Mata Batin

1597 Words
Begitu bangun, kepalaku terasa sakit dan badan lemas. Melirik ke segala arah, tidak ada yang menemaniku di sini. Suasana pesta masih terasa, terlebih ruang tamu dihias manis dengan balon-balon beraneka warna. Ya, aku seperti anak kecil yang merayakan ulang tahunnya. Perlahan turun dari atas ranjang, mengusap wajah dengan tisu dan beranjak keluar. Mas Arif dan tamu masih bercengkerama di ruang tamu. Kue ulang tahunku pun masih utuh, mereka tak menyantapnya sedikitpun. Perhatian mereka tertuju padaku. Dengan senyum tipis, aku mendekati perlahan dan duduk di samping Mas Arif. "Udah baikan?" tanyanya. "Hm, lumayan, meski pusing dikit," jawabku. "Lama banget bobonya, kami gak sabar mau makan kue ini," celetuk Aris yang diikuti gelak tawa oleh yang lain. "Kenapa harus nunggu aku? Makan aja lagi, aku gak terlalu suka kue tart," ujarku. "Ya, gak sopan lah. Masa yang ulang tahun gak cicip duluan," kata Sinta. Aku terkekeh, mereka pun heboh sendiri. Setelah memotong kue itu menjadi beberapa bagian, tampak sekali raut wajah kebahagiaan. Beda denganku yang masih bingung tentang sesuatu. Setelah memakan kuenya, Mas Arif menyerahkan beberapa kado dari tamu. Tak banyak, hanya tiga belas buah. Yang paling besar dari Aris, berwarna biru muda. Motif bunga yang manis. "Ini apa?" tanyaku. Ia hanya menaikkan sebelah alis. "Nanti aja dibuka pas kami udah pulang, Ris," jawabnya menghindar. "Gak aneh-aneh, `kan?" Tiba-tiba aku merasa curiga begitu melihat raut wajahnya. "Ye, ini `kan kado ulang tahun, bukan kado pernikahan." Gelak tawa mereka memenuhi ruangan. Ditambah Bibi yang datang membawa kue kering. Mereka pun meng-aduh kesal karena sebenarnya sudah kenyang. Eh, ada lagi menu tambahan. Kue buatan Bibi memang gurih dan renyah. Apalagi di acara seperti ini, ia suka menyibukkan diri di dapur. "Sini, Bi, ikut makan bareng kita!" ajak Sinta ramah sambil menarik tangan Bibi. Namun, wanita paruh baya itu menolak ajakannya. Ia malu-malu. "Gak usah, Nak. Bibi makan di dapur aja." "Ih, apaan sih, Bi! Makan bareng-bareng aja kan lebih asik. Bibi jangan makan sendirian di dapur, nanti ada hantu!" canda Sinta diikuti tertawaan yang lain. Bibi pun menurut juga. Ia duduk di sebelah Aris. "Haha, hantu apa? Hantu Sarah?" timpal Aris dengan tawa renyahnya. Seketika aku terdiam, mengingat wanita itu lagi. Mas Arif yang peka pun berusaha mengalihkan pembicaraan, tapi mereka tidak terpengaruh. "Eh, iya. Ngomongin Sarah, itu pelakor gimana keadaannya? Sejak cerai dari Arif, gak pernah keliatan lagi." Disa yang dari tadi diam pun mulai angkat bicara. "Ya jelas malu lah! Udah ngerebut suami orang terus diceraikan, pasti pergi entah ke mana." Aris tertawa lagi. "Serius, kurasa cewek itu pakai pengasihan. Liat aja mukanya teduh, adem, bikin kita gak tega gitu. Cuma almarhumah Tania yang berani bentak dia," ucap Aris, "gue aja hampir terpesona sama kecantikannya." Sinta pun memukul bahu Aris pelan. "Muka gile lu! Ya kali suka ama cewe modelan begitu. Lagipula, ya, gue kok liatnya biasa aja? Cantik gak, manis gak, imut lucu juga beda jauh ama gue. Justru mukanya tuh rada misterius, serem!" Mereka diam mendengar ucapan Sinta. Aku pun bingung menimpali apa karena jujur saja bayangan wanita itu masih terngiang-ngiang di pikiran. Kejahatannya, licik dan suka memanipulasi orang. Heran, mengapa manusia seperti ini masih diberi umur panjang? "Dia masih ada di sini. Emang orangnya tertutup aja, jarang keluar rumah," ucapku. "Wow, lu masih nengok dia?" tanya Sinta. "Pernah, beberapa kali, tapi buat sekarang udah jarang. Aku dipusingkan sama rencana Mas Arif yang mau beli rumah baru. Sayangnya aku gak suka rumah itu." "Weh, kamu diem-diem mau ninggalin kita lagi, Rif?" tanya Aris tak terima. "Kok kamu fitnah Mas sih, Dek? Kan kamu yang minta pindah dulu. Kok jadi Mas yang salah," katanya dengan raut wajah masam. "Rumahnya gak suka, jelek." "Udahlah, Bro, iyain aja. Berantem sama perempuan tuh ribetnya nauzubillah!" Aris tertawa lagi. Mas Arif menggeleng pelan, ia mendengkus kasar lalu bermain ponsel. Acara makan-makan kembali dilanjut. Melupakan topik pembicaraan yang sangat kubenci. Ketika sedang asik dengan urusan sendiri, tiba-tiba Mas Arif bertingkah aneh. Ia kejang-kejang, tapi masih bisa kuatasi. Aris yang melihat hal itu pun bertanya ada apa. "Sakit apa gimana?" tanyanya. "Gak tau, Ris." "Sini biar gue bantu ke kamar." Dibopong oleh Aris dan Stelan, Mas Arif pun dibaringkan di atas ranjang. Karena masih kejang-kejang, kuputuskan untuk menelepon ambulan. Namun, Bibi datang dan mencegatku. "Jangan, Bu. Ini bukan penyakit medis. Cepat panggil Mbah Parto aja," ucapnya memberi saran. "Kok Bibi tau ini bukan penyakit medis?" tanyaku memastikan. "Pertama, Pak Arif kambuh pas mereka bahas Sarah. Kedua, matanya melotot ke atas." "Oke, saya telpon Mbah Parto." Berkali-kali kuhubungi, ia tak menjawab. Karena takut keburu waktu, akhirnya aku pergi menjemput Mbah Parto. Tamu pun heran, mereka bertanya ada apa sehingga membuatku terburu-buru. "Aku mau jemput seseorang. Maaf banget, ya Mas Arif tiba-tiba drop. Kalian kalau mau pulang duluan gak papa, silakan," kataku. Sebagian pun izin pulang, terkecuali Aris, Sinta, dan Nita. Mereka ingin menemaniku pergi menjemput Mbah Parto. "Gak usah, aku bisa sendiri. Udah sering ke sana sendirian kok!" jawabku menolak ajakan mereka. Sinta yang keras kepala memaksa ikut karena penasaran dengan apa yang terjadi. Awalnya aku tak mau karena pada akhirnya semua tahu tentang masalah ini. Masalah yang semakin melebar dan entah kapan berakhir. Aku dan Sinta melajukan kendaraan menuju rumah Mbak Parto. Hanya memakai sepeda motor karena mobil baru diperbaiki tadi. Sayang jika dipakai. Sinta yang masih belum familiar dengan tempat ini pun berkali-kali takjub. Katanya pemandangan sangat indah dan sejuk. Jarang sekali di daerahnya tempat rapi seperti ini. Suasana zaman dulu sekali. Hingga kami melewati kuburan lama, ia pun membuang muka. "Trauma dah, gue pernah liat pocong serem banget!" ucapnya heboh sendiri. Aku terkekeh, pocong memang hantu yang paling menyeramkan menurut beberapa orang. Sesampainya di rumah Mbah Parto, Sinta menolak turun karena dekat dengan pemakaman. Aku sudah menjelaskan bahwa tidak ada apa-apa di sini. Apalagi hari masih terbilang sore. Aman-aman saja. Namun, ia tetap menolak dan memilih duduk di motor saja. "Taksi yang gue pesen udah ready?" tanyaku. "Lo tuh aneh, punya mobil, bisa mesen taksi, malah naik motor panasan gini!" protesnya. "Lah, kan aku bilang gak usah ikut. Kamunya maksa." Ia makin cemberut dan aku tertawa pelan. Lagi males naik mobil ataupun taksi, Sin. Gue masih trauma sama kejadian beberapa hari lalu," lanjutku. "Sabar, yang penting Arif gak terluka parah. Ya, mungkin karena luka itu dia jadi begini tadi." Aku teringat Fany, sudah dua hari tak menjenguknya karena sibuk. Baiklah, nanti malam ke rumah sakit membesuknya. Lumayan rindu, mungkin ia sudah lebih baik. "Assalamualaikum, Mbah." Aku mengucap salam, tapi bukan Mbah yang keluar, melainkan Bude. Ia tersenyum menyambut kedatanganku yang tiba-tiba ini. "Waalaikumsalam, Nak. Nyari Mbah toh? Masuk. Mbah ada di dalam." "Oh, gak usah, Bude. Saya ke sini mau jemput Mbah aja karena Mas Arif tiba-tiba kejang," ucapku menolak tawarannya. "Ya Allah. Kambuh lagi?" "Mungkin, Bude, makanya saya khawatir." Bibi menelepon, ia berkata kondisi Mas Arif semakin parah. Emosinya tak terkendali sampai hampir melompat dari jendela kamar. Terbayang kemungkinan terburuk, aku meminta agar Mbah segera muncul. Mbah menolak naik taksi dan lebih memilih menaiki sepeda ontelnya. Namun, aku terus membujuk karena kondisinya darurat. Akhirnya ia pun menurut. Mbah Parto dan Sinta naik taksi, sedangkan aku memimpin di depan. Begitu sampai, buru-buru kami masuk kamar dan memastikan keadaan Mas Arif baik-baik saja. Sungguh di luar dugaan. Mas Arif menyandar dengan tangan dan kaki diikat. Matanya pun ditutup kain hitam. Penasaran dengan apa yang terjadi, kudekati Bibi yang meringkuk ketakutan di sudut ruangan. "Bi, ini kenapa? Kok Mas Arif diikat?" tanyaku. "Pak Arif mencoba bunuh diri terus, Bu. Jadi saya ikat beliau supaya gak turun dari ranjang," jawabnya dengan nada bergetar, ketakutan. "Terus Bibi kenapa? Ada luka?" "Sa–saya tadi hampir ditusuk Pak Arif pakai beling, Bu. Untung saya cepat-cepat ambil bantal dan tusukannya kena bantal itu." Ia menunjuk bantal yang tergeletak di atas lantai dengan sebuah beling menusuk tajam. "Pak Arif tadi selalu berusaha bunuh diri. Pertama mencelupkan muka dalam bak mandi, saya langsung tarik badannya dan kunci pintu. Kedua, dia pecahin teko kaca dan mau ngiris nadinya. Untung saya buru-buru tendang tangannya dan beling itu jatuh. Ketiga, dia berkali-kali mencoba lompat dari jendela, Bu," jelas Bibi lalu kembali menenggelamkan wajah. Aku memijit kepala, terduduk tak berdaya. Sejurus kemudian, Mbah mulai mengobati Mas Arif. Ia membuka penutup mata itu, lalu fokus membacakan ayat suci Al-Quran. Mas Arif membuka mata, ia bergelinjang hebat. Karena takut, Bibi meminta Mbah menutup mata suamiku lagi. "Kenapa harus gitu, Bi?" "Sepertinya Pak Arif kambuh kalau matanya dibuka, Bu. Coba lihat." Ia pun membiarkan Mas Arif dengan mata terbuka, lalu berteriak ketakutan seperti melihat sesuatu. "Pergi! Jangan ganggu aku!" Dengan sigap penutup mata itu dipasangkan lagi. Mas Arif pun kembali tenang. Napasnya normal dan denyut jantung tak berburu. "Sepertinya dia dihantui jin yang menyeramkan," duga Mbah Parto, "jin itu berkaitan dengan Sarah." Seketika aku lemas. Sarah masih belum melepaskan Mas Arif juga. Aku pasrah, haruskah melihat Mas Arif tersiksa seperti ini terus? "Aris sama Nita udah pulang duluan dong?" tanyaku pada Bibi. "Iya, Bu, soalnya pas Pak Arif ngamuk tadi mereka juga ketakutan. Saya suruh pulang aja," jawabnya masih bergetar. "Jadi Mas Arif begini terus, Mbah? Apa gak ada cara lain buat usir jin itu? Saya gak tega, Mbah." Air mata mengalir deras. Tubuhnya semakin kurus. "Mau gak mau seperti ini dulu, Nak. Gak ada cara lain, Mbah belum memikirkan. Pasti ada jalan," jawabnya. "Harus diikat seperti ini?" "Iya, harus karena takutnya dia mencelakai diri sendiri atau orang lain. Toh, kalian gak mungkin menjaga dia 24 jam," jawab Mbah, "jin ini akan terus menghasut Arif untuk bunuh diri. Sebagai istrinya, kamu harus membantu membuat pikiran Arif tenang. Jangan sampai kosong." Mbah pun menyarankanku untuk memutar murrotal setiap hari, terlebih di hari-hari yang erat kaitannya dengan ritual gaib.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD