven Gerrard Askara

1305 Words
"Meera" Aiden terbangun pukul lima di sore hari. Gadis itu benar benar sudah pergi dari kamarnya. Meskipun Aiden sendiri yang telah mengusirnya, entah kenapa hatinya terasa kesal sekarang. Aiden beranjak duduk. Gelap, sepi, dan dingin adalah hal yang selalu ia rasakan setiap hari di dalam kamar besar ini. Tapi entah kenapa kali ini rasanya jauh lebih tidak nyaman dari biasanya. "Benar-benar pergi ya." gumam Aiden sembari berdiri berjalan ke arah sofa dekat rak buku raksasa. Di atas meja ada sebuah buku yang sepertinya baru dibaca oleh gadis itu, mungkin lupa tidak dikembalikan. Buku berjudul 'Gadis yang menjadi buih lautan'. "Meera." Aiden menyebut nama gadis itu sekali lagi. Kenapa gadis itu membaca buku ini? Bahkan sudah hampir separuhnya. Aiden adalah anak yang kritis, ia selalu memikirkan segala hal. Buku berjudul 'Gadis yang Menjadi Buih Lautan' itu menceritakan tentang seorang gadis duyung yang pergi meninggalkan pangeran setelah ia membantu sang pangeran untuk menyelesaikan masalahnya. Apa maksudnya? Kenapa Ameera membaca buku ini? Apa gadis itu berencana kabur setelah Aiden sembuh nanti? Belum selesai Aiden berfikir, pintu kamarnya sudah dibuka oleh seseorang. Seseorang selain orang tuanya, pelayan, maupun Ameera yang memiliki akses masuk. Seseorang yang Aiden sangat kenali sekaligus takuti. Seseorang jenius yang bisa membuat eror cctv sehingga aksi jahatnya selama ini tidak pernah ketahuan. Bau rokok dan alkohol menyeruak dari mulutnya yang bermasker. Aiden reflek menutup mulut dan hidungnya rapat rapat. Remaja 17 tahun itu bersembunyi di balik rak buku. "Aiden, dimana kau? Apa kau mau bermain petak umpet denganku?" suara laki laki dewasa, dengan tubuh tinggi kekar. Ia duduk di sofa dekat rak. Kembali menyalakan rokok yang kesekian. Di balik rak buku, Aiden meringkuk menutup matanya berharap laki laki itu tidak bisa menemukannya. Bodoh! Tentu saja ia pasti akan ditemukan. Aiden tahu itu, tapi tetap saja ia takut! Ia benar benar takut pada orang itu. Orang yang selalu menyakitinya, dari dulu hingga sekarang tidak berubah. "Kalau kau membuatku harus mencarimu, aku tidak tahu akan melakukan apa padamu loh. Sebaiknya kau keluar sendiri." "...Ah, aku kemari karena membutuhkan uang, tidak banyak, hanya sekitar 20 juta. Kau sudah gajian kan? Aku tadi lihat livestreamingmu, para penggemarmu memberikan banyak hadiah bukan?" Aiden menggeleng kuat kuat. Tidak boleh! Penggemarnya memintanya membeli mikrofon dengan uang itu. Ia sudah berjanji saat livestreaming selanjutnya akan bersuara dan berinteraksi dengan mereka. Orang itu selalu mengambil uangnya. Aiden selalu memberikannya dengan cuma cuma karena ia tidak berencana menggunakan uangnya untuk apapun. Tapi kali ini berbeda, Aiden butuh uang itu. Ada barang yang ingin ia beli. "Aku menemukanmu, Tuan Muda Aiden Azmid Askara. Fuuuuh...." asap rokok disemburkan tepat di depan wajah Aiden. "Uhuk huk... Uhuk!" Aiden terbatuk keras. Menutup mulut dan hidungnya. Ia tidak tahu rokok jenis apa itu, tapi matanya juga jadi perih. "Sudah kubilang untuk keluar kan? Kenapa tidak menurut sih." Tanpa ragu laki laki 23 tahunan itu mematikan rokoknya dengan menekankan ujung yang terbakar ke paha Aiden yang sedang memakai celana pendek. Aiden terjingkat, mulutnya dibekap dengan telapak tangan besar sehingga teriakannya tertahan. Laki laki itu tersenyum puas melihat mata berkaca kaca Aiden. Kemudian menarik kerah Aiden supaya bangun dan keluar dari tempat persembunyiannya. Ia berhasil membuat Aiden ketakutan, itu adalah teknik manipulasi untuk membuat lawan menurut. "Cepat transfer." ia berseru dingin. Menunjuk pada komputer Aiden yang sudah menyala. "Tidak mau. Ada barang yang ingin kubeli." Aiden menjawab sembari Menggelengkan kepala. "Aku hanya meminta 20 juta dan kau sepelit itu?!" tanpa ragu pria itu langsung menjambak rambut Aiden, menariknya dengan keras. Ia kesal karena gertakan awalnya tadi tidak mempan. "Ukh... Kau kan sudah bekerja! Kau sudah mendapatkan gaji, kenapa kau terus meminta uangku?!" Aiden menatap kesal, berusaha melepaskan tangan Steven yang serasa bisa merobek kulit kepalanya. "Kau biasanya tidak protes, apa gadis jelek itu yang membuatmu berani melawan begini, ha?! Kau pikir dia akan melindungimu?! Kau pikir dia benar benar ada di pihakmu?! Gadis jelek itu hanya menjalankan tugasnya karena diberi uang!" Tubuh kurus Aiden dilempar ke lantai. Steven mencengkeram dagu Aiden, mata merahnya menatap buas seakan ia bisa menikam Aiden kapan saja dia mau. "Ameera tidak jelek! Ameera baik padaku. Kau yang jelek Stev, kau selalu mengambil uangku. Kau pencuri!" Aiden menjawab, lantas meludahi wajah Steven yang terlalu dekat. Ia begitu benci dengan pria ini, sejak dulu membulinya, selalu mengkambinghitamkan Aiden atas kesalahan yang ia buat. Steven tertawa keras, melepaskan cengkeraman tangannya, mengusap wajahnya. Mata elang Steven menatap rendah Aiden seperti seekor hewan buruan, layaknya kelinci tak berdaya. Aiden mendelik, ia merasakan hawa itu lagi. Aura kuat yang dipancarkan oleh sepupunya, aura hitam pekat yang dipenuhi oleh nyala api kemarahan. Dengan mata yang dingin penuh kebencian, Steven menarik lengan Aiden menuju ke kamar mandi, mencengkeramnya dengan kuat bahkan tidak peduli kalaupun Aiden berteriak kesakitan. "Katakan sekali lagi!" Steven berseru marah, menekan kepala Aiden ke dalam bathtub kamar mandi yang telah diisi penuh oleh air. "Kau bilang apa tadi? Siapa yang kau sebut pencuri?!" Aiden berontak. ia menelan banyak sekali air dari mulut, telinga, dan hidungnya. "Kau itu anak aneh, Aiden! Anak autis gila! Kalau kau tidak terlahir di keluarga ini kau sudah berada di rumah sakit jiwa!" Steven berteriak di depan wajah Aiden yang tersengal kehabisan napas. Tak puas dengan itu, Steven menuangkan satu botol sabun cair dan sampo ke dalam air. Aiden menatap nanar bathtub yang sudah berbusa. Tanpa ragu, lagi lagi Steven memasukan kepalanya ke dalam, menekannya lebih kuat lagi hingga paru paru Aiden penuh terisi oleh air sabun. Steven menarik kepala Aiden keluar dari air setelah tubuh itu lemas tak sadarkan diri. Dari mulut Aiden keluar air busa yang cukup banyak. Steven menghela napas. Membaringkan tubuh Aiden di lantai. "Itu salahmu yang membuatku marah." Pemuda 23 tahun itu melakukan pertolongan pertama. Menekan d**a dan perut Aiden, berusaha mengeluarkan air dari dalam tubuhnya. "Jangan mati, sialan. Kalau kau mati aku akan menggantung tubuhmu, membuatmu seperti bunuh diri karena depresi." desisnya. Aiden memuntahkan sebagian air dari mulutnya. Terbatuk batuk sampai mengeluarkan darah segar. Tubuhnya yang lemas dimandikan, kemudian dipakaikan baju tidur. Steven membersihkan kekacauan yang ia buat dengan sempurna, hingga selama ini tidak ada yang tahu kejahatannya pada tuan muda keluarga konglomerat itu. "Apa yang kau rasakan? Bagian mana yang sakit?" Aiden tidak mampu menjawab pertanyaan. Wajahnya sangat pucat. Steven memasangkan infus di tangannya. Di kamar Aiden, ada ruangan kecil yang berisi obat obatan dan alat medis untuk keadaan darurat. Steven memanfaatkannya dengan sebaik mungkin. "Kau tahu kan apa yang terjadi kalau kau berani buka mulut?" Stefen berbisik penuh penekanan, wajahnya hanya berjarak satu jengkal dengan wajah Aiden. Aiden mengangguk lemah. Ia tidak bisa berfikir. Kepala, perut, dan dadanya begitu nyeri sekarang. "Ya sudah aku pergi. Terima kasih 20 jutanya. Jika kau tidak melawan tadi, kita tidak harus bertengkar kecil seperti itu lo, Dik. Aiden, Adikku yang manis." Steven menyingkap poni depan Aiden, mengecup keningnya. Haa... Jadi bagi Stefen yang dia lakukan tadi hanya sekedar 'pertengkaran kecil' ya. Aiden menarik selimut hingga seleher. Menutup matanya rapat rapat. Sakit, ia merasa mual. ~~~ Sebelum aku masuk, seseorang sudah keluar dari kamar Aiden. Aku masih mengingatnya, dia adalah orang yang pernah berpapasan denganku, guru belajar Aiden. Tapi aku lupa namanya. "Halo Ameera, selamat malam. Aku tidak tahu kalau kau boleh kemari saat malam hari. Meskipun kau dokternya, tetap saja kalian itu perempuan dan laki laki normal." laki laki itu menatapku aneh, dari atas ke bawah. Kemudian tersenyum manis. Meski wajahnya tampan, aku tidak terlalu nyaman dengan keramahtamahannya. Dan apa maksud pertanyaannya tadi?! "Ini waktunya Aiden minum obat. Nyonya Askara memintaku memastikan dia minum obat." "Tante ada di rumah?" Tante? "Oh aku belum memperkenalkan diri ya. Kau bisa memanggilku Stev, aku sepupunya Aiden. Apa Tante ada di rumah?" "Tidak, Nyonya Askara meneleponku dari luar negeri." "Iya aku tahu. Kalau begitu sampai bertemu lagi, Ameera." Aku mengangguk. Itu adalah pertama kali aku bertemu dengan pria misterius itu. Pria dengan aura aneh yang membuat orang serasa harus waspada dengannya. Steven Gerrard Askara, sepupu dari Aiden Azmid Askara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD