Chapter tiga

1344 Words
"Jangan nakal, kalau merasa sesak lagi cepat minta Galih antar ke UKS, mengerti?" ucap si kepala kepala keluarga dengan penuh kasih sayang pada si bungsu. Genta sendiri sudah memutar bola mata malas. Bahkan ayahnya itu sudah mengulang kalimat yang sama sejak mereka melajukan mobil hingga sampai di depan gerbang sekolah yang menjulang tinggi ini. Galih sendiri hanya diam di tempat duduk belakang sambil menunjukkan ekspresi datar. "Kalau ayah terus begini, kami bisa terlambat," jawab Genta kesal dan malah disambut kikikan geli oleh sang ayah. "Astaga, kau ini sudah besar, tapi mengapa semenggemaskan ini, hem?" kekeh pria bernama Gilang itu sambil mencubiti pipi Genta. "Ayolah, Yah. Sebentar lagi masuk," rengek Genta sambil menyingkirkan tangan kekar Gilang. "Oke, oke, baiklah. Berjanjilah untuk mengatakan kalau kembali sesak pada Galih. Ayah masih khawatir karena kau baru collapse tadi malam," ucap Gilang seraya mengusap surai Genta penuh sayang. Brak! Keduanya seketika menoleh, mendapati pintu belakang yang berdentum kuat dengan remaja yang sudah beranjak dari tempatnya. "Galih?" "Aisshh, ayah berlebihan!" ucap Genta lalu dengan cepat membenarkan tas dan keluar dari mobil mewah sang ayah. "Dia sudah besar dan tak pantas cemburu pada mu, Genta," gumam pria itu lalu segera melajukan mobil hitam mewah nya. ▪▪▪▪▪▪ "Kak, tunggu!" teriak Genta.  Galih lantas memberhentikan langkahnya, membiarkan Genta mengejarnya dengan pelan. Ia tak mau kejadian seperti semalam kembali terulang. "Kenapa keluar? Tak menunggu pula," oceh Genta setelah menyamai posisi sang kembaran, kini keduanya sudah sama-sama berjalan beririgan. "Kukira kau ingin bermanja lebih lama. Aku tak mau terlambat dan berujung dihukum," ucap Galih santai tanpa menoleh. Genta hanya menatap sendu. Sungguh, dia juga tak mau di perlakukan spesial seperti itu. "Aku t-tidak manja," lirih Genta sambil menunduk. Mendengar itu, Galih lantas menggulir bola matanya malas dan sedikit melirik. Tak sadar tangannya terulur mengusak rambut anak itu. "Iya, kau tak manja. Mereka saja yang berlebihan," ucap Galih hangat. Genta pun mendongak, tersenyum kala matanya menatap wajah teduh Galih. "Kakak tak marah?" tanya Genta polos. Galih pun terkekeh. "Marah kenapa?" "Aku selalu merebut kasih sayang ibu dan ayah karna tubuh lemahku hingga mereka sering mengabaikanmu. Maaf, tapi aku sungguh tak meminta it---" "Aku bukan anak-anak yang bisa cemburu hanya karena hal semacam itu, Genta," ujar Yoongi santai. Bulshit! Jika ia mengutarakan dengan jujur bagaimana isi hatinya, pasti kata yang keluar sangat berbeda dari itu. Galih cemburu, jelas! Tapi ia sadar, dirinya sudah dewasa dan tak perlu memperpanjang masalah semacam ini, apalagi sampai marah pada Genta yang sama sekali tak salah. "Benarkah? Aiihh, kenapa kau sangat dewasa sih, Kak? Padahal umur kita hanya beda beberapa menit," gerutu Genta tak sengaja menyenggol lengan Galih. Sontak si empu langsung meringis. "Shhh ..., " desisi Galih. Genta pun mendongak, menatap bibir Galih yang tengah mendesis sakit dengan penuh tanya. "Kak, kenapa? Apa terlalu kuat? Maaf," ucap Genta sambil memegang lengan Galih tepat di luka sayatannya. 'Oh, astaga. Ini sangat perih, tapi jika aku begini Genta bisa tahu,' batin Galih. "Tidak, tak ada yang sakit. T-tadi hanya bercanda," ucap Galih beralibi sambil melayangkan senyum konyol yang terkesan dipaksa. "Aiish, tak lucu!" rajuk Genta. Pluk! Damn! Genta memukul tepat di luka sayatan lengan Galih. Anak itu pun lantas merasa ada sesuatu merembes di area lengannya, beruntung ia memakai jaket hodie hitam sehingga darah itu mungkin tersamarkan. "Lagian kenapa pakai jaket segala? Tumben?" tanya Genta penuh selidik sembari menatap wajah Galih yang tampak memucat. Ayolah Genta, tak sadarkah kau kalau kembaranmu ini tengah menahan sakit? "Berisik! Cepat masuk, aku ingin ke toilet dulu," ujar Galih kemudian dengan cepat. Genta hanya menatap aneh pada tubuh Galih yang tengah berjalan cepat sambil memegang lengannya yang mulai mengilang di lorong. 'Sesakit itukah? Padahal aku hanya memukul pelan,' batin Genta. "Aiiishh, sudahlah. Dia kan memang aneh," gerutu anak itu lalu mulai berjalan menuju kelasnya. ▪▪▪▪▪▪▪ "Sshhh ..., " desis Galih. Ia perlahan membuka jaketnya yang sudah terasa lengket di bagian lengan kiri. Beruntung toilet sedang sepi hingga ia bisa leluasa merintih tanpa ada yang mendengar. "Astaga, kenapa bisa sebanyak ini?" gumamnya sambil meletakkan jaket di dekat wastafel. Tangannya terulur meraba luka sayatan di lengan yang lumayan panjang sudah menganga dengan banyak di aliri darah. Krek! Srrrttttttt~ Galih pun menghidupkan keran, membasuh dengan telaten darah yang mengotori hingga ke punggung telapak tangan. Sesekali meringis kala dingin nya air menyentuh daging yang terluka. "Sshh, perih juga ya? Tapi waktu menyayatnya mengapa tak terasa begini?" gerutu anak itu lalu kembali menotolkan tisu yang tersedia di dekat wastafel sembari memberikan tiupan-tiupan kecil pada lukanya. "s**t!! Darahnya merembes ke baju. Bagaimana ini?" monolognya. "Atau kupakai lagi?" Tangannya terulur menggapai jaket yang tergolek di dekat wastafel. Memegangi bagian yang basah oleh darah. "Tak ada pilihan," lirih Galih. Ia pun segera memakai kembali jaket itu tanpa mengobati lukanya. "Sshhh ... astaga, padahal sudah pelan-pelan," gerutunya lagi saat jaket itu tak sengaja mengenai sang luka. Setelah selesai, ia menatap pantulannya di cermin. "Tak apa, Genta juga tak tahu kalau lenganku terluka," gumamnya lalu membasuh wajah. "Mengapa masih pucat?" tanyanya pada diri sendiri. Galih pun kembali membasuh sang wajah sambil menggosok-gosoknya agak lama guna menghilangkan rona pucat dan kantung matanya yang menghitam. "Hah! Ini lebih baik," ucapnya lalu menyibak kebelakang poni rambut yang ikut basah dan beranjak keluar toilet. ▪▪▪▪▪ "Kak, bosan," rengek Genta. Galih lantas melirik kembarannya yang tengah menggeliat lucu di tempatnya. "Kenapa tak ke kantin?" jawab Galih kemudian tanpa mengalihkan perhatiannya dari ponsel. "Mau sama kakak," rengek Genta lebih manja. Galih hanya memutar bola mata malas. "Pergilah, kau harus minum obat. Lagian sebentar lagi aku akan ke ruang kepala sekolah membahas perihal semalam," ujar Galih dengan ekspresi santai. Genta mengerjab di tempat. "Benarkah? Apa ibu sudah datang?" tanya anak itu heboh sendiri. Galih hanya mengangguk membuat Genta beranjak lalu menyembulkan kepala di pintu sembari celingukan ke sana ke mari. "Tak ada," gumamnya, membuat Galih terkekeh di tempat. "Bodoh! Ibu sudah masuk ruangan sejak lima menit yang lalu. Kau saja yang tak mel---" Tap ... tap .... "Galih, kau dipanggil pak Budi di ruangannya," ucap seseorang dari balik pintu. G enta lantas sedikit memundurkan langkah saat seorang yang ternyata adalah seorang wanita itu tiba-tiba berdiri tepat di hadapannya dan memanggil Galih seenaknya. "Hm," jawab Galih singkat. Ia pun beranjak berdiri mengikuti wanita itu. "Pergilah ke kantin, minum obat dan kembali lagi ke kelas. Jangan sampai lelah," ujar Galih lembut, sebelum sepenuhnya pergi ia masih sempat menasehati Genta sambil mengusap surai anak itu. Si empu hanya mengangguk polos dan menatap sendu Galih yang mulai berjalan menjauh. "Semoga kau baik-baik saja, Kak." ▪▪▪▪▪▪ "Duduk!" tegas seorang pria yang memakai kaca mata petak panjang. Galih pun segera mendaratkan bokongnya tepat di samping sang ibu seperti perintah pria itu. "Seperti yang saya jelaskan tadi, anda bisa bertanya pada anak anda langsung mengapa dia berulah seperti itu," tegas pria itu lagi. Galih lanta menunduk, tak berani menatap wajah ibunya yang sudah menatap sengit ke arahnya. "Bisa jelaskan pada ibu mengapa kau sering tertidur di kelas saat pelajaran pak Budi?" tanya wanita itu dengan dingin. Galih meneguk ludah kasar. Apa yang harus ia katakan sebagai jawaban? "Aku mengantuk," ujaran datar itu terlontar begitu saja, membuat wanita yang berstatus sebagai ibunya itu naik pitam. "Memalukan!" Plak! Pipi kiri Galih terasa memanas, ia belum sedikitpun mendongak. Tak sadar sedikit senyum terukir di bibir kecilnya. 'Tangan ibu halus,' batinnya. "Dengan santainya kau mengatakan itu? Dosa apa aku bisa mendidikmu hingga se-brandal ini?" Galih mulai mendongakkan kepalanya, menatap tepat di manik mata Arini. "Apa ibu pernah mendidikku?" Skakmat! W anita itu bungkam lalu mengalihkan perhatiannya ke lain tempat. "Kita bahkan tak pernah duduk bersama seperti ini kalau tak sedang begini," ujar Galih datar sambil menatap wajah ibunya dari arah samping. "Lihatlah betapa pembangkangnya anak anda. Dia bahkan memakai jaket di jam belajar yang sudah jelas kami larang," sahut pria paruh baya berkaca mata itu seakan ikut membakar amarah sang ibu. Wanita itupun kembali menatap tubuh kecil Galih yang terbalut jaket hitam. "Kau tak dengar? Jangan membuatku tambah marah. Buka sekarang!" sinis Arini kemudian. Galih diam, tak bisa. Ia tak mungkin membuka jaket itu dan memampangkan luka sayatannya yang pasti akan menambah masalah. "Kau tak mendengarku?!" pekik Arini makin pitam. Galih masih diam di tempat, tak tahu harus melakukan apa. "Hei!! Kau ini!" Grep! Srek! Sreettttt~ Pluk! "Sshhh ...." Deg!!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD