Terungkap

1595 Words
Wanita itu mendekat, suasana semakin mencekam karena tiba-tiba langit mendung dan gemuruh petir saling bersahutan. Kemudian, ia mengambil pisau besar dan mengancamku beberapa kali. Entah mengapa saat itu terpikirkan untuk bunuh diri saja karena tak mungkin bisa kabur dari sini. "Aku tunggu keputusanmu. Ingin menjadi budakku atau mati seperti mereka ini? Hidupmu terjamin bila ikut denganku," katanya lalu tersenyum smirk. "Aku gak mau keduanya! Aku mau pergi dari sini!" tegasku. Wajahnya pun berubah marah dan mata pisau itu sudah berada tepat di depan wajahku. Celingukan mencari sesuatu agar bisa melawannya, aku menemukan sebuah vas yang terbuat dari kaca. Segera bangkit dan berlari mendekati benda itu, kemudian memecahkannya. Pecahan kaca yang paling besar kuambil dan balik mengancamnya. Meskipun tangan terluka, aku tak mau mati konyol di tangannya. Ia sempat mundur, tapi itu semua hanya candaan. Ia tak takut dengan apapun. Karena merasa tak bisa berbuat apa-apa, akhirnya memutuskan hal gila. Aku tahu ini hanya mimpi, jadi untuk apa takut? Crat! Pecahan beling itu melukai pergelangan tanganku. Darah segar mengalir deras dan ia panik setengah mati. Aku pun meringis kesakitan karena rasanya sangat nyata. Jatuh tersungkur dan kepala sakit, serta pandangan mulai buram. Kurasa inilah cara kematian paling ringan. *** "Astagfirullah." Begitu sadar, aku langsung terbangun dan berusaha menormalkan denyut jantung. Rambut basah karena keringat, pun napas terengah-engah seperti habis dikejar nyata. Pelan-pelan lupa juga dengan wajah wanita di mimpiku itu. Padahal ingin mencari tahu, dia itu siapa. Mbah Parto izin masuk kamar, ia pun menyalakan lampu dan ternyata ada Pak Aji juga. Menengok jam, hampir tengah malam. "Untung aja kamu pinter langsung bunuh diri. Keluar dari mimpi jebakan seperti itu memang sulit," ucap Pak Aji. "Kalau gak keluar, apa akibatnya, Pak?" "Kamu beneran terjebak di alam mereka. Istilahnya dibawa pergi sama jin ke alamnya. Susah keluar," jawab Pak Aji. Ia pun bercerita, dulu waktu masih sekolah, ia turut mengobati siswi-siswi yang kerasukan. Kasus kerasukan tahun itu yang paling parah, karena hampir 30 siswi mengalaminya secara bergantian. Hingga terpaksa kepala sekolah meliburkan kegiatan belajar mengajar selama dua hari, menunggu kondisi kembali normal. Dipanggilah orang pintar dan disuruh meminta ampun pada jin itu. Jin yang tinggal di sebuah pohon. "Kok minta ampun? Bukannya kita lebih tinggi derajatnya dibanding mereka?" tanyaku merasa janggal. "Itu juga saya gak tau. Sempat mau protes, kok kayak musyrik jadinya. Cuma karena merasa gak ada hak, jadi saya diam." Orang pintarnya berkata, ada pintu gaib di pohon ini. Pantas saja tiap kali ada siswi yang kerasukan, mereka selalu berjalan ke arah pohon tersebut. "Kalau si jin berhasil memancing orang ke sana, yaudah diambil. Masuk ke alamnya dan susah balik ke dunia," ucap Pak Aji usai bercerita. Aku merasa kedinginan, padahal sejak tadi masih berselimut. "Wah, gimana itu kok gak bisa keluar? Jadi gimana dong?" "Bakal diusahain, tapi kalau tetep gagal, ya rohnya gak bisa balik. Badannya bisa diambil alih jin lain." Sulit dipercaya, tapi mungkin kejadian ini benar-benar ada. Aku menghela napas pelan, kemudian menyandarkan diri. Pak Aji memberiku lagi segelas air yang berbau amis seperti kemarin. Kali ini baunya makin tak sedap dan menyengat. Namun, ia memaksaku meminumnya sampai habis. Dengan susah payah kutelan cairan aneh itu, lalu diberi permen jahe oleh Mbah Parto. "Ini air apa sih, Pak? Asli, pengen muntah," tanyaku. "Air biasa, tapi terasa pahit karena memang ada yang mengikutimu." "Maksudnya? Aku diikuti jin?" "Masih saya cari tahu. Jaga dirimu baik-baik, besok kita ke rumah tempat penyembahan jin itu." Ya, meskipun susah tidur, tapi kupaksa supaya besok ada tenaga. Masih terbayang-bayang kengerian seandainya ketika di mimpi tadi aku tak berpikir jernih. Terbayang bagaimana paniknya ditarik ke dunia lain dan dijadikan babu oleh jin. Ketika berbalik ke sebelah kanan, kutangkap bayangan putih di balik jendela. Karena penasaran, akhirnya memberanikan diri memeriksa langsung. Kusibak cepat tirai itu, tapi seperti biasa, tidak ada apa-apa. Mungkin hanya salah lihat, atau cahaya lampu dari motor yang lewat. Begitu mulai mengantuk, tiba-tiba ponselku berbunyi. Rupanya ada pesan masuk dari w******p. Aku langsung berteriak ketika melihat kontak yang tertera di layar ponsel. "Mas Arif?!" [Dek, tolong jemput Mas sekarang. Mas ada di Jalan Kenangan, depan toko sembako. Gak tau tiba-tiba ada di sini. Untung ada sinyal.] [Kenapa gak telpon, Mas?] tanyaku dengan emot menangis. [Mas gak tau daerah ini, Dek. Jadi takut kalau bersuara. Mana sepi banget lagi.] [Okr, tunggu aku sama Mbah Parto ke sana, ya! Jangan ke mana-mana!] Segera kubersiap-siap dan mengabari hal ini ke Mbah Parto. Pak Aji pun ikut karena ia tahu di mana jalan itu. Memang asing terdengar dan ia pun berkata Jalan Kenanga lumayan jauh dari sini. Bisa-bisa memakan waktu setengah jam lebih. Ya, di desa sebelah. Karena jalanan tak begitu ramai, Pak Aji pun sedikit memacu gas agar cepat sampai. Sepanjang perjalanan, yang kami lihat hanya pepohonan besar di kanan kiri. Jarang ada perumahan di daerah sini. Ketika sebentar lagi sampai, Pak Aji memelankan mobil dan mengklakson tujuh kali. Bingung apa maksudnya, tapi nanti saja bertanya. Yang penting Mas Arif ketemu dan kembali pulang dengan selamat. "Nah, itu jalannya," tunjuk Pak Aji. Sebuah palang hijau sedang, bertuliskan Jalan Kenanga, membuatku tersenyum senang. Kami pun berhenti tepat di halaman samping toko sembako itu. Mata liar mencari di mana Mas Arif. Kembali ku-chat lewat w******p. Ia pun berkata duduk di samping toko tadi. Kami bergegas mencarinya dan ... ya, aku langsung memeluknya erat. "Ya Allah, Mas! Kok bisa di sini? Sarah mana? Dia usir kamu?" tanyaku bertubi-tubi. Melihatnya yang lemah dan banyak luka membuatku semakin cemas. Ya Tuhan, apa yang telah dilakukan Sarah? "Sudah, bawa pulang dulu. Besok aja kita tanyai," ucap Pak Aji. Ia dan Mbah Parto membopong Mas Arif berjalan menuju mobil, sedangkan aku membuka pintunya. Kini, ia terbaring di pahaku dengan mata terpejam. Ponselnya hampir kehabisan baterai, entah apa yang ia alami selama beberapa hari ini. Sesampainya di rumah, kubersihkan tubuh Mas Arif lalu mengganti bajunya. Ada beberapa bagian baju yang robek, bahkan di bagian perut pun ada noda merah pekat. Sempat berprasangka itu adalah darah, tapi luka di tubuhnya tak separah itu. "Dek, jangan marahin Sarah lagi ...," lirihnya lalu tertidur. Aku yang bingung apa maksudnya pun harus menahan diri sampai besok. Kutinggalkan ia di kamar sendirian karena rencana mau tidur di ruang tengah bersama Fany. Aku suka berbagi cerita dengannya sebelum tidur. Ah, apa namanya? Pillow talk? Kurasa itu hanya untuk pasangan suami istri. Serius. Gadis ini asik diajak bicara apapun. Melupakan sedikit permasalahanku. Namun, ada di satu titik ia rindu orang tuanya yang telah tiada. Terlebih keluarga dekatnya tidak pernah datang menengok, padahal sudah mengirim info lewat sosial media. Acuh tak acuh, datang pas ada maunya saja. "Tanteku, termasuk om, itu sebenernya gila harta. Sekarang aja malah sibuk soal warisan, padahal jelas pembagiannya menurut agama, tapi mereka gak mau bagi ke aku. Mereka tau aku tinggal di rumah Mbak," jelasnya. "Yah, gak bisa gitu dong. Tetep ada hak kamu," balasku. "Gak papa, Mbak. Gak berkah juga, bakal ada balasannya merebut hak anak yatim piatu," katanya. Obrolan kami berlanjut hingga tak sadar malam semakin larut. *** Keesokan paginya, Mas Arif terbangun dan langsung mendekatiku. Ia bilang sedang rindu. Memeluk dari belakang dan bergelayut manja. Aku tersipu dibuatnya. "Mas, udah baikan?" tanyaku. "Lumayan, nanti dibuatin jamu sama Bibi." "Alhamdulillah. Yaudah, sana mandi dulu. Abis itu kita sarapan bareng," ujarku sambil mendorongnya pelan. Bibi menyiapkan sarapan di atas meja. Pak Aji dan Mbah Parto pun turut makan bersama. Berbeda dengan Fany yang katanya sedang diet, sehingga menolak diajak makan. Aku pun meledeknya. "Diet itu bukan berarti gak makan, Dek. Kamu mau sakit? Diet sesat namanya itu. Tetep makan, tapi porsinya dikurangin plus diganti lauknya jadi makanan berserat. Tuh, Bibi kan ada bikin salad," kataku. Ia pun cengengesan. "Hehe, gak begitu suka sayur, Mbak. Aku makan buah-buahan aja deh, ya? Abis itu berangkat kuliah," ucapnya dan kubalas anggukan. "Alhamdullillah. Arif kembali pulang. Sarah udah mau lepasin kamu, Nak," ucap Pak Aji bersyukur. "Kedepannya, jangan sakiti Sarah lagi, Pak. Dia gak bersalah," kata Mas Arif yang membuat suasana hening. "Bersalah gimana? Kan jelas dia yang ngirim ilmu pelet ke kamu. Dia yang bunuh Tania, kedua orang tua Fany secara tidak langsung. Kenapa sekarang malah bela dia?" tanya Mbah Parto bingung. Dahinya mengerut dengan kedua tangan di atas meja. "Iya, Mas. Kamu gak ingat betapa menderitanya kita selama ini? Banyak yang terjadi, pengorbanan banyak orang yang gak bisa kita lupain begitu aja. Bahkan sampai detik ini Pak Aji dan Mbah Parto setia membantu kita," timpalku menahan tangis. "Kenapa sekarang kamu malah membela Sarah, Nak?" Mas Arif terdiam, ia menatap kami satu per satu, kemudian angkat bicara. "Kasihan Sarah, Pak. Sarah itu dendam kesumat karena suaminya mati disantet." "Siapa yang santet? Suaminya yang mana?" Tiba-tiba, Mas Arif menangis sesenggukan dengan mata terpejam dan kepala tertunduk. Aku kebingungan sendiri, tapi Mbah Parto tidak. Ia langsung menggeser kursi ke samping Mas Arif. "Kenapa nangis?" Ia tak menjawab. "Kamu siapa?" tanya Mbah lagi. "Tolong ampuni saya, Mbah. Saya belum bisa tenang. Saya yang membunuh suami kakak sendiri. Semuanya karena cinta dan ketidaksengajaan.' Perlahan, gambaran-gambaran aneh kembali muncul di benak. Pak Aji pun memintaku memejamkan mata, menceritakan apa saja yang terlihat. Benar, lagi-lagi adegan dua perempuan dan seorang lelaki. Setelah acara pernikahan, Sarah dinyatakan hamil dan pasangan ini bahagia. Nama suaminya adalah Raka—pria tampan dari kalangan berada. Sejak pertemuan pertamanya dengan Sarah hari itu, ia pun jatuh cinta dan berniat melamar. Namun, tak disangka, ketika itu ada yang diam-diam menyukai Raka. Dia adalah Mayang, adik kandung Sarah yang bekerja di kantor Raka. Karena sering bersama, Mayang pun jatuh hati meskipun Raka adalah pria yang cuek. Cinta Mayang tak terbalas. Ia dipermalukan ketika menyatakan perasaannya. Terbayang bukan, bagaimana kesalnya ia ketika Raka menikah dengan kakaknya sendiri?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD