BAB 2. Bia

1855 Words
Aku adalah gadis biasa saja. Seorang sarjana Psikologi yang berharap bisa bekerja di sebuah Rumah Sakit untuk meringankan beban orang lain. Tapi siapa yang menyangka bahwa ternyata Tuhan memberikan beban kepadaku lebih berat dari yang aku duga. Untuk menyelamatkan diri sendiri saja saat ini rasanya sudah tidak sanggup lagi, bagaimana aku bisa menyelamatkan orang lain. Sehingga ketika seorang laki-laki yang dengan baik hatinya mengijinkanku bersembunyi di kamarnya menawariku sebuah tawaran balas dendam atas semua hal yang dilakukan Dio padaku dan keluargaku, tanpa pikir panjang aku menyetujuinya. Tapi kemudian setelah aku akhirnya ditinggalkan sendiri di dalam kamar hotel itu karena dia ada urusan pekerjaan, otakku mulai bekerja dan mengutuki keputusanku. Dia bilang membeli tubuhku, apa yang dia maksud aku harus melakukan itu dengannya? Aku memukuli kepalaku yang bodoh. Dalam kesedihan mendalam yang sedang parah-parahnya, aku juga merasa sangat menyesal atas keputusan bodoh yang aku ambil. Mungkin ketika dia pulang nanti aku akan menanyakan lebih jelas mengenai apa yang dia maksudkan tadi. Tepat jam makan siang dia pulang tapi rayt wajahnya tampak tidak bersahabat. Dia kemudian mendapatkan sebuah panggilan telpon dan marah-marah. Mungkin dia baru saja mengalami hari yang buruk. Aku bahkan sempat mendengarnya mengumpat keras yang kemudian langsung dia hentikan ketika matanya melihatku terpaku menatapnya. “Pakai ini!” Ucapnya menyerahkan sebuah paper bag ke padaku. Yang bisa aku intip berisi sebuah baju. Aku mengangguk saja kemudian menuju kamar mandi dan memakainya. Sebuah dress selutut berwarna putih dengan mantel tebal berwarna hitam. Dan ada sebuah kain yang seperti kerudung di sana. Aku kemudian keluar setelah mengenakan pakaian yang dia berikan dan melihatnya kembali berdebat dalam telponnya. Sehingga aku memilih untuk duduk di sofa karena tidak mau mencampuri urusannya. “Ayo kita pergi1” Ucapnya sambil beranjak tanpa menoleh ke arahku. Aku ikut bangkit dan mengekorinya. “Maaf Alden kita mau kemana?” Tanyaku setelah kami melaju menggunakan mobilnya. Dengan supir yang tampak kekar di depan sana. “Nanti juga kamu tahu.” Jawabnya tanpa menoleh. Matanya fokus pada tablet di tangannya yang sepertinya tentang pekerjaan. Sehingga aku memilih diam sambil menikmati perjalanan untuk sekedar menghibur didiku sendiri. Lalu mobil yang kami naiki berhenti di sebuah pemakaman, mataku memanas mengetahui tujuan ini. “Kita lewat belakang.” Ucapnya menarikku menuju sisi lain dari tempat itu. Kemudian berhenti dan menahanku di belakang sebuah semak belukar yang menutupi keberadaan kami. Di depan sana, tampak beberapa pegawai di rumahku sedang menangis menghadap pusa ibu dan ayahku. Dan diantara semua orang yang datang dari rekan kerja ayah dan ibuku ada Dio yang terlihat ikut sedih. Tapi aku sangat tahu jika dia sedang berpura-pura. Aku yang penuh kemarahan hendak maju untuk menghampirinya dan mungkin memberikan beberapa pukulan tapi ditahan Alden. “Kita datang ke sini hanya untuk melihat, belum saatnya memberi dia pelajaran. Lagipula orang seperti dia pantas mendapatakan sebuah pembalasan dendam yang lebih manis dari sekedar pukulan. Tahan emosimu Bia.” Bisik Alden membuatku menoleh ke arahnya dengan mata memanas dan kemudian sebutir air mata jatuh di pipiku dan langsung aku hapus. “Ya benar, dia harus mendapatkan pembalasan yang jauh lebih manis dibanding sebuah pukulan.” Ujarku mengulangi perkataan Alden. Kemudian laki-laki itu menyeringai. Sebuah seringai yang dimataku cukup menyeramkan, tapi dibanding Dio yang selalu terlihat manis entah kenapa aku merasa bahwa Alden ini jauh lebih baik. Sekalipun aku tidak mengenal siapa dia sebenarnya. Aku hanya tahu diaorang kaya yang mungkin tersesat menginap di sebuah hotel murah. Karena dia memiliki pengawal dan mobilnya juga mobil yang terlihat mahal. Hanya beberapa menit dan Alden sudah kembali mengajakku kembali masuk ke dalam mobil. Dan kami pergi dari sana. Untuk beberapa detik sebelum pergi, aku kembali menoleh ke tempat dimana kedua orang tuaku dimakamkan. Mengucapkan selamat tinggal di dalam hati dan kembali menitiikkan air mata. Masih ku ingat jelas ayahku selalu mengatakan bahwa aku adalah anak satu-satunya milik mereka yang artinya pundakku harus kuat karena semua tanggungjawab akan jatuh ke pundakku kelak. Aku juga masih ingat jelas perkataanya yang melarangku menjadi perempuan cengeng. Aku harus fokus pada masa depan dan berbuat baik pada orang lain. Menurutnya, sehebat apapun manusia jika tidak mampu bermanfaat buat orang lain maka tidak ada gunanya. Sejak kecil beliau selalu mengajariku untuk berbagi dengan mengajakku bermain ke beberapa panti asuhan jika aku sedang libur sekolah. Dan yang paling beliau ketatkan adalah, sebagai seorang perempuan aku harus selalu menjaga kehormatanku. Tapi mengingat perjanjian yang aku setujui dengan Alden kemarin apakah aku akan membuat kecewa ayahku nanti? Memikirkan itu membuat dadaku bergejolak. Aku tidak bisa melakukan itu, tapi aku harus bagaimana jika tidak bergantung pada perlindungannya? Aku adalah gadis lemah yang tidak memiliki apapun lagi sekarang. Sehingga yang bisa aku lakukan sekarang hanya menangis dalam diam. “Ayo turun!” Perintah Alden dan aku baru sadar mobil yang kami naiki sampai di sebuah klinik. Aku mengekorinya dalam diam kemudian dia tampak berbicara pada seorang dokter yang sepertinya dia kenal dengan akrab. Yang rupanya membicarakan mengenai lukaku. Karena setelah itu seluruh lukaku mendapatkan perawatan yang lebih baik. “Terimakasih segalanya Bro, dan ingat keep in secret.” Ucap Alden yang dibalas jempol oleh sang Dokter kemudian kami kembali pergi dari sana menuju ke hotel. “Anuu, ituuu bolehkah kita bicarakan lagi soal perjanjian yang kamu tawarkan.” Ujarku gugup ketika kami sampai kembali di hotel. “Tidak ada penawaran ualang Bia, kau sudah setuju berarti sudah sah. Aku benci orang yang berubah-ubah seenaknya.” Jawabnya sambil membereskan kopernya. Sepertinya dia akan pergi. Lalu pertanyaanku adalah apakah aku harus ikut dengannya atau aku akan di tinggalkan begitu saja. “Aghh begitu.” Cicitku takut-takut. “Ayo pergi sedang apa disitu?” Ucapnya setelah dia mendorong kopernya hampir ke pintu tapi aku tetap diam. “A-Aku ikut?” Tanyaku takut-takut. “Tentu saja Bia, aku sudah membelimu ingat?” Ujarnya mengingatkanku lagi tentang perjanjian semalam. Kemudian aku mengangguk saja dan mengikuti langkahku. “Kita mau kemana?” Aku bertanya pelan. Sudah cukup lama menahan pertanyaan ini karena sepertinya Alden ini tidak suka di beri pertanyaan. Tapi setelah melihat jalanan ini menuju tempat yang tidak aku kenali aku tidak bisa diam saja. “Ke apartemenku.” Jawabnya singkat seperti biasanya. Aku mengangguk saja menikmati pemandangan di jalan yang cukup menghiburku diantara semua rasa sakit ini. Perjalanan kami cukup jauh hingga tanpa sadar aku tertidur dalam rasa lelah dan terbangun ketika Alden mengguncang pundakku dan ternyata hari sudah gelap. Aku mengerjap beberapa kali dan aku melihat dengan jelas sebuah parkiran luas dengan jajaran mobil-mobil bagus terparkir disana. Aku bisa menilai bahwa kami berada di sebuah gedung apartemen mahal. “Ayo Bia turun kita sampai.” UcapmAlden turun dari mobil dan mulai berjalan tanpa menoleh ke arahku. Lagi-lagi matanya fokus pada tabletnya. Tapi kemudian mataku melihat gerak-gerik seorang pria yang mencurigakan tidak jauh dari tempat kami. Mataku membole ketika dia mengeluarkan pistol dan mengarahkannya pada Alden. “Dorrr!” Sebuah tembakan memekakan telinga membuatku menjerit tapi untung saja aku berhasil mendorong Alden menuju belakang sebuah mobil walaupun bahuku harus terluka karena terjatuh. “Brengs3k.” Alden mengumpat. “Kamu terluka?” Tanyanya. Aku mengangguk sambil memegangi bahuku. Alden memelukku sambil tetap bersembunyi di belakang mobil. Aku bisa mendengar suara tembakan beberapa kali lagi dan suara derap langkah banyak orang berkejaran setelah itu cukup hening. Aku gemetar hebat, karena ku rasa kehidupan Alden tidak sesederhana yang aku pikirkan. “Ayo kita pergi dari sini.” Bisiknya lagi. Membantuku berdiri membungkuk dengan pelan, memastikan keadaan sekitar kemudian menggandeng tanganku dan berlari masuk ke dalam gedung. Menuju sebuah lift yang aksesnya menggunakan sidik jarinya kemudian membawa kami naik ke lantai yang sangat jauh ke atas. Alden terus memegangi punggungku sementara tanganku menekan bahuku yang sakit sekali sambil meringis. “Terimakasih sudah menolongko Bia.” Ucapnya pelan. Aku mengangguk saja. Karena sepertinya Alden tidak begitu suka jika aku berbicara atau menangis. Karena itu sebisa mungkin aku akan menghindarinya. Lalu ketika lift yang kami naiki membuka, reflek aku mundur satu langkah karena disana ada beberapa orang berpaiakan hitam menodongkan pistol ke arah kami. Wajah Alden sulit dibaca ekpresinya tapi terlihat lebih tenang dari dugaanku. “Kau pikir kali ini bisa kabur?” Ucap lsalah satu laki-laki berbaju hitam itu. Maju selangkah dan menodongkan pistol itu lebih dekat ke arah Alden. Dia terus berbicara dengan kalimat ejekan ke arah Alden, aku memperhatikan mereka sambil bersembunyi di punggung Alden. Tapi setelah aku melihat mereka tampak lengah saat tertawa, Aku menedang si pemegang pistol, menekuk tangannya dan membantingnya ke tembok hingga pistolnya terlepas dan aku menangkapnya. Kemudian gantian aku menodongkannya ke arahnya. Ku lihat Alden menyeringai. “Tembakkan saja Bia, tepat di kepalanya.” Ucapnya dengan senyuman lebar. “Kalian mudur!” Teriakku pada beberapa anak buah si lelaki yang aku todong pistol ini. Mereka mundur karena sang boss menyuruh mereka mundur. Aku bersyukur karena aku belajar bela diri sejak masih sekolah dasar dan sempat memenangi beberapa perlombaan. Tapi baru kali ini hal ini benar-benar berguna. Lalu reflek aku benar-benar menembak dan mengenai kaki sang boss ketika dia bergerak hendak merebut kembali pistol di tanganku. Dia lalu terjatuh sambil ke sakitan dan Alden bertepuk tangan dengan gembira. “Sayang sekali meleset Bia, sudah ku bilang kenai kepalanya.” Kekehnya. Aku berharap Alden mengambil tindakan karena tanganku gemetar setelah melepaskan satu peluru. Aku tidak pernah memegang pistol sungguhan sebelumnya, tapi aku beberapa kali pernah ikut ayahku belajar menembak. Jadi aku cukup tahu seluk beluk pistol. Tapi tetap saja ini berbeda dengan pistol yang biasa aku pakai dalam belajar menembak objek bersama ayahku dan sejujurnya aku takut sekali. Tapi seolah mengerti ke adaanku, Alden menarik sang boss dan memasukkannya ke dalam lift, mengambil pistolku dan menodongkannya tepat di kepala sang Boss. “Masuk ke dalam sana dan pergi dengan manis atau kalian semua mati ditangaku.” Ucap Alden dan semua laki-laki berpakaian hitam itu menurut. Tapi setelah semua orang itu masuk dan lift hampir tertutup rapat, Alden melepaskan sebuah tembakan ke dalam sana dan aku tidak tahu mengenai siapa dan sebelah mana karena aku reflek menunduk takut. “Ayo Bia kita pergi dari sini, disini sudah tidak aman lagi.” Ucapnya membantuku berdiri. Menggandeng tanganku dan pergi melalui sisi pintu yang lain. Kami masuk ke sebuah mobil lain di tempat parkir lain yang juga berisi banyak mobil mewah dengan kunci yang tergantung rapi di sebuah kotak kaca yang juga hanya bisa di buka menggunakan sidik jari Alden. Lalu kami kembali melaju ke tempat lain yang cukup jauh juga. Bisa ku dengar Alden mendesah lelah. “Ka-kamu tidak terluka?” Tanyaku gugup. Dan tanpa ku sangka aku bisa melihat dia tersenyum sekarang. Bukan jenis senyuman yang mengerikan seperti biasanya. “Aku baik-baik saja.” Jawabnya membuatku mengangguk. Lalu kami sampai di sebuah rumah kecil yang terlihat asri. Tapi melewati gerbangnya saja ternyata menggunakan keamanan tingkat tinggi. Dan aku paham kenapa Alden menerapkan keamanan sehebat ini. Karena dia juga berada di posisi yang sama denganku, sama-sama dikejar orang jahat untuk di bunuh. Tiba-tiba saja hatiku menghangat karena tidak lagi merasa sendirian. “Terimakasih sudah menolongku lagi.” Ucap Alden lagi tanpa menoleh sambil berjalan masuk ke dalam rumah. Dan akhirnya untuk pertama kalinya sejak kemarin, aku bisa tersenyum. Sebuah senyuman lega karena merasa bahwa alasan Alden menolongku adalah karena kami memiliki posisi yang sama. Seorang target pembunuhan kejam. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD