Sosok Misterius

1634 Words
"Loh, kamu ini kenapa?" tanyaku heran. "Kak, sakit banget perut aku!" erangnya. Ah, ingin rasanya menertawakan dia saat ini. Mungkin inilah akibatnya merebut suami orang. "Ke rumah sakit aja, saya gak mau kamu kenapa-napa karena nanti saya yang kena omel," ucapku dan berniat membantunya berdiri. Namun, tangannya menepis kasar dan menolak diajak ke rumah sakit. Aku menghela napas, wanita ini seperti setengah gila. "Terus kamu mau apa? Mau sakit kayak gini terus? Ya, sudah saya biarkan," kataku lagi sambil berkacak pinggang. "Kan bisa pakai obat-obatan tradisional, Kak. Aku gak mau ke rumah sakit!" Karena malas meresponnya, aku pun keluar kamar meninggalkannya dengan Bi Inem. Kupercayakan semua kepada ART itu, pasti ia lebih tahu. Ada yang berbeda seharian ini. Mas Arif rajin mengabariku dan dengan senang hati pun aku meresponnya. Ia kembali, tapi entah sampai kapan. Aku tak ingin ia berubah jahat lagi. Sepulang dari kantor pun ia mengajakku makan malam di sebuah restoran mewah. Katanya ia sangat rindu, seakan-akan lama tidak bertemu. Padahal beberapa hari ini ia sibuk dengan Sarah. "Mas, mengenai wanita hamil di kamar kamu itu, aku udah suruh dia pergi, tapi nggak mau," ucapku setelah memesan makanan. "Nanti aja Mas atasi kalau udah pulang dan bujuk dia pelan-pelan. Ini semua salah paham, pernikahan ini gak sah," jawabnya, "Mas merasa bersalah banget udah bikin kamu sakit hati. Maaf, ya, Sayang?" Aku terharu, mudah sekali hatiku luluh. Mas Arif tidak berubah, ia masih mencintaiku. Terlihat jelas sekali di matanya, ia tidak bisa menutupi semua itu. Namun, jin yang merasukinya sangat kuat, aku tak bisa berbuat apa-apa. "Aku sedih, sedih banget waktu Mas bilang mau nikah lagi. Di situ aku udah kepikiran mau cerai, tapi aku yakin ini semua pengaruh jin," jelasku. "Kayaknya Mas harus serius berobat, Dek. Mungkin ini baru permulaan, kita gak tau apa yang terjadi besok-besoknya. Mas takut nyakitin kamu." Aku tak ingin menangis saat ini, meski kata-katanya menyentuh hati. "Silakan, ini pesanannya." Pelayan pun pergi setelah menyajikan hidangan. Aku tak nafsu makan, tapi tak mau buang-buang makanan. Mas Arif pun terlihat tak begitu selera. Ia masih bisa tersenyum meski kutahu beban pikirannya sangat banyak. "Habis makan langsung pulang aja." *** Sesampainya di rumah, aku terkejut ketika melihat kamar Mas Arif yang kosong. Sarah pergi? Ke mana? Kutanya Bi Inem dan mencarinya ke seluruh sudut rumah, tapi tak kunjung bertemu. Akhirnya, kusimpulkan ia pulang karena diasingkan oleh Mas Arif. "Baguslah, jadi Mas gak perlu repot-repot usir dia lagi," ucapnya menghela napas panjang. "Kalian tetep berstatus suami istri, Mas." "Tapi `kan di situ Mas gak sadar, Dek. Seharusnya pernikahan ini nggak sah di mata agama," kilahnya. "Nanti aku tanya sama yang lebih tau, yang penting Mas udah kembali, aku udah seneng banget." *** Pagi hari yang mendung, aku memutuskan untuk bangun lebih awal karena ingin membersihkan diri. Mas Arif masih terlelap, ia sangat kelelahan karena permainan kami semalam. Selepas mandi, awalnya aku ingin menggoreng ikan bumbu yang disimpan di dalam kulkas. Namun, ketika mencium bau ikan itu, tiba-tiba perutku tak nyaman dan ingin muntah. Sempat mengira ikannya sudah basi atau memang bau, tapi Bi Inem menyangkal hal itu. "Gak biasanya Ibu gak tahan bau ikan?" tanya Bi Inem heran. "Iya, saya juga heran kok tumben gak tahan, ya? Mungkin faktor kelelahan, Bi." "Mending Ibu jangan kebanyakan pikiran. Kasihan, nanti sakit," ujarnya memberi saran. Aku beruntung sekali mempunyai ART yang baik hati, sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri. Bi Inem adalah janda yang ditinggal mati oleh suaminya. Kedua anaknya sudah menikah dan tinggal di lain pulau. Awalnya pun aku kasihan dan mengambil Bi Inem sebagai ART karena ia tak punya tempat tinggal. Syukurlah, hidupnya lebih baik dan masih berkomunikasi dengan keluarga. Siang hari yang terik, aku berencana mengajak Mas Arif ke mall untuk berbelanja. Kebetulan perawatan wajah dan tubuh sudah hampir habis. "Hm, kamu ngapain pake parfum ini, Mas?" tanyaku sambil menjauhkan diri darinya. "Parfum ini `kan kesukaan kamu, Dek. Jadi Mas pake," jawabnya dengan wajah polos tak berdosa. "Ih, itu dulu! Sekarang aku mual kalau cium bau ini, Mas! Cepat ganti baju!" suruhku sambil mendorongnya keluar kamar. "Astaga, kamu nih apa-apaan sih, Dek?!" Mas Arif tampak emosi, tapi aku bermasa bodoh. Daripada hidung tersiksa selama perjalanan, euh! "Udah, ya, sana ganti cepat! Kasih bajunya ke Bi Inem buat dicuci!" "Astaga ini gak kotor, Dek! Kena parfum dikit doang!" "DIkit? DIkit Mas bilang? Aku sampe mual cium baunya terus Mas bilang dikit?" Aku berkacak pinggang, rasanya emosi sekali. Dia malah tertawa gemas. "Bentar, kamu tiba-tiba gak suka bau ini? Jangan-jangan ...." "Apa?" tanyaku galak. "Kamu hamil, Dek?" Ekspresiku langsung berubah tenang. Antara senang dan terkejut. Apa iya aku tengah mengandung? "Ah, masa sih, Mas? Aku belum pengen sekarang, belum siap," ucapku sendu. "Ya, kalau Allah ngasihnya sekarang kita bisa apa? Udah, buat memastikan periksa aja ke dokter. Nanti Mas anterin." Aku membalas ucapannya dengan senyuman, kemudian bersiap-siap pergi. Ah, indahnya hidup tanpa pelakor itu. Nasibnya bagaimana? Masa bodoh saja. *** "Bu! Ibu!" Aku langsung bergegas menghampiri Bi Inem di dapur. Ia terdengar panik. "Kenapa, Bi?" "Bu, coba lihat di toilet itu ada apa. Semoga saya salah lihat. Ya Allah!" jawabnya ketakutan. Perlahan aku mendekati toilet itu dan langsung mual-mual. Seram sekali, apa maksudnya ini? "Biar saya panggil Mas Arif ya. Saya gak berani buang, gak tega!" Aku tak berani melihat ketika Mas Arif mengambil seonggok daging itu dan memasukkannya ke kantong plastik. Bi Inem yang mungkin masih penasaran pun membuka kantong itu dan terdiam beberapa saat. "Bibi tau itu apa?" tanyaku. "Ini ... ini kayak janin, Bu. Masih usia beberapa bulan gitu, ini ada bentuk tangan," jawabnya sambil menunjukkan bagian tersebut. Aku yang tak tahan pun langsung berlari ke wastafel dan muntah. Astaga, itu janin siapa?! "Serem banget loh, Mas. Bisa-bisanya ada yang aborsi dan buang janin di sini. Kok bisa dia masuk?" Di tengah kebingungan itu, Mas Arif justru sigap menggali kuburan untuk jasad janin. Malam-malam ia mengubur jasad di belakang rumah, dekat pohon rambutan. Selesai mengubur dan membersihkan diri, ia berbaring sejenak di atas sofa karena napasnya terengah-engah. "Itu bayi siapa, ya?" tanyanya. "Mas, belakangan emang banyak kejadian aneh. Bi Inem juga pernah nemu seonggok daging di belakang kulkas," ucapku. "Iyakah? Terus kamu buang?" "Iyalah, Mas, masa dimasak. Aku plastikin aja terus buang ke tempat sampah. Pantes ada bau busuk gitu, rupanya dari daging." "Rumah kita makin horor aja, Dek." Aku menghela napas dan masuk rumah karena malam ini terasa dingin. Mas Arif menyusul di belakang, terlebih dahulu ia meletakkan kembali cangkul di tempat semula. "Jangan dipikirin. Ingat apa kata dokter tadi? Nggak boleh stres, harus jaga kesehatan. Mas bertanggung jawab penuh atas dua nyawa ini," katanya lalu mengecup pucuk kepalaku. "Iya, Mas. Aku janji bakal jagain calon anak kita." *** Sudah tengah malam, tapi mata tak kunjung lelah. Aku ingin tidur lebih cepat, apalah daya masih terjaga. Sejak tadi hanya main ponsel dan makan buah-buahan. Ingin rasanya membangunkan Mas Arif untuk menemaniku. Namun, besok ia pergi bekerja dan katanya lembur sampai malam. Ah, bumil yang kesepian. "Apa kita nonton aja ya, Nak? Kamu mau `kan temenin Mama nonton?" tanyaku bermonolog. Aku mengambil ponsel dan berjalan menuju ruang tamu. Kemudian mengambil salad buah yang dibuat Bi Inem tadi siang. Dingin-dingin segar. Sambil menonton, mataku malah fokus menatap pintu depan. Sejak tadi aku merasa ada yang lalu lalang. Siapa yang datang ke rumah tengah malam begini? Karena penasaran, aku pun pergi memeriksanya. Ketika dibuka, tidak ada siapa-siapa. Hanya angin deras yang menggoyangkan ranting pohon, mungkin sebentar lagi hujan deras. Aku kembali menutup pintu dan duduk. Namun, mulai terdengar suara langkah kaki di samping rumah. Awalnya masa bodoh, tapi lama kelamaan risih dan aku pun menengoknya lewat jendela. Tidak ada siapa-siapa lagi .... Ah, aku merasa dipermainkan. Kesal, kuputuskan untuk abai saja jika ada hal aneh. Sekarang tirai tersibak sendiri, padahal tidak ada angin dari dalam. Pun AC sudah sejak tadi kumatikan. Benda-benda bergeser dari tempatnya. Belum lagi bunyi keran air yang menetes. Acara TV berganti, sebuah acara spiritual yang menyeramkan. Sangat bagus, pass ekali dengan kondisi saat ini. Entah mengapa, rasanya sulit sekali bangkit. "Hihihi!" Suara anak kecil itu terdengar lagi. Namun, kali ini terasa ramai dan lebih jelas. Apakah mereka berada di sampingku? "Siapa?! Keluar kamu!" kataku dengan napas terengah-engah dan jantung berdegup kencang. "Ayo main, Kak!" sahut suara itu. "Main apa? Kamu siapa? Jangan sembunyi, cepat keluar!" Aku menangis, kemudian duduk tersungkur karena takut. Suaranya semakin jelas dan ramai. Seakan-akan ada ratusan anak kecil yang bermain di sini. "Risti! Risti! Hei!" "Pergi! Pergi! Jangan ganggu aku!" "Ini Mas!" Aku berbalik dan langsung memeluknya. Seram sekali, tadi itu apa? Rasanya seperti mimpi. "Kamu kenapa teriak gitu? Bukannya tidur," tegurnya. "Tadi ada hantu, Mas. Ada hantu di rumah kita!" jawabku panik. "Hantu apa, sih, Dek? Ah, kamu halusinasi aja mungkin, pengaruh hamil." "Nggak, Mas! Bukan faktor hamil!" kilahku, "emang ada hantu anak kecil di sini, Bi Inem pun pernah denger suaranya." "Iya-iya oke Mas percaya. Sekarang ayo masuk kamar dan tidur," ajaknya sambil merangkulku. "Mas, temenin sampe bobo, ya?" "Huum." Ia menyelimutiku dan mulai bernyanyi lagu sendu. Suaranya memang enak didengar, maklum mantan anak band. Meskipun kantuk telah menyerang, entah mengapa pikiran masih melanglang buana. Bertanya-tanya apakah hantu anak kecil itu memang ada. "Mas, menurutmu hantu itu ada?" tanyaku yang membuatnya berhenti bernyanyi. "Hm, kalau menurut agama, hantu itu nggak ada. Kalau jin, baru ada," jawabnya. "Jadi yang tadi ganggu aku itu jin, ya? Jin jahat?" "Bisa jadi, tapi Mas yakin itu perasaanmu aja. Baru kali ini `kan digangguin begitu?" Aku mengangguk pelan. "Nah, berarti emang faktor hamil." "Gitu, ya?" "Iya, Sayang. Bangsa jin itu, semakin kita takut, mereka semakin senang. Jadi, abaikan aja biar mereka capek sendiri. Cuma, Mas emang masih heran sama gumpalan daging itu. Punya siapa, ya?" "Aku pun masih kepikiran, Mas. Udah dua kali soalnya." Karena perbincangan kami yang cukup panjang, aku pun lelah dan akhirnya terlelap. Percaya itu hanya halusinasi? Tidak, karena malam ini ia hadir dalam mimpi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD