Keinginan lepas

1433 Words
Ini sangat tidak masuk akal. Saat aku melaporkan bahwa kondisi Aiden cukup mengkhawatirkan pada nyonya Askara, ibu dari anak ini hanya bilang itu sakit biasa yang sering Aiden alami sewaktu waktu. Nyonya Askara bilang supaya aku terbiasa dengan kondisi fisik Aiden yang sering naik turun. Nyonya Askara bahkan menyampaikan untuk tidak perlu repot repot mendatangkan dokter. Katanya cukup ditemani dan dituruni apa maunya Aiden. Hei, apanya yang dituruti? Tubuhnya saja sangat lemah dan lemas. Duduk sendiri saja tidak kuat. Aiden tidak bicara apapun, mengeluh saja tidak. Dia benar benar sakit! Bukannya sedang manja dan berpura pura. "...Aku mau muntah lagi." Aku membantu Aiden duduk. Menyangga tubuh lemah itu agar tidak jatuh. Habis sudah seluruh isi perutnya dikeluarkan malam ini. "Kamu harus makan. Bisa berbahaya jika tidak makan." Aiden menggeleng pelan. Menghadap ke tembok, tidak membiarkan aku untuk mengecek kondisinya. Dia sudah minum obat, infus juga terpasang di lengan kirinya. Tapi, entah kenapa sakitnya kali ini rasanya bukan sekedar demam dan muntah biasa. "Anda tidur, Tuan Muda?" Tidak ada sahutan. Sepertinya Aiden sudah tertidur. "Aiden? Kalau kau tidur, aku akan pulang. Semoga cepat sembuh ya. Besok pagi aku akan datang lagi." ujarku di dekat telinganya. Saat aku hendak berdiri dan keluar dari kamarnya tiba tiba sebuah tangan melingkari pinggangku. Tangan yang panas dan kurus. "Aiden?" "Aku, tidak gila." suara Aiden bergetar. "...Aku tidak dikurung karena orang tuaku malu memiliki anak sepertiku." "...Aku bukan autis bodoh. Aku tidak autis, aku tidak bodoh." Kenapa Aiden mengatakan hal hal buruk itu. Aku melepaskan tangannya, berbalik menatap wajah yang kedua matanya berkaca kaca menahan tangis. Ku tangkup wajah yang memerah karena demam itu. "Siapa yang mengatakan hal buruk itu pada anda, Tuan Muda? Tentu saja itu sama sekali tidak benar." Aiden menggeleng. Menahan tanganku di wajahnya. "Jika itu tidak benar, kenapa aku ada di sini? Kenapa aku tidak diizinkan keluar, Meera?" Astaga, apa itu maksudnya! "Bukankah Anda sendiri yang menolak keluar kamar?" Dan Aiden menggeleng pelan. Mata kirinya meneteskan air jernih yang tulus. Aku adalah saksinya, bahwa semua yang dilakukan Aiden bukanlah tanpa alasan. Anak remaja tujuh belas tahun ini memiliki sesuatu menyakitkan yang ia sembunyikan seorang diri. Tanpa sadar tanganku merengkuh bahu ringkih itu. Bukan hanya kelihatannya, ternyata Aiden memang sangat kurus. Ia jarang menghabiskan makanannya, tidak pernah terkena sinar matahari, tidak pernah olahraga, dan selalu berada di kamar ini. Aktivitasnya terbatas pada tidur, mandi, belajar, dan bermain game online. Dia tidak tumbuh dengan normal. "Apa ada orang yang selalu menekan anda? Seseorang jahat yang membuat anda seperti ini?" "Aku takut, Meera. Aku sangat takut." suara Aiden bergetar. Tangannya mengepal. Masih menyembunyikan wajahnya di bahuku. Aku mendorongnya pelan, menatap intens matanya. Kami bertatapan sejenak, sebelum Aiden kembali menunduk. "Katakan pada saya, Tuan Muda. Saya yang akan membantu anda melawannya. Saya akan membantu anda menceritakan kebenarannya pada nyonya dan tuan Askara." seruku meyakinkan. Aiden menggeleng kuat kuat. "Tidak bisa. Belum cukup, Meera." Aiden menggigit bibirnya, sampai berdarah. "Apa yang belum cukup? Memangnya sehebat apa orang itu? Anda adalah anak tunggal di keluarga ini, Anda calon pewaris satu satunya. Tidak mungkin kedua orang tua anda akan diam saja jika ada seseorang yang jahat pada Anda." Seluruh penjelasanku hanya ditanggapi dengan senyuman pahit. "Kalau aku bukan Aiden dari keluarga Askara. Apa mungkin kau tidak akan baik padaku seperti yang kau lakukan sekarang?" Itu pertanyaan aneh yang tidak ada hubungannya dengan pembahasan tadi. Tapi kedua mata Aiden seperti sedang benar benar mengharapkan jawabanku. Aku tersenyum. Menggeleng. "Tentu saja siapapun Anda, saya akan baik pada Anda. Hei tuan muda, jangan mengira saya baik hanya karena Anda adalah orang kaya. Saya itu baik ke semua orang, siapapun itu tanpa pandang bulu." Mata Aiden terlihat memiliki sinar lembut. Lantas ia tersenyum manis. Benar benar senyuman yang mampu membuatku menyadari bahwa Aiden memang setampan itu. "Aku senang mendengarnya Meera. Ternyata di dunia ini, juga ada manusia sepertimu." ~~~ Ini masalah serius. "Jangan pergi kakak... Aku tidak mau sendirian." Aku sudah berjanji pada Aiden untuk datang di pagi hari tapi adik terkecilku malah sakit gara gara kemarin bermain hujan. "Aku kan sudah sering bilang jangan ikut anak lain keluar saat sedang hujan, kenapa kau bandel sekali." aku menarik hidungnya yang memerah, kemudian membantu mengeluarkan ingusnya. "Adeva tuh yang nakal, kak. Dia yang mengejekku bilang kalau aku cupu. Tidak berani main hujan." "Jangan berbohong Lora. Kau sendiri yang bilang akan baik baik saja." Adeva, adik laki lakiku yang berusia 14 tahun masuk ke dalam kamar, membawakan bubur yang dibuat oleh ibu. "Kenapa kak Deva tidak melarangku, padahal tahu aku bakalan sakit." "Karena sadar diri itu penting. Sudah begini kau tahu kan kalau tubuhmu itu lemah. Besok besok tahan keinginanmu main hujan. Begitu saja tidak bisa." "Kak Ameera dengar sendiri kan, kak Deva sering bilang kalau aku lemah, aku tidak suka diejek begitu, makanya aku mau membuktikannya." Lora merengek. Menunjuk Adeva. "Membuktikan kalau kau memang lemah?" "Lihat tuh kak, Kak Deva memang sangat menyebalkan! Aku benci! Pokoknya sangat benci." Lora melempar boneka kelincinya, Adeva berhasil menghindar dan membuat Lora semakin kesal. Aku hanya menghela napas lelah menghadapi dua biang kerok panti ini. Kemudian menyuapi Lora agar berhenti merengek. Meskipun berada di sini, pikiranku melayang ke rumah besar bagai istana di tengah ibu kota. Bagaimana jika tuan muda itu masih sakit, masih saja muntah dan tidak ada siapapun yang merawatnya. "Baik, sarapannya sudah habis. Lora juga sudah minum obat, saatnya tidur." aku mendorong pelan bahu gadis kecil 8 tahun itu, menarik selimut hingga menutupi lehernya. "Kak Ameera jangan pergi." Ini dia sisi manja Lora yang cukup membuatku khawatir. Jika dia meminta sesuatu saat sedang sakit dan tidak dituruti, sakitnya akan semakin parah. "Iya, akan ku temani sampai kau tertidur." Aku merebahkan tubuh di samping Lora setelah menyuruh Adeva keluar dan menutup pintu. Lora mendekat, memeluk pinggangku. Kusadari bahwa punggung kecil itu bergetar, adikku ini sedang menangis. "Kak Ameera selalu sibuk. Bahkan di hari libur sekalipun." Tangan mungilnya meremat ujung bajuku. Aku menghela napas. Dulu setiap libur aku selalu membantu ibu panti mengurus adik adikku, terutama Lora adalah anak yang paling dekat denganku. Dia berada di panti asuhan ini 3 tahun yang lalu, saat kedua orang tuanya meninggal karena kebakaran rumah. Hanya aku yang bisa membuat Lora yang manja ini mandi air dingin dan makan tanpa ayam, Aku juga yang membantu Lora dekat dan akrab dengan anak panti lain, aku lah yang selalu membela dan mengurusnya. Karena itu, saat aku mulai menghabiskan waktu dengan Aiden, sepertinya Lora sedikit kesepian. "Maaf ya, Lora. Hmm... Apa Lora ingin tahu alasannya?" aku bertanya lembut. Aku tidak boleh berbohong dan bilang akan terus menemaninya. Itu bukan caraku mendidik anak anak. Lora anak yang pintar ia pasti mengerti situasiku. Lora mendongak, kuhapus air matanya yang mengalir membasahi pipi. Gadis imut itu lantas mengangguk. "Lora ingat tentang donatur panti asuhan yang selalu membelikan boneka dan baju baru?" Gadis kecil itu mengangguk. "Nyonya Askara." jawabnya pelan, masih sesegukan. Aku mencubit hidung kecilnya. "Benar sekali!" "Kenapa dengan nyonya Askara?" "Nyonya Askara punya seorang anak yang sedang kesulitan dan aku harus membantunya." "Kesulitan apa? Kenapa harus kak Ameera yang bantu?" "Kesulitan yang sedikit mirip dengan Lora. Dia tidak punya teman dan hanya kakak yang bisa membantunya. Seperti keadaan Lora dahulu. Lora hanya mau makan dan mandi denganku kan?" "Jadi anak nyonya Askara hanya mau makan dan mandi kalau ada kak Ameera?" Aku mengangguk saja. Meski konteksnya sedikit berbeda. Aiden memang selalu makan dan mandi sendiri, tapi dia tidak pernah meminum obatnya. Dan para pelayan juga tidak peduli pada Aiden yang sedang sakit, mereka hanya datang dan meletakkan makanan di meja tanpa merasa harus melihat tuan muda itu bisa bangun atau tidak. Aku sangat khawatir, bagaimana kalau Aiden terlalu lemah untuk sekedar mengambil makan di meja dan dia melewatkan sarapannya. Jika begitu sakitnya bisa semakin parah. "Itu gawat. Kalau begitu Kak Ameera harus pergi, anak nyonya Askara harus dibantu." Lora mengusap sendiri ingusnya dengan tisu. "...Lora sudah besar. Lora bisa makan dan mandi dengan ibu panti. Tidak harus dengan kak Ameera lagi." Lora berseru semangat, dengan mata yang berbinar binar. Aku tersenyum, dia sedang minta dipuji. "Iya, Lora memang anak yang pintar. Kalau begitu apa kakak boleh pergi ke rumah nyonya Askara sekarang?" tanyaku memastikan. Gadis kecil itu mengangguk cepat. "Salam buat anak nyonya Askara, semoga cepat sembuh, jangan sedih lagi." "Terima kasih. Lora baik sekali." Aku mencium kening adikku. Kemudian memintanya untuk tidur, efek obat membuatnya mengantuk jadi tidak membutuhkan waktu yang lama. Aiden sudah menungguku sejak dia bangun. Dugaanku benar soal dia yang melewatkan sarapan dan makan siangnya. Remaja tujuh belas tahun itu bahkan sampai masuk angin karena duduk di lantai dekat pintu. Tuan muda ini jauh lebih membuat lelah daripada Lora, dia membuatku benar benar merasa bersalah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD