BAB 1. Alden

1584 Words
Aku terbangun kembali setelah baru beberapa menit tertidur. Oleh mimpi sial4n yang sama, detail yang sama dan gambaran mengerikan tentang kematian orang tuaku yang tidak pernah berubah. Sudah lebih dari sepuluh tahun tapi mimpi sial4n ini masih saja mengganggu hidupku. Membuatku kesulitan tidur dan mungkin lebih mirip seperti Zombi. Aku bangkit dari kasur, mencari koperku dan tidak menemukan obat tidurku membuatku mengumpat kesal. Tubuhku lelah sekali dan aku butuh tidur tapi aku tidak memiliki lagi obat itu. “Robi, bawakan obat tidurku ke hotel.” Ucapku pada salah satu pengawalku melalui sambungan telpon. “Maaf tuan besar melarang saya untuk memberikan anda obat lagi tuan.” Jawab Robi membuatku ingin mengumpat kesal. “Bawakan obatnya sekarang! Aku tidak membutuhkan persetujuan tua bangka itu.” Hardikku marah. “Maafkan saya tuan Alden, tapi tuan besar bilang akan memecat saya jika saya masih memberikan obat itu kepada anda. Beliau menyuruh anda datang ke dokter bukan mengkonsumsi obat itu sembarangan.” Ucap Robi membuatku semakin jengkel. Aku malas berdebat karena sudah lelah sehingga aku mematikan sambungan telpon sepihak kemudian membanting ponselku ke kasur. Menelpon Cleaning Service untuk memesan beberapa makanan dan beberapa minuman hangat untuk menemani waktu-waktu tidak bisa tidurku yang menyebalkan ini. Tidak lama kemudian mereka datang membawakan apa yang aku inginkan, kemudian pergi setelah aku memberi mereka tips. Aku memandangi pintu beberapa kali, apakah lebih baik aku menguncinya atau membiarkanny terbuka seperti biasanya? Kemudian aku mendesah memikirkan pilihan sulit ini. Sebelumnya jika aku sendirian, aku tidak pernah membiarkan pintuku terkunci rapat. Hal itu adalah bagian dari caraku untuk merasa aman dan memudahkanku untuk kabur jika ada sesuatu. Tapi berhubung ini di hotel bukan di rumahku maka aku harus mempertimbangkannya ulang. Lalu sebuah panggilan yang aku sudah tahu itu dari siapa membuatku melupakan soal pintu. “Iya kek iya, nanti pulang dari sini Alden ke dokter.” Desahku kesal tapi tidak bisa marah-marah pada orang tua satu ini atau aku akan mendapatkan ceramah menyebalkan yang lebih panjang. Aku melangkah masuk ke dalam kamar, mulai memakan cemilanku sambil mendengarkan ceramah menyebalkan kakek. “Tadi kan Alden sudah mengatakan akan pergi ke dokter kek, sudah dulu yah, Alden mau tidur.” Desahku kesal sekali. Kemudian aku mematikan telpon setelah kakek dengan terpaksa melepaskanku dari tawanan ceramah panjangnya. Aku meletakkan sisa kentang goreng di tanganku karena mengingat masalah pintu lagi dan memutuskan untuk menguncinya. Tapi aku terkejut sekali karena di dekat pintu aku melihat seorang gadis basah kuyup dengan beberapa luka di tubuhnya. Dia gemetar dan menatapku dengan sama kagetnya. Menatapku dengan tatapan memohon yang aku belum paham apa maknanya. “Boleh aku bersembunyi disini?” Tanyanya membuat dahiku mengkerut tidak suka. Aku benci dimintai tolong dengan cuma-cuma.  “Aku hanya akan duduk disini sampai pagi, besok aku akan pergi diam-diam.” Tambahnya lagi dengan suara hampir tak terdengar karena gemetar. Tapi melihatnya tidak berdaya aku sedikit tidak tega. Kemudian aku memutuskan untuk membiarkannya disini dan siapa tahu dia bisa menemaniku begadang semalaman agar tidak merasa begitu takut lagi. Aku  masuk ke dalam, meraih koperku setelah mengunci pintu dan mengambil selembar kemeja disana. Menghampiri gadis itu lagi dan melempar kemeja itu ke arahnya. “Ganti bajumu dulu, lalu temani aku tidur. Besok pagi kita bicarakan sisanya.” Ucapku. Dia tampak ragu tapi kemudian mengangguk sambil menangis dengan puluhan ucapan terimakasih. Kemudian dia mengekoriku dan aku menunjukkan letak kamar mandi. Beberapa menit kemudian dia keluar dan tampak sedikit lebih rapi. Aku melemparkan handuk di tanganku ke arahnya. “Keringkan rambutmu!” Perintahku lagi dan dia menurut. Setelah rambutnya kering aku menepuk sebelah kasurku dan dia tampak ragu untuk mendekat. Tapi aku menatapnya penuh perintah dan sedikit tatapan ancaman sehingga dia menurut. Dia duduk di sampingku dengan masih gemetar. Lalu aku melihat lukanya ternyata cukup parah di beberapa bagian. Sepertinya dia jatuh atau semacamnya, sehingga aku mengambil kotak obat yang selalu aku bawa kemanapun. Lalu mulai menyentuh kakinya tapi dia sedikit berteriak karena kaget dan takut. Ekspresi ketakutannya membuatku penasaran tentang seburuk apa hal yang dia alami. “Aku hanya ingin mengobati lukamu.” Ucapku datar dan dia mengangguk sambil menunduk gemetar. Tapi melihat dari lukanya sepertinya dia harus ke dokter. Mungkin besok pagi aku akan membawanya ke dokter. Dia terlihat menyedihkan sekali.  Setelah itu aku mengambil segelas coklat hangat yang belum aku minum dan menyerahkannya padanya tapi dia malah menangis membuatku mendesah. Dan dia segera menghentikan tangisannya mendengar desahanku. Mungkin dia pikir aku marah. Kemudian meraih coklat yang aku berikan dan meminumnya dengan gemetar. Aku juga memberinya beberapa cemilanku dan dia memakannya dengan lahap seperti dua hari tidak makan. Tidak ada obrolan lagi sejak saat itu. Aku merebahkan diriku di sampingnya dan dia juga merebahkan tubuhnya dan ajaib, aku bangun ke esokan harinya dengan rasa nikmat karena bisa tidur. Dalam posisi memeluknya erat. Aku tersenyum miring melihat matanya masih terpejam di pelukanku. Sepertinya aku tahu apa yang harus aku negosiasikan dengannya sebagai imbalan pertolongan ini. Seorang Alden tidak pernah membantu orang lain tanpa imbalan. Karena jika dunia tidak adil, maka aku akan mencari keadilan sendiri. *** Setelah aku selesai mandi aku melihatnya terduduk di atas tempat tidurku sambil menangis. Lalu lagi-lagi menghapus air matanya karena melihatku menatapnya. Aku mendekat ke arahnya dan menawarkan handuk untuk mandi. Dia mengangguk, kemudian masuk ke dalam kamar mandi setelah aku memberinya bajuku yang lain untuknya berganti baju. “Mau sarapan apa? Nasi goreng atau roti?” Tawarku setelah dia keluar dari kamar mandi dan terlihat lebih baik. Dia menatapku bingung tanpa menjawab. “Aku bertanya padamu!” Ujarku kesal. “Nasi goreng.” Jawabnya lirih. Kemudian aku menelpon Cleaning Service untuk memesan sarapan. Sambil menunggu sarapan datang, aku mengajaknya duduk di sofa dan menyalakan televisi. “Siapa namamu?” Tanyaku. “Bia, Fabia.” Jawabnya masih gemetar. “Oke aku Alden, Alden Jenkins.” Ucapku dan melihat dia tidak takut mendengar namaku sepertinya gadis ini adalah gadis lugu dan polos yang tidak begitu tahu dunia luar. “Bolehkan aku meminta bantuan yang lain?” Tanyanya hampir menangis kembali. Dahiku mengkerut, aku benci orang yang memanfaatkanku dengan banyak permintaan bantuan seperti ini.  Tapi aku penasaran dengan kisahnya sehingga aku memutuskan untuk mendengar ceritanya dulu. “Apa?” Tanyaku kemudian dia kembali terisak. “Orang tuaku di bunuh.” Ucapnya sambil tersengal. Dahiku mengkerut dan aku menegakkan posisi dudukku menghadapnya. “Lalu?” “Mereka masih berada di mobil tidak jauh dari sini, tolong bantu aku mengurus mereka.” Tambahnya lagi kemudian kembali gemetar ketakutan. Cerita Bia mengingatkanku pada apa yang aku alami puluhan tahun lalu hingga membuatku tidak pernah memiliki tidur nyenyak. “Kami sedang dalam perjalanan menuju sebuah fila, lalu sebuah truk menabrak mobil kami dan aku terlempar ke luar truk jatuh di semak-semak. Tidak sampai disana, sang sopir truk beserta temannya turun aku pikir akan menolong ayah dan ibuku tapi kemudian mereka mengambil besi dari dalam truknya dan memukul orang tuaku sampai tidak bergerak lagi.” Lanjut Bia sambil tersengal hebat. Beberapa kali berhenti mengucapkannya karena tidak sanggup. Aku lalu mengambil ponselku dan menghubungi anak buahku untuk mengurus kecelakaan itu. Dan ternyata Bia tidak bohong, memang ada korban kecelakan tabrak lari tidak jauh dari hotel ini. “Apa mereka tahu kamu ada di mobil itu juga?” Tanyaku dan Bia mengangguk dengan takut. “Mereka mengejarku karena aku ketahuan berlari dari semak-semak itu.” Isaknya lagi. “Lalu kau mau aku apakan orang tuamu?” “Tolong kuburkan mereka dengan layak karena kami tidak memiliki keluarga lain lagi di sini. Paman dan bibiku tinggal di luar negri dan nanti aku akan menghubungi mereka tentang kabar ini.” Jawab Bia lagi. Ku akui, sebagai korban pembunuhan yang berhasil lari, Bia cukup kuat karena mampu menceritakannya pada orang lain sepertiku. “Kau tahu siapa pelakunya?” Tanyaku lagi dan Bia mengangguk sambil kembali menangis. “Dio, dia tunanganku. Karena kedua sopir truk itu adalah orang kepercayaanya. Selain itu Dio beberapa hari ini memang berselisih denga orang tuaku karena aku dan ibuku memergoki dia berselingkuh  dan dia menolak ketika aku mengakhiri hubungan kami. Dia datang ke rumah lalu di marahi oleh kedua orang tuaku habis-habisan.” Cerita Bia lagi masih dengan tangisannya yang terlihat melelahkan itu. “Dio?” Tanyaku. Kenapa nama itu terasa tidak asing bagiku. “Dio Purwoko, dia bekerja di sebuah peruhaan besar yang aku lupa namanya.” Ujar Bia membuatku menyeringai. Ahh jadi Dio yang Bia maksud adalah karyawanku sendiri. Si sempurna yang selalu mendapatkan pujian dari kakek atas kinerjanya itu. Tapi tunggu dulu? Setahuku orang bernama Dio itu memiliki seorang tunangan yang sering dia ajak ke acara kantor tapi bukan Bia. Apakah gadis bodoh di hadapanku ini sebenarnya sudah di bodohi? Lalu apa motifnya? Bia tidak terlihat memiliki sesuatu yang bisa di manfaatkan. Ku akui gadis ini cukup cantik, tapi terlihat bodoh dan tidak berpengalaman. Dan aku rasa orang seperti Dio itu tidak bisa mengambil apapun dari Bia. Apakah benar pembunuhan ini hanya karena hal sesederhana itu? Entah kenapa ini justru mengundang rasa penasaranku. “Starship Grup?” Tebakku dan Bia mengangguk kemudian kembali menangis. “Tolong balaskan dendamku!” Isaknnya dengan permintaan lainnya yang membuatku sedikit tidak suka. Tapi aku rasa aku bisa memanfaatkan keadaan ini untuk menjadi obat tidurku. Mengingat semalam aku tidur nyenyak di pelukannya. Aku kemudian tersenyum lebar. “Baik, aku akan membeli tubuhmu dengan pembalasan dendam untuknya. Setuju?” Ucapku dengan seringai. Tanpa ku duga dengan pertanyaan seambigu ini, Bia mengangguk setuju tanpa ragu sedikitpun. Aku terkekeh, mungkinkah tubuhnya sudah tidak berharga lagi untuknya? Bukankah seharusnya seorang wanita akan mempertahankan mati-matian kesuciannya? Terutama wanita yang terlihat lugu seperti Bia ini? Ahh atau jangan-jangan Bia sudah... ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD