Chapter empat

1323 Words
"Sshhhh ...." Ringisan itu meluncur bebas dari bibir Galih saat Arini dengan kejamnya melepas paksa jaket hitam miliknya. Mata wanita itu pun seketika membulat kala mendapati lengan kiri Galih yang terkoyak seperti bekas sayatan panjang sudah agak membiru dengan sedikit bercak darah di sekitarnya. "A-astaga! I-ini kenapa bisa begini?" gagap Arini. Tangannya sudah terulur ingin menggapai lengan bocah datar itu. Tapi tak disangka, Galih malah berdiri menyambar jaketnya dan menutup kembali luka itu. "Tak ada. Sudah selesai 'kan? Aku ingin ke kelas, katakan saja apa hukumannya," ujar Galih datar lalu mencoba memakai kembali jaket itu sambil berdiri. Ia berusaha memakai sepelan mungkin agar kerasnya kain jaket tak menyenggol lukanya. "Kau diskors, lima hari. Tidak, tidak, satu minggu karena berani memakai jaket pada jam pelajaran," tegas Budi. Galih tersenyum miring menanggapi ocehan guru keji itu. Arini sendiri sudah diam mematung sambil memperhatikan gerak-gerik anak itu. Sedikit merasa khawatir saat melihat luka yang lumayan ngeri di lengan anaknya. "Baiklah, kalau begitu ter---" Srek! "Terima kasih sebelum nya, Pak. Tapi berhubung Galih diskors, apakah kami bisa pulang sekarang?" tanya Arini. Budi mengangguk membuat wajah Galih blank seketika. Kami? Ya Tuhan, apalagi ini. "Iya, terima kasih. Kami permisi dulu." Grep~ "I-ibu," lirih Galih saat tangan kanannya ditarik paksa oleh Arini menuju ke luar ruangan. Saat sudah sampai di luar, Arini pun menghempaskan tangan ringkih Galih. "Cepat ambil tas dan barang-barangmu. Kita pulang sekarang," datar wanita itu. "Tapi bagaimana sengan Gen--" "Cepat atau ibu akan lebih marah padamu," sentak Arini sinis. Galih pun akhirnya mengalah dan segera beranjak menuju ruang kelasnya. Tap ... tap ... tap .... "Kak, kakak baik-baik saja? Bagaimana? Apa hukumannya? Ibu marah? Kenapa k---" "Diamlah Genta, aku diskors dan disuruh pulang oleh ibu," potong Galih dengat datar. Genta pun diam sambil menatap sendu sang kembaran yang tengah memasukkan barangnya yang masih berserakan di meja. "Jangan pulang, Kak. Nanti kalau ibu memarahimu bagaimana?" tanya Genta khawatir. "Memang aku bisa apa lagi, Genta? Lari? Itu lebih bodoh," jawab Galih. Ia sudah mulai menggendong tasnya dengan hati-hati. Bahkan kepalanya sudah pening dan ia merasa setiap hembus napasnya mulai menghangat. "Katakan saja aku tak bisa sendirian saat menunggu pak Danang menjemput nanti, pasti ibu juga paham," bujuk Genta. Galih mengulas senyum tipis, mengusak surai Genta dengan sayang. "Tak apa, aku juga anak ibu, Genta. Tak mungkin ibu tega membunuhku," jawab Galih dengan santai. Genta menunduk, matanya berembun. Entah dia yang cengeng atau terlalu kasihan tapi memang hatinya selalu sakit di saat Galih berkata seakan-akan dia dan Galih berbeda, lebih tepatnya dibedakan. "Berjanjilah agar menunggu pak Danang di tempat biasa, jangan bepergian sebelum bapak itu datang. Aku percaya kau sudah paham alasannya," lanjut Galih. Genya mendongak dengan tatapan sendu. Mengangguk polos dan memperhatikan setiap langkah kecil Galih yang mulai menjauh. "Kapan kami sama-sama bahagia, Tuhan?" ••••• Saat di perjalan pulang, suasana mobil yang di huni kedua ibu dan anak ini nampak hening. Keduanya sama-sama bungkam seakan sengaja menciptakan suasana canggung. Hingga saat mobil itu berhenti di garasi mewah mereka pun keduanya masih bungkam. Brak! Brak! Bunyi debuman kedua pintu mobil itu membuat para pekerja keluarga segera membuka pintu lebar milik rumah megah itu. Galih yang melihat ibunya masih asik men-scrool ponsel di dekat pintu mobil pun mulai beranjak masuk duluan, berusaha mengelak dari kejadian yang untungnya belum terjadi. Tapi, Srek~ Jantung Galih mulai berpacu kencang saat tangan kanannya disambar begitu saja dan ditarik paksa masuk. "I-ibu?" Galih pun hanya diam, tak berani menyela apalagi melawan. Langkahnya berusaha menyamai langkah cepat sang ibu kala pening juga menguasai kepalanya. Bruk! Tubuh Galih terhempas begitu saja di sofa lebar milik keluarganya, mata remaja itu mencoba mengikuti gerak langkah sang ibu yang sedang berjalan cepat ke arah dapur dan kembali dengan beberapa barang di tangannya. Srek! "Buka sendiri atau ibu yang buka?!" bentak Arini. Galih mengerjab tak mengerti. "B-buka apa, Bu?" tanyanya polos. "Aiish, jaketmu lah," jawab Arini geram. Galih mencoba memahami keadaan. "Untuk apa?" tanya anak itu lagi dengan tatapan polos. Oh sadarkan remaja tampan ini, Tuhan. "Bodoh! Mengobati lukamu lah, apalagi? Cepatlah, nanti infeksi!" bentak Arini lebih keras. Tunggu, Sekarang Galih sadar, Buka jaket, kotak p3k di genggaman sang ibu. 'Jadi ibu mau mengobatiku?' 'Tapi bukankah aku mau dihukum?' 'Kenapa jadi begini?' "Aiishhh, lama sekali. Kau tak takut luka itu infeksi? Mau sampai di amputasi?" gerutu Arini rak sabar. Galih tiba-tiba tersentak kaget saat ibunya mengoceh sebal. Tak sadar, senyum tipis penuh kebahagiaan itu terbit di bibir manis Galih. Dengan cepat ia melepas jaketnya tanpa peduli akan mengenai lukanya. Toh lukanya ingin disembuhkan oleh wanita yang paling di sayanginya 'kan? 'Aku rela bahkan menyayat seluruh tubuhku jika bisa menarik perhatiamu, Bu.' "Astaga, ini kenapa? Sampai biru begini, apa tak sakit?" cerca Arini panjang lebar. Galih hanya diam sambil menyunggingkan sedikit senyuman saat wanita itu berusaha mengobati lengan kirinya menimbulkan kernyitan heran dari sang empu. "Heyy, jawablah! Ini kenapa?!" tanya Arini frustasi. Galih tersentak dan memalingkan wajah malu saat seakan ketahuan memandangi wajah manis sang ibu yang sangat jarang dilihatnya sedekat ini. "Terkena kaca Toilet," ucapnya datar tanpa menoleh kembali. Arini pun kembali pada aktivitasnya. "Toilet mana? Apa Toilet kamar mu ada yang rusak? Mengapa kami tak tahu," tanya Arini heran. "Bagaimana kalian tahu kalau yang diurus hanya Genta, sshhh ...," desis Galih. Ia merutuki ucapannya karena pada ujungnya Arini malah menekan kapasnya kuat yang menimbulkan nyeri. "Kenapa kau menjadi kekanakan begini sih, Lih. Apa ibu dan ayah harus selalu menjelaskan agar kau paham?" ucap wanita itu sambil terus mengoceh dan mengoleskan salep. "Tidak, aku sudah muak mendengarnya," ujar Galih dingin. Arini pun menghela napas pelan. "Lalu kenapa masih mempermasalahkannya?"tanya Arini melembut. "Aku tak mempermasalahkannya, aku hanya menjawab pertanyaan ibu tadi," jawab Galih dengan cepat. Arini diam, remaja datarnya ini memang cerdas. "Huh! Baiklah, lain kali jangan ceroboh sampai melukai lenganmu seperti ini. Lagian ibu penasaran bagaimana kejadiannnya hingga membuat luka bak sayatan seperti ini," oceh Arini. Hati Galih seketika menghangat kala Yoona meniup-niup lukanya pelan. Kalau bisa, ia ingin waktu berhenti sejenak untuk kebahagian singkatnya ini. "Tak usah dipikirkan. Aku sudah biasa terluka dan menyembuhkannya sendiri," ucap Galih asal yang membuat Arini membeku. Saat melihat lukanya sudah siap diobati, Galih menarik lengannya dan beranjak berdiri. "Ibu, terima kasih. Aku mau ke kamar, istirahat," ucap Galih lalu berdiri hendak beranjak, tapi Arini malah menarik lengan kanannya yang membuat tubuh remaja itu kembali terhempas di sofa. Grep! Bruk! "Yak!! Siapa yang mengizinkanmu bergerak?! Lukanya belum di-- badanmu hangat, kau sakit?" tanya Arini dengan khawatir. Mimpi apa Galih tadi malam, Tuhan? Bahkan hatinya seketika menghangat kembali saat Arini yang awalnya memegang lengan kananya lalu meraba keningnya dan bertanya dengan raut khawatir. "Entah, aku hanya merasa tak enak badan," jawab Galih sambil mengernyit. Ia tak menampik bahwa badannya memang sedang tak enak saat ini. Bahkan kepalanya sudah berdenyut sedari tadi. "Aiish, ini pasti karena luka ini. Mengapa baru di obati sih. Ayo ruang perawatan dan meminum obat," ucap Arini. Jangan heran jika dari Genta sakit kemarin mereka berbicara tentang ruang perawatan. Keluarga kaya nan mewah ini sudah memiliki satu ruangan khusus medis dengan peralatan medis lengkap di dalamnya. Kondisi fisik si bungsu yang lain dari yang lain membuat keluarga ini menyewa satu perawat untuk memantau dan mengurus ruangan itu. "Tidak,baku hanya demam. Minum obat juga sembuh," tolak Galih pelan. Arini sudah berdiri dan menarik tangan Galih agar berdiri. "Minum obatnya di ruang perawatan. Sekarang berdiri, ibu antar ke sana," ucap Arini tak terkalahkan. Galih hanya diam di tempat, entah mengapa rasa panas menguar di daerah lengan kiri yang terdapat luka sayatan, membuat badannya menjadi lemas. "Kenapa? Tak sanggup berjalan?" goda Arini. Galih menggeleng kuat. "Tidak, aku bukan kakek-kakek. Minggirlah, Bu," ucap Galih sombong. Ia dengan percaya dirinya berdiri tanpa minta bantuan, alhasil badannya yang memang lemas limbung seketika. "Yakk!!" Grep! Tubuh Galih oleng dan sedikit menumpu di badan Arini, refleks wanita paruh baya itu menjitak kepala sang anak. "Bodoh! Dasar manusia batu," seru Arini lalu mulai memapah Galih. Kembali seulas senyum terbit di bibir remaja itu. "Ibu, makas--" Ceklek~ "I-ibu, hah ... hah ... mengapa t-tak hah ... hah ... menunggu hah ... Gen--" Brugh! "Yak!! GENTA!" pekik Arini. Ia segera berlari kesetanan menuju pintu utama. Bruk! "Yak!! Astaga Galih, BIBI! Ya Tuhan, bagaimana ini?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD