Chapter 3

1051 Words
Bruuk.... Sebelum tubuh Marsha jatuh dari undakan tangga bus, Rey berhasil meraih pinggang gadis itu dengan sigap. Menariknya hingga cowok itu terhuyung ke belakang bersama Marsha yang terjatuh ke pelukan Rey. "Akh ...." Rey meringis. Punggungnya terbentur lantai besi di dalam bus dan berbunyi bedebuk. Sedangkan Marsha masih memejamkan matanya rapat-rapat, enggan membukanya. Tak berani melihat darah yang menetes dari bagian badannya. Tapi begitu tidak merasakan apa-apa, Marsha keheranan. Mengapa tak sakit sama sekali? Apakah ia sudah ada di surga? Perlahan kedua mata Marsha terbuka, objek yang ia lihat pertama kali adalah badan yang terbalut seragam sekolah. Lalu matanya naik ke atas, melihat wajah kesakitan Rey. "Hah?" Otak Marsha masih mencerna apa yang terjadi. Jadi dia belum mati? Sekarang berada di bus bersama Rey. Bahkan menindih pemuda itu dengan mesranya. "Ehem, ehem." Beberapa dari mereka banyak yang berdehem. Bermaksud menggoda adegan yang terlihat mesra menurut mereka. Deg "Cie-cieee!" juga sebagian penumpang ada yang menyoraki mereka dengan suara kerasnya. Deg Muka Marsha memerah, segera bangun dari tubuh Rey. Malu dan gugup menyerangnya bertubi-tubi. "Kenapa kamu masih tiduran?" tanya Marsha asal. Berbasa-basi seraya mengibas-ngibaskan roknya dari debu yang menempel. "Eh, oh ya." Rey yang tadinya menatap Marsha lamat-lamat langsung bangun dan berdiri tegap. "Ayo sudah duduk. Sampe kapan kalian berdua mesra-mesraan, hah? Saya nunggu nih," omel supirnya kesal. Marsha dan Rey menunduk sebentar kepada pria paruh baya itu. "Maaf Pak, sekarang bapak boleh jalankan busnya." Marsha berjalan terlebih dahulu mencari tempat disusul oleh Rey. Setelah menemukan tempat yang pas, mereka duduk di bangku yang sama. Bedanya Marsha memilih bangku dekat jendela. Bus akhirnya berjalan sempurna, karena tadi gagal karena kejadian tak mengenakkan mereka. Dan sekarang suasana berubah menjadi canggung. "Uhm, makasih." Marsha berucap pelan. Melirik Rey yang juga meliriknya. Gerakan mengusap punggungnya berhenti. "Punggung kamu sakit ya?" tebak Marsha tepat sasaran. Rey mengangguk kaku. Duh, lo ngerepotin orang banget ya, Marsha. Dalam hati Marsha merutuki dirinya. Ia merasa tidak enak pada Rey yang tulus menolongnya. "M-maafkan saya." Giliran Marsha yang mengelus area punggung Rey yang tadi diusap oleh pemiliknya. Lelaki itu mematung, tegang saat merasakan aliran listrik yang disebabkan tangan halus Marsha yang menyengat ke seluruh saraf tubuhnya. "Gak, gak papa. Gue gak bisa ngebiarin orang terluka." Tawanya tampak dibuat-buat. Marsha mengernyitkan dahinya lalu tersenyum tipis. "Iya," angguknya pelan. Kemudian Marsha menjatuhkan pandangannya ke luar jendela. Di sana ada sosok mahkluk yang menempel di kaca jendela, wajah dan tangannya terus mengeluarkan darah. Wajahnya hancur tak berbentuk. Dia menyeringai lebar, tak henti-hentinya mengetuk-ngetuk kaca transparan tersebut. Suara ketukan yang hanya bisa didengar Marsha seorang. *** "Nenek, Kezia pulang!" seru Marsha setelah membuka pintu. Dia melepaskan sepatu yang melekat dikakinya dan meletakkannya di rak sepatu di samping kiri pintu. "Oh, kamu sudah pulang. Kok baru datang, malam gini." Neneknya kebetulan melihat cucunya didepan ruang tamu. Sambil membawa panci yang terlihat masih mendidih. "Nenek masak nasi? Kenapa gak nungguin Kezia sih?" Marsha dengan sigap mengambil sapu tangan yang terpasang di kedua telapak tangan neneknya. "Nenek pikir kamu pulangnya kecapekan. Jadi nenek aja yang masak malam ini." Wanita tua itu tersenyum melihat cucunya cemberut. "Harusnya nenek yang mikirin kesehatan nenek! Kalo nenek sakit kan aku jadi kepikiran, tau!" Kemudian gadis itu menyipit menatap panci yang kini dipegangnya. Rasanya ada yang salah. "Nah, sapu tangannya gosong. Nenek tadi habis ngapain?" Marsha memberi tatapan curiga pada neneknya, Cantika. "Gak ngapa-ngapain kok, Zia. Cuma tadi gak sengaja ke masak di kompor gasnya," cengir beliau. Marsha melotot, " Hah? Kok bisa sampe begitu?" tanyanya tak percaya. "Yasudah nenek tunggu aja dikamar. Nanti aku anterin nasi sama lauknya," ucap Marsha pada akhirnya. Nenek Cantika menurut, segera masuk ke kamarnya. Menunggu sang cucu membawakan makanan untuknya. Marsha menghela napas, sesampainya di dapur. Ia menaruh panci berisi nasi yang sudah ditanak nan matang itu di meja makan. Setelah menggulung lengan seragamnya, tangannya langsung berkutat dengan bahan makanan yang masih mentah. Ketika gadis itu sibuk mencincang daging ayam di wastafel. Juga darah segar ayamnya mengalir dan menyisakan bekasnya disekitar tangannya. Sesosok bayangan hitam mengintai dari bawah kolong meja makan, mengamati pergerakan lincah mangsanya dari jarak dekat. Menunggu waktu yang tepat untuk melancarkan serangannya. *** Tok tok tok "Marsha masuk ya, Nek?" Gadis itu sudah sampai di depan kamar Cantika, neneknya. Setelah mendapat jawaban dari dalam, akhirnya Marsha masuk. Meninggalkan semangkuk nasi serta lauk daging ayam yang masih hangat. "Dimakan ya, Nenek." Cantika perlahan bangun dari posisi baringnya. Mengambil sendok dan menyantap makanan buatan Marsha dengan khidmat. "Habis itu jangan lupa minum obatnya. Marsha ke kamar dulu, mau mandi." Cantika mengangguk mengiyakan. Marsha langsung ke luar kamar Cantika, segera ke dapur untuk mengambil tasnya yang sengaja ditaruh di kursi meja makan. Lalu berjalan menaiki tangga menuju lantai dua. Mandi jam segini memanglah menyegarkan, rasa lelah Marsha sedikit berkurang. Ia duduk di atas ranjang. Rambut basahnya yang dililit handuk agar cepat kering. Marsha menatap sekilas lentera berwarna hitam pekat di meja belajarnya. Lentera yang dibawakan oleh Alice tampaklah aneh. Alice yang sekarang menjadi peliharaannya membawakan langsung lentera itu kepadanya. Bukankah itu aneh? Kalau dipikir-pikir lagi, mana mungkin kucing biasa yang bisa membawanya. Kucing biasa tidak sepintar itu membawa barang yang sebenarnya tak terlalu menarik perhatian hewan seperti Alice. Apakah benar kata kakeknya sebelum meninggal, Alice itu bukan kucing sembarangan? Tapi jika Marsha perhatikan dengan saksama, tak ada hal yang menurutnya dari penampilan Alice. Mungkin kakeknya sedang bercanda, tak mungkin kucing seperti Alice punya sesuatu yang disembunyikan. Ya, kucing hitam itu pastilah hewan biasa. Saat ini, Alice tengah tertidur lelap di kasur kecil yang dibuat Marsha beberapa hari yang lalu. Tempatnya mirip seperti keranjang buah, tapi berukuran besar dan simpel membuatnya. Hanya cukup menambahkan bantal mini pada keranjangnya yang terkesan lucu. Sebuah ide muncul di otak cantiknya, Marsha tersenyum. Ia mendekati keranjang Alice, memperhatikan Alice yang mendengkur halus. Ia menoel-noel telinga dan perut Alice. Ingin mengusili kucing hitam itu yang posisinya menyembulkan kepalanya yang bertumpu pada kaki depannya. Tentu saja cara Marsha tidaklah berhasil, Alice tak terlihat terusik. "Aduh, Alice lucunya. Tidurnya kebo gitu." Marsha terkekeh. Tak lagi memikirkan perkataan kakeknya sehari sebelum beliau meninggal. Tiba-tiba terdengar bunyi benda jatuh, Marsha terkesiap. Matanya menoleh dan mendapati sebuah buku tebal bersampul coklat tergeletak tepat dua jengkal dari tempat jongkoknya. "Lho, kok bisa jatuh?" Marsha bertanya. Netra hitamnya tak menemukan apa-apa yang menjadi penyebab buku itu jatuh. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD