Chapter dua

369 Words
Author PoV "Dek?" "Loh? Genta mana?" ucap seseorang dengan nada dingin, sama sekali tak sesuai dengan harapan Galih sebelumnya. Nada yang awalnya penuh kasih sayang seketika berubah menjadi datar untuknya. "Mana kutahu," jawab Galih pula tak kalah dingin. Walau sebenarnya dia ingin sekali bermanja dan mengadu pada sosok yang masih berdiri di ambang pintu itu. "Bodoh! Aku lupa jika kau orang bodoh dan tak berguna," sentak laki-laki yang mulai pergi itu dengan dingin. Brak! Galih menatap pintu dengan sendu. "Kak Rei," lirih Galih pelan memanggil nama sang sepupu yang baru saja memghampirinya. "Kenapa? Kenapa kalian selalu membedakanku dengannya?" monolog Galih pelan. Ia sudah bosan seperti ini. Selalu dimarahi, dihukum, dijauhi, dia seakan tak memiliki keluarga di dunia ini. Begitu juga di sekolah, Galih yang di cap sebagai berandal dingin yang selalu keluar masuk ruang BK, membuat semua enggan berteman dengannya. Hidup Galih kelam, sunyi, tak berwarna sedikitpun. Hidupnya terlalu monoton, bangun pagi, sekolah, pulang, tidur, lalu kembali bangun pagi. Memuakkan, Semua perhatian hanya tertuju pada Genta, adik kembarnya yang lebih di-prioritaskan oleh keluarga karna riwayat kesehatannya. Maka dari itu Galih suka memberontak, sering membuat ulah di sekolah agar ibu dan ayahnya sudi meluangkan waktu untuk melihat perkembangannya. Tak salah 'kan? Galih kesepian, dia butuh setidaknya satu orang sebagai sandaran, tapi tak ada. Itu hanya khayalannya di tengah rasa sepi yang menemani. Galih tipikal remaja yang tak bisa mengungkapkan atau mengendalikan emosi, tak ada menurutnya yang bisa ia percaya untuk menjadi tempat keluh kesahnya. Semua fake, Galih benci sekeliling dan hidupnya sendiri. Galih frustasi, mengacak surainya brutal sambil meringkuk. Perlahan tangannya menarik laci nakas paling bawah, mengambil barang mungil dan memperhatikan benda itu dengan seksama. Haruskah? Tidak, Galih tak ingin kecanduan hal semacam ini. Cukup dua kali sebelumnya, dan sudah! Ia tak ingin lagi jatuh lebih dalam. Tapi dia tak tahan, hasrat ingin melakukan hal itu kembali lagi menguasainya. Niat hati memang ingin menjauhi, tapi tak bisa. Galih sudah terlanjur masuk dan susah untuk keluar. Sret~ Tes ... Tes ... Tes ... Galih diam, meletakkan pisau lipat mungil itu ke sembarang arah. Lalu matanya perlahan memejam, meresapi rasa perih yang dirasakan oleh lengan kirinya, ia merasa suara bising dan beban yang dipikulnya seakan melayang, digantikan oleh rasa pedih yang nikmat menurutnya. Darah itu masih menetes, namun kini lebih lambat. Yoongi pun merasa lumayan tenang dan akhirnya dengkuran halus pun menemani ketenangannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD