Misteri

1626 Words
"Selamat, ya. By the way, pengennya nanti anak cowok apa cewek?" tanya Tania. "Ah, terserah yang di atas aja. Asal sehat dan rejekinya lancar," jawabku disertai senyuman hangat. Acara selamatan hari ini tidak dihadiri banyak orang. Aku hanya mengundang beberapa teman dan sahabat Mas Arif. Bukan tanpa alasan, aku ingin acaranya lebih privasi dan tertutup. Di sisi lain, mewaspadai wanita itu kembali datang dan mengusik kehidupan keluargaku. "Bukannya Risti nggak mau punya anak dulu?" tanya Aris lalu menyeruput es teh yang disajikan oleh Bi Inem. "Awalnya gitu, Ris, tapi Allah ngasihnya sekarang. Ya, masa kami nolak," jawab suamiku. "Iya, kami gak mau nolak rezeki." Perbincangan kami cukup lama, disertai gurauan dan canda tawa khas orang dewasa. Tak jarang Mas Arif menggodaku dan terjadilah perkelahian singkat. Mereka? Hanya tertawa gemas. "Syukurlah rumah tangga kalian kembali akur. Jadi, ke mana wanita itu? Suami kamu udah ceraikan, `kan?" Tania sedikit berbisik, mungkin ia merasa masalah ini sangat privasi. Aku pun mengajaknya ke tempat yang tersembunyi dari kumpulan orang-orang. "Gini, sebenernya waktu itu suamiku nggak sadar nikahin Sarah. Jadi, menurut dia pernikahan itu nggak sah," kataku. "Hah? Gimana, sih? Emang ada begitu? Kok suami kamu aneh?" Pertanyaan bertubi-tubi darinya membuatku menghela napas panjang. "Sarah itu, aku menduga dia pakai pelet sih ke suami aku. Makanya Mas Arif sering hilang kesadaran. Tubuh dia kayak dikendaliin sesuatu. Jadi lupa sama aku," jelasku lalu mengusap wajah. "Astaga, gila banget itu cewek. Jadi, kamu gak ada niat buat nyingkirin Sarah itu?" "Ya, ada, tapi gimana? Ilmu dia kuat banget. Aku gak bisa lawan sendiri." "Oke, besok bawa aku ke rumahnya. Aku mau liat seberapa kuat ilmu dia." Perkataan Tania terdengar serius, tapi kutanggapi sebagai candaan. Ia memang gadis tomboy dan berani. Masalah seperti ini, sebenarnya tak ia percayai karena tidak masuk akal. Namun, ia menghargai aku sebagai sahabat. *** Lelah setelah acara selesai, aku mendapati kursi samping yang kosong. Perasaan tadi Mas Arif ada di sini sambil bermain ponsel. Kok dia tiba-tiba hilang tanpa kusadari? Akhirnya, aku pun pergi mencari. Memanggil namanya, tapi tak kunjung menyahut. Tak kusangka, ia ada di dapur, tepatnya di depan lemari pendingin. Ia duduk berjongkok seperti memakan sesuatu dengan pintu kulkas terbuka lebar. Aku ingin memanggilnya, tapi naluriku mencegah. Ya, sepertinya ada yang tidak beres di sini. Perlahan-lahan aku mendekat dan terkejut melihat tetesan darah di bawahnya. "Mas? Ini darah apa?" tanyaku panik, lalu membalikkan badannya. Seketika aku membekap mulut, menahan rasa ingin muntah. Mas Arif sudah gila! "Buang itu, Mas!" teriakku lalu merebut daging mentah dari tangannya. "Laper banget, ya sampe gak bisa nunggu Bibi masak? Kan bisa pesan di luar, Mas! Kenapa harus makan daging mentah gini!" Aku seakan kehabisan napas, lalu tanpa basa-basi membuang daging itu ke tempat sampah. Mas Arif menatapku tajam dengan sisa-sisa darah di bibirnya. Ia bangkit dan pergi mencari sesuatu. Sambil mengacak-acak barang, ia seperti ingin mengatakan sepatah kata, tapi tak kumengerti. "Mas mau air? Mau minum?" Ia mengangguk cepat. Dengan hati-hati aku mengambil ceret dan hendak menuangkan air ke gelas. Namun, ceret itu disambarnya dan langsung diminum begitu saja. Bajunya basah karena air itu banyak yang tumpah. Dengan sigap aku mengambil kain lap dan mengepel lantai itu, takutnya ia jatuh terpeleset. "Mas sekarang masuk kamar, habis rumahku nanti berantakan," ucapku lalu menarik tangannya. Awalnya ia menolak dan memberontak, tapi setelah kupaksa berkali-kali, ia pun menurut. Seperti anak kecil. Di dalam kamar pun, ia tak bisa diam. Selalu mengacak-acak barang dan hampir memecahkan kaca. Kesal dan muak melihat tingkah anehnya, aku pun mengikat tangan dan kaki lelaki itu di atas kasur. Ia tak akan bisa pergi ke mana-mana. Bi Inem yang datang pun terkejut bukan main. Ia mengira aku akan menyiksa Mas Arif. "Tadi dia makan daging mentah di kulkas, sekarang mau berantakin kamar, Bi. Sikapnya jadi kayak anak kecil," ucapku sambil memijat kening, pusing melihat tingkah suami sendiri. "Astagfirullah, ini seperti dirasuki arwah anak kecil, Bu," kata Bi Inem yang langsung membuat mataku terbelalak. "Anak kecil? Lagi?" "Iya, Bu. Dulu ada orang dewasa yang dirasuki arwah anak kecil dan tingkahnya seperti ini." "Ya, sudah, Bibi bantu jagain, saya panggil Pak Burhan." *** Sudah tiga kali mengetuk pintunya, tapi tak ada yang menyahut. Ditelepon pun tidak diangkat. Yang lebih membuatku khawatir adalah last seen WA Fany. Terakhir online dua hari yang lalu. Ia anak kuliahan, tak mungkin absen mengerjakan tugas, bukan? [Bu, Pak Arif udah tidur. Tadi saya kasih minum s**u dicampur obat tidur sedikit. Dia mengamuk terus mau main katanya.] Pesan dari Bi Inem yang membuatku geleng-geleng heran. Kemarin ia dirasuki jin sampai lupa diri, sekarang dirasuki arwah anak kecil pula. Aku pun memutuskan untuk pulang saja karena sepertinya keluarga Pak Burhan jalan-jalan. Ya, meskipun mobil dan motornya masih ada, mungkin mereka memakai angkot. Aku tak ingin memusingkan hal itu. "Lah? Bu Risti bukannya hamil muda? Ngapain jalan sendirian, Bu?" tanya seseorang yang tiba-tiba muncul. "Gak papa, Mbak. Tadinya mau ke rumah Pak RT minta tolong gitu. Eh, beliau sekeluarga gak ada di rumah. Mbak tau mereka ke mana?" tanyaku penuh selidik. "Oalah, dari mana aja, Bu? Pak RT pindah sementara, katanya beliau gak betah tinggal di sini. Banyak gangguan," jelas Mbak Nana. "Gangguan gimana, Mbak?" "Ya, kurang tau juga, Bu. Pak Burhan gak pernah terbuka soal ini. Saya aja dapat info dari tetangga sebelahnya." Aku cukup terkejut mendengar hal ini. Entah berapa lama ia pindah, harusnya sih tak boleh berlama-lama. Siapa yang menggantikan posisinya? "Pindahnya gak jauh dari sini, Bu. Cuma ya saya gak tau di mana karena beliau gak bilang." "Baik, makasih infonya, Mbak." Aku pulang dengan tangan kosong, tanpa hasil. Tak mengenal siapapun yang pandai ilmu gaib seperti ini. Bagaimana caraku mengeluarkan arwah anak kecil itu? "Bi, tau caranya ruqyah?" tanyaku sesampainya di rumah. "Hm, gak tau, Bu. Mungkin bisa ruqyah mandiri dengan ayat Qur'an." "Oke, kita coba." Bibi pun menyediakan air putih dan sapu tangan. Entah untuk apa, tapi ia menyuruhku menyalakan ayat ruqyah di YouTube. Ketika ayat itu mulai dilantunkan, Mas Arif bergelinjang dan berteriak kepanasan. Suaranya berbeda, lebih berat dan serak. Takut terjadi apa-apa, aku pun mematikan ponsel itu dan memeluknya. "Kenapa dimatikan, Bu? Bentar lagi berhasil!" "Saya gak tega lihat dia kesakitan!" *** "Sosok arwah anak kecil itu bernama Sani. Ia meninggal karena kecelakaan. Apakah Mbak kenal sama anak ini?" tanya lelaki tua itu. Aku diam-diam bertanya ke orang pintar karena bingung harus berbuat apa. "Kecelakaan? Jangan-jangan anak kecil yang waktu itu. Saya lihat kejadiannya, Pak," jawabku. "Auranya sedih dan muram, dia mengikuti kamu karena kesepian. Temani dia." "Yaelah, Pak. Masa kesepian aja sampai harus merasuki suami saya." Aku pun diberi sebotol air mineral yang telah dibacakan sesuatu. Ini untuk Mas Arif agar ia terbebas dari arwah anak kecil itu. Sepulang dari rumah Pak Bagus, aku pun menghampiri Mas Arif yang tertidur. Perlahan-lahan membuka kaitan talinya dan memukul pipi agar ia terbangun. Begitu membuka mata, ia langsung berteriak dan meemelukku. Hampir saja airnya tumpah. "Lepas dulu, ini diminum biar sembuh," kataku sambil menyodorkan botol air itu. Ia pun meminum air itu hingga setengah botol, kemudian bersandar. Wajahnya berubah pucat, tubuhnya pun sedikit gemetar. Aku yang takut terjadi apa-apa pun, sudah bersiap siaga menekan tombol panggilan. Tanpa diduga, Mas Arif berlari terburu-buru ke jendela dan muntah-muntah. Aku pun mengambil air hangat untuknya. Keringat dingin bercucuran, wajahnya semakin pucat. Tubuhnya lemas seketika dan tersungkur jatuh ke lantai. "Itu tadi apa, Dek?" tanyanya dengan napas tersengal-sengal. "Udah, jangan ngomong dulu, Tadi bukan apa-apa." Aku pun membantunya berdiri dan berbaring di ranjang. Setelah menyelimuti dan mengelap keringatnya, ia menahanku untuk pergi. "Mau ke mana?" "Mau bikinin sup ayam, biar enakan badannya," jawabku. "Suruh bibi aja kenapa? Kamu di sini aja temenin Mas," katanya memohon. "Em, gimana, ya? Nanti Mas malah minta yang lain-lain gimana?" "Dek, aku lemah gini bisa apa coba? Dah, baring sini anteng." Aku semringah dan langsung menghamburkan diri ke pelukannya. Kasihan, ia semakin kurus dan sakit-sakitan. Semoga Allah segera memberi jalan agar pelet itu cepat menghilang. *** "Bu! Ibu!" Aku berlari tergesa-gesa begitu mendengar suara Bi Inem. Ia berdiri di depan bekas galian tanah itu, kemudian menggenggam tanganku erat. Aku terkejut begitu melihat kuburannya dibongkar dan gumpalan daging itu hilang. Bi Inem menggali lebih dalam, siapa tahu terdorong oleh air hujan. "Gak ada lho ini, Bi! Hilang ke mana coba? Siapa yang ngambil barang kayak gitu?" tanyaku dengan emosi yang menggebu-gebu. Orang gila mana yang mencuri seonggok daging berbau busuk itu? "Astagfirullah ...." Bi Inem hanya beristighfar beberapa kali sambil menutupi lubang itu lagi. Aku masuk dan mendapati Mas Arif duduk di sofa sembari memakan buah apel. Ia terlihat bugar dan seperti tak terjadi apa-apa. "Mas, kamu beneran lupa sama kejadian kemarin?" "Kejadian apa? Perasaan Mas baru bangun tidur, gak inget apa-apa lagi." "Mas makan daging mentah," ucapku, ia pun terbelalak. "Hah? Ngawur kamu, Dek! Gila apa makan begituan, jijik banget." "Oke, aku juga gak mood jelasin." Hari ini ia bertingkah normal, tapi tak tahu keesokan harinya. Aku bingung bagaimana keluar dari masalah ini. Begitu banyak misteri yang hadir. Sarah, anak kecil, daging, dan Pak Burhan. Semuanya menjadi tanda tanya besar yang entah kapan terpecahkan. *** "Udahlah, gak usah dipikirin. Mungkin digali sama anjing karena dicium ada bau daging `kan," ucap Mas Arif setelah kuceritakan masalah daging itu. "Iya, sih, tapi aneh aja, Mas. Di sekitar sini gak ada yang pelihara anjing." "Bisa aja anjing liar, Dek. Kamu gak usah mikirin hal-hal yang gak seharusnya jadi beban deh. Ibu hamil gak boleh stres." Aku menghela napas panjang, kemudian bangkit dan masuk kamar. Beberapa hari ini memang sangat melelahkan. Ingin rasanya pulang ke kampung dan refreshing di sawah Ibu. Sambil bernostalgia tentunya. "Eh, Mas, gimana nanti kita liburan ke desa Ibu? Kangen banget!" bujukku. "Boleh, kabari aja mau kapan, nanti Mas atur jadwalnya." Ia mengecup pucuk kepalaku dengan lembut, lalu kembali melanjutkan pekerjaan. "Bi, buatin jus buah buat Mas Arif, ya. Kalau ada camilan, bawakan aja."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD