"Lho ... kok bisa jatuh?" Marsha bertanya. Netra hitamnya tak menemukan penyebab buku tebal itu jatuh. Sementara ia celingukan ke sana- sini. Apa bergerak sendiri?
"Tapi kok gue ngerasa ada yang ... jatuhin ya?" Marsha berdiri dan melangkah demi memungut buku tebal bertuliskan 'Sejarah Tumbal Tujuhan' itu ke tempatnya semula. Suasana horor membuatnya sedikit bergidik.
"Apa cuma perasaan gue aja ya?" Marsha merasakan bakal ada sesuatu yang akan terjadi. Tapi ia tak tahu apa itu.
"AKHH!" Suara jeritan terdengar dari rumah disebelah kamar Marsha. Dia menoleh ke arah jendela yang menghubungkannya dengan jendela rumah tetangganya. Jaraknya se-hektar bila diukur menggunakan tangannya.
Marsha tak kaget lagi ada tetangganya yang kesurupan. Marsha mengerti alasan di balik kesurupan tetangganya. Karena dirinya pernah sekali mengunjungi rumahnya, hari di mana tetangganya terakhir kali kesurupan. Dan dia melihat bagaimana kejadiannya sampai seperti itu lewat mata batinnya.
Tetangganya bernama Sari, perempuan berumur 30 tahun. Berstatus single parents mengurusi anak laki-lakinya yang penyakitan. Anaknya yang masih 10 tahun itu membuat sang ibu harus banting tulang menafkahinya. Siang dan sore sampai malam Sari baru pulang. Bekerja sebagai karyawan pabrik di suatu daerah terpencil. Mereka keluarga yang sederhana. Anaknya jatuh sakit dan harus dibawa ke rumah sakit. Anaknya menderita gagal ginjal stadium 3 dan perlu dioperasi. Biayanya tak murah bagi Sari. Gajinya hanya cukup membayar seperempat biaya operasinya. Dan mesti lunas setelah dilakukannya operasi. Sari kebingungan mencari hutang, tak ada yang mau meminjamkan uang kepadanya. Sampai pada akhirnya ada di rumah dukun, ia meminta bantuan.
Dukun-nya mau dimintai bantuan, tapi dengan sebuah syarat. Dan itu memerlukan darah janda. Sari yang tak punya pilihan lain akhirnya mengiyakan.
Operasinya berhasil dan biayanya terbayar lunas. Tetapi penderitaan itu berlangsung setiap malam, memberikan sesajen berupa dua kantong darah ke jin peliharaan dukun tersebut.
Sari yang sudah tak kuat lagi melakukannya berhenti melakukannya. Dan kesalahan itu membuat jin peliharaan dukun sakti itu murka. Sebagai gantinya Sari menjadi gila dan kadang kesurupan setiap malam Jumat.
"ARGH ...."
Jeritan memilukan itu terus-menerus menjadi alunan musik pengantar tidur untuknya. Marsha menarik napas. Aura ini berbeda dari biasanya. Warna aura yang mengelilingi Sari berwarna merah. Biasanya berwarna hitam.
"Apalagi ini?" Marsha mendengkus. Lelah mendengar suara kesakitan Sari yang semakin nyaring. Lalu ia menaruh buku bersampul coklat berukuran tebal itu di atas meja. Tepat disebelah lentera tua.
"Gue capek, jangan ganggu!" Marsha menyelimuti dirinya dengan selimut tebal. AC di kamarnya terasa sangat dingin, Marsha dibuat menggigil.
Berharap matahari cepat datang, menyelamatkannya dari segala gangguan yang ada pada malam penuh keanehan tersebut.
***
Jam istirahat tiba, anak-anak kelasnya berhamburan untuk berpencar. Marsha yang kelupaan membawa bekal pada akhirnya menikmati angin yang berhembus pelan di taman belakang sekolah.
"Huft ...." Marsha memejamkan matanya. Tempatnya sangat sejuk, cocok untuk meringankan mood gadis itu yang sedang buruk.
Saat membuka matanya, seorang gadis tertangkap indra penglihatannya. Sosoknya berambut coklat terurai dengan baju terusan berwarna kuning terang. Mencolok sekali di antara lautan puluhan murid yang ada di kantin sekolah. Jarak kantin dan taman tak begitu jauh. Dari sana Marsha dengan leluasa dapat mengamati murid cowok dan cewek yang berlalu lalang memesan makanan.
Tepukan pelan mampir ke kedua bahunya membuat lamunan Marsha tentang sosok seketika buyar.
Marsha menoleh, cowok itu sudah ada di sebelahnya.
"Lo lagi ngapain? Ngelihatin siapa?" tanyanya. Marsha hanya menggeleng.
"Rahasia," jawab Marsha singkat. Cowok itu mendengus.
"Jangan lirik yang lain. Lirik aku aja, ya?"
Marsha menatapnya datar, tak berekspresi sama sekali.
"Idih, jangan kayak gitu tatapnya, mematikan. Kan gue jadi takut."
"Takut apa?" Gadis itu merasa ucapan Rey yang menggantung.
"Takut jatuh cinta sama kamu."
"Maaf ya, siapa kamu?" Marsha memutar bola matanya.
"Oh kalo lo lupa. Oke, gue bakal perkenalkan diri lagi. Nama gue Abrisam Reynand, cowok paling ganteng di SMA Jagat Raya," katanya dengan kepercayaan diri yang tinggi.
"Tolong ya masnya jangan sok kenal sama saya." Rey cemberut. Ia menyenderkan badannya ke bangku putih yang sama dengan Marsha.
"Ya kali gue ingetin lagi siapa yang gue tolongin kemarin," katanya kesal.
"Saya juga mau ingetin kalo mengungkit-ungkit kebaikan yang pernah dia lakukan, pahalanya berkurang, dosanya nambah. Masuk neraka deh." Marsha mengeluarkan smirk miliknya.
"Marsha, sudah jangan bahas neraka surga ah. Aku takut, tau!" Rey terlihat memelas.
"Lagian kenapa sih lo pake bahasa saya-kamu gitu. Formal banget kayak guru BK kita."
"Oh gitu. Ya udah saya pindah aja biar kamu gak risih." Marsha melirik tangannya yang ditahan oleh Rey.
"Jangan pindah, gue gak mau ditinggal pindah hati."
Marsha berhenti, kemudian menatap tangan Rey yang nangkring manja di lengannya. Rey terkesiap. Melepaskan pegangan tangannya yang menahan lengan Marsha.
"Kamu mau merayu saya kayak mereka?" Buru-buru Rey menggeleng.
Marsha menatap lama Rey, menyelami lautan coklat itu dalam-dalam. Alasannya hanya untuk iseng, tapi malah tenggelam di dalamnya.
"Eh?" Rey salah tingkah. Ia tersipu malu ditatap seperti itu oleh Marsha.
Marsha menangkap kilasan mata lalu yang ada pada mata coklat Rey. Kesengsaraan, tangisan, dan raungan tersimpan disana.
"Mama ...."
"Mama dimana?"
"Ayah?"
"Ayah, Abri yang salah. Jangan bunuh ibu, ayah!"
"Gue tau kalo gue ganteng."
Marsha berkedip beberapa kali. Beruntung kilasan waktu yang mengerikan itu sudah menghilang dimatanya.
Namun, mendadak ia kesal. Baru saja ia ingin bersimpati karena iba kepada Rey. Cowok itu malah merusaknya dengan begitu mudahnya.
"Gak usah kegeeran kamu. Ada belek di mata kamu, makanya saya liatin!" ketusnya.
"Hah, dimana?" Rey gelagapan. Ia malu setengah mati.
***
Bel masuk sekolah telah berbunyi, 11 IPA 2 jadwalnya adalah pelajaran Bu Maya, guru paling killer di semua angkatan.
"Sudah bel masuk ya? Kok gak kerasa sih?" Rey mendengus sebal. Seakan tak rela waktunya sudah habis.
"Memangnya kenapa? Kamu mau bolos?" Rey menggaruk tengkuknya, bingung mau menjawab pertanyaan gadis itu.
"Hehe." Dia berpikir lalu akhirnya mengangguk. Muka bloonnya dihiasi senyum cengengesan.
"Kamu kelas 11 apa?" Marsha bertanya sinis.
"Uhm, ngapain nanya-nanya gitu?" Rey menyodorkan tatapan curiga pada gadis itu.
"Mau saya laporin kalo ada yang mau bolos," ucap Marsha santai. Rey melotot panik.
"Heh, jangan gitulah, beb. Lo mau biarin calon lo masuk penjara?"
Marsha menyipit.
"Hah? Apa maksudnya beb dan calon?" Marsha mengulangi kata yang dirasanya kurang jelas.
"Lo gak tau?"
"Enggak." Marsha menggeleng pelan,
"Karena omongan lo gak jelas, cowok gagap!" seru gadis itu ngegas.
Rey yang mendengarnya dibuat menyengir. Cowok itu terdiam, bingung menjelaskannya bagaimana.
"Ah, gue mau balik ke kelas. Lo juga?" tanya Rey. Berharap bisa mengalihkan topik pembicaraan.
"Ho oh." Marsha mengangguk. Lantas bergegas kembali ke kelasnya. Untungnya gadis itu tidak dikatakan telat, kabarnya Bu Maya belum datang.
"Syukurlah ... gue gak telat," gumamnya lega. Menyiapkan buku cetak, buku tulis latihan, dan peralatan tulis. Lalu menaruhnya rapi di permukaan meja.
"Sekarang kita adakan kuis ya?" Semua mata auto keluar dari tempatnya. Kecuali Marsha yang memasang raut wajah biasa saja.
"Oke ibu sudah siapkan pertanyaannya. Dan yang menjawab nomor satu adalah ...." Bu Maya menulis soal pertanyaan dipapan tulis. Matanya melirik tajam ke arah anak laki-laki yang ketiduran di bangkunya.
"Yang lagi tidur. Cepat berdiri!"
Bu Maya masuk kelas tanpa suara, seperti menandakan kalau beliau sedang banyak pikiran. Makanya sampai membuat kuis yang menggemparkan satu kelas begini.
Laki-laki itu terbangun, menunjukkan muka bantalnya. Ia kebingungan melihat seisi kelas menatapnya.
Marsha hanya tenang ditempat duduknya, menulis coretan dibuku latihannya. Tak peduli jika semua kecuali dirinya tegang akan situasi sekarang.
Ia terhanyut dalam asyiknya mencoret-coret kertas, menciptakan gambar abstrak yang hanya yang ia tahu.
Sebuah tarikan pelan ia dapatkan di bagian rok abunya, membuat Marsha menunduk cepat. Perasaan kesal Marsha menyembul ke permukaaan.
***