See U Tomorrow

2015 Words
Setelah izin dua hari untuk masa penyembuhan kakinya, kini Asha sudah kembali berkuliah seperti biasa. Sebenarnya, kaki Asha dari awal sudah bisa digunakan untuk berjalan walaupun sedikit pincang. Tetapi Brian terus mengancamnya, dan mau tak mau Asha harus tetap di asrama sampai kakinya bisa berjalan dengan normal. “Sha, kemarin ada senior nyariin lo.” Ujar Maya saat keluar kelas. Gadis itu berpikir bahwa senior yang mencarinya adalah Mahesa, mungkin dia ingin meminta maaf lebih formal atas kejadian dua hari yang lalu. Berbicara tentang Mahesa, hal yang baru Asha tau adalah, ternyata laki-laki tampan itu tinggal di apartemen yang berdampingan langsung dengan asramanya. Saat absen 2 hari, Asha sering melihat Mahesa keluar dari salah satu balkon kamar dan menjemur handuknya di sana. Mahesa adalah sosok morning person idaman Asha. Ah, tidak. Idaman semua orang. “Namanya Kak Abel, katanya dia mau ngasih beberapa jurnal dan buku paket,,” lanjut Maya membuat senyuman Asha luntur, seharusnya ia tak boleh berharap banyak dari pria apatis itu. Di kampus tempat Asha kuliah, ada sebuah tradisi turun temurun yang dilakukan oleh para kakak tingkat dan mahasiswa baru. Mereka yang meminjam buku atau jurnal dari perpustakaan, wajib memberikannya kepada adik tingkat saat sudah memasuki semester baru. Pemberian buku materi juga harus sesuai dengan mahasiswa yang nomor absen prodinya sama. Tak menunggu waktu lama, Asha langsung pergi ke perpustakaan saat mendapat pesan dari nomor kakak tingkat yang nomor absennya sama dengan dirinya. Kondisi perpustakaan lumayan sepi. Hanya ada satu dua mahasiswa akhir yang sibuk mencari referensi untuk bahan skripsi mereka, serta beberapa mahasiswa yang lebih memilih tidur di dalam perpustakaan daripada mengikuti kelas siang. “Asha, ya? kenalin aku Abel, kating kamu,” ucap seorang perempuan berperawakan kecil yang tengah berdiri di hadapan Asha. Setelah bersalaman dan sedikit basa-basi, Abel memberikan beberapa kisi-kisi dan spoiler mengenai materi pelajaran, dosen, hingga kuis-kuis yang keluar saat ia masih semester satu dulu. “Oh iya, sebenarnya ada satu buku lain yang nggak ada." Ucap Abel sembari memberikan tumpukan buku itu kepada Asha. “Buku bahasa pemrograman, katanya sih hilang,” lanjutnya. Asha penasaran siapa yang menghilangkan buku penting itu, dan kenapa Abel tidak memintanya untuk mengganti rugi. “Siapa Kak? orang yang dulu juga nomor absennya sama kayak kita?” tanya Asha membuat Abel langsung menganggukkan kepala. Ia sedikit mencondongkan tubuh untuk mendekat. “Kak Mahesa,” bisiknya. Bibir Asha membentuk huruf ‘O’. Apakah Mahesa sangat menyeramkan hingga membuat banyak mahasiswa takut untuk berurusan dengan lelaki tersebut? Tanyanya dalam hati. Sebenarnya, Asha juga tidak ingin kembali berurusan dengan Mahesa. Tetapi ia menyadari bahwa buku yang hilang itu sangat penting, dan Mahesa juga harus bertanggung jawab untuk mengembalikan buku tersebut. Dari pada harus meminjam buku milik mahasiswa lain, Asha lebih memilih mencari dimana keberadaan Mahesa dan memintanya untuk membeli buku baru. *** Sepertinya keberuntungan kali ini memihak Asha, entah keberuntungan atau malah akan menjadi bencana buatnya nanti. Setelah tidak menemukan Mahesa di kelasnya, Asha mendapat info dari salah satu teman sekelas Mahesa bahwa dia sekarang sedang berada di lapangan basket bagian dalam. Asha mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru lapangan basket. Mencari satu dari sekitar sepuluh orang yang sedang berlatih atau sekedar bermain basket di lapangan yang cukup sepi penonton. Bahkan, bisa dibilang hanya Asha satu-satunya gadis yang berada di sana. Matanya tak lama kemudian menangkap sosok tinggi berkulit putih sedang berusaha untuk memasukkan bola ke dalam ring. Baju khas basket tanpa lengan, ditambah dengan rambut basah sukses membuat Asha kembali terhipnotis. Mahesa tampan, selalu. “Kak Mahesa!” Teriaknya seraya melambaikan tangan heboh. Mengalihkan fokus Mahesa hingga mengakibatkannya gagal memasukkan bola ke dalam ring. Seluruh mahasiswa yang berada di dalam lapangan basket, seketika menghentikan aktivitasnya untuk melihat siapa yang memanggil Mahesa. Dan detik berikutnya, suara ejekan sekaligus godaan terdengar memenuhi lapangan. “Kita pergi dulu ya, Hes, pacar lo udah nungguin tuh." Goda Banyu memeluk bahu Yeremias, kemudian pergi diikuti dengan teman-temannya yang lain. Setelah asik memandangi tingkah aneh Banyu dan Yeremias, Asha kembali dikagetkan dengan manusia berwajah jutek yang tiba-tiba berdiri di hadapannya. Jika dilihat semakin dekat, Mahesa ternyata lebih tampan walaupun sangat jarang tersenyum. Rambut depannya yang agak panjang, membuat tangan Asha sedikit terjulur untuk merapikannya kebelakang, namun dengan cepat di cegah oleh Mahesa. “Kakak mau minum?” Tanya Asha tanpa takut, mengangkat sebuah botol minum dengan senyuman merekah. “Gue nggak minum air dingin,” jawab Mahesa melenggang pergi. Ada sedikit kecewa di sana, namun bukan Asha namanya jika menyerah begitu saja. Dengan cepat ia berlari menyamakan langkah kaki Mahesa yang cukup lebar. “Kak, nomor absen Kakak sama kayak aku. Kak Mahesa harus ganti satu buku yang hilang,” ucap Asha. Bukannya berhenti, Mahesa justru berjalan semakin cepat. Meninggalkan Asha yang masih berusaha menyusulnya. Menurutnya, salah satu cara untuk mengatasi gadis cerewet dan menyebalkan seperti Asha adalah menjadi bisu untuk sementara waktu. Dan tentu saja, itu belum sepenuhnya berhasil apabila Mahesa belum bisa menghilang dari pandangan Si gadis. Lelaki itu akhirnya memilih untuk berbelok ke suatu ruangan yang langsung membuat Asha berhenti di depannya. Asha sadar bahwa ia tidak bisa masuk ke dalam ruang ganti pria, atau dia akan dituduh sebagai penguntit nantinya. Gadis tersebut masih berusaha menggedor-gedor pintu, meminta Mahesa untuk segera keluar. Tetapi, tetap tidak ada tanda-tanda lelaki itu akan keluar dalam waktu dekat. Mata cantik itu kemudian menangkap sebuah balok kayu yang tergeletak di pinggir pintu dan mengambilnya. Asha berniat akan mematahkan gagang pintu menggunakan kayu jika ponselnya tidak berdering dengan tiba-tiba, menandakan adanya panggilan masuk yang membuat gadis itu membatalkan rencananya. "Heh lo dimana? Ini dosen udah masuk!" Belum sempat menyapa, Brian di seberang sana sudah berteriak lebih dulu, membuat Asha sedikit menjauhkan ponsel pintar itu dari telinganya lalu mematikan panggilan dari lelaki tersebut. Pada akhirnya, Asha menyerah kepada Mahesa dan memilih untuk berlari menuju kelasnya. Namun, belum sampai 10 langkah, ia kembali lagi ke ruang ganti hanya untuk menendang pintu kemudian melanjutkan acara berlarinya. *** Pukul 7 malam. Asha, Brian, dan Maya masih disibukkan dengan menempel beberapa materi yang mereka dapat dari koran maupun media cetak lain ke selembar kertas bufallo besar berwarna kuning. Mereka sudah mengerjakan makalah ini sejak pukul 4 sore, dan baru bisa menyelesaikannya sekarang. Sebenarnya, untuk mencari bahan dari tugas ini tidak terlalu sulit. Tetapi deadline yang hanya satu hari membuat mereka bertiga menjadi kalang kabut mencari topik dan koran bekas. “Capek, mau nikah aja rasanya!” Teriak Asha merenggangkan kedua tangannya. Brian dan Maya hanya menggelengkan kepala mereka. Karena sejak tadi, sudah tak terhitung berapa kali Asha berkata seperti itu. Ingin menikah, ingin memiliki suami seperti Mahesa, dan lain hal. Setelah menyelesaikan sentuhan terakhir berupa sedikit hiasan, mereka bertiga merebahkan diri di lantai kamar asrama milik Asha dan Maya. Ketiganya memang sengaja untuk mengerjakan tugas di asrama. Karena jika mengerjakan di cafe, bisa dipastikan Asha akan menyibukkan dirinya sendiri dengan berfoto ria. “Nasi goreng depan kampus enak kayaknya." Celetuk Asha memejamkan mata. “Jauh, Sha, cari yang deket sini aja,” ujar Brian mendapat anggukan setuju dari Maya. Agaknya, mereka lupa bahwa ada fitur go-food di jaman sekarang. Tak peduli dengan perkataan Brian, Asha kemudian berdiri, mengambil jaket dan dompetnya lalu berjalan ke arah pintu. Brian yang tau bahwa Asha keras kepala akhirnya ikut bangun dari tidur dan mengambil kunci mobil di dalam saku kemeja kainnya. Mengingat jarak asrama dengan kampus yang cukup jauh jika ditempuh dengan jalan kaki, membuat Brian tergerak untuk mengantar gadis itu. “Nggak usah dianter. Gue pinjem sepeda gowes punya pak satpam aja, sekalian cari udara segar. Lagian lo juga pasti capek kan tadi habis kena rujak sama dosen,” ujar Asha sedikit mengejek. Brian kembali menampilkan wajah muramnya. Ia kembali mengingat kejadian dirinya yang kena marah Sang dosen akibat berteriak menelpon Asha saat kelas tengah berlangsung. Sementara di satu sisi, Mahesa baru saja keluar dari kampus karena harus mengikuti evaluasi bersama para ketua HMJ lain beserta ketua BEM. Wajah kusutnya seakan bisa menjelaskan bahwa Mahesa sempat menjadi bulan-bulanan sang ketua BEM, bersama senior lain yang lebih berkuasa akibat kelakuannya yang menghukum mahasiswa perempuan dengan berlari keliling lapangan 20 kali beberapa hari lalu. "Kenapa, sih!!" Umpatnya kasar. Malam sial Mahesa tidak berhenti sampai di sana saja. Saat berjalan di parkiran motor, ia melihat ban belakang vespa matic kesayangannya bocor. Mahesa hanya bisa mengusap wajah kasar, kemudian mendorong motornya pergi dari halaman kampus yang menurutnya hanya berisi orang-orang gila itu. Ia adalah satu dari entah berapa orang yang memiliki ego sangat tinggi. Sudah tiga kali ditawari untuk pulang bersama atau ditemani mencari bengkel terdekat, tetapi Mahesa selalu menolaknya mentah-mentah. Dan sekarang, ia menyesal karena sudah sekitar 500 meter mendorong motornya, namun belum bertemu dengan bengkel terdekat. Selain itu, dirinya juga belum belajar untuk kuis besok pagi, lengkap sudah penderitaannya. Semesta seakan tak sudi untuk membiarkan Mahesa terbebas dari kesulitan malam ini. Kini, ia kembali dipertemukan dengan gadis yang sejak tadi siang berusaha lelaki itu hindari. Asha juga tak menyangka akan bertemu dengan Mahesa di depan supermarket saat ia mampir untuk membeli beberapa perlengkapan mandi. “Kak Mahesa motornya kenapa?” Pertanyaan retoris yang semakin membuat Mahesa merasa frustasi. Ia tau bahwa Asha hanya basa-basi, dan detik berikutnya pasti Asha akan tergelak. Setelah tau bahwa pertanyaan bodohnya tak mendapat jawaban dari Mahesa, akhirnya Asha ikut mendorong sepeda gowesnya mendekati pemuda tersebut. “Kak, ini masih jauh loh kalau jalan kaki sambil dorong sepeda, apa nggak mau bareng aku aja? Terus sepedanya Kakak titipin di sana, asramaku sama apartemen Kakak deketan juga.” Ujar Asha menunjuk ke arah supermarket 24 jam yang sempat ia datangi tadi. Melihat Mahesa menatapnya tajam, ah Asha bahkan sudah terbiasa dengan tatapan itu, ia kemudian mencoba membuat raut wajah seserius mungkin agar lelaki di depannya ini percaya bahwa niat Asha sungguh-sungguh. Mahesa akhirnya mengangguk setelah berpikir cukup lama. Ia berjalan menuju minimarket untuk menitipkan sepeda motornya. Sedangkan Asha sudah berpindah duduk di bagian penumpang. “Lo ngapain?” tanya Mahesa sesaat setelah kembali ke tempat semula. “Gue nggak bisa bawa sepeda,” lanjutnya hingga sejurus kemudian, membuat Asha melongo tak percaya. Lelaki yang katanya menyeramkan dan sempurna ini ternyata tidak bisa menaiki sepeda gowes, ini benar-benar berita panas. Sebenarnya yang menjadi masalah sekarang adalah, Asha sendiri juga tidak mungkin membonceng Mahesa yang jelas-jelas lebih tinggi dan lebih berat darinya. “Aku punya ide! Kakak bisa gowes, kan?” tanya Asha dihadiahi anggukan kepala oleh yang lebih tua. Gadis itu kemudian turun dari boncengan dan kembali duduk di depan memegang setir. Disusul Mahesa yang dengan sangat terpaksa duduk di belakang, sembari mengarahkan kakinya untuk mulai mengayuh sesuai dengan permintaan Asha. Akhirnya setelah beberapa kali hampir terjatuh, mereka berdua kini sudah terbiasa untuk melakukan tugas masing-masing. Semilir angin malam, ditambah dengan jalanan yang sepi membuat keduanya sangat menikmati dan larut dalam pikiran masing-masing. Asha yang cukup senang bisa membantu Mahesa, dan Mahesa yang memikirkan sebuah alur cerita. Hampir pukul setengah 10 malam, mereka berdua telah sampai di depan gedung apartemen yang ditinggali oleh Mahesa. Perjalanan cukup lama dan melelahkan, namun itu lebih baik daripada Mahesa harus mendorong motornya sendirian. "Sampai ketemu besok, di depan gedung apartemen gue jam 5 sore. Kita ke toko buku,” ucap Mahesa dengan cepat kemudian bergegas masuk ke dalam apartemen, meninggalkan gadis yang masih berusaha mencerna kalimat Mahesa tadi. Asha mengayuh sepedanya dengan senyum merekah, sekaligus lebih cepat dari biasanya mengingat bahwa Brian dan Maya masih menunggu nasi goreng mereka. Sesampainya di lobi asrama, gadis tersebut langsung dikejutkan dengan dua orang yang menatapnya tajam. “Gara-gara lo beli nasi goreng ke Arab, gue jadi kena sanksi pacaran di asrama sama Maya,” sinis Brian setelah mengisi buku sanksi. Sedangkan Asha yang mendapat tatapan seperti itu hanya tertawa kecil. Ia meminta maaf dan masih sempat-sempatnya untuk kembali mengajak Brian makan nasi goreng di kamarnya. Di tempat lain, ada seseorang yang kini sibuk mengetik sebuah sinopsis cerita di laptopnya. Tangannya dengan cepat bergerak di atas keyboard, sesekali berhenti untuk mengecek apakah ada ejaan tau kata-kata yang salah. Setelah selesai, ia kemudian mengirim sinopsisnya kepada seseorang melalui e-mail, lalu mengambil ponsel untuk mengirim beberapa pesan yang ia tujukan untuk orang yang sama. K: Cek e-mail. K: Kasih gue waktu 1 bulan. Editor L: Oh, wow! Cerita baru lagi, Kelana?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD