--------------
Hari ini Jordan tak masuk kerja. Ia mengajukan cuti selama dua belas hari untuk menjaga anak dan istrinya.
Entahlah, Jordan merasa benar-benar ada hal yang tidak beres dengan istrinya. Oleh karena itu, ia harus mencari tahu.
Setelah kejadian tempo hari, Jordan merasa khawatir jika harus meninggalkan anak dan istrinya.
Takut jika Kirei berbuat hal yang sama kembali kepada anak semata wayangnya.
"Sayang, maafin Mas, ya! Pokoknya kamu jangan banyak pikiran karena selama dua belas hari ini, aku yang akan melayani kalian." Jordan melemparkan seulas senyuman kepada Kirei.
"Kenapa memangnya? Kalau mau kerja, ya, kerja aja. Aku bisa, kok, di rumah berdua dengan Zidan," ucap Kirei.
"Ah, enggak apa-apa. Mas kira akhir-akhir ini kita jarang punya waktu berkumpul bersama. Makanya Mas ambil cuti."
Kirei memandang Jordan dengan tatapan penuh selidik.
********
Jordan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga. Ia ingin istrinya benar-benar istirahat untuk beberapa hari.
Jordan merasa bersalah kepada istrinya. Ia masih berpikir positif jika Kirei berbuat kasar pada anak mereka hanyalah sebua kekhilafan.
"Mas, kenapa sih kita gak ambil asisten rumah tangga aja? Aku capek , Mas. Kamu juga pasti ngerasa berat, kan, kalau harus ngerjain kerjaan rumah tangga kayak gini?" Kirei duduk di kursi meja makan sedangkan suaminya tengah memasak.
Jordan menoleh ke arah Kirei sembari tersenyum. "Gak bisa, Sayang ... kamu, kan, tahu sendiri kalau gajiku gak akan cukup kalau harus dibagi-bagi dengan asisten rumah tangga. Apalagi sekarang Zidan harus minum s**u formula. Jadi, kita harus berhemat."
Kirei mencebik. Ia merasa kesal. Padahal, suaminya merupakan anak dari konglomerat. Namun, selalu saja hidup mereka jauh dari kemewahan.
"Mas, apa kamu akan selamanya seperti ini? Hmm, maksudku ... apakah kamu gak ada niat buat memimpin Abraham Company?" Kirei menggigit bibir bawahnya sendiri.
Ragu-ragu ia bertanya. Ada rasa takut dalam diri Kirei. Takut jika Jordan tersinggung dengan pertanyaannya.
Jordan menghela napas panjang. Ia tahu jika istrinya selalu berharap kalau dirinya segera masuk ke perusahaan itu. Namun, sampai saat ini ia benar-benar belum merasa pantas untuk memimpin perusahaan itu.
"Suatu saat pasti aku akan ke sana, Sayang," jawab Jordan.
"Selalu aja jawab seperti itu. Kapan kamu merasa pantasnya?" gumam Kirei.
"Apa, Sayang? Kamu ngomong sesuatu?" tanya Jordan.
"Ah, enggak ... aku gak ngomong apa-apa," jawab Kirei sembari mengerucutkan bibirnya.
Jordan menata makanan yang telah matang di meja makan. "Yuk, kita makan dulu! Pasti udah laper, kan?"
Kirei mengangguk pelan. Sepasang suami istri itu makan dengan lahap. Sementara itu, anak mereka terlelap di kamar.
*******
Seminggu sudah Jordan berada di rumah dan mengerjakan semua pekerjaan Kirei.
Seminggu ini pula Jordan selalu mengawasi gerak-gerik Kirei. Melihat perubahan-perubahan sekecil apa pun dari istrinya itu.
Namun, selama seminggu ini tidak ada hal yang aneh dari Kirei. Istrinya selalu tersenyum dan memperlakukan Zidan dengan sangat baik.
Apakah kejadian kemarin hanya sebuah kekhilafan? Semoga saja.
"Sayang, aku mau ke depan sebentar, ya. Ada bumbu yang harus aku beli ... ditempat bumbu udah habis," ucap Jordan.
"Iya, jangan lama-lama!" jawab Kirei.
Jordan pergi dengan menggunakan motor.
********
Satu jam telah berlalu, tetapi Jordan belum juga kembali.
Kirei mulai merasa khawatir ditambah Zidan terbangun dan menangis. Kirei jadi bingung.
Kirei menggendong Zidan dan berusaha menenangkan anak itu. Namun, suara tangis Zidan semakin kencang.
"Duuuh, jangan nangis dong, Nak! Ayahmu juga ke mana, sih, udah lama gini juga?" Kirei celingukan melihat ke arah luar, tetapi tak ada tanda-tanda suaminya kembali.
Kirei membuatkan s**u untuk Zidan dan meminumkan s**u di botol itu kepada Zida. Berharap anaknya itu akan berhenti menangis dan kembali tertidur.
Akan tetapi, usahanya sia-sia. Zidan tak mau minum s**u dan suara tangisnya semakin pecah.
Hal itu membuat Kirei frustrasi, bahkan emosi.
"Aargh, jangan berisiiiik! Aku pusing tahuuu!" seru Kirei.
Kirei membanting botol s**u dan membaringkan Zidan di kasur dengan kasarnya. Tanpa ia ketahui, Jordan mengawasinya di ambang pintu kamar.
Jordan sebenarnya tidak pergi membeli bumbu. Ia memutar balik motor dan menyimpan motornya di belakang dan ia pun masuk rumah lewat pintu belakang.
Jordan melihat semua tingkah Kirei. Dia berjalan ke arah ruang tamu dan ....
"Sayang, Mas pulang 'ni ...," teriak Jordan.
Jordan sengaja melakukan itu. Dia berpura-pura baru datang.
"Eh, Mas udah pulang? Kok, gak kedengeran suara motornya?" tanya Kirei.
Jordan memandang lekat ke arah Kirei yang telah menggendong kembali Zidan.
"Masa, sih, gak kedengeran? Itu Zidan kenapa nangis?"
"Gak tahu aku juga, Mas. Bingung aku juga tiba-tiba dia nangis," jawab Kirei.
"Sini biar Mas yang gendong!" Jordan mengambil Zidan dari gendongan Kirei.
Jordan terlihat lebih luwes menggendong Zidan dibandingkan Kirei. Bahkan Zidan langsung terduam beberapa saat setelah digendong ayahnya.
*******
Malam begitu pekat, sepekat otak Jordan yang memikirkan apa sebenarnya yang telah terjadi.
Jordan memandang ke langit-langit kamar yang bernuansa hijau ini. Pikirannya melayang ke mana-mana.
Apakah kesalahanku benar-benar telah merubahmu menjadi seperti itu? Kamu seperti orang asing yang tak kukenal lagi.
Jordan menoleh ke arah anak dan istrinya yang telah tertidur lelap.
Rasa sayang pada keduanya tidak bisa dibanding-bandingkan.
Kirei adalah wanita yang sangat ia cintai. Wanita yang selalu mendukungnya dalam segala hal. Ibu dari anaknya.
Zidan adalah darah dagingnya bersama Kirei. Buah cinta mereka berdua. Rasanya tidak mungkin jika Kirei merasa tersaingi oleh anaknya sendiri.
Lelah memikirkan masalah yang seolah tak ada ujungnya. Jordan pun terlelap dengan sendirinya.
*******
Jordan kedatangan tamu. Haris--teman kantor Jordan--datang berkunjung. Bisa dibilang Haris adalah sahabat Jordan.
"Silakan diminum, Mas Haris!" Kirei membawa nampan berisi dua cangkir teh manis dan beberapa kue. Ia menata semua itu di atas meja.
"Iya, makasih, Rei. Jadi ngerepotin, nih," jawab Haris.
"Ah, enggak, kok. Oya, aku tinggal dulu ya. Zidan bangun."
"Iya, iya ...."
Haris mengambil beberapa kue dan melahapnya.
"Gimana keadaan istrimu?" tanya Haris sambil mengunyah makanan.
"Yaa, gitulah," jawab Jordan singkat.
"Gitu gimana maksudmu?" Haris mengernyitkan kening.
"Bingung gue juga. Kadang dia baik, terlihat sayang banget sama Zidan, tapi kadang dia kayak yang benci banget sama Zidan."
"Kok, bisa?"
"Ya, makanya gue juga bingung."
Jordan menceritakan semuanya pada Haris. Berharap sahabatnya itu bisa membantu masalah yang tengah ia hadapi.
Jordan sengaja mengajukan cuti kerja hanya untuk mengawasi Kirei. Ingin mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi pada istrinya itu.
Haris mantuk-mantuk kepala. Mulutnya tidak berhenti mengunyah.Dia benar-benar menjadi pendengar setia.
"Kalau dari semua yang lo ceritain, sepertinya istri lo harus dibawa ke psikiater, deh," ucap Haris dengan tenangnya.
Bola mata Jordan membesar. "Lo kira Kirei itu gila apa harus dibawa ke psikiater segala?"
"Tenang, Bro, tenang. Rileks ... lo kan tahu sendiri kalau yang ke psikiater itu bukan berarti gila."
Jordan terdiam. Berpikir sejenak. Benar kata Haris. Orang yang mendatangi psikiater belum tentu gila.
"Tapi, apa Kirei mau? Gimana cara gue membujuknya?" tanya Jordan.
"Ya, tentu saja harus meyakinkan Kirei. Bicaralah dari hati ke hati dengannya!"
Jordan kembali terdiam. Dia benar-benar harus membujuk Kirei.
Bersambung ....
--------------------