Chapter 4 : Move Over

2539 Words
          Hari ini akan menjadi hari terburuk yang pernah Retta alami. benar, hari ini dia akan pindah ke sekolah barunya yang sialnya lagi adalah sekolah asrama. rasanya ia sangat malas sekali untuk beranjak dari kasurnya dan juga selimut yang membungkus dirinya.           ia ingin sekali menyalahkan hantu anak kecil yang membuatnya malah berakhir seperti ini. tetapi, ia juga tak bisa menyalahkan hantu itu, karena memang dirinya juga membiarkan hantu kecil itu untuk menggunakan tubuhnya. Mana Retta tahu jika dirinya akan berakhir seperti ini.           Retta menggeliatkan tubuhnya, meregangkan otot-otot nya yang terasa kaku dan juga pegal. ia pandangi langit-langit kamarnya yang berwarna putih. Kening Retta berkerut, seperti ada yang kurang. ia merasa seperti ada yang kosong di langit-langit kamarnya.           Ah benar juga, biasanya hantu yang seringkali ia sebut bunda itu melayang di atasnya dan memolototi dirinya. Tumben sekali pagi ini hantu itu tak menggelantung indah di atasnya. Retta tak ingin memikirkannya, biarlah hantu itu mau berbuat apa saja. Retta membalikkan tubuhnya ke samping, seketika ia terlonjak kaget dan bangun dari tidurnya.           "Astaghfirullahalazim!!! Ya Allah Ya Rabbi!!! Lahaulawalakuataillabillah!!"           bersyukurlah Retta tak mengeluarkan kata-kata mutiaranya. mungkin saja Retta hari ini pensiun untuk mengumpat. coba kau bayangkan, di saat kau masih setengah sadar dan masih mengumpulkan kesadaranmu, tiba-tiba saja ada kuntilanak yang tidur di sebelahmu dengan separuh wajahnya yang mengelupas dan senyumnya yang lebar hingga ke telinga. untung saja Retta tak memiliki riwyat penyakit jantung. sungguh pagi yang sangat indah.           "Allahuakbar Bunda.... kaget loh saya. tiba-tiba saja ada si sebelah, biasanya juga ngegelantung di langit-langit kamar." ucap Retta sembari tangannya menekan dadanya yang berdegup kencang.           ia tak memerlukan waktu lebih untuk mengembalikan kesadarannya, pandangan matanya kini sudah sangat cerah dan efek sampingnya adalah jantungnya berdegup dengan kencang.           hantu itu melayang di sisi ranjang Retta dan menatap Retta datar.           "Cepat mandi, kau harus berangkat ke sekolah barumu hari ini."  kata hantu itu dengan nada suara yang datar. bahkan hantu wanita itu melengos pergi tanpa menunggu balasan dari Retta.           Retta mengernyit heran melihat sikap hantu itu pagi ini. Ada apa dengan hantu itu? mengapa hantu itu seperti marah padanya?           "Dih! kenapa dia seperti yang marah padaku? Harusnya kan aku yang marah padanya. gara-gara dia jantungku hampir saja berpindah tempat. PMS kali tuh kunti..."           Retta menghendikan bahunya acuh. ia sudah bersiap untuk kembali ke kasurnya, bahkan posisinya sekarang sudah setengah menungging dengan tangannya yang memegang ujung selimutnya dan bersiap membungkus kembali tubuhnya dalam gelungan selimut kesayangannya itu. tetapi, suara keras yang berasal dari luar kamarnya membuatnya mengurungkan niatnya untuk kembali melanjutkan tidurnya.           "Mandi sekarang juga!!! atau Bunda akan merasukimu!!!"           "Siap Bundaku tersayang!!!"           dengan segera Retta berlari menuju kamar mandinya dan melakukan ritual paginya.           dirinya sudah selesai mandi dan juga berpakaian. karena ini adalah hari pertamanya dan juga ia tak pernah mengunjungi sekolah barunya itu, jadinya Retta memakai seragam sekolah lamanya. Mungkin dia akan mendapatkan seragam barunya jika ia sudah berada di sana nanti.           Retta keluar dari kamarnya, ia sudah wangi sekarang. tadi ia memakai parfumnya sebanyak mungkin. Retta berjalan menuju meja makannya, matanya menangkap 2 buah koper besar yang tergeletak di ruang tamu Apartement nya. Retta mengernyit bingung, Milik siapa koper-koper besar itu, pikirnya.           "Kakak mu sudah menyiapkan semua keperluanmu yang akan kau butuhkan di asrama nanti. kau hanya tinggal membawa koper-koper itu nanti."           Retta menoleh dan menatap hantu wanita yang duduk di kursi makan, seola menunggu dirinya untuk sarapan. Retta mendekati hantu wanita itu dan duduk di hadapannya. ia sesekali menoleh ke arah 2 koper besar yang berada di ruang tamu sana.           "Apa itu semua adalah barang-barang baru?" tanya Retta           hantu itu mengendikkan bahunya acuh, "Mungkin saja, ku lihat semalam kakak mu membawa beberapa barang-barang baru. tetapi juga ada barang-barangmu yang lama." ucap Hantu itu.           Retta menghembuskan nafasnya lelah, ia bersandar lesu pada sandaran kursinya. ia memainkan jari-jari nya di atas mejanya. wajahnya cemberut dan keningnya berkerut dalam. sejujurnya, ia ingin sekali menolak perkataan kakak nya, tetapi ia tidak bisa membantah kakaknya itu. apalagi ia juga sudah sadar diri jika dirinya sudah terlalu sering membuat kakak nya itu khawati.           Retta juga tak bisa menolak mereka yang membutuhkan bantuannya. dia terlalu tak tega dengan mereka yang matinya tak tenang. apalagi, ia selalu percaya jika dia menolong seseorang dengan tulus, maka ia akan juga mendapatkan balasan yang lebih baik. tapi masalahnya, yang dia tolong itu adalah hantu, arwah dan sejenisnya, apakah nantinya ia akan mendapatkan balasan yang setimpal dengan apa yang ia perbuat?           ah mengapa jadi seperti pamrih begini?           Reta mengacak rambutnya frustasi. hantu wanita yang berada di depannya itu hanya menatap Retta tenang.           "Kau tak ingin memasak untuk sarapan?" tanya hantu itu.           Retta menatap hantu itu dengan raut wajah penuh tanya. sudah sangat tergambar dengan jelas bahwa ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi terlalu takut untuk mengatakannya. "Apa aku tidak usah datang saja ya Bun?" Tanya Retta pada hantu itu. Dan seketika sebuah pisau melayang tepat di depan wajahnya. Retta tersentak dan menatap pisau itu horror. Ia meringis dan menatap Hantu itu takut-takut. "Becanda kok Bun. Jangan emosi dong cuma, becanda kok." Kata Retta. Pisau itu seketika jatuh di pangkuan Retta. Ia ambil pisau itu dan menaruhnya pelan di meja makan. Retta mengalihkan tatapannya dan segera pergi dari hadapan hantu itu. "Ah aku lapar, sebaiknya aku memasak untuk sarapan segera." Hantu itu hanya memperhatikan gerak-gerik Retta yang sepertinya gelapan dan sedikit takut itu. Hantu itu menghela nafas pelan. "Nanti, di sana jangan lupa makan. Jangan lewatkan jam makanmu. Kau juga tidak perlu memaksakan diri untuk belajar. Buatlah dirimu senyaman mungkin di sana. Carilah teman sebanyak-banyaknya. Jangan hiraukan mereka yang meminta bantuan mu. Kita tidak akan bertemu untuk 6 bulan ke depan. Mungkin hanya ini yang bisa aku katakan padamu. Jaga dirimu baik-baik di sana." Retta mendengarkan semua apa yang hantu itu bicarakan. Meski ia tak berbalik dan memunggungi hantu itu, tetapi dirinya menangkap dengan jelas apa yang hantu itu katakan. Retta menggenggam erat spatulanya. Matanya memerah, air mata nya sudah menggenang. Ia usap kasar air mata yang jatuh dari pelupuk matanya. Ini hanya perpisahan sementara saja, tetapi mengapa ia merasa bahwa ini adalah perpisahan yang lama? Dia memang bukan siapa-siapa, mereka juga bertemu karena tinggal di satu atap yang sama. Tetapi, mengapa terasa berat sekali rasanya untuk berpisah. Retta sudah terbiasa dengan Omelan hantu itu, Retta sudah terbiasa dengan kebiasaan hantu itu yang selalu mengagetkan pagi harinya. Retta sudah terbiasa di marahi oleh hantu itu, Retta sudah terlanjur terbiasa dengan kehadiran hantu itu di sekitarnya. Tanpa sadar, hantu itu sedikit mengisi kekosongan hatinya yang merindukan peran seorang ibu di sisinya. "Libur semester nanti aku pasti pulang. Aku tidak akan menambah jam pelajaran ku. Aku akan tetap menjaga jam makan ku. Aku juga tidak akan menghiraukan hantu-hantu lain yang meminta pertolonganku. Aku pasti pulang Bunda." Retta berbalik dan menatap Hantu itu dengan sedih, "Jadi saat aku kembali nanti, tolong sambut aku seperti biasanya." Senyumnnya terukir indah. Salah satu yang menjadi alasan Retta tak ingin pergi ke sekolah asrama adalah dia sudah terlanjur nyaman dengan hantu ini. Bohong jika ia mengatakan kalau dirinya tak mau pergi dari sini hanya karena ia tak mau. Ia hanya berat untuk berpisah dengan hantu ini. Retta kembali fokus pada masakannya. Ia meniriskan ayam yang digorengnya, kebetulan semalam kakaknya membawa ayam goreng untuknya. Karena ayam itu sudah dingin, Retta memanaskannya. Ia membawa ayamnya ke meja makan. Retta menikmati sarapan terakhirnya di apartement nya ini. Jika di pikir-pikir, nantinya dia tidak akan lagi memasak untuk dirinya sendiri. Di sekolahnya sudah di ada kantin sekolah dan juga asrama untuk murid-muridnya. Ia tidak bisa lagi keluar malam walau hanya sekedar berjalan-jalan sebentar mengistirahatkan kepalanya yang terkadang terasa sangat pening dan juga berat. Di asramanya nanti akan di berlakukan jam malam. Jika mengingat itu, mood Retta semakin hancur dan jatuh ke dasar. Bisakah ia beradaptasi dengan lingkungan barunya nanti? Bisakah ia menerima lingkungan barunya nanti? Mau tak mau, suka atau tidak, Retta harus bertahan di sana. Ia cukup membuktikan pada kakak nya bahwa ia bisa menghiraukan para hantu-hantu itu selama satu semester, lalu setelahnya ia akan keluar dari sekolah terkutuk itu. ***           Di sinilah ia berada sekarang, tepat di depan gerbang sekolah barunya. Pagar sekolahnya sangat tinggi, dengan sebuah lengkungan setengah lingkar di tengah. Plakat nama sekolah yang bertuliskan “SMA Dwirana” terpampang besar di lengkungan itu. Retta menatap nama sekolah itu dengan nanar.           Sebelumnya, Retta bersama kakaknya Bagas, tetapi laki-laki itu hanya mengantar Retta sampai depan gerbang saja. Koper besarnya sudah di ambil oleh satpam yang menjaga sekolah untuk di bawa ke asrama. Berhubung pagi ini kegiatan mengajar mengajar kembali aktif, Retta tidak mengunjungi asramanya terlebih dahulu.           Posisinya saat ini berada di tengah-tengah jalan yang di lalui oleh para siswa. Ia tatap gedung sekolah yang jauh berada di depannya. Jalan masuk menuju sekolah itu ada 2 jalan, sebelah kiri adalah jalur masuk, sedangkan sebelah kanan adalah jalur keluar. Kedua jalan itu di pisahkan oleh sebuah tanaman yang berjejer rapi hingga 500 meter pangjangnya.           Retta menghembuskan nafasnya kasar. Ia mengacak rambutnya berantakan. Ia menundukkan kepalanya lesu. Ngomong-ngomong, dirinya sekarang menjadi pusat perhatian semua sisiwa yang baru saja datang. Sebagian dari mereka ada yang berjalan kaki dari Asrama yang letaknya berada di depan, sebagian juga ada yang menggunakan sepeda pancat mereka.           Para siswa itu memperhatikan Retta yang mengenakan seragam yang berbeda dengan mereka. Bahkan beberapa ada yang menolehkan kepalanya secara terang-terangan pada Retta. Retta yang tak sadar telah menjadi pusat perhatian pun semakin mengacaukan dirinya sendiri. Lihatlah, bahkan sekarang dia sudah berjongkok dengan memegang kepalanya. Terlihat seperti orang yang sedang stress berat.           Seorang murid laki-laki menatap tingkah Retta datar. Murid laki-laki itu menghembuskan nafasnya kasar dan menghampiri Retta yang tengah berjongkok di tengah jalan itu.           “Mau sampai kapan kau akan berjongkok seperti orang gila seperti itu?”           Retta tersentak dan reflex mendongakkan kepalanya melihat siapa ornag yang tengah berbicara padanya. Seketika Retta terpesona dengan visual murid laki-laki yang beridiri di depannya itu. wajahnya sangat tegas, matanya yang tajam dan juga alis nya yang sedikit tebal. oh jangan lupakan bibirnya yang tipis dan sexy itu. sungguh ciptaan tuhan yang maha sempurna.           "Kau tuli ya?” seketika ekspektasinya pada murid laki-laki ini hancur lebur.           Retta mengubah raut wajahnya yang tadinya terpesona menjadi datar seketika. Ternyata laki-laki di depannya ini bermulut tajam. Retta berdiri dari berjongkoknya dan menatap laki-laki di hadapannya cemberut. Murid Laki-laki itu mengangkat alisnya sebelah.           “Cepat masuk, sebentar lagi pembelajaran akan berlansung. Atau jika kau ingin menjadi mascot baru sekolah ini, terserah kau sih. Imbasnya kau akan menjadi bahan tertawaan para murid.”           Setelah mengatakan itu murid laki-laki itu pergi meninggalkan Retta yang masih diam di tempatnya. Retta semakin dongkol pada murid laki-laki itu. setidaknya untuk awalan, laki-laki itu mengenalkan dirinya kek. Bukannya malah menceramahinya dan malah seenaknya main tinggal begini. Retta menghentakkan kakinya dan menyusul mrusid laki-laki itu.           “Hey, tunggu aku!!!” teriak Retta pada murid laki-laki itu.           Kini Retta berjalan beriringan bersama murid laki-laki yang di ketahuinya sebagai ketua osis di sekolah ini. Yah, maklum, sedari tadi beberapa siswa ada yang menyapa laki-laki di sebelahnya ini sopan. Jadi, Retta simpulkan bahwa laki-laki di sampingnya itu adalah ketua osis di sekolah ini.           “Ngomong-ngomong namamu siapa? Dan bagaimana bisa kau tahu kalau aku sekolah di sini?” tanya Retta membuka pembicaraan di antara mereka berdua.           Murid laki-laki itu hanya melirik sekilas pada Retta,           “Bimantara Aji, panggil saja Bima. Aku ketua Osis di sekolah ini, jika kau ada kesulitan kau bisa datang padaku. Dan juga, wali kelas mu sudah memberitahuku bahwa aka nada murid baru hari ini. Tugas ku adalah mengantarmu menemui Bu Liviana, wali kelas mu.” Jelas laki-laki itu.           Retta menganggukkan kepalanya mengerti. Ia tak bertanya apa-apa lagi pada Bima, si ketua Osisi. Dirinya dengan patuh mengikuti langkah Bima menuju kantor guru. Sejak tadi, para murid yang berada di luar kelas memperhatikan dirinya yang melewati mereka. Ia sadar kalau saat ini ia menjadi pusat perhatian para murid itu. apalagi seragamnya yang berbeda dari mereka, membuat Retta sangat mencolok di antara kerumunan para murid itu.           Mereka berhneti di depan pintu kantor guru. Bima mengetuk pintu itu tiga kali, lalu setelahnya membuka pintu itu. mereka berdua masuk ke dalam dan beberapa guru memperhatkan dirinya secara terang-terangan. Bukannya risih, Retta malah semakin mengangkat pandangannya. Tetapi, ia tak lupa mengembangkan senyum manis nya dan juga menyapa para guru yang di lewatinya.            Mereka berdua berhenti di depan meja seorang guru yang memiliki rambut panjang dan hakus. Wajahnya sangat cantik dan juga terlihat lugu. Percayalah, Retta saat ini mengupat dalam hatinya karena terpesona melihat kecantikan wali kelasnya ini.           “Bu Liviana, saya mengantarkan murid baru kepada anda.” Ucap Bima.           Wanita itu tersenyum lembut pada Bima. Liviana mengalihkan tatapannya dari Bima ke Retta. Ia semakin mengembangkan senyumnya pada Retta.           “Kau adik dari Bagas bukan? Namanu Claretta?” tanya Liviana.           Retta tersenyum dan mengangguk kikuk, “Benar Bu.” Jawab Retta.           “Kakak mu sebenarnya sudah mendaftarkanmu seminggu yang lalu. Dia menitipkan dirimu padaku. Semoga kau betah ya di sini.” Ucap Liviana lembut, “Bima… Ibu bisa meminta tolong lagi padamu? Tolong antarkan Retta ke koperasi untuk mengambil buku paketnya dan juga kelasnya berada di XI IPA 2.” Kata Liviana.           Bima mengangguk mengerti, “Baik Bu. Kalau begitu saya dan Retta permisi dulu.”           Liviana hanya mengangguk kepada dua muridnya itu. Bima dan Retta berjalan keluar dari kantor guru. Bima kembali mengarahkan Retta menuju koperasi sekolah. Sampainya di sana, Retta hanya menunggu Bima yang kini sudah sibuk berbicara dengan penjaga koperasi. Ia menunggu Bima mengambilkan buku-buku miliknya.           Selagi ia menunggu, ia melihat-lihat ruang koperasi yang terlihat bagus itu. bahkan koperasi sekolah lamanya kalau jauh dengan koperasi sekolah ini. Tetapi bukan itu yang penting sekarang. Sedari tadi Retta merasakan sesuatu menggenggam tangannya. Ia tahu jika sedari ia keluar dari ruang guru dirinya diikuti oleh sosok lain. Bahkan sosok itu sejak tadi menggandeng tangannya. Rasa dingin itu menjalar dari tangannya menju lehernya. Retta melirik sekilas kea rah tangannya, dan sialnya sosok itu ternyata sedari tadi memperhatikan dirinya. Maka, mau tidak mau Retta tidak bisa berpura-pura untuk melihat sosok itu.           “Kakak…”           Lagi. Sosok yang di temuinya kali ini ada seornag anak kecil. Bedanya terakhir kalinya ia bertemu dengan hantu anak kecil perempuan, yang satu ini adalah laki-laki. dalam hatinya, Retta sudah mengabsenkan nama-nama binatang yang ia tahu. Jangan sampai hantu ini membawa masalah baru di hidupnya. Terakhir ia sudah terdampar di sini. Jika sampai ia kembali membuat masalah, entahlah, mungkin kakaknya itu akan membuangnya ke panti asuhan setelah ini.           “Help me, please..”           Demi tuhan, Retta sangat tak mengerti dengan Bahasa Inggris. Bahkan setiap jam pelajaran Bahasa Inggris, Retta selalu tidur dan tak mendengarkan guru yang menjelaskan. Terkadang ia beralasan pergi ke toilet hanya untuk menghindari mata pelajaran itu. menurutnya, lidahnya tak cocok sama sekali dengan bahasa itu.           Dan sekarang, ia amalh bertemu dengan hantu anak kecil yang sialnya tidak bisa menggunakan Bahasa Indonesia. Kesialan macam apa ini? Apa ini karma yang di terimanya Karena selalu melewatkan mata pelajar Bahasa Inggris? Rasanya ingin bersujud dan mmeinta maaf pada guru bahasa Inggrisnya itu.           Bima menghampiri Retta yang berdiri di posisinya. Ia membawa buku paket milik Retta yang jumlahnya ada 12 itu.           “Ini buku paketmu. Ayo ke kelasmu, jam pertama sudah di mulai.” Ucap Bima sembari menyodorkan buku paket itu pada Retta.           Bima menatap bingung Retta yang malah menatapnya dengan melas,           “Bim…” ucap Retta,           “Ada apa?” tanya Bima bingung.           “Help me, please.”                                             
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD