Menjemput Fany

1595 Words
Aku tidur di ruang tamu karena kamar menjadi tempat isolasi Mas Arif. Mbah Parto pun memilih menginap di rumah beberapa hari ini. Ia tidur di kamar tamu, dekat kamar Bibi. Ya, sebenarnya beliau ingin tidur di ruang tamu saja karena tak enak hati. Namun, aku bilang ingin tidur depan televisi sambil menonton. Sampai tengah malam, tidak ada tanda-tanda kantuk `kan datang. Padahal televisi dan lampu sudah dimatikan. Lilin aroma pun sudah menyala dari tadi, musik pengantar tidur menggema sejak setengah jam yang lalu. Namun, tidak ada yang bisa membuatku terlelap. Pikiranku hanya terfokus pada Mas Arif. Beberapa kali membuka pintu kamar, memeriksa keadaannya. Ia sudah tertidur sejak magrib tadi. "Kok belum tidur, Nak?" Tiba-tiba Mbah datang dan membuatku tersentak. Beliau membawa secangkir gelas berisi kopi. Mungkin sama sepertiku, susah tidur. "Mata masih seger banget, Mbah. Terlebih saya terus mikirin Mas Arif. Kasihan," jawabku mengiba. "Untuk sekarang kita belum bisa berbuat apa-apa, Nak. Jin itu kuat dan terus menyerap energi Arif. Mbah hanya takut Arif gak kuat melawan jin itu." Aku menghela napas pelan, lalu kembali ke ruang tamu. Mbah menyusul, ia duduk di atas sofa sembari menyeruput kopinya. "Mbah jagain Arif. Kamu tidur saja duluan. Jangan khawatir," katanya. "Mbah gak ngantuk?" tanyaku menatap kosong. "Belum, Mbah emang suka minum kopi jam segini biar melek." Aku menurutinya, berusaha memejamkan mata meski susah. Bayang-bayang Mas Arif menghantui. Tak terasa air mata jatuh. Teringat ibu dan bapak di kampung yang jauh. Di saat seperti ini butuh pelukan dari mereka. Namun, apa daya, aku tak ingin membebankan pikiran kedua orang tua. Pada akhirnya, akulah yang mengalah. Menyimpan semuanya sendiri. *** Pagi hari yang lumayan cerah. Ingin rasanya mengajak Mas Arif keluar sebentar untuk berjemur. Siapa tahu tubuhnya baikan. Mbah pun mengizinkan, asal diawasi dan tetap menutup mata. Aku menyanggupi dan melepas ikatan yang membuat pergelangan tangan kakinya lecet. Seketika kumerasa iba, tak tega. "Bi, tolong ambilin betadine sama kapas. Biar saya olesi ke lukanya," suruhku dan langsung diiyakan Bibi. Tak lama menunggu, beliau datang membawa barang yang kuminta tadi. Mas Arif merintih kecil saat obat merah itu kuoleskan perlahan. Ada sedikit darah, tapi tetap kuperban seadanya supaya tidak infeksi. Ia meminta dilepaskan kain penutup mata, tapi Mbah melarang. Jin itu masih berada di sekitarnya. "Aku jadi kayak orang buta, Mbah. Lepas sebentar aja, aku mohon," pintanya. "Jangan dulu, Nak. Jin itu masih berkeliaran di sekitar sini. Nanti kamu dirasuki lagi," ucap Mbah menolak. "Astagfirullah, Mbah ...," lirih Mas Arif putus asa. "Iya, Nak, perbanyak istighfar dan menyebut nama Allah. Pasti kalian bisa melalui cobaan ini." Nasihat yang Mbah berikan membuatku sedikit bersemangat. Dengan hati-hati, kutuntun Mas Arif menuju teras depan rumah untuk mendapat sinar matahari. Ia tersenyum begitu sampai, hangatnya matahari menembus membuat kami bahagia. Bibi pun datang membawa kue basah dan teh hangat. "Bi, Mas Arif bawain air hangat biasa aja deh." Di tengah aktifitas kami, tiba-tiba pihak rumah sakit menelepon. Perawat mengatakan bahwa Fany sudah membaik dan besok boleh pulang. Syukurlah, kabar baik ini membuatku bangkit lagi. Gadis itu bisa berkumpul dengan kami. Kuceritakan kabar ini ke Mas Arif dan Mbah. Mereka pun ikut bahagia dan ingin ikut menjemput Fany besok. Dengan senang hati aku menerima permintaan mereka. "Udah, Mas? Kita masuk, ya," ajakku ketika melihat jam di ponsel. "Bentar, masih enak." "Oke, aku tinggal ke toilet dulu. Kalau ada apa-apa bilang ke Mbah Parto aja," ucapku lalu pergi. Entah mengapa, habis memakan kue basah buatan Bibi, perutku mendadak sakit. Sudah tiga kali bolak-balik kamar mandi. Mungkin ada bahan yang tak bisa kumakan dalam kue itu. Begitu kembali ke teras depan, kegaduhan yang membuatku panik langsung mempercepat langkah kaki. Buru-buru menghampiri Mbah yang terhempas lumayan jauh dari posisi berdirinya. "Mbah, kenapa? Mana Mas Arif?" tanyaku gelisah. Dengan sisa tenaga yang ada, Mbah menunjuk samping rumah. "Arif lari ke sana, cepat kejar dia sebelum mencelakai orang!" suruhnya. Aku langsung berteriak minta tolong pada tetangga. Mereka pun keluar rumah dan bertanya ada apa. "Suami saya sakit, dia kabur tolong tangkap!" Mereka diam sejenak, lalu terlihat saling berbisik satu sama lain. "Kenapa diam? Keburu suami saya lari jauh!" "Maaf, Mbak. Suami kamu gila?" Pertanyaan itu sontak membuat amarahku memuncak. Mas Arif tidak gila, hanya saja aku tidak punya banyak waktu untuk menjelaskan. Mungkin takut melihat tatapan mataku yang sinis, suami-suami mereka segera pergi mengejar Mas Arif. Antara lucu dan sebal. Aku mengekor, tapi dengan sepeda motor karena dugaan Mas Arif berlari cukup jauh. Terlebih penutup matanya ia lepas, tergeletak di samping Mbah Parto tadi. Memelankan motor, melihat-melihat semua rumah yang kulewati. Tampaknya ia tidak masuk ke lokasi ini. Bertemu dengan Pak Muktah, ia beristirahat di depan rumah orang. Tampaknya pencarian ini tak bisa jika hanya melibatkan tetangga. Haruskah membuat pengumuman? "Lapor aja ke polisi, Mbak. Bilang suami hilang gitu," ucap Pak Muktah polos. Aku menggeleng sendiri, takut polisi meremehkan kasus ini. "Gak dulu deh, Pak. Cari lagi yuk, siapa tau ada di sini tapi dia sembunyi." Aku memarkirkan motor di samping rumah almarhum Pak Burhan. Sedikit melihat-lihat rumah yang telah kosong beberapa hari ini. Mulai berdebu dan masih ada sisa-sisa darah mengering. Begitu memasuki komplek perumahan B, tiba-tiba warga berhamburan berlari menghampiri sesuatu. Teriakan mereka semakin membuatku panik. Aku pun ikut bersama mereka, lalu membelah jalan. Terlihat bapak-bapak sedang menghalau tangan seseorang yang memegang benda tajam. Aku berusaha melihat wajahnya yang tertutupi kerumunan orang. "Mas Arif?!" teriakku. Ia mendongak, langsung beringas ingin melukaiku dengan pisau itu. "Suamimu, Mbak?" tanya ibu-ibu sambil memeluk buah hatinya yang menangis. "Iya, Mbak. Dia suami saya, dari tadi saya pusing nyarinya," jawabku. "Itu tadi suaminya tiba-tiba masuk ke rumah saya lewat pintu belakang. Saya lagi potong sayuran buat masak. Dia langsung rebut pisaunya dan jalan ke kamar saya. Di situ anak saya lagi tidur. Saya langsung lari, ambil anak saya, dan keluar rumah," jelasnya menceritakan kronologi. Aku manggut-manggut paham sekaligus kaget. Aku langsung mendekati, meminta bapak-bapak itu memegangi kedua tangan Mas Arif. Pelan-pelan kupasangkan lagi kain penutup matanya. Ia berangsur tenang, melemas, dan melepas pisau itu. Kami pun bernapas lega, akhirnya bisa teratasi. Beberapa orang pun pergi, meninggalkan sebagian dari kami. Mas Arif digotong oleh tiga orang karena tubuhnya lemas tak bisa berjalan. Berdiri saja hampir jatuh. Di tengah perjalanan pulang, iseng mereka bertanya tentang kejadian tadi. "Obatnya penutup mata itu, ya? Ada mantranya apa gimana?" "Bukan, Pak. Suami saya itu diikuti jin, setiap saat diawasi. Kalau buka mata, suami saya melihat jin itu dan dirasuki. Alhasil jadi begini. Untung gak sampai mencelakai orang," jelasku. "Oh, unik juga ya. Kenapa bisa diikuti?" "Suami saya dipelet, udah lama, belum sembuh juga." Mereka manggut-manggut paham dan tak terasa sudah tiba di rumah. Motor yang kuparkir di samping rumah Pak Burhan dibawa oleh Pak Muktah. Tidak ingin mampir dulu, mereka pun memutuskan untuk langsung pamit pulang. Yah, padahal ingin menjamu, sebagai ucapan terima kasih telah mengantar Mas Arif pulang. Begitu sampai di kamar, Mbah mengikat kaki dan tangan Mas Arif lagi. Kini ia kembali terlentang, tak bisa berbuat apa-apa. Dengan mata tertutup, ia hanya berteriak jika meminta sesuatu. *** Esok pagi, sekitar jam delapan, aku dan Mbah akan pergi menjemput Fany di rumah sakit. Alhasil malam ini kami bersiap-siap, membersihkan rumah dan juga kamarnya. Ia pasti senang bisa kembali berkumpul dengan keluarga kecilnya. Namun, dapat kupastikan ia kaget dan sedih melihat kondisi Mas Arif sekarang ini. Mbah yang mengalami luka lebam sudah diobati Bibi. Rupanya tadi ketika kutinggal ke toilet, Mas Arif membuka penutup matanya dan mengacak-acak meja. Mbah yang mendapati hal tersebut berusaha mencegahnya lari. Namun, dengan sekali tendangan, Mbah terhempas cukup jauh dan tak berdaya. "Besok kita panggil Sarah ke sini. Saya ingin membuatnya jujur tentang segala hal." Mbah menyeruput kopi hangatnya. "Kalau dia gak mau gimana, Mbah?" "Paksa," jawabnya singkat dan yakin. "Mbah ada caranya menjebak." "Apapun itu, saya yakin Mbah bisa mengatasinya. Saya ikut aja yang terbaik." Dengkusan kasarku mengakhiri obrolan malam itu. Kami tidur lebih cepat, lelah sekali setelah kejadian tadi pagi. *** "Bibi gak mau ikut?" tanyaku iseng. Wanita paruh baya itu hanya membalas dengan senyuman. "Yakin?" tawarku lagi. "Yakin, Bu. Siapa yang jaga Pak Arif kalau saya ikut juga?" balasnya. "Kalau Bibi ikut, Mbah Parto tinggal di rumah. Ya, intinya supaya ada yang nemenin saya ke sana," jelasku. "Gak usah, Bu. Saya juga masih mau masak." Aku mengangguk dan mengambil tas dari Bibi. Kami pun berangkat, tak lupa membaca doa agar selamat hingga tujuan. Setengah jam perjalanan, ditambah banyaknya kendaraan melintas membuatku stres sendiri. Masih pagi memang, tapi lalu lintas padat. Apalagi hari Senin, anak sekolah dan yang pergi bekerja pun turut memadati jalanan. Begitu sampai di kamar Fany, kami berpelukan bahagia. Kondisinya benar-benar membaik. Wajahnya tak sepucat kemarin. Perlahan-lahan ia mulai menggerakkan tubuhnya. "Alhamdulillah. Yuk, pulang," ajakku senang. Namun, ketika ia melihat Mbah, ekspresi wajahnya berubah masam. "Kenapa ditekuk gitu mukanya? Ada yang salah?" tanyaku lagi. "Mbah ini yang kemarin doain aku kecelakaan, `kan?" Ia balik bertanya sambil menatap lekat Mbah Parto. Lelaki tua itu terkekeh pelan, bak menganggap pertanyaan Fany hanya candaan. "Bukan mendoakan, Nak, kamu salah paham," ujar Mbah. "Ucapan adalah doa, Mbah. Kalau saya gak mau, ya jangan dipaksa terus doain aneh-aneh kayak gitu dong. Saya tersiksa loh ini," keluh Fany tampak emosi. Sepertinya setelah kecelakaan hari itu, ia menjadi agak sensitif. "Maaf, Nak. Mbah gak bermaksud doain macem-macem. Memang seperti itu adab bertamu di sini. Harus makan makanan yang ditawari sebelum pergi." Mbah berusaha menjelaskan agar Fany mengerti. "Iya, Dek. Mungkin Mbah bermaksud mencegah karena sudah banyak korbannya dulu," timpalku. Fany yang masih terlihat kesal pun diam. Ia pun masuk ke mobil dibantu seorang perawat. Setelahnya, kami mengucapkan terima kasih dan pamit pulang. Sepanjang perjalanan, tidak ada obrolan di antara mereka. Pun Mbah Parto tampak sungkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD