Mimpi

1591 Words
"Pak, jadi ini kita ke rumah Sarah?" tanyaku sebelum berangkat. "Iya, Ris. Kita ke rumah Sarah yang lama, kayaknya suamimu ada di sana." Dengan langkah berat, aku mengikuti mereka. Perasaan mulai tak enak karena aslinya sudah tak ingin ke rumah itu lagi. Daerahnya berhantu dan aneh. Namun, Pak Aji memastikan bahwa semuanya aman dan tidak akan ada masalah. Ia akan menjaga kami semua. Hanya Bibi yang tinggal di rumah, Fany pun ikut bersamaku. Sepanjang perjalanan, tidak ada perbincangan yang terjadi. Sesekali aku hanya menengok ponsel, memeriksa last seen w******p Mas Arif. Terakhir online dua hari yang lalu. Semakin tak keruan, takut ia celaka. Berkali-kali kuembuskan napas kasar, badan tidak fit tapi sudah diajak jalan-jalan. Ya, mungkin lebih tepatnya menjemput Mas Arif yang terjebak oleh wanita itu. Awalnya aku ingin menunggu di rumah saja, tapi Pak Aji memaksa ikut karena aku adalah istri Mas Arif. Begitu sampai, seperti biasa, rumah perempuan itu tertutup rapat. Pak Aji mengetuk pelan hingga tiga kali, tapi belum ada sahutan. Akhirnya aku menggedor-gedor pintu tersebut hingga jendela kaca di sebelah kanannya ikut bergetar. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan perempuan aneh itu menampakkan dirinya. Ia sedang memakai baju terusan merah, tapi kali ini tidak menutup wajahnya. Pak Aji tersenyum ke arah Sarah, kemudian Sarah mengizinkan kami masuk. Namun, sebelum itu kutatap tajam matanya, tapi raut wajah wanita itu berubah sedih. Kami duduk di sofa dan Sarah menyalakan lampu tengah. Tanganku sudah gatal ingin menarik Mas Arif pergi dari sini. Sejak tadi gelisah, tak bisa diam di tempat. Hanya Pak Aji dan Mbah Parto yang tampak anteng dan saling mengobrol. Aku dan Fany saling beradu tatap, kemudian menggeleng pelan. Mata celingukan, mencari di mana Mas Arif berada. "Silakan diminum dulu, ada keperluan apa datang ke mari?" tanya Sarah sopan, disertai senyuman manis tentunya. Senyum yang berbeda. "Kami ingin menjemput saudara Arif. Apakah benar ada di rumah ini?" jawab Pak Aji tanpa basa-basi. Sarah malah tertawa, kemudian duduk di sofa tunggal, tepat di hadapan kami. "Untuk apa? Mas Arif suami saya. Kenapa mau dijemput pulang?" Geram rasanya mendengar jawaban tak tahu diri itu. Namun, Fany menahan diriku yang hendak bangkit dari duduk. "Karena Arif itu bukan suami kamu. Pernikahan kalian kemarin tidak sah. Lebih baik relakan Arif kembali kepada istrinya," jelas Pak Aji. "Jangan suka ngatur kehidupan orang, Om. Saya gak kenal Om, kenapa tiba-tiba suruh saya melepas Mas Arif? Saya cinta mati sama dia," ucap Sarah masih membela diri. "Cinta mati atau demi balas dendam?" Pertanyaan itu sontak membuat Sarah terdiam. Matanya memelotot, berkali-kali ia mengusap hidung dan membuang muka. "Ci–cinta mati! Untuk apa saya balas dendam?" Pak Aji terkekeh pelan lalu memanggilku. Aku duduk di sampingnya dan disuruh memejamkan mata. Terasa ada yang mengalir dari ubun-ubun ke ujung kaki. Sejuk dan geli. "Buka matamu dan raba semua benda-benda di sini." "Hah?" Aku ternganga sendiri, bingung apa maksudnya. "Lakukan aja. Cari benda-benda yang kamu rasa umurnya sudah tua." "Ta–tapi, buat apa, Pak?" tanyaku masih kebingungan. Ia menatap dalam, tanpa membalas pertanyaanku. Mbah Parto pun mengedipkan sebelah matanya, langsung paham kode yang ia berikan. Dengan sigap aku bangkit dan mencari-cari benda di ruang tamu ini. "Maksudnya apa, ya?" tanya Sarah yang mungkin tak terima. "Saudari Sarah diam saja. Risti tidak akan merusak barang-barang Anda," ucap Pak Aji sopan. Namun, tampak Sarah gelisah di posisinya. Ia terus mengawasiku yang masih berkeliling mencari benda lawas. Ketemu! Guci tanah liat yang sepertinya sudah berumur puluhan tahun. Disimpan dalam etalase kaca bersama dengan beberapa gelas yang terbuat dari keramik. Setelah kusentuh bagian mulut guci itu, tiba-tiba kepalaku pusing dan melayang-layang. Rasanya seperti dibawa ke suatu tempat yang asing. Aku duduk dan disuruh melihat sesuatu. Sebuah gambaran yang memperlihatkan dua orang perempuan, dan satu laki-laki. Kusadari bahwa salah satu dari perempuan itu adalah Sarah. Namun, wajah perempuan satunya dan laki-laki itu tidak kukenali. Terlihat Sarah sedang menangis, memeluk kaki wanita di hadapannya. Kemudian, gambaran berpindah ke sebuah acara pernikahan. Ternyata Sarah menikah dengan pria tadi. Semuanya bahagia, kecuali wanita yang menatap Sarah tak suka. Baru sampai situ, perutku terasa mual dan ingin segera keluar dari sini. Namun, di belakang Pak Aji memintaku menahannya sebentar saja. Kelak semuanya akan terbongkar. "Akh!" teriakku ketika bahu kanan terasa ditusuk benda tajam. Pak Aji mengelus pelan, tapi ia tetap tidak ingin aku sadar. Antara halusinasi atau kenyataan, gambaran itu masih berlanjut. Wanita asing tadi mengambil tisu bernoda merah dan kemudian suami Sarah meninggal tak wajar. Ya, gambaran ini seperti puzzle yang penuh teka-teki. "Gimana? Apa yang kamu lihat?" tanya Mbah ketika aku sadar. Namun, karena kepala sakit sekali, aku tak menjawab pertanyaannya dulu. "Sabar, To. Dia masih lemah, nanti aja ditanyain. Saya yakin dia sudah melihat kejadian sebenarnya," celetuk Pak Aji. Beliau memapahku keluar rumah Sarah dan kami pun pulang. Sesampainya di rumah, aku buru-buru pergi ke wastafel karena ingin muntah. Cairan kuning tua itu keluar lumayan banyak, membuatku lemas hingga jatuh tersungkur. Untung saja Bibi datang dan membantuku berdiri. Setelah didudukkan di kursi meja makan, ia memberiku segelas air hangat. "Masih mau muntah, Bu?" tanyanya. "Kayaknya udah nggak, Bi." "Kalau masih, saya pijitin tengkuknya biar keluar semua. Muka Ibu pucet banget," kata Bibi. "Ah, gak usah, Bi. Anter saya aja ke kamar, mau tidur dulu." Beliau mengiyakan dan sigap membantuku berdiri. Ketika sampai di depan kamar, Pak Aji datang menghampiri. "Ini, minum dulu biar tenagamu pulih," ucapnya sambil menyodorkan secangkir air yang warnanya agak merah. "Air apa, Pak? Kok warnanya aneh?" tanyaku lalu mencium baunya. Astaga, berbau amis! "Sudah, minum aja. Habis minum langsung enakan." Sambil memencet hidung, aku meminum air itu tiga kali teguk. Rasanya juga agak amis, harus ditahan meskipun terasa mual lagi. Cepat-cepat Bibi mengambilkan permen jahe agar rasa amisnya segera hilang. Begitu diantar ke ranjang, aku diselimuti dan ditinggal sendirian. Tak berani mematikan lampu, bayang-bayang gambaran itu masih mengintai. Mengapa suami Sarah tiba-tiba meninggal dunia? Siapa perempuan yang membuat Sarah bersujud itu? *** Pagi harinya, kurasa tubuh segar dan kepala tak sakit lagi. Manjur juga air dari Pak Aji itu. Kapan-kapan ingin dibuatkan lagi, lumayan untuk obat di rumah. Daripada meminum obat kimia, efeknya jangka panjang. Aku bersiap-siap mandi lalu sarapan. Bibi tak banyak masak hari ini karena Mbah Parto dan Pak Aji makan di luar. Alhasil, lauk cukup untuk tiga orang. Selepas makan, aku duduk di teras depan menunggu kedatangan mereka. Kata Bibi, mereka izin ke rumah kosong tempat penyembahan setan oleh Sarah itu. Pak Aji tak bilang untuk apa ia ke sana dan Bibi pun sungkan bertanya. Tak menunggu lama, akhirnya mereka datang. Mbah Parto pun memintaku masuk dan kami duduk di ruang tamu. Rupanya, Mbah Parto ingin tahu apa yang kulihat kemarin lewat guci tanah liat di rumah Sarah. "Kalau kamu masih bingung, itu namanya kemampuan rekrognitif. Kemampuan yang membuat kita bisa melihat kejadian masa lalu dari suatu benda. Untuk penjelasannya kenapa bisa begitu, mungkin ada unsur-unsur benda yang merekam kejadian dan bisa diterjemahkan lewat retrokognisi," jelas Pak Aji, "pada dasarnya, kemampuan ini banyak ditemui pada anak indigo atau cenayang. Namun, orang biasa pun bisa dengan syarat tertentu," lanjutnya. Sedikit sulit dipahami, tapi baiklah. Lumayan lega setelah dijelaskan. "Jadi, apa yang kamu lihat di bayangan itu?" tanya Mbah. Aku pun menjelaskan apa adanya. Hanya melihat tiga orang, satu Sarah, perempuan asing, dan suaminya. Pernikahan, kemudian suasana duka ketika suami Sarah meninggal dunia. Setelah itu tidak ada apa-apa lagi. "Benar-benar seperti teka-teki. Harus dicari apa penyebab mantan suami Sarah meninggal dunia dan siapa perempuan asing itu," selidik Pak Aji. "Kenapa gak tanya langsung ke Sarah, Pak?" "Gak bisa, dia gak akan mau terbuka tentang masa lalunya. Masa lalu itu sangat menyakitkan," jawab Pak Aji. Aku mendengkus napas kasar, kemudian bersandar diri di sofa. Masalah semakin rumit, Mas Arif juga tidak ada tanda-tanda akan pulang. Pada akhirnya, aku stres sendiri karena rindu sekaligus khawatir. Takut Sarah menyakitinya. Namun, Pak Aji meyakinkan bahwa Sarah tak mungkin senekat itu. "Sebentar, pas di kamarku kemarin bukannya diikat keduanya, ya? Kok bisa kabur?" "Bukan kabur. Bi Inem bilang, si Arif kebelet pipis jadi dibuka talinya. Habis itu mereka berdua udah pergi. Ya, saya tau aja kalau Sarah bawa lari suamimu, tapi saya biarkan aja. Dia mau ke mana selain rumahnya?" "Iya juga." *** Semalam mimpiku sangat buruk. Aku berada di suatu tempat yang gelap dan sendirian. Hanya ada dua kursi yang lapuk dan pepohonan besar. Ya, berada di tengah hutan tanpa seorang teman. Anehnya, saat itu aku sadar bahwa sedang bermimpi. Sempat meminta dihadirkan seorang teman, tapi tiba-tiba aku terperosok jatuh dalam lubang. Bukan lubang biasa. Begitu bangkit dan melihat-lihat, ada jalan yang menuju ke suatu tempat. Jalan itu lumayan terang, tidak seperti di hutan tadi. Aku mengikuti arah jalan itu meski takut setengah mati. Begitu sampai di pojokan, ruangan apik bernuansa klasik memanjakan mata. Ternyata ada orang di dalam. Seorang wanita berpakaian putih dan cantik sekali. Ia mempersilakanku duduk dan menawarkan makanan. Namun, ketika itu aku merasa kenyang dan menolak tawarannya. Tiba-tiba, raut wajah yang semula ramah, berubah penuh amarah. Ia mendekatiku dan berusaha mencekik, tapi dengan sigap kutendang perutnya menggunakan kaki kanan. Ia pun terjatuh dan memaki-maki. Tak lama, ia bangkit dan mengutukku. "Kamu akan susah mendapat anak! Hidupmu akan menderita dan suamimu mati disantet orang lain!" Deg! Rasanya menusuk, tentu saja aku tak mau dikutuk seperti itu. Di sisi lain, aku tak percaya dan berusaha tenang. Kukendalikan diri agar bisa keluar dari tempat ini. "Mau ke mana? Selamanya kamu akan tinggal di sini sebagai budakku!" ucapnya lalu membuka tirai hitam di belakangnya dan sesuatu itu mulai berjatuhan. Mayat-mayat yang membusuk dan termutilasi. Aku membekap mulut, paham apa maksudnya. Apakah akhir hidupku akan seperti mereka juga? Tidak, aku harus keluar!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD