chapter lima

1529 Words
Genta PoV Usai mengusap rambutku, kak Galih mulai beranjak dengan gontai menuju keluar ke luar kelas. Aku menatapnya dengan sendu, tak percaya kenapa peraturan sekolah ini bisa sangat kejam untuk kakak-- ralat! Kembaran ku. Bukankah ini sudah berlebihan? Kembaranku hanya tidur di kelas, bukankah itu hal yang wajar bagi siswa labil seperti kami? Kenapa sampai diskors? Ayolaah, aku khawatir dia di hukum oleh ibu karena masalah ini. Aku mencoba duduk, lalu berdiri lagi, bermain ponsel, mencoba segala hal yang bisa menghilangkan rasa khawatirku. Tapi tak bisa! Alih-alih lupa, aku malah semakin khawatir sebab ruangan sedang sunyi. Bayangan akan kembaranku dimarahi habis-habisan sudah membuat otakku penuh dengan rasa khawatir, apalagi sampai melihatnya terluka saat pulang nanti? "Astaga, bagaimana ini?" Aku menggerutu sambil bolak-balik men-scrool layar ponselku. Menghubungi ibu? Mengatakan jangan sakiti kak Galih? Bahkan anak kecil sekalipun mampu berkata demikian, tapi apa jamin sang ibu akan menurutinya? "Apa aku pulang saja, ya?" Kugigiti bibir bawah karena dilanda cemas. Aku harus bagaimana? "Tak ada pilihan lain, sebaiknya aku memang harus pulang. Mencegah ibu dan melindungi kak Galih. Kurasa ibu belum keluar sekolah, aku harus cepat." Semua barang langsung kuberesi dengan secepat kilat. Persetan dengan isi tas yang berantakan, yang terpenting satu, kembaranku baik-baik saja. Setelah siap, aku mulai keluar menuju ruang guru piket untuk izin pulang. Sepertinya Tuhan tengah memihak padaku, terbukti guru itu tengah berjalan ke arahku. Baguskan? Aku tak perlu buang tenaga untuk mencarinya. "Pak, maaf, aku izin pulang bersama ibu dan kembaranku, ya. A-aku sedikit p-pusing," ucapku memelas dengan tangan memegang pelipis. Hebat! Kenapa aku jadi pandai berakting seperti ini? Bahkan dapat kulihat guru itu langsung khawatir saat melihat wajah palsuku. "Astaga, benarkah? Kalau begitu tunggu apa lagi? Cepat kejar ibumu di parkiran! Kalau kau pingsan di sini bagaimana? Ayo bapak antar." Tidak, ini bukan termasuk rencana. Kalau guru ini mengantar dan memberitahu pada ibu nantinya kalau aku sakit, pasti ibu akan over satu hari ini. Tidak, tidak boleh sampai terjadi. "Tak usah, terima kasih sebelumnya, tapi aku bisa sendiri, Pak. Terima kasih, sekali lagi terima kasih." Aku membungkuk cepat dan berlalu dengan cepat pula. Persetan dengan guru itu jika dia curiga nantinya, intinya satu, yaitu temui ibu dan pulang bersama. Aku sedikit berlari karna takut ketinggalan, tak sadar jika si bodoh yang bersarang di area dadaku mulai berontak. Tapi apa peduliku? Aku terus berlari melewati lorong yang lumayan ramai mengingat ini jam istirahat, hingga kedua kakiku mulai menginjak tanah parkiran. Tapi, Aku harus kembali berlari saat melihat mobil ibu sudah berjalan lewat pintu gerbang. Ini tak bisa dibiarkan, aku tak boleh terlambat. "Hosh ... hosh ... tidak ... hah ... hah ... IBU!!! hah ... tunggu!!" pekikku kuat. Aku tetap berlari saat mobil milik ibu tak kunjung berhenti, malah semakin melaju kencang. Aku pun mulai melangkah lambat, napasku memendek. Entahlah, memiliki tubuh lemah kadang membuatku sering merutuki pemberian Tuhan. "Hah ... hah ... k-kumohon, beri aku j-jalan hah ... pulang, aku khawatir p-pada kak Galih ...." Entah pada siapa aku berbicara, yang jelas kini aku sudah merunduk, menumpukan tubuh pada lutut. Sesekali celingukan mencari jalan keluar. Tanganku terulur meraba saku, tapi tak kunjung menemukan uang. Mungkin dompetku tertinggal di laci. "Tak ada pilihan." Aku pun berjalan menuju rumahku, persetan jika nantinya aku mati karna kehabisan napas di pertengahan jalan, yang terpenting aku sudah berusaha. Sudah sekitar dua puluh menit aku berjalan, terhitung sudah tujuh belas kali pula aku berhenti hanya untuk menyambung napas yang memendek. Bajuku sudah basah oleh keringat, bahkan rasanya aku sudah tak sanggup melangkah lebih jauh lagi. Beruntung mansionku sudah di depan mata. 'Sedikit lagi, tak apa tumbang, toh perhatian akan teralih dari kak Galih.' Aku menyeret kakiku agar sampai di pintu masuk, semua serasa memburam, bahkan pasokan cahaya yang masuk ke retinaku sudah sangat minim. Sangat sulit hanya untuk menarik napaa. Hingga .... Ceklek~ "I-ibu. hah ... hah ... mengapa t-tak hah ... hah ... menunggu hah ... Gent--" Brugh! Dan gelap-- Genta PoV End "Astaga!! Genta!" pekik Arini heboh. Ia segera lari kesetanan menuju pintu. Menjatuhkan tubuh ringkih Galih yang tadinya ia papah. Bruk! "Hei!! Astaga Galih, Bi! Ya Tuhan, bagaimana ini?" Arini berteriak kesetanan saat melihat tubuh Galih limbung juga. Tapi tangannya masih sibuk memeluk tubuh Genta, matanya pun tak teralihkan dari Genta. Galih tersenyum miris. Tidak, Galih tidak pingsan. Keadaan kakinya yang lemas membuat dia hilang keseimbangan dan tak memiliki tenaga untuk menopang berat badannya sendiri. "Genta ... hey ... jawab ibu! GENTA! Jangan bercanda, kenapa bisa begini, hiks ...." Arini sudah menepuk-nepuk kuat pipi Genta yang ada di pangkuannya. Galih yang melihat Genta tak kunjung membuka mata ikut panik, ia mencoba berdiri untuk memastikan. Tapi tak bisa, badannya benar-benar lemas sekarang. "Hiks ... GENTA! B-bangun ... hiks ...." Arini terisak hebat dan terus mengguncang bahu Genta. Galih pun masih berusaha bangkit, tapi baru sedikit terangkat, tubuh itu kembali meluruh, malah kepalnya jadi ikut pusing sekarang. 'Kaki bodoh! Berfungsilah, aku ingin menggendong Genta!' batin Yoongi. Tap ... tap .... "Hahaha ... Rey, Rey, kenapa selera humorku begitu rendah saat bersamamu?" Ceklek~ "Kami pul--- ASTAGA, KENAPA INI!!" Gilang langsung menghempaskan tas kantornya dan berlari panik ke arah Arini yang sudah terisak kuat dengan Genta yang berada di pangkuannya. Begitu juga dengan laki-laki yang sedang berbincang padanya tadi, ikut mendekat ke arah Genta. "Rini, ada apa ini? Genta kenapa?" tanya Gilang dengan panik, tangannya sudah terulur memegang pipi dan wajah sang anak. "Hiks ... hiks ... t-tolong Genta, Mas. Napasnya sangat pelan, hiks ...." Gilang langsung membelalak dan mengecek hidung bangir Genta. "Ayo, Rey, bantu paman menggedong Genta ke ruang perawatan." Reyhan yang sejak tadi sudah ikut panik lantas dengan sigap mengangguk dan membantu mengangkat tubuh lemah Genta yang sudah kehilangan kesadaran. Diikuti Arini, lalu ketiganya bergegas pergi, menghiraukan remaja yang sedari tadi tengah terduduk di dekat anak tangga sambil menatap dengan sendu. Bukan, bukan cemburu, tapi khawatir! Galih khawatir pada Genta. 'Kumohon, selamatkan Genta, Tuhan,' batinnya. Di ruang perawatan, kini Genta sudah ditangani oleh perawat yang sudah stand by di tempat. Arini pun tampak terisak di dekapan tuan Kim saat melihat anaknya sudah mulai di tempeli berbagai macam alat medis. "Sstt ... sudahlah, bukankah kita sudah biasa melihatnya begini? Jadi kita harus lebih kuat darinya," ucap Tuan Gilang sambil mengusap bahu sang istri dengan lembut, membenamkan kepala wanita itu di d**a bidangnya. "T-tapi---" "Sstt, tenanglah," ucap Gilang kemudian. "Lagipula apa penyebab Genta hingga seperti ini? Apa ulah anak itu lagi? Galih tak becus menjaga adiknya?" tanya Gilang. Arini tersentak. Galih! Ya, dia baru ingat bahwa anaknya itu juga tengah sakit sekarang. Suhu badan anak itu terasa meninggi sesaat sebelum Genta datang dan memecah fokusnya. Bagaimana dia bisa melupakan remaja yang berstatus sebagai anaknya juga itu? "Rey?" panggil Arini. Reyhan yang tadinya sedang bermain ponsel di sofa pun langsung menoleh. "Iya, Tante?" "Bisa tolong bantu Galih di ruang tadi? kurasa dia belum beranjak karena tadi hampir pingsan juga dengan Genta," pinta Arini lembut. Mata Gilang langsung membola mendengar itu, apalagi Reyhan. "Untuk apa kau peduli dengannya, Genta seperti ini karna anak itu 'kan? Jangan menutupinya, Arini!" Arini lantas memandang suaminya dengan malas. "Aku sedang tak ingin ribut, Mas. Bagaimana pun juga, Galih adalah anakku--- ralat!, juga anakmu! Jadi tolong, mengertilah." Si kepala keluarga itu lantas bungkam. "Rey, bisa 'kan?" tanya Arini lagi. Reyhan memaksakan senyum di bibir tebalnya. "Iya, kalau begitu aku permisi." Setelah diangguki keduanya, Reyhan pun berlalu. ▪▪▪▪▪▪▪ Galih PoV "Bergeraklah bodoh! Mau sampai kapan di sini!" Aku sudah mencubiti bahkan memukuli betisku sebab tak mau digerakan sedikitpun. Hawa ruangan ini sudah terasa dingin di kulitku, bahkan deru napas yang keluar sudah terasa panas. Luka sayatan itu pun serasa pedih. Aku menatap pintu kamar rawat yang sudah tertutup, di dalamnya sudah pasti ada Genta yang tengah berjuang. Aku ingin melihatnya, tapi bagaimana? Untuk sekedar berganti baju di kamar saja aku sudah tak sanggup, kepalaku sudah terasa berat. Hingga saat aku masih asik menatap pintu itu, perlahan pintu di samping objek yang kupandang bergerak terbuka, menampilkan sosok tegap dengan tangan yang sibuk memasukkan ponsel ke saku jaket. Aku pun pura-pura tak melihat dan mencoba bangkit kembali. Tapi tunggu! Suara langkah kakinya seperti sedang mendekat, hingga aku melihat sepatu bertapak tinggi mendarat tepat di depanku, aku mendongak, melihatnya mengulurkan tangan sambil menatapku dengan angkuh. "Cihh, lemah, ayo!" ucapnya angkuh sambil menjulurkan tangan. Aku mengepalkan tanganku sendiri tanpa membalasnya. Plak! "Tak perlu! Singkirkan tangan bersihmu itu, aku tak butuh bantuanmu," ucapku sambil membuang muka. Sungguh, aku muak dengan wajah sok bersih yang ia perlihatkan. "Hahaha ... menjijikkan. Tak tahu diri!" Heol, dia bilang apa? Beruntung kondisiku sedang tak memungkinkan untuk meninju rahangnya. "Kau yang menjijikkan, biadab!" ujarku sinis, menatap wajah kotornya yang membuatku geram. Laki-laki itu pun lantas berjongkok, mengambil daguku dan mendongakkannya dengan kasar, sial! "Sudahlah sayang, kau terlalu manis hari ini. Mau bermain lagi?" Cih! Aku meludah tepat di wajahnya. Dia, dia si biang kerok yang membuat aku kenal dunia yang amat berbahaya ini. "Jangan begini sayang, jorok. Lebih baik bermain, mungkin satu goresan di sini cukup indah." Aku menggeram di tempat saat dia meraba leherku dengan amat pelan. "Menjauhlah b******k! Shhh ...." Shit! Kepala ku pusing, mungkin aku memang terserang demam. Kudengar si gila itu tertawa. "Bagaimana? Mau 'kan? Berhubung waktuku tak ba---" "Ekhm ... apa yang kau lakukan padanya?" Deg!! "K-kak Rey?" Bruk! Tbc....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD