“Bunda!!" Rengek gadis berusia 19 tahun itu, mencoba bergelantungan di tangan seorang wanita yang ia panggil bunda.
Namun sebaliknya, Sang bunda justru berusaha untuk menghindari tatapan memohon Asha dengan pergi menyiapkan sarapan di dapur.
“Nggak boleh, Asha,” ucap Bunda mutlak.
Sejak kemarin, Asha terus merengek kepada Bunda agar diperbolehkan untuk pindah ke asrama luar kampus.
Jarak rumahnya dengan kampus memang cukup jauh, sekitar 10 kilometer. Oleh sebab itu, ia ingin pindah ke asrama luar yang hanya berjarak 2 kilometer dari kampus.
Asrama luar kampus adalah asrama bebas yang berisi mahasiswa putra dan putri. Tempat mereka hanya dipisahkan oleh portal yang akan dibuka dengan bebas dari pukul 9 pagi sampai 9 malam.
Peraturannya pun lebih longgar daripada peraturan asrama dalam. Tetapi di asrama luar, mereka diwajibkan untuk membayar iuran perbulan yang harganya jauh lebih murah daripada tinggal di kost, dan lebih mahal dari asrama dalam.
“Lagian Asha nanti sekamar sama Maya kok, temen baru Asha." Rayunya sekali lagi, sambil membantu bunda menata piring dan makanan di meja makan.
Melihat Bunda yang tetap kekeuh menggelengkan kepala, membuat Asha menghentakkan kaki kesal.
“Bunda mah!” teriaknya.
Tak lama kemudian, setelah kembali duduk di meja makan. Matanya tak sengaja menangkap sebuah pulpen yang tergeletak di dekat tempat minuman, benda yang sejak kemarin malam ia cari.
Asha sebenarnya sudah mempunyai alternatif lain jika sang bunda tidak mengizinkannya untuk tinggal di asrama luar. Ia akan memalsukan tanda tangan wali yang diperlukan di sebuah surat perizinan tinggal di asrama.
Namun sepertinya Bunda sudah mengerti tabiat buruk anaknya. Tiba-tiba, semua pulpen yang ada di rumah termasuk di tas milik Asha hilang disembunyikan oleh Bunda.
Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, dengan cepat Asha meraih benda kecil tersebut dan mengambil kertas perizinan di atas lemari es. Bersiap untuk membuat tanda tangan palsu.
Bunda yang tau juga tidak mau kalah. Beliau langsung mengejar Asha, berusaha untuk meraih atau menyobek kertas itu. Hingga pada detik berikutnya, aksi kejar-kejaran antara ibu dan anak yang terjadi di dapur tidak terelakkan.
“Asha, balikin sini!!”
"Nggak mau!"
Aksi saling mengejar berlangsung hingga Brian datang. Lelaki itu dengan tenang menatap mereka berdua, kemudian menata 3 s**u kaleng di atas meja makan. Seakan sudah menjadi makanan sehari-hari bahwa Asha dan bunda tidak pernah bisa akur.
5 menit kemudian keadaan telah kembali normal, Asha dan bunda kini sudah duduk di kursi makan sambil sesekali saling melempar tatapan sinis.
“Ada apa, sih?” Tanya Brian sembari memakan sandwich buatan bunda yang menurutnya paling enak sedunia.
“Bri, ini si Asha mau pindah ke asrama luar katanya. Bunda sendirian dong di rumah.”
Asha mendelik tak terima saat Bunda mengadu kepada Brian, seharusnya Asha yang mengadukan hal itu.
“Kan ada Joko, ada Mbak Sri juga,” protes Asha menyinggung nama Joko, kucingnya. Dan mbak Sri, seorang wanita yang selalu membantu mereka berdua saat bunda sibuk dengan urusan butik.
Suasana kembali hening saat bunda tidak menjawab perkataan Asha dan kembali fokus dengan makanannya. Asha sendiri kembali mencari-cari dimana letak pulpen yang sempat ia pegang tadi.
“Nanti nggak ada yang ngawasin kamu Sha, Maya kan cewek, kalau ada apa-apa memang kalian bisa sendiri?” ucap Bunda yang membuat Asha tidak mempunyai alasan lain untuk menjawab, karena memang dirinya tidak punya banyak teman kecuali Maya dan Brian.
Ah, benar. Bisa-bisanya ia melupakan Briam, anak 'pungut' laki-laki kesayangan bunda.
“Brian!” Teriak Asha penuh antusias, satu tangannya menunjuk ke arah Brian yang masih sibuk mengunyah sandwich.
“Brian juga tinggal di asrama, Bun, nanti Asha dijagain sama Brian,” lanjutnya mantap, menatap Brian dengan tatapan memohon.
Tatapan yang selalu berhasil melemahkan hati Brian hingga mau gak mau, ia mengangguk kepada Bunda. Membenarkan ucapan Asha dan ikut tinggal di Asrama.
***
Akhirnya setelah perdebatan panjang, Bunda pun setuju setelah Brian berkata bahwa ia juga tinggal di asrama dan akan menjaga Asha. Bunda sangat percaya kepada Brian, bahkan melebihi kepercayaan bunda kepada Asha.
Asha juga sempat berkata kepada Brian agar lelaki itu tetap tinggal di rumahnya sendiri, namun Brian dengan tegas menolak permintaan Asha dengan alasan tidak mau mengecewakan bunda.
Dari kecil, Brian telah kekurangan kasih sayang seorang ibu. Ia tidak mau mengecewakan bunda Asha yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri dengan berbohong.
Alhasil, lelaki tersebut lebih memilih untuk tinggal di asrama, dan membiarkan rumah megahnya ditinggali oleh para pembantu.
Setelah acara pindahan mendadak, kini Asha dan Brian sudah bersiap di aula kampus untuk melaksanakan kegiatan ospek hari terakhir.
Benar, hari ini adalah hari ketiga yang juga merupakan hari terakhir mereka melaksanakan kegiatan gila ini.
Selesai kelas, satu per satu mahasiswa memasuki aula dan berbaris seperti hari pertama dengan membawa tas dan sebuah buku berisi tanda tangan kakak tingkat.
Dengan banyaknya mahasiswa yang tidak memenuhi target 750 tanda tangan, hal itu membuat Asha dan Brian sedikit bersyukur karena mereka berdua juga hanya mendapat sekitar 400 tanda tangan.
Tak lama kemudian, Hades alias Mahesa datang sembari berjalan angkuh ke depan barisan. Matanya menyelidik tajam, seakan hendak menerkam mereka semua.
Asha yang tiba-tiba merasa ditatap pun langsung menundukkan kepalanya dan berdoa di dalam hati, semoga kali ini ia tidak terkena masalah dengan makhluk tak punya hati itu.
“Asha nomor 0067, maju!"
Sepertinya keberuntungan tidak pernah memihak Asha saat ia bertemu dengan Mahesa. Tanpa menunggu lama lagi, ia pun langsung maju menghampiri lelaki itu.
Sungguh, Asha sudah terbiasa dengan suasana tegang dan dirinya yang menjadi pusat perhatian seperti saat ini.
Setelah sampai di tempat yang dituju, pria itu tiba-tiba mendekati Asha. Sangat dekat hingga membuat Asha dapat mencium aroma mint yang menguar dari baju Mahesa. Aromanya benar-benar ....
“Mana ID lo?”
Pertanyaan tersebut sontak membuat Asha terkejut. Ia baru sadar bahwa dirinya tidak memakai kalung identitas. Dengan segera, gadis itu mengambil tas punggungnya, lalu menggeledah seluruh isinya di depan Sang senior.
Asha terlihat panik saat menggeledah isi tas, namun tetap tidak menemukan kalung identitas yang dicari.
Sungguh, ia ingat betul bahwa 2 hari kemarin dirinya selalu mengenakan kalung itu, dan tidak pernah mengeluarkannya dari dalam tas.
Ah tunggu, Asha menepuk dahinya pelan ketika ingat bahwa tadi pagi, ketika berada di rumah, ia mengeluarkan seisi tasnya hanya untuk mencari sebuah pulpen yang disembunyikan bunda. Pasti kalung itu tertinggal di dalam kamar, batinnya.
“Maaf Kak, kayaknya ketinggalan di rumah." Lirih Asha menatap Mahesa dengan tatapan yang ia buat sesedih mungkin.
Mahesa hanya menganggukkan kepalanya pelan. Ia kemudian berkata, “Kalian semua, gue hukum lari 10 kali keliling lapangan.”
Kata-kata itu sontak membuat Asha kembali terkejut, bahkan seluruh mahasiswa pun mulai berbisik-bisik tak terima. Ini semua murni kesalahan Asha, dan seharusnya Asha sendiri yang menanggung akibatnya.
“Maaf Kak, tapi ini salah saya. Biar saya aja yang dihukum,” ucap Asha membuat Mahesa menyatukan kedua alisnya. Gadis ini dari awal selalu menentang dan membuatnya berada di situasi yang sulit.
“Oke, ke lapangan belakang sekarang dan lari 20 putaran,” balas Mahesa diikuti anggukan kepala oleh Asha.
***
Kini, seluruh mahasiswa baru beserta panitia ospek Teknik Informatika berada di lapangan belakang yang biasa digunakan untuk latihan klub bola.
Brian dan Maya sudah berkata kepada Asha bahwa mereka mau membantu, namun Asha dengan mantap menolak tawaran itu. Gadis tersebut sekarang sudah bersiap dengan training yang ia pinjam dari senior, dan mulai berlari mengelilingi lapangan.
Di sisi lain, Mahesa baru saja keluar dari ruang dekan akibat panggilan mendadak yang ia dapat dari ketua BEM, Eza.
Wajahnya sangat kusut karena mendapat beberapa wejangan, bahkan ancaman akan diturunkan dari jabatannya sebagai ketua HMJ karena telah memberikan sanksi berat kepada mahasiswa baru, apalagi perempuan.
“Kalau nggak mau masalah ini sampai ke rektor kampus dan jabatan lo lengser, lo harus gantiin anak itu lari,” kata-kata ketua BEM itu terus terngiang di telinga Mahesa. Dan lebih buruknya lagi, Sang dekan dengan senang hati menyetujui usul Eza.
Bagi Mahesa, ikut melakukan hukuman yang ia buat sendiri adalah hal yang memalukan. Namun turun secara tidak hormat dari jabatannya, itu lebih dari sekedar memalukan.
Tidak ada pilihan lain, ia harus menuruti kemauan ketua BEM gila itu agar ia bisa mempertahankan jabatannya.
6 putaran sudah Asha lewati, ia yakin telapak kakinya kini sudah mengelupas karena tanah yang panas. Keringat di dahinya mengucur deras dan nafasnya pun sudah mulai tersengal-sengal.
Brian yang berada di kursi samping lapangan menatap Asha khawatir dengan botol minum di genggaman. Ia tau Asha keras kepala, dia tak akan berhenti sebelum mencapai 20 putaran.
“Asha!” teriak Brian tatkala melihat Asha terjatuh akibat tersandung kakinya sendiri.
Sudah cukup. Brian hendak berlari untuk menolong Asha, namun langkahnya terhenti saat melihat Mahesa dengan celana training miliknya, membantu Asha berdiri dan mengajaknya ke sisi lapangan. Dimana Brian dan Maya sudah bersiap di sana.
“Bawa dia ke klinik kampus, biar gue yang lanjut lari,” ucap Mahesa kemudian pergi meninggalkan mereka bertiga, dan mulai berlari mengelilingi lapangan.
Banyak pasang mata yang menatap Mahesa tak percaya. Mereka semua, termasuk kedua teman Mahesa, juga bingung mengapa lelaki tersebut ikut berlari.
Kejadian yang cukup langka ini membuat lapangan mulai ramai hanya untuk sekedar melihat Mahesa.
Para mahasiswa perempuan pun kadang berteriak saat melihat Mahesa menyeka keringatnya, atau sekedar menyiram bagian dadanya dengan air dingin agar tidak terlalu panas.
Asha yang tadinya menolak untuk dibawa ke klinik kampus akhirnya menyerah setelah Brian mengancam akan memulangkannya ke rumah Bunda.
Namun keputusannya untuk ke klinik kampus sepertinya salah besar. Karena saat ini, Asha sedang berteriak kesakitan tatkala telapak kakinya yang mengelupas disiram dengan alkohol.
Jika tau begini, lebih baik tadi ia memilih untuk pulang dan diomeli bunda daripada diobati secara tidak manusiawi di tempat ini.
"Lo diam dulu disini. Jangan kemana-mana. Nanti pulangnya gue gendong."
Setelah memastikan Asha baik-baik saja, Brian pamit untuk mengambil tas miliknya dan tas milik Si gadis yang sempat tertinggal di lapangan.
Asha yang terbaring di ranjang klinik pun membiarkan pikirannya berkelana.
Menerka-nerka apa yang ada dipikiran Mahesa tadi sehingga mau menggantikan dirinya lari. Dan yang membuat Asha heran adalah, Mahesa sempat membopongnya menuju pinggir lapangan.
"Jangan ngelamun. Kesurupan lo nanti!"
Ucapan tersebut bertepatan dengan kelambu yang terbuka kasar . Ia terkejut bukan karena suara dari kelambu itu, melainkan sosok yang berjalan mendekatinya dengan tatapan tajam, Mahesa.
Penampilan pemuda itu kini jauh dari kata bersih dan tampan seperti biasanya. Rambut legamnya basah, keringat membasahi wajah dan kaos polosnya hingga berhasil mencetak abdomens yang terlihat sempurna dari balik kaos itu.
Mahesa benar-benar terlihat sangat panas sekarang.
Lelaki tersebut menjulurkan tangannya ke arah Asha, memberikan sebotol minuman penambah ion, lalu pergi begitu saja tanpa pamit.
Baru saja Asha ingin protes akan sikap apatis Mahesa, namun hal itu ia urungkan ketika matanya menangkap sebuah sticky note menempel di botol minuman.
"Maaf."
Adalah isi dari sticky note itu. Memang terlihat singkat, namun berhasil membuat Asha kembali tersenyum dan beranggapan bahwa Mahesa benar-benar orang yang baik.
Mungkin dia terlihat tidak punya hati karena ada sesuatu yang menganggu hidupnya. Dan sepertinya, Asha harus mencari tau apa alasan dibalik Mahesa bersikap demikian.
“Dasar tsundere!” ujarnya Asha tertawa kecil.