Tak Sadar

1601 Words
Sakit itu tidak seberapa. Terseok-seok melangkah mendekati Mas Arif. Tiba-tiba Sarah menarik kerah bajuku dan hampir terjatuh. Tarikannya sangat kuat hingga membuat leherku sakit dan hampir tak bisa bernapas. Dengan tawa khasnya, ia juga menjambak rambutku kuat. "Lepasin! Dasar wanita sialan!" teriakku lalu berbalik badan dan mendorong tubuhnya hingga menabrak pintu. Wanita itu merintih sakit sambil memegang pinggangnya. "Jangan mimpi bisa merebut Mas Arif dariku! Kamu itu cuma janda kesepian yang kegatelan rebut suami orang, `kan? Kenapa gak cari bujangan aja? Kenapa harus suami orang?" Ia bergeming, hanya menunduk dengan tetesan air mata yang mulai mengalir di pipi. "Kenapa diam?! Seneng udah bikin suami saya begini? Kenapa kamu gak mikir, sih? Coba mikir perasaan sesama perempuan. Mas Arif udah beristri, caramu merebut dia juga salah." Ia bergerak mendekat, memeluk kakiku. Fany kaget, ia bertepuk tangan seolah bangga bila Sarah telah menyadari kesalahannya. Ah, apakah benar-benar sadar? "Maaf, Mbak. Saya jatuh cinta sama suami Mbak. Saya gak bisa melupakan dia," katanya. "Ya, terus, biar itu suami orang juga tetep kamu rebut? Demi perasaanmu itu? Ayolah, kamu udah dewasa, bahkan mungkin lebih tua dari saya. Kenapa kamu gak mikir ke depan? Mendzolimi manusia itu dosanya gak main-main," kataku menahan emosi. "Kamu sudah membahayakan nyawa banyak orang. Bahkan sudah tiga orang yang meninggal karenamu. Gak takut karma?" "Cinta sudah membutakan saya." Hanya itu jawabannya, kemudian mencoba berdiri. Kembali ditatap tajam, lalu tertawa setan. Tampaknya wanita ini sudah menggila. "Mbak, hati-hati," ucap Fany. Sarah kembali mendekati Mbah Parto yang tak sadarkan diri. Darah masih keluar dari mulutnya. Sarah pun tertawa puas ketika Mas Arif menyambutnya penuh cinta. Mereka berpelukan di hadapanku dan Fany. Tak habis pikir. Pelan-pelan kuteriaki Mbah agar ia sadar. Namun, sepertinya cekikan itu lumayan kuat. Sudah setengah jam kami menunggu Mbah Parto siuman. Sarah pun tak malu lagi memamerkan kemesraannya. Hingga, suara Mbah yang terbatuk-batuk membuatku bangkit. Segera kuhampiri ia dan membantunya duduk, sedangkan Sarah menoleh ke arahku dengan tatapan sinisnya. "Mbah, kalau gak kuat, saya carikan ustaz saja, ya?" tawarku. Beliau menggeleng, kemudian langsung menyuruhku menjauh. Diraihnya paksa tangan Sarah dan wanita itu memberontak kasar. Tatapannya tajam, giginya pun bergemelatuk. Namun, Mbah lebih kuat dan Sarah tak bisa berbuat apa-apa. "Carikan tali!" perintahnya. Segera Fany pergi mencari benda itu, kemudian tak lama ia datang. Tangan dan kaki Sarah diikat kencang, hingga ia mengeluh kesakitan. Tak apa, setidaknya ini membuatnya bungkam. "Kenapa diikat, Mbah?" tanya Fany. "Saya ingin jin itu merasuki tubuh Sarah lagi dan membongkar semua kejahatan yang telah mereka lakukan. Kalau bisa, penyebab Sarah mengikuti ajaran sesat ini," jawab Mbah yang masih kesulitan mengatur napas. Kami hanya manggut-manggut pasrah, terlebih Fany yang belum paham masalah ini. Nanti saja, menunggu semuanya beres. *** Mbah, Fany, dan aku memutuskan untuk meninggalkan Mas Arif dan Sarah dalam kamar. Dengan kondisi terikat tali, kuyakin mereka tak akan berbuat aneh-aneh. Sama-sama sulit dan hanya bisa saling mengobrol. Mbah mengajak kami duduk berunding, tapi sebelum itu memeriksa keadaan Bibi yang masih terkurung. Ketika dibuka, seisi kamar sangat berantakan. Banyak barang yang pecah dan Bibi tak sadarkan diri di lantai. Kami pun memindahkannya di sofa ruang tamu. Kutatapi wajahnya lamat-lamat. Banyak luka goresan di tangan dan kakinya. Entah jin mana lagi yang merasuki Bibi. Terdengar dering telepon berbunyi, segera kuperiksa dan ternyata dari Ibu. Ragu-ragu kuangkat, takut jika nantinya ia bertanya apakah ada masalah dalam rumah tangga. Jika selalu menjawab baik-baik saja, bukankah beliau curiga? "Waalaikumsalam, alhamdulillah sehat, Bu. Em, saya lagi sibuk nih bantuin kerjaannya Mas Arif. Nanti aja ngobrolnya, ya, Bu?" ucapku tak enak. "Ah, kamu sibuk terus. Yaudah, gak papa. Nanti telpon aja." Setelahnya, kuputuskan sambungan telepon dan mendengkus kasar. Fany yang tadi diam pun mendekati Bibi yang masih terlelap. Ia bertanya di mana kotak P3K karena ingin mengobati luka Bibi. Tampak Mbah Parto sibuk dan fokus sendiri. Kami hanya diam menunggu arahan darinya, sambil terus mengawasi gerak-gerik Sarah lewat celah pintu yang terbuka. Tidak ada masalah sejauh ini. Sarah terbaring di samping Mas Arif dengan mata terpejam. Beberapa menit kemudian, Mbah membuka mata lalu menatapku dalam. Ia mengajakku ke suatu tempat, yang tak lain adalah pemakaman. Merasa ada yang tak beres, aku sempat menolak ajakannya. Namun, ia meyakinkan bahwa inilah cara membongkar kedok Sarah. Kami duduk di sebelah makam seorang gadis yang katanya meninggal akibat dicabuli paman sendiri. Meskipun merinding ditambah cuaca mendung, Mbah Parto tetap fokus menjalankan rencananya. Tak lama kemudian, kabut hitam melesat cepat di hadapanku. Ketika dicari, kabut itu hilang entah ke mana. "Dia sudah datang," ucap Mbah. Aku pun bersiap diri siapa tahu ada sesuatu yang buruk terjadi. "Mbah? Siapa yang datang?" tanyaku. "Kamu diam di sini, saya jemput Sarah sama Arif." Padahal aku ingin ikut, tapi ia melarang. Katanya kali ini urusan mereka bertiga, tidak ada sangkut pautnya denganku. *** Ketika ditinggal sendirian di pemakaman ini, berbagai bayangan seram menghantui otakku. Terlebih banyak makam yang tak terurus, banyak rumput kering dan papan nisan lapuk. Ah, mengapa tidak ada sanak saudara yang mengindahkan makam keluarga sendiri. Aku berjalan-jalan, membaca semua nama yang tertera di batu nisan. Mayang, Raka, dan beberapa nama yang sepertinya tak asing lagi bagiku. Seperti pernah mendengar, tapi entah kapan dan di mana. Tiba-tiba, perasaanku tidak enak dan bagian bahu terasa panas menusuk. Saking panasnya, seperti dibakar dalam api, hingga kumenjerit menahan tangis dan meminta pertolongan. Percuma, tidak ada orang di sekitar sini. Aku jatuh tersungkur sambil memegang bahu kiri. Setengah sadar, kulihat Mbah datang mendekati dan membantuku berdiri. Namun, karena sangat lemah, aku tak bisa menguatkan tubuh dan akhirnya terjatuh lagi. Beliau tetap berusaha memapahku, karena tak kuat menggendong. Sampailah kami di suatu tempat. Mata dalam keadaan susah dibuka, kesadaran pun masih di ambang. Bingung, apakah ini nyata atau hanya mimpi. Kami masuk ke sebuah rumah yang kukenali. Rumah yang baru kusadari adalah tempat Sarah memuja setan. Di ruang tamu, sudah dikelilingi lilin merah dan juga sebuah peti mati. Bingung untuk apa. Aku ingin bertanya tapi mulut terasa dikunci. Benar-benar seperti ketindihan, tak bisa berbuat apa-apa. Di tengah kepanikan karena tak bisa sadar, Mbah membantuku duduk di tengah-tengah lingkaran lilin itu. Lampu dimatikan, keadaan sangat gelap dan parahnya, aku hanya bisa berteriak dalam hati. Mau diapakan oleh Mbah? Aku takut musyrik. Dengan santainya ia berjalan mengelilingi lilin, sedangkan ragaku seperti hendak direbut oleh jiwa yang lain. Berusaha menolak, tapi jiwa itu memaksa masuk. Aku benar-benar tak bisa mengendalikan tubuh sendiri. Tak rela raga dipakai oleh jiwa lain. Ketika panas di bahu berubah menjadi dingin sejuk, aku mulai bisa bernapas normal. Sejak tadi terengah-engah dan napas terasa pendek. Sempat takut, jangan-jangan ajal akan menjemputku. Keluarlah salah seorang dari sebuah kamar. Ia mengenakan pakaian serba putih dengan penampilan mirip pemuka agama. Sedikit lega, akhirnya ada yang membantu Mbah Parto. Namun, ketika sosok itu mendekati Mbah, lelaki tua itu malah berteriak dan menyiram sosok putih tadi dengan air. Ternyata, itu hanyalah penyamaran jin. Mereka ingin mengelabui kami. Kepalaku terasa berat dan tak mampu menopang tubuh lagi, hingga berkali-kali hampir jatuh terbaring. Namun, Mbah Parto terus menyemangati dan menyuruhku menjaga kesadaran. Meski sulit, akhirnya aku bisa bertahan dan belajar mengatur napas. Mbah berkata, saat ini aku harus tenang. Semuanya akan baik-baik saja. Tibalah di puncak ritual. Tubuhku bergetar hebat, seakan-akan ada yang memaksa masuk. Mbah bilang turuti saja, lemaskan. Ketika sosok itu berhasil masuk, rasanya sakit sekali bak ditusuk ribuan jarum. *** "Alhamdulillah, udah sadar. Ini, minum dulu, Mbak," kata Fany sambil menyodorkan mulut botol. Aku terdiam dulu, bingung mengapa tiba-tiba ada di kamar ini? Perlahan kuangkat tangan dan terkejut karena pergelangan tangan kiriku diperban. Pun mulai terasa nyeri di area kepala. Astaga, apa yang telah terjadi? "Mbak pasti bingung. Istirahat dulu, nanti Mbah Parto ke sini jelasin," ucapnya lalu tersenyum. Disusul Bibi yang sedang mengantar makanan. "Dimakan, ya, Bu. Ini saya buatin spesial untuk Ibu," kata wanita paruh baya itu. Aku semakin bingung, bukankah tadi berada di pemakaman bersama Mbah? "Mas Arif sama Sarah ke mana?" tanyaku. Mereka berdua saling beradu tatap, kemudian Bibi izin pergi ke dapur. Tampaknya ia mulai baikan. "Sarah bawa Kak Arif ke rumahnya, Mbak. Aku udah cegah, tapi dia ngancem bakal nyakitin Kak Arif. Kak Arif udah sadar dan dia pun nolak awalnya. Kasihan Kak Arif, Mbak. Dia terjebak," jelas Fany. Aku syok, kepala semakin sakit karena hal ini. Sarah belum melepaskan Mas Arif juga. Entah harus bagaimana. "Sumpah, aku aja gemes sama dia, Mbak. Kemarin Bibi ceritain soal Sarah itu dan rasanya pengen aku bunuh. Dia yang bikin kedua orang tuaku sakit parah sampai meninggal," lanjutnya lagi. "Dan dia juga udah bunuh sahabat saya. Tania. Andai bunuh itu gak dosa, dia udah habis dari awal kedekatannya dengan Mas Arif." Aku menghela napas panjang, kemudian meminta Fany membantuku pergi ke ruang tamu. Mbah Parto duduk di depan teras bersama seorang lelaki berpakaian serba putih. Tampak tak asing, sepertinya aku pernah melihat sosok ini. Ketika dihampiri, tatapan keduanya fokus ke arahku. Lelaki itu tersenyum sambil menyatukan kedua tangannya. Ia memperkenalkan diri. "Saya Aji, teman Parto." "Saya Risti," balasku. "Ini yang rumah tangganya hancur karena perempuan itu, Ji. Aku loh udah capek, bingung gimana ngobatinnya. Gimana si perempuan ini berhenti mengganggu Arif," ucap Mbah. "Kalau dilihat, perempuan ini sebenernya baik, To. Hatinya dipenuhi dendam sama seseorang, entah siapa. Aku ngeliat itu di fotonya," timpal Pak Aji. "Jadi bisa disimpulkan, hatinya dibutakan dendam? Bukan karena cinta mati dengan Arif?" tanya Mbah yang diikuti anggukan oleh Pak Aji. Ya, kurasa juga begitu, mengingat dari wajahnya saja Sarah terlihat seperti perempuan yang baik. Namun, entah dendam jenis apa yang membuatnya sampai seperti ini. "Kita cari dulu penyebab dia menjadi seorang janda itu apa. Apakah ditinggal nikah lagi alias selingkuh, atau ditinggal mati. Semua alasan itu bisa dijadikan sebab akibat." Aku manggut-manggut paham, kemudian ikut duduk menyimak perbincangan mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD