Chapter 2

1260 Words
Sebelum masuk ke dalam hutan Eyther yang terletak di tengah kota Disambe. Haden menitipkan mobil di rumah paman Ryu. Rumah pria itu terletak lima belas meter dari hutan. Paman Ryu adalah teman ayahnya. Ketiga anak muda itu sekarang berada di tengah hutan. Mereka berjalan di jalan setapak, yang lebarnya kurang lebih lima meter. "Menurut paman Ryu, tanaman yang kita cari ada di sini," ucap Haden memasang pose berpikir. "Baguslah, kalau begitu jadi kita tidak perlu masuk ke hutan yang lain lagi," sahut Sava menatap ke sekeliling. "Menurutku hutan ini tidak terlalu menyeramkan," ungkap Eisha menyapukan pandangan ke sekitar. ''Kamu benar, aku pun berpendapat begitu," jawab Sava. "Iya, memang dilihat dari luar hutan ini tidak menyeramkan tetapi sebenarnya hutan ini menyimpan bahaya." bantah Haden. "Apa maksudmu? Haden?" Eisha mengernyitkan dahinya, tanda bingung. Sava juga menatap Haden menuntut penjelasan. Haden menoleh sebelum menjawab. "Kata paman Ryu, di sini ada banyak jebakan." "Jebakan?" beo kedua gadis yang berusia enam belas tahun itu bersamaan. Haden mengangguk mengiakan.  "Tetapi apa buktinya? Kita sama sekali tidak terkena jebakan?" Eisha berpikir secara logis. Ya, bila di sini memang ada banyak jebakan. Mengapa tidak terjadi sesuatu, pikirnya. Paling tidak salah satu jebakan mengenai mereka. "Iya, aku juga sependapat dengannya," ucap Sava menilik sahabat perempuannya. Haden pun akhirnya terdiam. Apa yang dikatakan kedua temannya itu memang benar, jika memang ada banyak jebakan mengapa tidak terjadi sesuatu. Keheningan meraja. "Apa mungkin paman Ryu hanya mengerjai saja?" gumamnya pelan. "Sudahlah tak usah dipikirkan lagi," ujar Haden tersenyum. Haden mengambil secarik kertas abu abu dari kantong celananya. Berisi nama tanaman yang harus dicari.  1. Orthosiphan Spicatus2. Limbago3. Loster4. Oxlipe5. Axlin Balanz Beberapa jam berlalu. Kini empat tanaman telah berhasil ditemukan. Mereka meletakkannya di dalam keranjang rotan yang dipinjam dari paman Ryu.  Mereka memutuskan untuk istirahat di sejenak melepas lelah. Ketiganya memilih untuk beristirahat di bawah salah satu pohon besar berdaun lebat berwarna cokelat. Ada beberapa buah yang tumbuh di sana, tetapi sayang belum ada yang matang. Bulir-bulir bening mengucur dari badan. Kaki pun terasa pegal.  Mereka membuka tutup botol menuangkan air dari botol yang mereka bawa untuk mencuci tangan yang kotor dipenuhi dan tidak lupa memakai sabun. Salah satu kebiasaan yang diajarkan oleh guru di sekolah. Sava memberikan cup cake kepada Haden dan Eisha. Kedua teman Eisha menerimanya dengan senang hati.  Mereka makan bersama-sama, lalumeminum botol air mineral yang mereka bawa.  Angin yang berembus, cuaca yang tidak panas, kicauan-kicauan burung kecil lambat laun membuat kelopak mata kedua temannya itu terlelap.  Eisha melihat kedua temannya yang tertidur lelap merasa kasihan. Kasihan mereka, batin Eisha. Gadis itu merobek kertas buku catatan kecil, menulis pesan singkat menempelkannya pada batang pohon.Dia memulai perjalanan mencari tanaman terakhir itu. ******************************** Gadis cantik itu berjalan sendirian di jalan setapak. Tidak seperti awal perjalanan bersama sahabatnya. Banyak bunga-bunga kecil berwarna warni di pinggir jalan dan pohon-pohon yang memiliki daun berwarna ungu.  "Eh, ada buah matang yang berserakan di bawah." Eisha bermonolog sendiri sambil mengambil beberapa buah yang berjatuhan dari pohonnya. Alisnya bertautan karena merasa aneh. Setahu dia tidak ada buah yang berbentuk bulat warnanya ungu gelap.  Apa mungkin ini salah satu buah langka, pikirnya.  Dengan penasaran dia membuka buah itu. Di dalam terdapat daging buah berwarna putih bening berbentuk bulan purnama. Dia memakannya. Rasanya manis. Seperti buah mangga.  "Buah yang unik," ucap Eisha. Tak menyia-nyiakan kesempatan. Dia mengambil beberapa buah yang lain, lalu memasukkan ke dalam tas merahnya. Eisha melangkah melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda. Beberapa langkah berjalan, mendengar suara rintihan.  Eisha celingak-celinguk mencari asal suara itu. Suara itu berasal dari semak-semak yang tumbuh sumur. Kedua tangannya membuka semak-semak dengan hati-hati, barangkali ada sesuatu yang akan melukainya. Di balik semak-semak itu ada seekor naga kecil yang berguling di atas tanah.Gadis berkulit putih itu melihat lebih dekat, naga kecil itu terlihat takut. Mata bulat kecilnya menampilkan rasa ketakutan. Dia sedikit menggeram. "Jangan takut aku tidak akan menyakitimu," ucapnya lembut. Sayap kanan naga itu tertusuk duri kecil dalam jumlah yang lumayan banyak. Setelah mengatakan itu naga kecil  terlihat lebih rileks. Eishia pun duduk meletakkan sang naga kecil di atas pangkuannya. Perlahan-lahan Eisha mencabut satu-persatu duri kecil yang menancap di sayapnya. Naga kecil itu meringis kesakitan, matanya menutup. "Naga kecil, durinya sudah kucabut nah sekarang tahan ya sebentar, aku akan memperbanmu."  Eisha mengambil perban putih dari dalam tasnya. Memperban sayap naga kecil itu. Inilah gunanya tasnya ini, membawa segala sesuatu yang diperlukan.  Naga kecil itu matanya berbinar cerah. Dia duduk di atas tanah, mengangkat sayap yang telah diperban, lalu terbang pelan ke atas pohon. Naga kecil terbang rendah bawah hinggap di atas bahunya. Kuku kakinya mencengkeram, tetapi tidak menyakiti bahunya. Beberapa detik kemudian, Eisha merasakan jilatan di lehernya. Gadis itu merasa kegelian. "Hahaha, naga kecil kumohon hentikan." Naga kecil turun dari bahunya mendarat di atas tanah. Eisha mendengar seseorang yang berbicara di dalam pikirannya. "Terima kasih." Suara perempuan terdengar di dalam pikiran Eisha. Gadis berusia enam bas tahun itu masih terdiam. Dia mengerjapkan mata beberapa kali. Barangkali ada sosok yang tidak tampak berada di depannya. Sosok itu yang mungkin mengajaknya berbicara, tetapi tidak ada adapun selain sang naga yang menatapnya balik. "Kamu sekarang adalah pemilikku." Eisha masih diam mematung. Kebingungan yang tercipta semakin jelas. Suara itu sangat jelas di pikirannya. Siapa yang mengajakku berbicara? Aku sekarang bagai anak ayam yang kehilangan induk. Tidak, bukan kehilangan induk, tetapi kehilangan kewarasan, batin Eisha.  Eisha hampir frustasi dan sedikit gila. Mungkin dua kata itu untuk menggambarkan dirinya sekarang. "Jangan mengganggap dirimu tak waras wahai tuan putri..." "Itu sangat tidak pantas kau ucapkan." Eishia diam mematung seperti orang bodoh. "Baiklah akan aku jelaskan wahai tuan putri. Yang berbicara denganmu adalah aku- sang naga yang duduk di atas tanah di depanmu," jelas makhluk bersisik itu sedetail mungkin. "Naga kecil yang aku tolong?" Eisha menilik ke bawah tanah sekali lagi tempat di mana makhluk bersisik merah berada.  "Oh, tentu, tentu saja sang naga kecil."  Naga kecil itu terlihat tersenyum di matanya. Bagaimana bisa naga kecil itu terlihat tersenyum? Pasti, dia telah salah lihat. Dia mengucek matanya sekali lagi. Tidak, naga itu benar-benar terlihat lengkungan mulutnya. "Mengapa kamu tidak percaya kepadaku?" Mata bulat sang naga kecil yang awalnya berbinar cerah kini terlihat ingin menangis dari suaranya terdengar sendu. Eisha yang mendengar nada sendu yang terselip di nada bicara naga kecil . Dia pun merasa kasihan. Akhirnya dia pun mengatakan iya. Walau Eisha sangat ingin sekali berteriak sekeras mungkin mengatakan tak masuk akal.  "Kamu belum memberiku nama." ucap naga itu protes mengentakkan kaki kecilnya yang bersisik merah. Eisha berpikir sejenak mencari nama untuk si naga kecil. "Bagaimana kalau namamu Chocolate?"  "Apa? Kamu kira aku ini makanan?" Teriakan nyaring naga kecil yang menggema di pikiran Eisha.  Membuatnya sedikit pusing. "Tak kusangka naga kecil sepertimu cerewet juga." Gadis itu menggerutu.  "Nama lain?" kata naga kecil itu lebih pelan. "Nixie?" tanya eisha. "Nixie, sepertinya nama yang bagus. Aku suka nama itu," kata naga kecil itu melompat senang. Groot, groot  "Apa kamu memiliki makanan untukku?" ucap sang naga itu menunduk malu. "Oh, ya, aku memiliki sesuatu. Tunggu sebentar." Eisha mengambil beberapa buah berbentuk bulat berwarna ungu gelap memberikan kepada Nixie. "Hm, rasanya enak." Nixie memakannya dengan lahap. Buah pemberiannya habis. Nixie bersendawa. "Astaga, satu fakta lagi yang harus aku ingat naga juga bisa bersendawa," ucap Eisha terkekeh. Nixie tertawa," Tentu saja." "Aku pergi dulu ya, jika kamu butuh pertolongan sebut saja namaku," ucap naga kecil itu. Naga kecil itu mengepakkan kedua sayapnya terbang meninggalkan Eisha yang melambaikan tangan.  "Baiklah, sampai jumpa lagi!" teriak Eisha. "Sampai jumpa!" ucap Nixie.  Dia melanjutkan perjalanannya yang sempat tertunda karena hal tadi. Bola matanya mencari tanaman -axlin balanz- setiap tanaman yang tumbuh di sekitarnya. Cahaya sudah sedikit kemerah-merahan. Eisha menilik jam tangan putih bersih yang menunjukkan pukul empat sore.  Sudah satu kilometer Eisha berjalan. Sekarang dia duduk beristirahat di batang pohon yang sudah tumbang sambil meminum sisa air botol mineral yang dimiliki. Keringat-keringat menetes dari tubuhnya. ''Sulit juga, mendapatkan tanaman itu," ucapnya sambil mengusap peluh yang mengalir menggunakan tissue. "Tetapi aku harus tetap mencari tanaman itu sampai dapat." "Aku tidak mau nanti dimarahi oleh ibu Ruly." "Cukup tadi aku dimarahi."  Kini botol air minumnya masih setengah. Persediaan makanannya sudah habis, tetapi dia tetap akan meneruskan perjalanannya. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD