Chapter 3 - Layla

1249 Words
Mata Eisha terbelalak melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Ada sebuah jembatan yang menghubungkan dua sisi yang berbeda.  Eisha berjalan melewati jembatan yang berwarna cokelat dan putih. Beberapa kelinci cokelat gemuk yang melompat mendahuluinya tiba-tiba berubah menjadi putih ketika sampai di seberang. "Apa rambutku akan berubah menjadi putih juga?" gumam Eisha. Dia memakaikan tudung jaket merahnya, melangkah perlahan melewati hingga berada di bagian hutan yang berwarna putih itu.  Eisha mendongak ke atas tak percaya. Ratusan butiran salju kecil jatuh. Dia menengadahkan telapak tangannya membentuk sebuah bola salju.  Dingin. Ini benar-benar nyata. Dia memegang salju!  "Yeay! Akhirnya aku dapat menyentuh salju,'' pekiknya kegirangan. Lama-kelamaan kulitnya terasa beku karena jaket cokelat yang dipakainya tidak mampu membuatnya tetap hangat dan apa? Sepatu sekolahnya sekarang terlihat menyedihkan, bagian depannya sudah robek dan tidak dapat melindungi telapak kakinya mulai kedinginan juga. Untung saja tas merahnya anti air, jadi ia bisa bernapas sedikit lebih lega. Kalau tidak bisa-bisa barang-barang yang ada di dalamnya basah. Eisha harus cepat mencari tempat berteduh. Bisa-bisa mati membeku di sini. Matanya mencari sambil terus berjalan, mencari barang kali ada rumah seseorang yang berada di dekat sana.  Benar saja, ada sebuah rumah sederhana yang terbuat dari kayu terletak di arah jam sembilan. Rumah kecil itu dikelilingi pohon cemara. Gadis itu menahan rasa dingin yang terasa menembus tulang. Dia berlari kecil sambil terus mengeratkan jaketnya. Tibalah di depan pintu masuk rumah kayu tersebut. Eisha mengetuk pintu. Tok Tok Tok Kriet, pintu yang memiliki ukiran seekor rusa itu terbuka.  Seorang nenek bertubuh lumayan gemuk keluar. Wanita tua tersebut mengenakan sweater hangat berwarna hijau gelap terlihat cocok dengan celana abu-abu yang dipakainya. "Siapa?" tanya nenek dengan nada ramah. "Namaku Ellysa, maaf telah menganggu Nenek. Saya boleh menumpang berteduh sebentar," ucapnya sopan . Ia sengaja tidak menyebutkan nama aslinya karena dia disini hanya numpang untuk berteduh. "Oh, ya, Cu, silakan masuk," ujar nenek itu ramah. Eisha melepas sepatu robeknya di samping pintu. Ia dipersilahkan untuk duduk di kursi dekat dengan perapian. Melepaskan jaket dan tas meletakkan di sampingnya. Rumah ini terlihat nyaman walau kecil. Semua dinding kayunya dihiasi dengan poster bambu. Susunan barang-barang diatur serapi mungkin. Di sisi kanan ruangan terdapat sepasang kursi darmen di tengah ada meja kaca berbentuk persegi panjang tiangnya terbuat dari kayu. Sedangkan di sisi kanan ruangan terdapat perapian. Suhu ruangan terasa hangat berkat perapian. Di samping kursi ada rak yang berisi buku-buku tebal. Di pinggir dinding terdapat pot-pot bunga kertas yang berjejer rapi. Pot-pot tersebut terbuat dari kertas koran sedangkan bunga dari kantong. Unik sekali. Wanita tua itu menuangkan secangkir teh hangat untuk Eisha. Aroma teh hangat menguar menggoda gadis itu untuk meminumnya. Ia mengambil cangkir tehnya meneguknya hingga tak tersisa. Badannya tidak dingin lagi. "Cu, apa yang kamu lakukan di hutan ini?" tanya nenek lembut ikut duduk di depan Eisha, membuka suara. "Saya mencari tanaman Axlin Balanz." Eisha meletakkan cangkir  teh yang sudah kosong di atas meja kaca bundar. "Untuk siapa tanaman obat itu?" tanya si nenek penasaran. "Sebenarnya, ini untuk tugas sekolah," sahut Eisha. "Apakah kamu telah mendapatkannya?" tanya Nenek. Eisha menggeleng. "Tidak Nek, saya belum menemukannya. Itulah saya pikir mungkin tanaman itu ada di sini." "Sebentar nenek ingat-ingat dulu..." Wanita yang menginjak usia enam puluh tahunan itu membenarkan letak kaca matanya yang turun. "Oh, ya, tanaman dengan daun berbentuk hati berwarna warna-warni dan memiliki buah berwarna kuning cerah kan'? Tanya Jasmine-- nenek itu menatapnya. " Iya, betul sekali. Apakah Nenek tahu dimana tanaman itu?" tanyanya semangat. "Nenek pernah melihatnya. Kalau tidak salah tanaman itu ada di dalam kerajaan Nousha," ucap sang nenek mengingat-ngingat.  "Nenek bisa tolong antarkan aku kesana?" pinta Eisha memohon. "Aku pulang Nek." suara seseorang terdengar lantas keduanya menoleh ke arah suara.  Seorang gadis berada di depan pintu masuk. Gadis itu memakai topi wol berwarna putih gading, sweater dan celana panjang yang juga berwarna putih gading. Nenek Jasmine tersenyum mempersilahkan gadis bersurai hitam itu duduk di dekatnya. "Ayo kenalan dulu." titah sang nenek melihat dua orang gadis yang seumuran hanya diam memandang satu sama lain. Gadis berlesung pipit memulai duluan. "Perkenalkan namaku Layla gadis manis dan ini nenekku yang cerewet Jasmine," ucap gadis itu tersenyum ceria.  Nenek yang diketahui bernama Jasmine menggelengkan kepala mendengar penuturan cucu kesayangannya yang mengatakan dia cerewet.  "Dasar cucu nakal." Nenek--Jasmine menepuk pelan kepala cucunya. "Itu fakta, Nenek memang cerewet melebihi Bibi Zao." Eisha tak kuasa menahan senyumnya menilik dua orang di hadapannya yang terbilang lucu. "Aku Ellysa," ucap Eisha mengenalkan nama yang sama. "Apa kamu tersesat?" tanya Layla memperhatikan tas merah yang terletak di samping gadis bermata hijau. "Tidak juga, aku mencari tanaman Axlin Balanz untuk tugasku tetapi aku belum bertemu," sahut Eisha lesu mengatakan yang sebenarnya terjadi. "Nenek istirahat dulu ya kalian bisa berbicara." Sekian beberapa detik diam memperhatikan, Nenek Jasmine memilih untuk membiarkan dua orang yang baru kenal itu agar lebih dekat. Jasmine masuk ke dalam kamarnya. "Oh, kamu sedang mencari tanaman yang aneh itu." Eisha mengernyit heran gadis itu bilang tanaman aneh apa maksudnya? "Maaf aku biasa menyebutnya dengan tanaman aneh karena menurutku, ya begitu." Eisha mengangguk mengerti. "Tanaman itu salah satu tanaman yang langka, tanaman itu hanya ada di dalam kerajaan Nousha," ujar Layla. "Kerajaan Nousha di mana itu?" tanya Eisha menautkan alisnya. "Eh, kamu tidak tahu nama kerajaan mu sendiri?" tanya Layla bingung. Eisha menggeleng.  Setahuku tidak ada kerajaan, batin Eisha. "Mungkin kamu tidak pernah keluar jadi kamu tidak mengetahuinya." Layla memakluminya. "Oh, ya, kamu berasal dari ras mana?" tanya Layla ramah. "Kalau aku elf," ucap Layla. "Ha, elf?" Eisha kaget bukan main, bukannya elf hanya dongeng anak-anak, lagipula telinganya tidak runcing. "Tak usah kaget begitu, aku menyembunyikan telinga runcingku." Gadis berambut hitam pendek mengusap kedua telinganya. Apa, bagaimana mungkin telinga gadis itu berubah menjadi runcing? batin Eisha. Eisha harus berhati-hati dengan gadis bertelinga runcing. Apalagi sampai tahu identitas yang sebenarnya manusia. Dari cerita yang pernah gadis baca elf tidak suka dengan kehadiran manusia. Elf bahkan membunuh manusia untuk hidup abadinya, batinnya. "Jangan melamun," kata cucu kesayangan Nenek--Jasmine mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Eisha. "Iya, aku tidak melamun." Eishia memutus lamunannya tersenyum. "Aku lanjutkan lagi ceritaku yang tertunda tadi. Jadi, di taman belakang kerajaan Nousha itu tumbuh banyak tanaman yang kamu katakan tadi. Tetapi mengambilnya tidak mudah karena tidak sembarang orang bisa masuk. Hanya orang yang memiliki kepentingan yang boleh masuk." Layla menarik napas sebelum melanjutkan. "Tetapi ketika ada pesta penjagaan di gerbang tidak terlalu ketat dan para penjaga pasti sibuk memberi ucapan selamat datang dan mengawasi tamu-tamu yang hadir. "Kamu beruntung malam ini akan diadakan pesta ulang putri Emilia yang ketujuh belas dengan tema pesta topeng. Jadi semua orang akan mengenakan topeng. Semua orang diundang ke acara pesta ini." ''Kita akan datang kesana sebagai tamu lalu ketika pesta dansa dimulai semua akan sibuk berdansa, kita akan keluar lalu memetik bunga itu." Eisha mengangguk setuju. "Baiklah ayo ke kamarku. Kita akan mempersiapkan semuanya." Layla menarik tangan Eisha ke kamarnya.  ************************************ Sementara itu di tempat lain. Di dalam sebuah ruangan yang mewah yang diterangi beberapa lampion yang digantung. Satu sosok sedang terbaring di atas ranjang berhias emas. Sosok Pangeran Sean yang begitu pucat dan tak bergerak sama sekali. Hanya detak jantung yang lemah dan napas beraturan yang menandakan sosok itu masih hidup. Di samping ranjang ada Ratu Celia yang sedang duduk memperhatikannya, sebelah tangannya mengusap pipi Sean yang dingin beralih mengusap rambut hitam putranya. "Kapan dirimu akan bangun, nak?" bisik Ratu Celia parau. Tetesan arus bening tanpa bisa dicegah turun beraturan bagai air hujan.  Wanita paling nomor satu di kerajaan Nousha kembali menangis dalam diam. Walau ia berusaha keras untuk tidak menangis tetapi ia tak bisa.  Seseorang mengetuk pintu pelan.  Dengan kasar permaisuri menghapus air mata yang tersisa sebelum bangun berbalik menatap dayang Liya.Dayang pribadi permaisuri Nousha membungkuk hormat.  "Silakan berdiri." Suara Ratu Nousha terdengar berwibawa saat mengatakannya. "Maafkan hamba, Ratu. Yang Mulia Raja meminta Yang Mulia Ratu untuk segera berkumpul di ruang raja," ucap Liya menunduk. "Katakan kepadanya aku akan segera ke sana." Dayang Liya izin undur diri sebelum keluar dari ruangan tersebut. "Bunda akan datang mengunjungimu lagi nak." Diciumnya dahi putranya yang terasa dingin. Permaisuri kerajaan Nousha melangkah meninggalkan ruangan tersebut. ************************************
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD